6. Suami Pengertian

"Malaaammm..." suara Pak Hutama menggaung hangat di ruang tamu. Lagi-lagi pria itu bersemangat membukakan pintu untuk Taru dan Adhisty, pelayan pun sampai kalah cepat dengannya.

"Selamat malam, Pak," jawab Taru sopan.

"Masuk dulu yuk?" tawar Pak Hutama. Bukannya Taru yang masuk, malah Adhisty yang menyelonong ke dalam rumah. Ia begitu jengah melihat sikap sang ayah yang terlalu dibuat-buat.

"Terima kasih, Pak. Saya langsung pulang saja, sudah ditunggu Ibu di rumah," jawab Taru.

"Oh, yaa yaa... salam buat ehm, calon besan Bapak," kata Pak Hutama sambil melebarkan cengirannya. Taru hanya menjawab dengan senyum dan anggukan hormat.

Setelah menunggu sampai mobil Taru tak terlihat oleh matanya, ia pun menuju ke dalam rumahnya.

"Dhis, berikan Papi kabar baik, please..." kata Pak Hutama sambil menatap Adhisty dengan pandangan serius. Sebagai pebisnis yang sering bernegosiasi dengan orang lain. Ia paham dengan segala bentuk ekspresi baik yang terlihat maupun yang terdengar.

Ekspresi yang dikeluarkan oleh Taru dan Adhisty tadi bukanlah ekspresi yang baik, tapi ia mencoba mengais harapan dengan bicara dengan putrinya saat ini.

Adhisty langsung mempercepat gerakannya saat mengambil minum di dapur. Ia paling tak suka jika nada Pak Hutama menjadi begitu serius.

"Adhisty..." panggil Pak Hutama sambil mengikuti anaknya.

Adhisty menuang air ke dalam gelas dan meminumnya, lalu berkata cepat, "Nggak ya, Pap. It's not happening, okay?"

Pak Hutama memijat pangkal hidungnya. Kekecewaannya teramat besar membayangkan pria seperti Taru harus lepas lagi.

Perihal pasangan hidup Adhisty memang tidak pernah menjadi urusan putrinya itu semata. Ia juga harus turun tangan karena pada akhirnya harta kekayaan miliknya akan menjadi diwariskan kepada Adhisty dan pasangannya.

Sudah begitu banyak usaha keluarga teman-teman Pak Hutama yang hancur karena mendapatkan menantu yang menjadi lintah darat keluarga. Beliau tak berniat mengikuti jejak teman-temannya itu.

Mungkin ia sudah terlalu terlambat untuk menjodohkan Adhisty. Setelah membiarkan Adhisty mencari pasangan sendiri, perempuan itu malah keasyikan melajang dan membuat Pak Hutama kian tenggelam dalam kekhawatiran.

Bagaimana kalau Adhisty menikah dengan pria tak berguna setelah ia meninggal nanti?

"Adhisty, Papi nggak habis pikir sama kamu. Ada pria sebagus Taru, kamu tolak mentah-mentah. Papa nggak paham harus pria seperti apa yang maju agar kamu setuju menikahinya," ujar Pak Hutama.

"Taru dan aku nggak cocok, Pap."

"Kalau pria sesempurna Taru nggak cocok sama kamu, mungkin memang selera kamunya yang harus diperiksa."

"Papi udah ya."

"Kamu yang udah, Dhis. Papi lelah sekali lihat kamu jalan sama cowok gonta-ganti nggak ada juntrungannya! Ini ada yang bagus, bahkan lebih baim dari si Arun, berani melamar kamu, malah kamu tolak! Maumu apa sih sebenarnya?!"

"Mau Dhisty ya nggak didesak-desak menikah, Pap!"

"Terus keturunan Papi munculnya dari mana? Penerus perusahaan Papi siapa setelah kamu??"

"Ya adalah, nant-"

"Nanti kapan?! Umurmu sudah kematangan, nanti yakin masih bisa hamil?!"

"Papi!" air mata Adhisty mengambang. Pak Hutama jelas telah begitu kecewa dengan keputusan Adhisty menolak Taru sampai tega mengungkit semua hal yang Adhisty benci tentang risiko telat menikah.

"Taru itu pekerja keras. Looks-nya juga bagus banget. Reputasi dia baik, nggak kayak si Arun itu tuh. Kurang apa dia, Dhis?" ucap Pak Hutama, mencoba membujuk Adhisty lebih jauh. Putrinya tak menjawab, kehabisan kata-kata tepatnya.

Orang dalam posisi Pak Hutama mungkin tidak paham dengan apa yang Adhisty cari.

"Tahu nggak, Taru berhasil menjadi orang kaya nomor sepuluh di usia berapa? 39 tahun! Papi dulu 42 tahun loh baru sampai tahap itu!" seru Pak Hutama.

"Aku nggak peduli sama kekayaan dia," jawab Adhisty tegas.

"Tapi kamu peduli sama kekayaan kamu kan?" tanya Pak Hutama dengan nada menantang.

"Maksudnya apa, Pap?" Mata Adhisty terbuka lebar. Sedikit air tergenang di sana.

"Menikah sama dia, atau Tama Corp akan Papa berikan pada sepupu kamu," ucap Pak Hutama tegas.

"Pap!"

"Dia udah punya anak, Dhis, Papi butuh penerus untuk melanjutkan kerja keras Papi. Kalau kamu nggak bisa kasih, biat keluarga kita yang lain aja."

Adhisty diam. Pilihannya hanya itu atau berteriak meraung-raung kepada sang ayah. Tanpa pamit ia pergi ke kamarnya.

Di dalam sana, Adhisty langsung duduk di sofa dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa masa depannya baru saja hancur. Harapan dan bayangan hidup yang indah hilang dalam sekejap seiring dengan munculnya keputusan Pak Hutama tadi.

Ia menggunakan semua waktu yang ada untuk meratapi apapun. Waktu yang berjalan begitu cepat, sosok yang tak kunjung datang, atau hatinya yang tak tergerak oleh satu lelaki pun tak peduli sudah berapa banyak dari mereka yang telah ia kencani.

Setelah tangisnya reda, ia meraih ponsel di tas dan menelepon Taru. Dengan suara sengau ia bertanya,

"Lamaran kamu masih berlaku?"

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Adhisty Kania Putri Binti Andri Hutama dengan mas kawin tersebut, tunai."

"Sah?"

"Sah."

Doa-doa terlantun. Prosesi akad berjalan lancar. Kedua pengantin baru pun berpose dengan begitu elegan dan berwibawa di depan kamera sambil memamerkan buku nikah yang baru ditandatangani serta tangan dengan cincin yang tersemat di jari manis.

Pernikahan sore itu berlanjut resepsi malamnya. Semuanya berlangsung indah. Adhisty terlihat bahagia sementara senyum Taru tak lepas dari wajahnya. Suasana ruangan dalam hotel terasa begitu hangat dan menyenangkan.

Acara pun selesai. Adhisty dan Taru langsung menuju ke kamarnya diantar oleh Arun, Utami, dan Bu Indri.

"Kalian istirahat ya," ucap Bu Indri.

"Sukses ya, Mas, entar malem," goda Arun. Mereka semua tertawa sebelum berpisah.

Taru dan Adhisty masuk ke kamar terbesar di hotel itu, sebuah kamar yang memang disediakan sepaket dengan pemesanan ruang resepsi pernikahan. Pasangan lain pasti akan senang dan bersemangat menghadapi malam di ruangan yang luas dan indah itu.

Tapi senyum Adhisty yang tadinya begitu lebar lenyap. Kecantikannya tak ikut memudar, hanya saja kebahagiaan yang tadi terpancar kini bagai ditelan bumi.

Dada Taru merasa ganjil ketika menyadari bahwa sejak tadi Adhisty hanya berpura-pura di depan para tamu dan keluarga.

Tentu saja perempuan itu berpura-pura. Bukankah sejak awal Adhisty memang tak ingin menikahinya? Kalau bukan karena ultimatum dari Pak Hutama tentang warisan perusahaan, Adhisty tak mungkin sudi melewati hari ini seperti tadi. Buktinya selama enam bulan terakhir, perempuan itu memang tidak antusias menyiapkan pernikahan ini.

Tapi Taru pun tak bisa berkata apa-apa. Dia tahu pernikahan ini membahagiakan ibunya sehingga ia memilih mencelupkan Adhisty dalam kubangan yang tak ingin perempuan itu sentuh.

"Aku bersih-bersih dulu ya," kata Adhisty sambil tersenyum sopan kepada Taru. Pria itu tersenyum balik dan mengangguk.

Dalam kamar mandi, Adhisty mengunci pintu. Perlahan ia bersihkan riasannya sambil merenung menatap bayangannya di cermin.

Selama 34 tahun ia mendengar begitu banyak kisah indah tentang pernikahan. Betapa besar kebahagiaan yang dirasakan, kelegaan akan lahirnya sebuah ikatan, serta rasa tak sabar untuk menjalani bahtera rumah tangga.

Malam ini Adhisty merasa hampa. Ia tak merasakan semua itu. Perlahan air matanya tumpah, semakin lama mengalir semakin deras.

Entah berapa lama ia berkali-kali membasuh wajahnya dengan air di wastafel. Hari itu, bagian dari dirinya mati. Pengalaman yang seharusnya berkesan dan menyenangkan bagi tiap orang telah membunuh setengah dari jiwanya.

***

Adhisty terbangun seorang diri di atas ranjang king size yang sangat empuk itu. Semalam ia tidur duluan karena Taru berkutat di ruang kerja. Pagi ini, ia mendapati bahwa sisi yang harusnya ditiduri Taru masih begitu rapi. Seperti tak disentuh sama sekali.

Ia merapikan kimono tidurnya, menyikat gigi dan mencuci muka, lalu berjalan ke luar kamar tidur, mencoba mencari keberadaan suaminya. Di ruang kerja, ia melihat Taru sudah rapi dengan kemeja, celana bahan, dan kacamata-nya. Pria itu berkutat dengan laptop sebelum menyadari keberadaan Adhisty.

"Hai..." sapa Taru sambil tersenyum.

"Hai..." jawab Adhisty.

"Sarapan dulu? Tadi room service datang bawa sarapan kita," kata Taru sambil menunjuk ke ruang televisi. Adhisty menengok, ia melihat sebuah kereta makanan yang penuh dengan beragam jenis sarapan.

"Yuk," kata Adhisty. Ternyata makanan enak cukup menggungah semangatnya.

Mereka berdua menuju ke sofa ruang televisi sambil melihat-lihat ada makanan apa saja di depan mereka. Adhisty mengambil sepiring waffle dan es krim vanilla sementara Taru mengambil roti panggang isi keju.

"Makan es krim pagi-pagi, nggak apa-apa?" tanya Taru khawatir.

"Nggak apa-apa, aku suka," jawab Adhisty seadanya. Setelah beberapa suap makan, Adhisty melirik ke arah Taru yang sudah menghabiskan sarapannya dan siap mengambil roti dan telur orak-arik.

"Kamu laper?  Kenapa nggak makan duluan?" tanya Adhisty.

"Tungguin kamu. Lagipula saya ada kerjaan."

"Rapi banget pagi-pagi, ada video conference?" Adhisty kembali memandang sosok klimis Taru yang sangat berkebalikan dengan penampilannya saat ini.

"Nggak. Kebiasaan aja," jawab Taru. Adhisty mengangkat alisnya, mencoba membiarkan keanehan itu lewat tak terbahas dan kembali fokus pada makanannya.

"Saya salut sama kamu, Dhis," kata Taru tiba-tiba.

"Salut kenapa?" tanya Adhisty sambil terkekeh. Rasanya tak ada yang pantas dikagumi dari keadaannya saat itu. Ia menyedihkan dan sulit dimengerti. Perempuan normal mana yang bersedih dinikahi Taru?

"Kamu berani menikahi saya dan maju sebagai pewaris tunggal Tama Corp," kata Taru lugas.

"Nyindir?!" suara Adhisty naik. Ia sedang tak memiliki ruang toleransi untuk kesinisan Taru.

"Tulus, Adhisty. Saya tahu itu pilihan berat," kata Taru sambil menatap mata sang istri.

Saat itu Adhisty sempat terpaku, sebelum akhirnya ia memutuskan kontak mata dengan Taru dan berkata sarkas, "Oh ya? Bukannya saya cuma anak orang kaya yang kerjanya mikir warisan aja?"

"I get it. You do what you have to do for your people." Adhisty berhenti makan mendengar ucapan Taru barusan. Ia kembali menengok ke arah pria yang kini telah menjadi suaminya. Secara sah telah memilikinya, tapi tak sedikitpun tubuhnya disentuh oleh pria itu tanpa izinnya sejak semalam.

"Perubahan kepemimpinan akan berdampak pada perubahan struktur, bahkan orang-orang yang di dalamnya. Bukan tidak mungkin orang-orang kepercayaan kamu akan diganti semua jika Tama Corp jatuh ke tangan pihak lain. Kamu melindungi mereka yang telah setia bekerja sama kamu," tambah Taru.

Adhisty kembali mengingat tatapan pria itu tiap kali ingin merangkulnya demi dokumentasi dan penampilan di depan banyak orang. Ia teringat kembali bahwa tak pernah sedikitpun Taru menyentuhnya sebelum ia berikan anggukan kecil tanda setuju.

Perempuan itu menarik napas panjang menatap suaminya. Selama enam bulan ia pikir dirinya sendiri yang menderita.

Tapi nyatanya ia tidak sendiri. Dari sekian banyak orang, Taru selalu hadir dan berusaha memahami semua tentangnya. Kini pria itu menghadap ke arahnya dan bicara dengan nada yang begitu lembut,

"Ini mungkin nggak berarti besar untuk kamu, tapi saya merasa terhormat bisa menikah dengan kamu, Adhisty."

Adhisty tak sanggup menahan dirinya lagi. Ia menangis, menumpahkan segala emosinya di dada Taru. Pria yang membuatnya merasa begitu hampa, kini menjadi orang yang mampu membasuh kehampaan itu dengan kehangatan.

Taru menyambut tubuh Adhisty dalam dekapannya. Ia memeluk erat istrinya, perempuan pertama yang ia peluk setidaknya sejak sepuluh tahun terakhir. Secercah lega muncul di hati Taru. Tak seperti semalam, kali ini ia dapat menemani sehingga Adhisty tak lagi meratap sendirian.

(((Bersambung)))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top