4. Apa Keuntungannya?

Harusnya malam itu Adhisty ada janji kencan dengan seorang pria. Tapi ayahnya mendesak agar lekas pulang. Mengetahui sejarah sang Papi yang pernah menderita serangan jantung, perempuan itu pun pulang dalam keadaan panik. Sesampainya di rumah, ia langsung menyesali keputusannya.

Seandainya ia tahu bahwa hal yang mendesak bagi Pak Hutama adalah mempertemukannya dengan Taru, ia tak akan mau terburu-buru pulang.

"Kamu ini loh, weekend begini keluar-keluar aja kerjanya. Anteng sedikit di rumah kenapa?" tanya Pak Hutama tak lama setelah melihat wajah jengah Adhisty kepada Taru.

"Kan lagi nyari calon menantu buat Papi," jawab Adhisty kesal.

"Lah, ini calonnya sudah di rumah!" kata Pak Hutama sambil menunjuk Taru. Adhisty pun memelototi ayahnya.

"Papi apaan sih?! Norak banget jodoh-jodohan..." kata perempuan itu kesal. Ia sudah jengah mendengar Papinya membicarakan Taru, kini bahkan sosok itu muncuk di ruang tamunya.

"Ini orang apa jin sih?!," batin Adhisty.

"Pak, kalau boleh, saya ingin bicara berdua dengan Adhisty," dengan sopan, Taru meminta izin untuk mendapatkan privasi kepada Pak Hutama.

"Boleeehhh... di halaman belakang saja ya? Biar nyaman ngobrolnya," kata Pak Hutama dengan hangat dan sedikit bersemangat. Adhisty berjalan malas ke arah halaman belakang rumahnya. Taru mengikutinya dalam diam dari belakang.

Halaman belakang rumah keluarga Hutama lebih mirip padang bunga daripada sebuah halaman. Dari arah tempat duduk, orang dapat bersantai menikmati indahnya bunga dengan beragam jenis di sebuah halaman yang sangat luas. Terdapat pula jalan setapak jika ingin melihat bunga-bunga dari dekat. Pun di malam hari, halaman itu masih dapat memamerkan keindahannya karena seluruh taman dilengkapi penerangan yang cukup.

"Pinter ya, mendekati Papi untuk menjebak aku?" kata Adhisty setelah menyalakan lampu-lampu halaman belakang.

"Saya nggak menjebak. Saya cuma mau ketemu," balas Taru.

"Aku nggak mau ketemu, makanya kamu jebak biar ketemu. Mengelak aja sih, Ru?" Adhisty melepas malas sepatunya dan memakai sandal halaman belakang. Ia melenggang ke jalan setapak di halaman belakang, meninggalkan Taru yang kebingungan karena tak ada sandal lagi di sana.

Tapi Taru tahu kesempatan ini tak akan datang dua kali. Maka ia nekat melangkah menggunakan sepatunya.

"Apa yang membuat kamu nggak mau menikahi saya?" tanya Taru sambil berusaha berjalan sedekat mungkin dengan Adhisty.

Adhisty tertawa mengejek, "Kamu serius nanya?"

"Serius. Saya mau berusaha berubah kalau ada sikap saya yang kurang berkenan untuk kamu."

Adhisty berbalik dan menatap Taru. Tatapan pria di hadapannya yang sungguh-sungguh serta sikapnya yang lebih baik dari ketika terakhir 'melamar' membuat Adhisty memicingkan matanya. Ia tak langsung percaya, tapi juga penasaran.

Belum pernah ada laki-laki yang berkata rela berubah demi mendapatkan Adhisty dengan nada semeyakinkan Taru. Tentu saja hal ini membuat Adhisty ingin tahu kenapa pria ini bersikukuh membujuknya.

"Kenapa sih kamu ngotot banget mau menikahi aku?" tanya Adhisty.

"Ibu saya yang meminta."

"Ibu?"

Taru mengangguk, "Ibu saya bilang, dia pernah ketemu kamu. Lalu dia ingin saya menikahi kamu."

"Segampang itu?" tanya Adhisty nyaris tak percaya.

"Segampang itu. Saya akan lakukan apa saja demi dia," jawab Taru tegas.

Lagi-lagi, ini pertama kalinya Adhisty menemukan laki-laki yang mengutamakan orang tua setelahnya sejak pertama kali bertemu. Kebanyakan laki-laki yang dikencani Adhisty kerap menganakemaskannya dan bersikap tak sopan pada orang tua sendiri. Jika dipikir-pikir, nilai Taru di matanya menjadi sedikit lebih baik.

Setidaknya jika bersama Taru, Adhisty bisa mendapatkan ibu.

Tapi tentu saja urusan menikah tidak bisa sesederhana itu. Maka Adhisty tidak berniat melembekkan sikap ataupun pendiriannya.

"Lalu aku bagaimana?" tanya Adhisty. 

"... Bagaimana maksudnya?" balas Taru yang bingung.

"Apa keuntunganku menikahi kamu?" Tentu saja percakapan ini harus dapat mencakup keuntungan untuk dirinya sendiri, mengingat menikahi Taru bukanlah hal yang begitu menggiurkan.

"Saya akan membagi harta saya dengan kamu-"

"Taru... Taru..." Adhisty tertawa geli mendengar penawaran pria itu, "Harta aku lebih banyak dari kamu. Bukan bermaksud sombong, tapi materi kamu tidak menarik minatku. Ada penawaran lain?"

"Apa yang kamu inginkan? Biar saya usahakan," tanya Taru tegas.

"Dalam hubungan pernikahan? Saya mau cinta," ujar Adhisty. Suasana langsung hening.

"... Cinta?" tanya Taru.

"Sederhana kan?"

"... Cinta?"

"Iya Taru, aku ingin saling cinta dengan orang yang aku nikahi. Kita jelas tidak begitu kan?"

"... Apa ada keinginan lain?"

"Nggak. Kalau kamu nggak bisa menyanggupi, aku menolak. Terima kasih sudah berkunjung, tapi aku lelah, mau istirahat."

Adhisty buru-buru pergi sementara Taru berusaha memikirkan cara agar perempuan itu tetap terbuka untuk diskusi pernikahan ini. Sejak awal mereka bicara, Taru tahu bahwa perempuan itu memang mencari alasan untuk menolak lamarannya. Kini ia harus bertindak cepat.

"Kamu mau bertemu Ibu saya?" ucap Taru.

"Hah?"

"Saya mohon, beri saya kesempatan. Coba bertemu dengan Ibu saya dulu. Dengarkan kami berdua."

"Apa untungnya buat saya?" lagi, Adhisty mempertanyakan. Tapi untuk yang satu ini, Taru sudah punya stok jawaban.

"Saya kirim Utami untuk membantu perusahaan kamu selama seminggu," jawab Taru cepat. Adhisty memelotot, tak menduga jawaban itu yang keluar dari mulut Taru. Memang bukan rahasia bahwa Adhisty begitu suka bekerja dengan Utami. Perempuan yang satu ini mampu mengurus detail yang bahkan sering luput oleh Arun dan dirinya.

"Arun dan Tami nggak apa-apa tuh?" tanya Adhisty ragu.

"Tidak apa-apa. Mereka pasti ngerti," jawab Taru asal. Jika terjadi apa-apa, dia siap dengan permintaan maafnya. 

Adhisty tersenyum dan berkata, "Deal. Kabari saya untuk weekend depan."

"Kenapa tidak besok saja?" tanya Taru heran. Adhisty menarik napas panjang

"Besok saya masih ada kencan. Saya nggak mau menemui ibu kamu dalam keadaan kesal karena kencan saya digagalkan dua kali oleh anaknya."

Taru menarik napas panjang, berusaha sabar menghadapi perempuan menyebalkan di hadapannya. Tapi akhirnya ia dengan tenang berkata, "Fine. I'll send you the details."

***

"Pak! Maksudnya apa nih?!" Utami bertolak pinggang meskipun lawan bicaranya tak dapat melihat karena berada di seberang telepon. Selain dirinya, ada Arun dan Olive juga dalam ruangan itu.

"Maksud apa, Tam?" Suara Taru terdengar jelas dari speaker telepon ruangan Utami.

"Mas, jangan bercanda deh. Seminggu tuh lama, bisa apa Pandoraverse kalau nggak ada Utami? Kacau lo ah!" Kali ini giliran Arun yang protes.

"Kok gue yang kacau? Lo lah yang kacau. Masa' perusahaan ditinggal satu orang seminggu langsung kenapa-kenapa? CEO-nya mana?"

"Jangan bercanda, Pak, kenapa saya nggak tahu apa-apa soal transfer selama seminggu ke Tama Corp?!"

"Baru ditentukan weekend kemarin."

"Kenapa?!"

"Buat ngebujuk Adhisty supaya mau nikah sama gue."

Semua emosi yang tadinya begitu berapi-api berubah menjadi semangat dan rasa gemas yang berlipat-lipat setelah mendengar jawaban Taru yang satu itu. Utami dan Olive membuka mata mereka lebar-lebar sambil melipat bibir ke dalam mulut untuk menahan diri agar tak berteriak sementara Arun justru malah menganga tanpa suara.

"Halo? Anyone still there?" tanya Taru. Utami menyadarkan dirinya, Arun, dan Olive, lalu berdeham sejenak.

"Ehm, kalau jadi, nanti mau nikah di mana rencananya, Pak?" tanya Utami dengan nada serius.

"Nggak tahu, cari aja gedung yang nggak terlalu besar. Nggak rencana undang banyak orang," jawab Taru dengan lugas, seolah rencana ini sudah pasti.

"Hmm... Keep it private ya?" Utami mengangguk-angguk.

"Iya."

"Kalau gitu mending langsung di hotel aja, biar selesai acara langsung istirahat di kamar."

"Boleh juga."

"Berarti siapkan meja untuk tamu-tamu yang datang ya? Mau berapa tamu rencananya? 150? 300?"

"Dua ratusan mungkin, Pak Hutama pasti ingin kerabatnya banyak datang."

"Oke. Saya mau nanti Bapak undang temen saya, Natasya dan Dion. Olive dan suami juga diundang. Terus saya mau kami semua duduk di meja yang sama, barisan meja depan tentunya."

"Atur aja, Tam."

"Oke, Pak. Thanks."

"Saya juga thanks. Bantuin Adhisty dulu ya sekarang."

Percakapan berhenti. Baik Utami, Olive, dan Arun saling tatap sebelum akhirnya berteriak saking gemasnya mendengar Taru merencanakan pernikahan yang belum tentu jadi itu.

"Wah, bisa lo atur nih berarti, Tam. Lo juga ada waktu seminggu kan sama Mbak Adhisty?" ucap Olive setelah puas berseru dan tertawa bersama Arun dan Utami.

"Bener tuh, Sayang. Mumpung di sana, sekalian bujuk Adhisty. Jadi mata-mata Mas Taru untuk bisa dapetin hatinya. Dhisty kalau udah males sama orang suka susah berubah pendapatnya," kata Arun. Utami menaikkan tangannya, memberi hormat pada Arun,

"Siap, Bos!" seru Utami dengan penuh semangat.

(((Bersambung)))

***

Capek ah tunggu FTL dapet 10K votes. Aku belum sebeken itu soalnya 🤣🤣🤣

Nih, kukasih update-an si Unlovable Husband langsung beberapa bab. Tapi nggak tiap hari up ya. Paling seminggu sekali atau dua kali. Nggak janji tiap up bakal kasih banyak part juga. Pokoknya aku mau nulis tanpa beban dan keharusan. Seasyiknya aja.

Btw, aku masih buka PO buat buku aku yang Heart Healer. Info pemesanan:

Yuk, buat yang belum pesan, masih bisa pesan. Kesempatan untuk bisa baca Heart Healer secara full cuma kali ini aja loh, karena buku akan dicetak sesuai jumlah pesanan.

Udah ah, sekian dulu.

Sampai jumpa dalam pergulatan Taru-Dhisty berikutnya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top