5. Kesempatan
"Ngeselin kan, Tam?! NGESELIN BANGET KAN?!"
Utami buru-buru mengambilkan minuman perempuan yang baru saja melampiaskan kekesalan dengan berteriak ke depan wajahnya, "Minum dulu, Mbak..."
Adhisty buru-buru meneguk jus jeruknya sampai habis. Dengan senyum kaku, Utami memanggil pelayan dan memesan satu lagi jus jeruk. Persiapan jika Adhisty meledak lagi.
Sebenarnya Utami sendiri gemas sekali ingin menggunjingkan Taru, apalagi setelah tahu bahwa pria itu membawa-bawa namanya saat melamar Adhisty.
Pakai ngebanding-bandingin sama gue yang udah dua kali nikah pula! Lah, dia nggak ngaca?! Udah 40 tahun belom nikah!
Semua ocehan itu terpaksa Utami simpan untuk dikeluarkan kepada Arun nanti malam. Saat ini, ia harus fokus pada Adhisty dan perasaannya terhadap Taru.
"Aku tahu Pak Taru kalau ngomong suka terkesan meledek, tapi aku juga tahu niat dia untuk menikahi Mbak Dhisty itu serius," kata Utami.
"Ya serius, tapi maksa," keluh Adhisty.
"Kalau kata Mas Arun, Pak Taru itu paling nggak pernah ngedeketin atau ngejar cewek, Mbak."
"I don't care about that. I'm not interested, apalagi orangnya nyebelin banget. Kalau ada manisnya dikiiit aja, boleh deh."
"Mbak Adhisty udah keburu antipati duluan sama Pak Taru..." Utami mencoba menggiring perasaan Adhisty senetral mungkin.
"Mungkin. Habis gimana nggak antipati ya, Tam? Dia itu terus aja melibatkan Papiku dalam usaha dia melamar aku. Maksa banget kan?" tanya Adhisty. Lagi-lagi, Utami menarik senyum kaku. Ia berharap Adhisty tak akan pernah tahu bahwa itu idenya.
"Papi tuh happy banget dia ngelamar aku, aku tahu banget kalau cowok kayak Taru itu udah diidam-idamkan Papi untuk jadi menantunya. Sekarang kondisi aku tuh terjepit! Aku bahkan sampai nggak bisa menikmati suasana nge-date aku kemarin, padahal kita lagi di hotel mewah miliknya teman kencanku! Nyebeliiin!!!" keluh Adhisty panjang lebar.
Jam makan siang itu terasa lebih panjang dari biasa dengan Adhisty yang langsung menculik Utami dan membombardir dengan segala kesah tentang Taru. Tapi Utami merasa tersanjung karena dapat berbicara secara dekar dan personal dengan perempuan yang satu itu.
Banyak orang yang menganggap Adhisty tidak kompeten dalam melakukan pekerjaan Direktur Utama. Pada akhirnya opini orang hanya berkisar, "Perempuan bisa apa?" dan, "Itu semua karena Papinya."
Utami sendiri menganggap bahwa sampai sekarang, Adhisty mampu membungkam komentar tersebut dengan kinerjanya. Kerjasama-kerjasama yang Adhisty inisiasi dan kepalai mampu menghidupkan kembali perusahaan media yang nyaris redup tergerus masa. Sebuah media konvensional sekelaa Tama Corp kini mampu bertransformasi menjadi media terintegrasi berkat kerjasamanya dengan Tarundaya Group.
Mengenal sang ibu Direktur di ranah personalnya merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Utami.
"Tapi di luar sifat anehnya, Pak Taru itu memang menarik sih, Mbak. Di satu sisi, Mbak Dhisty kesal sama dia, tapi di sisi lain Mbak juga nggak bisa berhenti ngomongin dia. Berarti Mbak Dhisty juga tertarik kan sama dia?" pancing Utami
Adhisty diam sejenak, "Mungkin kamu bener, but gosh... there are a lot of men to be tasted out there! Aku nggak siap settling down, apalagi bersama cowok yang nggak aku suka," kata Adhisty gamblang. Utami hanya terkekeh mendengarnya. Ia serasa dikembalikan ke masa dimana Arun masih sering berkomentar demikian tentang dunia kencannya.
Untunglah sekarang Arun sudah bertobat.
"Give him one more chance, Mbak. Coba ngomong sekali lagi sama dia. Arun respect banget sama Pak Taru, katanya meskipun nyebelin tapi Pak Taru itu super care sama orang di sekitarnya," kata Utami lagi, berusaha membujuk Adhisty. Atasannya untuk seminggu ke depan ini terlihat berpikir keras. Ia diam dalam waktu yang cukup lama.
"Fine, I'll meet him this weekend anyway. Tapi satu kesempatan lagi, that's it." ujar Adhisty pada akhirnya.
Utami mendesah lega. Setelah ini, semuanya tergantung Taru.
***
Adhisty terkejut melihat seorang perempuan tua di atas kursi roda yang baru saja didorong Taru perlahan ke ruang tamu. Wajah Adhisty memerah, ia masih ingat betul pertemuannya dengan perempuan itu beberapa bulan lalu. Kini, di rumah Taru, mereka pun bertemu lagi.
"Perkenalkan, nama Saya Indri. Indri Purnawan. Saya adalah Ibunya Taru," ucap Bu Indri dengan sangat ramah.
"Adhisty, Tante," jawab Adhisty memperkenalkan diri. Ia menyalami tangan Bu Indri perlahan, tubuhnya membungkuk rendah saat melakukannya.
Taru diam, tapi ia cukup terkesima melihat perempuan dengan kelas sosial seperti Adhisty mau melakukan hal sejauh itu untuk menghormati orang tua.
"Panggil ibu saja. Ibu kurang suka dipanggil Tante, terlalu keren," ucap Bu Indri.
"Ba-baik, Bu," jawab Adhisty dengan gugup. Bertemu dengan Ibu Taru membuat wacana pernikahan ini terasa semakin nyata sementara Adhisty sendiri tak tahu bagaimana ia bisa sampai sini.
"Taru," Bu Indri memanggil putra yang sejak tadi berdiri di belakangnya.
"Ya, Bu?" tanya Taru.
"Tolong ambilkan pakaian ibu di butik biasa ya? Ibu sudah janji mau ambil hari ini," titah sang ibu.
"Iya, Bu. Dhis, saya tinggal dulu. Titip ibu ya," jawab Taru dengan ringannya.
Hati Adhisty menghangat melihat sikap Taru pada sang ibu. Permintaan ibunya bukanlah permintaan yang sulit untuk didelegasikan. Adhisty pernah berkencan dengan pria yang terang-terangan menolak untuk menjemput ibunya di depan dirinya.
Taru yang begitu lembut dan perhatian kepada sang ibu menyentuh hati Adhisty. Ditambah lagi, Bu Indri sangat ramah dan baik kepadanya. Pertemuan ini terasa lebih melegakan dan yang ia duga.
"Kenapa suruh Taru pergi, Bu? Baju di butik kan bisa diambil supir," tanya Adhisty penasaran. Ia duduk ke tempat duduknya, sofa di sebelah kursi roda Bu Indri, setelah sang ibu mempersilakannya duduk kembali.
"Sengaja, biar lebih nyaman ngobrol sama kamu," jawab Bu Indri.
"Maksudnya?"
"Ibu tahu kamu kesal sama dia karena cara dia melamar kamu di pernikahan Arun."
Adhisty memelotot, apalagi setelah itu, Bu Indri menggenggam tangannya, "Maafkan anak ibu ya, Dhis? Soal perempuan dia memang bodoh sekali."
"Hm... nggak apa-apa kok, Bu," ucap Adhisty sambil tersenyum geli. Lega juga mendengar Taru dikatai bodoh oleh ibunya sendiri.
"Ibu sudah tegur dia, ibu malu. Kayak nggak diajar etika saja melamar kamu. Nggak heran kamu marah,"
"Aku juga harus minta maaf sama ibu kalau begitu, aku pun kasar kepada Taru setelah itu." Bu Indri tersenyum mendengar jawaban Adhisty. Ia menarik napas dan mulai bercerita.
"Taru itu kaku kalau sudah menyangkut perempuan. Dia memang sangat serius dalam hidup..." Bu Indri memijat lemah kedua kakinya yang sudah teramputasi, "Gara-gara ibu..."
Adhisty menyimak apapun yang ingin Bu Indri ceritakan.
"Ibu diamputasi sejak Taru berusia lima tahun. Dulu Taru berlari menyebrang jalan tanpa melihat kanan-kiri..." Bu Indri tak melanjutkan ceritanya. Ia berharap Adhisty dapat membayangkan sendiri apa yang terjadi.
"Sejak saat itu, Taru tak berhenti menyalahkan diri. Ia menjadi anak yang sangat keras pada diri sendiri. Dia tahu kemampuan dan akses ibu terbatas setelah tak punya kaki, maka dia bekerja lebih keras dari anak sebayanya..."
"Bu..." Adhisty tercengang mendengar kisah tentang keluarga Taru. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Sekolah sambil membantu berjualan. Tak cuma makanan dan barang, Taru juga menjual jasanya. Ojek payung, tukang koran, sampai dewasa pun buka jasa ketik, membuat program, menjadi kuli event..."
Bu Indri terus bercerita tentang Taru. Semakin lama Adhisty pun semakin terenyuh. Ia tak menyangka, di balik sosok menyebalkan Taru, terdapat kelembutan dan perhatian yang begitu besar kepada sang ibu.
Adhisty baru tahu bahwa fokus Taru selama puluhan tahun ini hanyalah untuk meringankan beban sang ibu. Menjadi single parent setelah ayahnya meninggal karena sakit jantung sudah cukup berat, belum lagi dengan disabilitas yang disandang Bu Indri. Semua menempa Taru menjadi sosok yang sangat serius dan tak pernah mencoba bersenang-senang.
"Beberapa perempuan hadir dalam hidup Taru. Tapi semua langsung mundur teratur begitu tahu bahwa pria itu tinggal bersama ibunya yang cacat. Mungkin mereka tidak suka kalau harus tinggal bersama mertua, mungkin takut kerepotan mengurus ibu. Entahlah, tahu-tahu usia Taru sudah 40 tahun. Tahu-tahu tidak ada pasangan yang menemaninya..." kisah Bu Indri.
"Di sini, ibu hanya ingin memperjelas. Jika kamu menikah dengan Taru nanti, kalian tidak akan tinggal dengan ibu. Ibu sudah beli rumah dekat sini, jadi kamu jangan khawatir. Kamu dan Taru bebas mengatur rumah tangga kalian berdua-"
"Bu," Adhisty memotong penjelasan Bu Indri yang terasa miris di telinganya, "Sejak awal, bukan ibu penyebab Adhisty menolak Taru."
"Kalau begitu tolong bicara sekali lagi dengan putra ibu, Nak," pinta Bu Indri. Adhisty masih merasa ragu, tapi dia masih segan mengungkapkan keraguan itu.
"Dhis, ibu tidak meminta menantu ibu untuk mengurus ibu maupun Taru. Kami terbiasa mengurus diri kami sendiri, tak perlu bantuan istri Taru. Tapi ibu ingin ada yang menemani Taru. Ibu ingin Taru merasakan keberadaan pasangan, supaya dia tidak sendirian," lanjut Bu Indri.
"Dhisty paham, Bu, tapi Dhisty merasa Dhisty bukan orang yang tepat untuk menemani Taru," jawab Adhisty, berusaha memberi pengertian.
"Ibu mohon, beri kesempatan sekali lagi kepada Taru untuk bicara sama kamu."
Adhisty menghela napas panjang. Meskipun berat, ia tak tega menolak permintaan Bu Indri.
Ia pun akhirnya menyunggingkan senyum dan mengangguk.
***
"Sudah bicara banyak sama Ibu?"
"Sudah."
"Jadi? Mau menikah dengan saya?"
Adhisty menatap malas ke arah Taru sekilas, lalu menjawab, "Curang kamu."
"Kan sudah saya bilang, kita itu cocok," kata Taru. Adhisty mendesah resah, entah apa definisi "cocok" bagi Taru, mungkin siapapun yang disukai ibunya. Bagi Adhisty sendiri, hubungannya dengan Taru tak lebih dari kucing dan anjing yang kerap berseteru. Bukankah rumah tangga yang dijalani seperti kucing dan anjing ini akan terasa melelahkan?
"Taru, dengar ya. Mungkin menurut kamu pernikahan itu bercanda, bukan hal besar, tapi buat aku itu penting. Pernikahan adalah ikatan sakral, Ru." Adhisty berusaha menahan amarahnya karena saat ini Taru tengah mengantarnya pulang. Salah bicara, bisa-bisa dirinya diturunkan di tengah jalan.
"Really? Tukang main cowok kayak kamu?" Taru mengerutkan dahi.
"Justru itu! Nikah itu beda! Kalau sekarang, aku bisa bebas, Taru. Nggak suka cowoknya? tinggal ganti pacar. Nah, kalau menikah sama orang yang nggak aku cintai, aku stuck! Nggak bisa ganti suami!" seru Adhisty.
Perjalanan menuju pulang itu tiba-tiba terhenti karena Taru menepi. Pria itu lalu menatap tajam mata Adhisty setelah itu, "Kamu make sure banget saya tahu bahwa kamu nggak cinta saya ya?"
"Dan kamu nggak cinta sama aku! Ini penting Taru, if the sparks is not even there, how do we create the excitement for years?" Adhisty terlihat lebih seperti berusaha memberi pengertian daripada mengejek sehingga Taru mengesampingkan semua sentimen tentang perempuan di sebelahnya itu.
"Saya nggak tahu tentang cinta, Dhis. Satu-satunya cinta yang pernah saya berikan untuk perempuan memang hanya cinta untuk Ibu saya. Tapi saya bisa katakan satu hal, apa yang saya rasakan ke kamu berbeda dari apa yang pernah saya rasakan pada perempuan lain," balas Taru.
Adhisty diam, mencoba mencerna ucapan Taru. Percuma, kata-kata itu masih terasa mengambang dan hambar.
"Saya belum bisa bilang saya cinta kamu, Dhis. Tapi saya yakin tentang hidup bersama kamu. Saya percaya kamu cukup untuk saya dan saya cukup untuk kamu. Maaf kalau itu nggak cukup."
"Nggak cukup Taru. Saya ingin dicintai..." Adhisty mengadah, menatap Taru dengan sungguh-sungguh. Meskipun terasa berat, ia pun mengucapkannya, "Saya tidak bisa menerima lamaran kamu."
(((Bersambung)))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top