Chapter 11. Match Mission: Bertekuk Lutut
Repost dulu ah biar pada nungguin jam 7 nanti part 12 mau dipost hihi
Kesel ya?
Maaf ya kemarin harusnya update, tapi lagi sibuk lebaran 🥰 selamat hari raya iedul adha semua. Kamu kurban apa?
Anyway, kurban atau enggak, jangan lupa boikotnya, ya.
Chapter ini aku mau dikomen sampai jari kamu pegel pokoknya. Wkwk
Kalau udah pegel, lapor, ya. Haha kalau rame banget, langsung gas chapter selanjutnya.
Chapter 11
Match Mission: Bertekuk Lutut
Gerbang kos kubuka.
Keb ngotot mau jemput aku pagi ini buat jalan bareng ke kantor ketemu Alec, menuhin janjinya. Dia nggak masukin mobil, ribet. Karena gang depan paviliun induk semangku memang agak sempit, takut papasan sama mobil lain, Keb nggak turun.
Di luar gerbang, kepalaku celingukan. Honda City putih Keb nggak terlihat sampai ke ujung gang. Alih-alih, sebuah Jaguar merah mencolok bertengger di seberang gerbang. Aku mengecilkan mata, ragu-ragu menyeberang jalan sepi, berharap bisa melihat ke balik kaca mobil yang gelap. Tahu-tahu, klakson Jaguar itu dibunyikan dari dalam.
Jendela turun, muka Keb berkacamata hitam muncul di baliknya. Mengekeh menjengkelkan melihatku terlonjak gara-gara semprotan klaksonnya. "Norak banget, sih," cemoohnya. "Nggak pernah lihat mobil mewah?"
"Ini Jakarta, ya, bukan Semarang," aku balas meledek seraya mendekat. Sambil membungkuk, bola mataku memindai ke dalam. Memperhatikan interior mewah berlapis kulit mahal yang setiap bagiannya tampak baru.
Keb bukannya menjawab, malah bengong. Aku menunduk, mengikuti ke arah mana kira-kira tatapan matanya berlabuh di balik kaca mata hitam, dan menemukan belahan dada di balik blus-ku agak tumpah gara-gara posisi membungkukku yang menantang. Derita punya toket gede memang begini.
"Cabul!" makiku.
"Maklum... agak laper," katanya, makin kurang ajar. "Belum sarapan. Masih sempet grab something sebelum ketemu bosmu, kan?"
"Masih. Duh... Jaguar banget, nih?" pujiku, terkagum-kagum. Aku duduk di sampingnya dan langsung memasang sabuk pengaman.
"Iya, dong... aku kan dokter hewan... jadi pakenya Jaguar, binatang buas!" selorohnya, masih pongah kayak biasa.
"Dokter hewan ngurusin anjing sama kucing doang sok buas, pake Kijang kapsul aja lebih cocok buat angkut-angkut pakan sama keranjang. Mobilmu yang kemarin mana?"
"Kubalikin," jawabnya.
"Dih... ngerental aja sok kaya."
"Ngerental Jaguar juga bayarnya nggak lebih murah dari harga mobilmu, Cas...," ungkapnya tenang.
"Biarin, yang penting nggak ngerental. Kalau kaya beneran, beli, dooong."
"Males bayar pajaknya. Pake mobil mewah juga paling-paling buat mancing cewek, ngerental aja udah cukup. Ntar kelihatan dia masih mau apa enggak kalau tahu mobil mewahnya cuma sewaan."
Aku cuma bisa geleng-geleng kepala dengernya.
"Berangkat, ya?" tanyanya, aku mengangguk. Sambil jalan pelan-pelan ke mulut gang, Keb bilang, "Ini buat mancing kamu hari Sabtu besok."
"Hah?"
"Kalau aku bawa Jaguar, Mamimu nggak akan curiga kenapa kamu naksir aku," katanya enteng, lalu waktu Jaguarnya berhasil turun ke badan jalan dengan mulus, dia menyeletuk. "Eh...."
"Apa lagi?" raungku bosan.
"Aku nggak perlu bawa Jaguar, ya, buat bikin kamu naksir aku? Harusnya kamu yang tampil maksimal biar mereka nggak curiga."
Udah kuduga dia mau ngomong gitu. Males banget ngejawab, aku buang muka setelah putar bola mata sampai puas. Beberapa kilometer kemudian, mobil berhenti kena lampu merah. Keb sengaja memberi jarak lumayan jauh. Di depan ada truk sapi.
"Pasti kamu mau ngomong, pake truk begituan aja kalau jadi dokter hewan, iya, kan?" katanya.
"Enggak... tapi emang dokter hewan di Semarang ngurusin sapi juga?"
Harusnya aku nggak nanya gitu, sih. Sambil ngelihatin aku dari balik kacamata hitam, senyum asimetris terbit di mukanya yang ganteng tapi ngeselin, bikin orang pengin nendang. Aku udah mendengus duluan sebelum dia nyeletuk sambil menyentil ujung hidungku, "Lha ini sapinya...."
Aku berhasil menggigit jarinya sampai bunyi 'kretek', sayangnya nggak patah.
Jaguar sewaan Keb menempati spot parkirku. Bikin semua mata memandang takjub ke arahku. Dikira aku bawa artis siapa, ngantor bawa-bawa Jaguar. Keb turun dari mobil sambil benerin blazer. Aku yakin dia sengaja posing biar kelihatan cool, sampai kemudian mulutnya perlahan membuka lebar. Lebih lebar. Lalu dia menguap. "Ngantuk banget semalam begadang nonton bokep," katanya. Kayak aku butuh aja informasi kayak gitu.
"Kamu nggak perlu usaha terlalu keras buat bikin aku benci kamu, jijik tahu nggak denger cowok ngomong gitu."
"Justru harus. Kalau kamu tahu personality-ku yang sebenarnya, takutnya kamu jatuh cinta," kekehnya, lalu menambah keterangan, "Bintang bokepnya berkaki empat. Salah satu pasien kucingku akhirnya menemukan gairah kembali setelah dikebiri. Pemiliknya kirim video semalam...."
"Kamu tonton berapa kali sampai begadang gitu?"
"Kenapa? Kamu tertarik juga?"
Ughhh... kakiku mengentak. Kesel banget.
Kami mampir sebentar ke kedai kopi di dalam gedung buat memenuhi asupan kafein di pagi hari.
Keb menyingkirkan gula cair dan menaburkan gula jagung dengan semena-mena di permukaan kopiku. Dia minum dobel shot espresso tanpa gula dan sanggup menahan kernyit di mukanya. Kroisan sandwich-nya kelihatan menggiurkan.
"Aku ketemu Papaku semalam," katanya.
Alisku mengerut.
"Ya ampun, Cas... kamu beneran ngira aku begadang nontonin kucing birahi?"
Kuputuskan untuk mengalihkan pembicaraan. "Terus... dia sudah beli cincinnya?"
Pertanyaanku terlontar bersamaan saat Keb menggigit kroisan dengan nikmat. Aku teringat pada glazed donat compliment kopi susuku, ikut-ikutan memungut dan membuka mulut lebar-lebar. Biasanya, donat begituan habis dalam dua gigitan.
Kletakkk!
"Aduh!" jeritku.
Gigi-gigiku saling mengeletuk.
Donat di tanganku meleset gara-gara Keb menyambar. Aku memprotes dan berusaha merebut donat yang entah bagaimana sudah berpindah ke tangannya. "Jangan reseh, Keb! Aku juga butuh sarapan!"
"Memang... tapi bukan sarapan kayak gini, Cassie," katanya santai sambil buru-buru menelan kunyahan kroisannya, lalu menyantap setengah bagian donatku yang nggak seberapa besar dalam sekali gigit.
Aku mau nangis. "Ya udah... setengahnya juga nggak apa-apa," pelasku.
Tapi Keb dengan keji menjilati gula yang berkilat melapisi sisa donatku.
"Kamu kejam, Keb...," aku meratap.
Keb mengesah, "Dengar... aku nggak bisa biarin kamu hidup dengan gaya seperti ini, apalagi di depan mukaku. Latte dengan gula cair, donat penuh gula, dan entah apa lagi yang bakal kamu beli dari etalase buat dimakan di kubikel."
"Kalau aku nggak boleh, kenapa kamu boleh?" geramku. "Kamu nggak ngajarin dengan ngasih contoh, kamu kayak tukang bully!"
"Karena aku udah lari pagi delapan kilo sebelum mandi, kamu ngapain sebelum berangkat ke sini? Hm? Aku olah raga minimal 150 menit setiap minggu. Minimal. Kamu berapa lama? Aku biasa meal prep tiap hari di rumah, kamu makan apa aja tiap hari?"
"Kamu bukan ahli diet, Keb, dan aku bukan corgi gemuk yang butuh nasihatmu. Aku bisa pingsan kalau nggak sarapan!"
"Kamu nggak akan mati tanpa asupan gula, apalagi karbohidrat berlebih, kamu punya cadangan lemak cukup banyak buat nggak makan seminggu penuh. Listen to me. Papaku belum beli cincin, tapi akan. Aku nggak tahu kapan, tapi akan. Kamu tahu artinya?"
"Aku tahu," anggukku, menahan gemeretak rahang ngelihat dia menghabisi donatku tanpa ampun. "Aku mau pesan donat."
"Cassie," cegah Keb, renggutan kencangnya di pergelangan tanganku bikin aku duduk lagi. "Itu artinya... ini akan jadi rencana jangka panjang kita. Your mom is in love with my dad, and he probably feel the same. Kita berdua akan mengimbangi kisah asmara mereka, bersaing menentukan siapa yang lebih kuat, dan kita harus memenangkannya."
"Terus? Apa hubungannya sama aku nggak boleh pesan donat?"
"There is no way aku akan biarin kamu melampiaskan frustrasimu ke makanan dengan risiko kena serangan jantung dan meninggal sebelum kita berhasil memisahkan mereka berdua."
"Omong kosong. Kamu cuma mau bikin hidupku sengsara. Usiaku 25 tahun, tinggi 165 cm dan beratku 72kg—"
"165?"
"Hak wedges diitung, aku nggak pernah keluar rumah tanpa alas kaki, memangnya aku tarzan?"
Keb memijat pelipis, "Aku kan bukan HRD. Aku concern sama kesehatanmu."
Aku menyerah, "!62."
Keb menerima ralatku, lalu meringis lagi, "72 KG?"
"78. Aku cuma agak overweight, nggak akan mati kena serangan jantung!"
"Okay. Apa penyebab kematian ayahmu? Dan berapa usianya kala itu?"
Aku terdiam.
"Cassie... sudah kubilang... aku nyari tahu tentang mamimu. Mendiang ayahmu meninggal karena serangan jantung saat bekerja, artinya ada kemungkinan kamu mengalami hal yang sama. You think you are too young? Usia ayahmu nggak jauh beda dari kamu sekarang saat mendiang tutup usia."
"Dari statistik, pemadam kebakaran mendapat risiko terkena serangan jantung lebih tinggi saat bekerja," aku berusaha membela diri, tapi lemah.
"Tapi sebagai anggota pemadam kebakaran, dia pasti banyak latihan fisik. Seharusnya, itu membantunya memperpanjang usia. And still, he's gone too soon. May he rest in peace. How about you? What did you eat last night?"
Mulutku sepenuhnya bungkam. Setelah Mami pulang, Keb cuma ngizinin aku makan satu slice pizza yang dibawanya. Dia menghibahkan sisanya ke kamar Tia, mahasiswi yang hampir tiap malam kelaparan karena orang tuanya kurang bertanggung jawab. Begitu siluman keji itu angkat kaki, aku memesan dua porsi rice bowl dengan saus mentai gara-gara ada promo beli 1 gratis 1. Niatku mau kumakan dua kali... tapi yah... satu porsi kurang, dua porsi kebanyakan. Dibuang pun sayang.
Well... dan menghabiskan es krim di kulkas karena sebentar lagi mau kadaluarsa.
Juga ternyata... di salah satu sudut kulkasku masih ada sisa cheese cake minggu lalu. Bentar lagi asem, jadi daripada ditaruh ke tempat sampah... kubuang di lambungku.
"Apa kamu pindah dari sofa semalam setelah menyantap makan malam?"
"Ya," jawabku. Ke kamar dan kamar mandi yang jaraknya cuma lima langkah. "What's your point exactly?"
"Kamu boleh sarapan, tapi nggak pake karbohidrat kompleks kayak gini, Cas. You need to learn to listen to me, if you want me to help you."
"But I don't want your help...."
"Hanya perkara waktu sampai doktermu bilang, hati-hati, ya, Cassie, jaga pola makan, mulai olah raga, supaya pre-diabetesnya nggak bener-benar jadi diabetes."
"Aku cuma mau sekeping glazed donat," ratapku. "Kenapa kamu harus jadi manusia sekeji ini?"
"Because I am your future boyfriend," katanya yakin.
"Pacar pura-pura!" aku mengerang.
"Apapun itu. Yang jelas, Mamimu dan Papaku harus melihat perubahan nyata dari salah satu di antara kita supaya dia yakin bahwa hubungan kita lebih baik dari hubungan mereka. Supaya dia rela mengalah. Aku menganggap kebiasaan baru dan perubahanmu nanti bisa jadi tolok ukur. Sebab itu yang paling gampang dilihat."
Aku mendengarkan dengan saksama cuma supaya Keb ngelihat rahangku jatuh sampai menyentuh permukaan meja.
"Ini permainan berat, Cassie. Kita nggak bisa misahin dua orang berumur yang jatuh cinta dengan main pacar-pacaran nggak jelas."
"Ya, tapi... kenapa harus aku yang jadi korban?" serangku. "Kenapa bukan kamu?"
"Apa yang mau kamu ubah tentang aku? Sebutin."
"Aku belum cukup kenal kamu buat nyebutin satu per satu, tapi aku yakin ada dan banyak. Attitude-mu contohnya!"
"Kalaupun itu benar, I can fake my attitude. Selain mudah buat berpura-pura, orang juga susah percaya apakah watakku beneran berubah, atau cuma sandiwara. Nggak ada bukti nyata."
"Apalagi kamu pintar bersandiwara," cemoohku.
"Nah... di situlah poinnya. Mereka nggak akan masang lie detector ke aku buat tahu kamu beneran mengubahku jadi orang yang... menurutmu... ber-attitude lebih baik, sedangkan orang bisa langsung melihat sesuatu dari kamu yang perlu segera diperbaiki...."
Mulutku membuka, siap menyemburkan lahar.
"... kesehatanmu," sebut Keb buru-buru. "Kamu baru sembilan belas tahun waktu Mamimu bawa kamu ke RS karena gejala kolesterol tinggi. Ingat? Dua bulan yang lalu kamu dilarikan ke klinik dari satu pertunjukan musik setelah tiba-tiba pingsan di tengah keramaian. Kamu mungkin nggak terlihat obesitas, cuma agak overweight, tapi itu nggak bisa dijadiin ukuran sehat, atau enggaknya kamu."
"Dari mana kamu tahu semua itu?"
"Aku nggak begadang nonton kucing birahi semalam," katanya. "Aku ke rumah Papaku, kami ngobrol tentang kalian berdua. Mamimu khawatir banget sama kesehatanmu, Cas. Ternyata, kita lah yang selalu jadi topik pembicaraan mereka selama ini."
"Apa yang mereka bicarakan soal kamu?"
"Itu nggak penting. Lucunya, Papaku mengeluhkan hal yang sama dengan Mamimu. Mereka punya banyak bahan untuk dibicarakan dan membuat urusan asmara lama kelamaan justru jadi satu hal yang canggung buat terjadi. Papaku ngajak kita makan malam berempat buat nguji Mamimu. Kalau Mamimu mau, itu artinya mereka punya ketertarikan yang sama. Sudah terbukti. Buat dua orang yang sudah pernah nikah dan punya anak, itu jelas sebuah afirmasi positif dan—"
"Apa yang Papamu keluhin tentang kamu?" potongku, bersikeras.
Keb membuang napas. "Hubungan yang serius."
"Jadi maksudmu... kita nggak akan cuman main pacar-pacaran, kita bakal pacaran yang serius?"
"Terlihat seperti pacaran yang serius," ralatnya. "Menurut papaku, sudah saatnya aku menikah. So, kalau Mamimu bisa melihat concern-nya ke kamu terpecahkan, dan Papaku ngelihat aku serius sama hubungan kita, tujuan kita akan tercapai."
"And then what?"
"Hm?"
"Lalu setelah itu apa? Setelah mereka berpisah, tujuan kita tercapai, lalu kita putus, kan?"
"Tentu saja."
"Bagaimana kalau setelah kita putus... mereka balikan lagi? Apa lagi yang harus kita lakukan?"
"Cassie... kamu tahu kenapa kamu investasi mobil, dan bukannya beli tanah, atau rumah?" tanyanya, terus memandangiku sambil menyesap kopi. "Karena pola pikirmu terlalu pendek."
Aku masih mikirin kaitan antara pertanyaanku dan pernyataan Keb. Kutungguin sampai dia meletakkan lagi cangkir kopinya.
"Kamu hanya hidup untuk hari ini. Begitulah orang-orang yang nggak peduli pada kesehatan mereka."
"Maksudmu apa?"
"Sampai hari ini kita memang masih saling enggak menyukai, tapi siapa tahu besok-besok kamu sibuk ngejar-ngejar aku? Ibu mana yang mau nikah sama ayah dari seorang cowok yang dikejar-kejar sama anak gadisnya?"
Napasku terbuang percuma.
Aku bahkan udah nggak terlalu kaget lagi, mendebat pun udah malas.
Dengan tenang, aku beranjak untuk memilih dua keping donat dari etalase. Larangan Keb seperti angin lalu di kupingku.
Satu donat berlumur selai stroberi kumasukkan bulat-bulat ke mulutku di hadapan Keb. Membuat sekitar mulutku berlumur cairan kental berwarna merah seperti darah.
Pandanganku yang menggelap terus menatapnya tajam. Dalam hati aku bertekad, "Jangan panggil aku Cassie kalau kamu nggak bertekuk lutut di kakiku."
Sungguh, aku penasaran, ada apa ya sama wattpad? Kayak lesu gitu, nggak meriah.
Apa sudah mulai ditinggal?
Kalau iya, kamu jaga2 follow karyakarsa dan instagram-ku, ya. Siapa tau aku sepenuhnya pindah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top