1

Emily melangkah keluar dari kamarnya dengan berbalut kaus lengan panjang dan celana trainer, sebuah topi bertengger di atas kepalanya dan tangannya tampak menggengam sabit yang sebelumnya tersembunyi di bawah peti pakaian dan tumpukan makanan ringannya.

Dia melangkah santai menuruni tangga menuju halaman belakang yang sudah dipenuhi beberapa anggota lain yang sibuk dengan kegiatan cabut dan tanam-menanam di lahan kosong yang tersedia.

"Em!" sebuah suara memanggilnya dengan kencang.

Cewek itu menoleh dan mendapati Allison tersenyum ke arahnya dan mengajaknya mendekat. Di samping Emily dia dapat melihat Grace yang sedang mencabuti rumput sembari menggumamkan sesuatu dengan wajah yang suntuk.

"Hai, cewek-cewek," sapanya tersenyum miring begitu mendekat. Allison tertawa dan Grace akhirnya menoleh kearahnya, memutar bola matanya. "Sudah dari kapan?"

"Sepuluh atau lima belas menit, aku tidak yakin," jawab Allison lalu menoleh ke arah Grace, menunggu jawabannya.

"Apa?"

Allison kembali menoleh ke arah Emily lalu mengangkat bahunya. "Moodnya buruk."

Grace hanya mendecakkan lidahnya ketika mendengar hal itu dan akhirnya kembali fokus untuk mencabut rumput liar yang berada dekat dengan tangannya.

"Di mana Hans?" tanya Emily memandang sekeliling mencari adik semata wayangnya.

"Sama Dave, Milly."

Emily mendengus menahan tawa mendengar Grace menyebut namanya. "Di sebelah mananya?"

Allison menyentuh bahunya lalu mengarahkannya pada sesosok cowok yang sedang mencangkul lahan dengan sehati-hati mungkin bersama beberapa anggota kawanan, kaus yang dikenakannya sudah dibasahi oleh keringat yang mengalir deras dan menempel lekat pada tubuhnya. Hans.

Adik yang awalnya sempat canggung pada para anggota lain pada akhirnya bisa berbaur dan mengikuti kegiatan sehari-hari akibat dampingannya selama beberapa hari. Cowok itu mulai bisa mengeluarkan berbagai ekpresi dan berbicara santai akibat sering diajak pergi oleh anggota lain secara berkala.

"Ngomong-ngomong, dia beneran adikmu, Em?" tanya Grace dengan pandangan yang masih mengarah pada kumpulan rumput liar di dekat tangannya.

"Tentu saja, memang siapa lagi?"

"Entahlah," jawab Grace yang tampak berpikir. "Dia sama sekali tidak mirip denganmu, putih dan ramping."

Emily mendengus pelan saat ikut berjongkok di samping Allison, kedua tangannya mulai sibuk mencabut rumput liar menggunakan bantuan sabitnya sehingga tidak bisa menjitak kepala cewek itu seperti biasanya. "Kau belum puas dikelilingi dua adikmu itu, Grace?"

"Dave dan Malcolm?" tanyanya yang dijawab Emily dengan anggukan. "Mereka sudah tidak asik lagi."

"Kenapa?"

Grace memutar bola matanya lalu mengedikan bahunya. "Kau tahu sendiri kalau Dave sekarang lebih tertarik untuk mengikuti Ally sedangkan Malcolm mulai mencari pasangannya ditempat lain, aku selalu ditinggal sendiri pada akhirnya."

Allison hanya bisa tertawa canggung mendengar tanggapan Grace yang terdengar seperti sindiran untuknya.

"Jadi kau ingin menjadikan adikku sabagai pengalih perhatian?" tanya Emily akhirnya mendelik pada Grace.

Grace tersenyum dengan pandangan mata berkilat penuh arti. "Boleh kan?" tanyanya. "Lagipula adikmu tamp–imut, iya, imut."

"Astaga...."

Allison menahan tawa mendengar kata-kata Grace yang terpotong lalu tersambung lagi. Dia dapat melihat wajah cewek yang lebih tua 4 tahun diatasnya itu tampak kikuk dan sedikit merona.

".... kau benar-benar menyukai adikku." Emily menyelesaikan ucapannya dengan nada tidak percaya.

"Berisik."

~°~

"Kau yakin?" tanya Chloe menatapnya tajam. "Itu jauh sekali, Emily. Bagaimana dengan Hans?"

"Aku yakin, Hans pasti bisa menjaga dirinya sendiri."

Chloe menghela napas gusar sedangkan Allison yang berdiri di sampingnya belum mengucapkan apapun selama dia berbicara tadi. Keningnya mengerut membentuk sudut tajam di dahinya akibat berpikir.

Beberapa saat yang lalu Emily telah menceritakan apa yang dialaminya selama beberapa minggu terakhir, tentang mimpi akan masa lalu yang pernah dia lewati bersama teman masa kecilnya dan tarikan untuk segera bertemu dengan pasangan takdirnya.

"Apa dia benar-benar matemu? Dia seorang manusia, Milly."

Emily menghela napas. "Kalau bukan mateku, kenapa aku selalu memimpikannya saat aku tertidur, Grace? aku tahu ada perbedaannya."

"Terlalu beresiko." Dave tiba-tiba berbicara dan berdiri dari posisi tidur. Dia segera berjalan mendekat pada Allison lalu melingkarkan lengannya pada pinggang cewek itu, menariknya mendekat. "Kau tahu itu daerah apa kan?"

Cewek itu mengangguk.

"Lalu?"

"Aku tetap pergi," jawab Emily tanpa ragu.

"Dasar keras kepala."

"Aku tahu."

Dave dan Emily saling menatap.

"Hentikan, kalian berdua," ucap Chloe terlihat gusar dan jengkel lalu menoleh ke Allison. "Bagaimana pendapatmu, Allison?"

"Emily boleh pergi kalau dia mau," jawab Allison pelan lalu menoleh pada sahabatnya. "Kau pasti mau kan?"

Emily tersenyum senang lalu menerjang ke arah Allison hingga nyaris terjerembap, memeluk sahabatnya itu dengan erat sebagai wujud kegembiraannya. Dave yang sebelumnya berada di dekat mereka pun harus melepas rangkulannya lalu menjauh beberapa langkah.

"Ini bodoh," ujar Chloe menatap mereka bergantian. "Kalian bahkan tidak benar-benar memikirkan resikonya kan?"

Tidak ada yang menjawab. Grace yang termasuk cerewet dalam hal seperti ini pun hanya membisu dan sudah duduk tenang di sofa, mengamati kuku-kuku di kedua tangannya.

Chloe mendesah keras dan berdiri dari tempat duduknya. "Baiklah, terserah apa mau kalian, aku mau tidur."

Pintu yang tertutup keras menjadi penanda berakhirnya debat singkat mereka berlima.

"Kau membuat Chloe marah, kerja bagus, Emily," kata Grace memecah keheningan.

Cewek berambut hitam itu ikut menghempaskan tubuhnya di samping Grace, mengacak rambutnya hingga berantakan. "Yah ... aku tidak tahu kalau sampai begini."

~°~

Butuh beberapa hari sebelum Chloe akhirnya melunak dan mengijinkannya untuk pergi. Chloe dan beberapa anggota tidak mengacuhkannya dalam hal apapun, mengabaikan dan tidak meladeninya. Hanya Allison dan Grace–walaupun tidak mengakuinya–yang bersungguh-sungguh membantunya membujuk Chloe.

Para anggota kawanan sudah berada di ruang berkumpul ketika dia berjalan keluar dari kamarnya. Meraka mulai berjalan menghampirinya dan saling bertukar pukulan sebagai tanda perpisahan, bergulingan dan sedikit bergulat hingga Emily masuk ke dalam mobil jeep bersama Dave dan Allison.

"Kau ingin tinggal di mana nanti, Em?"

Emily mengangkat bahunya. "Entahlah, aku sudah mencari agen perumahan online di daerah itu, tapi belum dapat apa-apa. Mungkin nanti."

Allison menganggukkan kepalanya tanpa berkata apa-apa lagi. Matanya mengarah ke depan dan tampak kosong, entah memikirkan apa.

Setelah melalui perjalanan yang diisi dengan keheningan, melewati jalan tol dan dua perbatasan negara bagian. Dave menghentikan mobilnya beberapa langkah di depan papan perbatasan lainnya.

Allison melangkah keluar terlebih dahulu sebelum Emily. Dibelakang mereka Dave menyusul dan menggeret koper yang dibawa Emily, menyerahkannya pada cewek itu.

"Hmm, sampai ketemu?" tanya Emily tersenyum miring.

Allison membalas senyumnya dan meraih tangannya, menyelipkan sebuah benda ke dalam telapak tangan Emily yang segera dikatupkannya. "Sampai ketemu, Em."

"Jaga dirimu, Emily," kata Dave menatapnya penuh arti lalu menepuk bahunya. "Kami duluan."

Emily menatap Dave dan Allison yang berjalan memasuki jeep lalu mengendarainya hingga tidak terlihat lagi. Dia akan sangat merindukan mereka.

~°~°~°~°~°~°~°~°~°

Hai, sudah sebulan lebih aku gak update, masih adakah yang nungguin? *dibuang

Makasih untuk yang sudah membaca dan memberi vomments di chapter sebelumnya. Sampai ketemu lagi ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top