33. Acara Demi Acara

Hari yang Adhisty tunggu akhirnya tiba. Hasil kerja kerasnya selama lebih dari setahun kini telah mencapai puncaknya.

Peresmian kantor baru Tarundaya Group X Tama Corp. Sebuah pencapaian dari kerjasama yang paling berkesan yang pernah ia alami.

Lewat kerjasama ini Adhisty mendapatkan sahabat, suami, dan keluarga baru. Di gedung baru, dengan kantor yang sesuai dengan apa yang selalu ia imajinasikan sebagai kantor media yang dinamis dan menyegarkan.

Tentu saja peresmian kantor ini diramaikan oleh banyak pihak. Program-program berita di TamaTV sudah pasti meliput dan menyiarkan peresmian kantor ini, ditambah dengan jurnalis dari beberapa perusahaan lain yang masih tertarik akan pesona Tarundaya Group dan meliput perusahaan yang kini kian besar itu,Adhisty menjadi begitu sibuk menjamu tamu dengan berbagai macam basa-basi jamuan dan perbincangan bisnis.

"Mbak, here. Kamu dari tadi nggak minum air loh," Utami menyodorkan segelas penuh air mineral kepada Adhisty setelah atasan sekaligus sahabatnya itu berbicara dengan salah satu direktur di Tarundaya Group.

"Oh, thank you!" Adhisty langsung meraih minuman itu dan meneguknya sampai habis. Ia benar-benar lupa untuk mengisi cairan di tubuhnya, padahal selama kehamilan ia terus berusaha untuk menerapkan pola konsumsi yang sehat dengan memperbanyak minum air mineral dan makan-makanan seimbang.

Tapi akhir-akhir ini Adhisty merasa tidak begitu berminat untuk minum. Kandungannya kian gencar menghimpit kandung kemih, membuatnya tak bisa berhenti bolak-balik ke kamar mandi. Meskipun begitu, ia tetap memaksakan diri meminum air untuk menghindar dari kelelahan. Apalagi saat sibuk begini, minum air dan ke kamar mandi merupakan perjuangan yang cukup melelahkan.

"Tam, Arun tuh," Adhisty yang baru menyadari sesuatu memberi kode dengan tatapan matanya. Utami mengikuti arah tatapan mata itu dan mendapati suaminya tengah berbicara dengan seorang jurnalis cantik. Utami kenal dengan jurnalis tersebut, dia adalah salah satu mantan Arun.

"Biarin aja. Kalau macam-macam aku suruh Sheila jewer Ayahnya," ucap Utami tak acuh.

Entah kenapa ia tidak terlalu khawatir -- meskipun tetap waspada -- terhadap Arun. Sikap hidung belang pria itu memang sudah seperti tak bersisa sejak mereka menikah.

"Stand by aja, Tam. Siapa tahu Arun butuh bantuan. Cewek itu rada agresif," kata Adhisty.

Utami pun akhirnya mengamati interaksi Arun dan jurnalis cantik tersebut. Benar kata Adhisty, pria itu terlihat memaksakan senyum sambil terus menghindari perempuan yang sedikit-sedikit maju dan mencari kesempatan agar dia bisa menempelkan tubuhnya kepada Arun.

"Duh, gemes juga lama-lama lihatnya," ujar Utami sambil menuju ke arah Arun.

Adhisty tersenyum puas melihat sang jurnalis salah tingkah setelah Utami mengusap punggung Arun dan ikut berbicara dengan mereka. Setelah itu Arun tak berhenti menempelkan tubuhnya kepada sang istri, tak lupa tangan Utami pun digenggamnya erat. Semua itu membuat sang jurnalis semakin lama semakin mundur teratur.

"Mbak Adhisty, Pak Taru juga sepertinya butuh bantuan tuh," suara Olive membuat konsentrasi Adhisty terpecah.

Olive mengangkat dagunya ke satu arah dimana Taru tengah dikelilingi tiga perempuan sekaligus. Pria itu jelas mengambil jaraknya dengan ketiga perempuan tersebut, tapi karena mereka adalah rekan konsultan media, Taru tetap menanggapi dengan baik.

"Dia bisa jaga dirinya sendiri, Liv. Empat puluh tahun itu buktinya," kata Adhisty. Olive menahan kekehannya mendengar sang Ratu media itu mengomentari suaminya.

"Tiga perempuan itu naksir sama Pak Taru sejak lama, Mbak," kata Olive sambil menyodorkan air mineral kepada Adhisty. Sang Ibu Atasan itu mengerutkan alis, bukan hanya karena mendengar ucapan Olive barusan, tapi juga karena ia merasa deja vu. Sepertinya Olive dan Utami memberinya perhatian yang ekstra besar hari ini. Mungkin mereka tahu bahwa perhatian Adhisty akan terpecah dalam acara besar dan penting ini, sehingga mereka memastikan bahwa asupan seimbang yang selalu dikonsumsi Adhisty secara disiplin itu tidak berkurang kualitasnya.

"Oh ya? Kok kasihan..." ucap Adhisty sambil meminum air dari Olive, kali ini dengan perlahan.

"Kok Mbak Adhisty malah kasihan?"

"Ya kasihan lah, naksir lama nggak dapet. Malah aku yang baru kenal yang dapet. Beda level memang..."

Olive hanya bisa tertawa dan menggelengkan kepalanya, "Jadi, nggak usah diselamatkan kayak Pak Arun nih?"

"Hmm," Adhisty tersenyum sambil menghabiskan minumannya. Ia lalu berkata, "Biar dia selamatkan diri sendiri aja."

Olive tak paham apa maksud atasannya itu. Adhisty lalu berjalan ke arah gerombolan karyawan pria dan menyapa mereka dengan sangat ramah, "Hai, apa kabar semua?"

Wajah pria-pria yang usianya lebih muda dari Adhisty itu merona saat atasan mereka yang sering mereka sebut bidadari datang menyapa mereka dengan senyum yang sanggup membuat mereka pingsan saat itu juga.

Meskipun tengah hamil tua, penampilan Adhisty masih saja mempesona. Bagian tubuh seperti lengan, leher, dan kaki masih saja terlihat langsing. Hanya perutnya yang membuncit, itu pun terlihat sangat manis dan tidak berlebihan. Ditambah dengan dada yang semakin besar dan padat, Adhisty malah terlihat menggoda di usia kehamilan yang nyaris menginjak delapan bulan itu.

"B- Bu..." para pria itu gelagapan membalas sapaan Adhisty.

"Bagaimana kantor barunya suka?" tanya Adhisty.

"Su- suka, Bu!"
"Suka banget, suka..."
"Suka kok, Bu, suka..."
"Su- su-"

Para karyawan pria berebutan menjawab Adhisty. Ada yang dengan penuh semangat, ada juga yang sambil termangu menatap Adhisty dari atas ke bawah.

"Nanti yang baik ya sama teman-teman dari Tarundaya, jangan bikin malu saya," pesan Adhisty.

Pria-pria di hadapannya sudah melayang dengan angan mereka masing-masing. Entah mimpi apa mereka semalam sampai karyawan berpangkat staff bisa berbincang dengan bos yang cantik dan tak terjangkau seperti Adhisty.

"Hey, aku cari kamu dari tadi," suara lembut Taru dan rangkulannya di pinggang Adhisty seketika menyadarkan pria-pria di hadapan mereka.

"Aku lagi kasih pesan ke anak buahku, Ru. Aku kira kamu juga begitu," ucap Adhisty tak kalah lembut. Taru tersenyum dan berkata pada karyawan-karyawan pria di hadapannya, "Permisi ya," lalu menggiring Adhisty menjauh.

Perempuan dalam rangkulan si Bos Robot itu pun tersenyum penuh kemenangan. Taru memang pria paling ajaib. Jika ia melihat Adhisty bicara sedikit saja dengan laki-laki lain, Taru pasti bagai magnet yang tertarik ke arah perempuan itu lalu menempeli sang istri kemana-mana.

Adhisty mengangkat alisnya ke arah Olive. Asisten serba bisa itu menatap kagum Adhisty dan memberi tepukan tangan dengan penuh penghormatan. Ia yakin tidak ada perempuan yang mampu mengalahkan Adhisty dalam menjinakkan Taru.

"Posesif deh kamu. Dikit-dikit nempel. Katanya nggak mau terlalu dekat di kantor," goda Adhisty dengan suara pelan sehingga hanya Taru yang dapat mendengar. Pria itu mendeham.

"Iya nih, ada lem-nya di perut kamu," jawab Taru singkat.

Adhisty gemas setengah mati. Sudah jelas Taru jatuh hati kepadanya, tapi masih saja cari-cari alasan untuk menutupi perasaan itu.

Lihat saja, Adhisty pasti dapat membuat pria berhati batu itu menyatakan cinta kepadanya.

***

"Kita beneran harus ya, Dhis?" tanya Taru dengan nada merajuk. Nada yang hanya ia keluarkan di hadapan Adhisty. Sang istri pun tak mampu menahan geli mendengarnya. Siapa sangka manusia kaku ini ternyata dapat merajuk?

"Yang siapkan acaranya tuh Utami, Ru," jawab Adhisty yang secara tak langsung membuat Taru kecewa.

"Kemarin acara peresmian kantor dan kamu lembur sampai malam. Tadi pagi pun masih ngurusin perintilan merger divisi. Kamu nggak capek?" tanya Taru khawatir. Ia mengusap perut Adhisty dengan lembut, "Adek mau istirahat nggak? Papa temenin?"

Adhisty memelotot, "Kalau Papa Taru temenin Adek, yang ada Adeknya jadi lembur."

"Kok lembur?"

"Ya mana bisa istirahat kalau ditengokin Papa?"

"Nak, Mama belum tahu kita udah jadi best-bud," ucap Taru di dekat perut Adhisty. Perempuan itu tertawa geli sambil menepuk pundak Taru.

"Yuk ah. Aku bobo di mobil kalau kamu khawatir, jadi kamu bisa lihat aku istirahat."

"Bener ya?" tanya Taru. Adhisty mengangguk dan merangkul lengan suaminya. Dengan luwes ia senderkan kepalanya ke bahu Taru. Pria itu tersenyum. Ia merasa sangat hebat dan bahagia dengan perempuan itu berada di sisinya.

***

Baby shower Adhisty ternyata berlangsung lebih meriah dari yang seharusnya. Para perempuan sosialita saling mengundang teman-teman selebriti mereka, berharap Adhisty akan kagum dan tertarik.

Adhisty hanya menyapa mereka semua dengan sopan dan ramah bersama sang suami. Perempuan-perempuan sosialita itu mungkin lupa bahwa Adhisty adalah perempuan yang pernah beberapa kali berkumpul bersama artis internasional. Adhisty bahkan pernah ikut pajamas party di rumah seorang aktor Hollywood dan ikut bachelorette party seorang penyanyi internasional kelahiran Los Angeles.

Berkumpul dan berpesta bersama selebriti adalah hal biasa bayi Adhisty. Lagi-lagi para sosialita harus menelan kekecewaan mereka karena tetap tak bisa menjadi lebih dekat dengan Ratu media itu meskipun sudah berada dalam acara yang sama.

"Sayang, sebentar lagi baby gender revealing. Jangan lupa pura-pura kaget," ujar Adhisty tak lama setelah MC mengumumkan acara selanjutnya. Taru tersenyum dan mengusap perut Adhisty.

"Did you listen? Women. Always think we're moron," kata Taru pelan. Adhisty memelototi pria itu, membuat Taru langsung memasang wajah pura-pura bingung. Entah untuk apa.

"Ayo, Calon Mommy dan Daddy... di dalam balon besar ini, sudah ada bubuk berwarna. Jika warnanya pink, berarti adeknya baby girl, jika biru, berarti baby boy. Siap yaa?" MC memberi tongkat panjang dengan jarum di ujungnya. Taru dan Adhisty menerimanya bersamaan.

Hitung mundur diserukan, lalu Taru dan Adhisty pun menusuk balon besar itu. Butiran bubuk berwarna biru langsung berterbangan, membuat para tamu berteriak heboh. Mereka mengabadikan momen itu lewat ponsel masing-masing agar dapat mengirimkannya dj media sosial dan menge-tag akun media sosial Adhisty agar terlihat akrab.

Wajar Taru terlihat luar biasa terkejut. Matanya terbuka lebar sementara mulutnya menganga besar. Adhisty tertawa puas melihat suaminya yang dinilai sangat tak natural untuk bersandiwara.

"Taru, tone it down," bisik Adhisty.

"I can't, it's awesomely stupid."

Adhisty kembali tertawa mendengar suaminya. Kejujuran dan kelugasan yang khas Taru yang dulu membuatnya emosi kini malah menjadi hiburannya. Adhisty suka dengan cara Taru yang apa adanya, tapi tetap berkarisma.

"I love you, Taru..." kata Adhisty pelan. Suasana ramai yang dipandu oleh MC itu terasa semakin memudar. Saat itu, mereka seperti hanya berdua saja, berdiri bersandingan, saling melempar pandang.

Taru menatap istrinya. Ia mendengar ucapan itu, lugas dan jelas. Perasaan Taru langsung dipenuhi kehangatan mendengar kata cinta lewat suara lembut dan tegas Adhisty.

Saat ini, rasanya tak ada yang lebih indah dari menerima cinta seorang perempuan luar biasa yang tengah mengandung anaknya itu.

"Adhisty..." Taru masih merasa lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kata itu. Tapi saat itu ia ingin berusaha. Sebisa mungkin, meskipun harus terlihat sebagai manusia paling bodoh dan memalukan sedunia, ia ingin istrinya tahu dari mulutnya sendiri betapa besar rasa cinta kepada perempuan itu.

Raut wajah Adhisty perlahan berubah. Dari sumringah menjadi semakin masam. Lama-lama perempuan itu meringis lemah, terlihat seperti menahan sakit. Dengan cepat ia menggenggam tangan Taru,

"Taru..." bisik Adhisty sebelum menggigiti bibirnya kuat-kuat agar tak mengerang kesakitan di acara baby shower itu. Ia tak ingin membuat orang-orang khawatir. Tapi nyeri itu muncul begitu kuat, membuatnya menahan kandungannya sambil menarik napas pendek.

"Dhis, what's wrong?" tanya Taru yang mulai merasa bahwa ada yang tidak beres.

"Ke... ke dokter. Sekarang." Bisikan pelan dari Adhisty itu langsung meruntuhkan kebahagiaan Taru seketika.

(((Bersambung)))

***

Ada yang ingin menyemangati Mbak Adhisty?

Baiklah, ada kabar baru. Bab-nya nambah. Jadi sisa 2 bab lagi yah.

Sampai jumpa di bab selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top