30. Hadiah Hari Jadi

"Nanti dresscode-nya mau gimana, Dhis?" seorang perempuan berusia pertengahan tiga puluh dengan riasan wajah yang tebal bertanya ramah pada Adhisty.

"Gimana ya, Nat? Anything simple and chic kali ya?" Adhisty menengok ke arah Natasya dan dibalas dengan anggukan sementara temannya itu langsung mencatat apa yang tadi Adhisty ucapkan.

"Kalau dekor-" perempuan lain tidak mau kalah, tapi Olive langsung memotong ucapan sekaligus semangat perempuan itu.

"Itu sudah aku urus, tenang," kata Olive dengan penuh percaya diri.

"Kalau gitu, makanannyaaa..." perempuan ketiga pun mulai angkat suara, tapi dari sisi Adhisty masih ada satu orang lagi yang belum turun tangan.

"Aku sudah book restoran. Pokoknya persiapan untuk baby shower Mbak Adhisty sudah siap tanpa cela. Kalian tinggal datang aja nanti ya," kata Utami, membungkam ketiga perempuan cantik di hadapannya. 

Ketiganya cantik, terawat, dan penuh barang mahal dari kepala hingga ujung kaki. Rambut yang rajin di hair mask, wajah yang memakai perawatan berjuta-juta di klinik kecantikan, kulit tubuh yang mulus dan bercahaya, pakaian yang mewah, tas jinjing bermerek mahal, semuanya terlihat maksimal. 

Tapi semaksimal-maksimalnya mereka, tetap tak ada yang bisa menandingi aura elegan yang muncul dari kesederhanaan Adhisty. Dengan pakaian hamil berwarna hijau ber-aksen payet mewah di bagian leher keluaran butik desainer terkemuka dan tas merek terkenal keluaran terbaru yang dikirimkan oleh toko resmi di Indonesia sebagai hadiah kehamilannya, Adhisty tak perlu bersusah payah seperti ketiga perempuan pencari perhatian yang kini menahan wajah masam mereka karena tidak mampu mendekatinya lebih jauh lagi.

Adhisty tersenyum puas. Semua sudah sesuai rencananya.

"Thank you, Sayang-sayangku..." kata Adhisty kepada Natasya, Olive, dan Utami.

Hari itu mereka sibuk luar biasa karena harus mengikuti parade rapat sejak pukul delapan pagi. Adhisty, Olive, dan Utami memulai kerja mereka dengan rapat kuartal dengan seluruh dewan direksi, lalu tanpa istirahat mereka lanjut melakukan rapat dengan pemegang saham dan rekan bisnis Tarundaya Group dan Tama Corp.

Karena itulah Adhisty pusing bukan kepalang saat para perempuan sosialita yang tengah sok akrab dengannya terus saja merengek mengajaknya bertemu untuk acara baby shower yang akan berlangsung sebulan lagi.

Menolak perempuan-perempuan itu tidak mungkin dilakukan karena suami dan orang tua mereka masih berhubungan baik dengan bisnis Tama Corp dan Tarundaya Group. Oleh karena itu Adhisty pun membawa pasukannya sendiri. Tujuannya hanya satu, pertemuan itu dapat cepat selesai dan meteka bisa beralih ke rapat perusahaan selanjutnya

Beberapa perempuan yang datang dan berharap dapat mendekatkan diri dengan Adhisty kita hanya bisa menahan kecewa. Meskipun mereka yang mendesak ide baby shower ini, tapi nyatanya orang-orang di sekitar Adhisty sudah lebih sigap mempersiapkannya.

"Sudah kan ya berarti? Nggak ada yang harus kita bicarain lagi?" tanya Adhisty dengan senyum yang membuat perempuan-perempuan itu merasa terintimidasi. Mereka mengangguk ragu dan Adhisty langsung bangkit dari sofa kafe itu dengan pelan.

Utami, Olive, dan Natasya mengikutinya ringan.

"Really guys, thank you..." bisik Adhisty pada mereka yang terkekeh menahan geli.

***

"Kamu udah makan?" tanya Adhisty sambil merekatkan tubuhnya ke tubuh Taru dan sedikit berjinjit untuk mencium pipi suaminya itu.

"Ehm, kamu?" tanya Taru tanpa membalas tatapan mesra Adhisty.

Taru merasa canggung bermesraan dengan istrinya di depan umum sore itu. Ia merasa jantungnya mau meledak saat perempuan itu menyentuh dirinya.

"Udah sore gini, masa' belum? Kamu juga udah kan?" tanya Adhisty balik. Keduanya memang rapat di tempat berbeda karena berbagi tugas dalam mengurus bisnis bersama itu. Taru mengangguk dan tersenyum, membuat istrinya lega.

"Eh, Run! Sebentar ya, aku ke sana dulu," Adhisty memanggil Arun yang sempat lewat dan mengusap pipi Taru cepat sebelum beranjak. Tanpa sadar, wajah Taru merengut. Ia melihat Adhisty yang berbicara serius dengan Arun. Berdua saja.

Tiba-tiba muncul pikiran bahwa kedua orang itu terlihat begitu serasi, membuat Taru merasa sangat tak nyaman.

"Hey..." Taru merangkul Adhisty dengan sigap. Tiba-tiba saja ia ingin memperlihatkan kepada semua orang di sekitarnya bahwa perempuan itu miliknya.

Tak membuang kesempatan, Adhisty pun menyenderkan kepalanya ke dada Taru.

"Lagi ngomongin apa nih?" tanya Taru sambil melebarkan senyum andalannya. Senyum yang menyembunyikan serangan jika dibutuhkan.

"Rahasia. Kejutan buat kamu," balas Adhisty sambil mati-matia menahan semangatnya.

"Kok kejutan buat aku? Emang ada apa?"

Adhisty menarik kepalanya dari dada Taru dan memasang wajah serius ke arah pria itu, "Kamu nggak lupa kan?"

Taru diam selama beberapa detik. Jeda itu cukup melahirkan raut panik di wajah cantik Adhisty.

"Jangan bilang kamu lupa?!" kali ini tak ada senyum yang Adhisty pasang untuk Taru. Malahan, dia sudah sangat siap untuk melabrak laki-laki itu.

"Lupa apa, Dhis?"

"Besok kan annyversary kita!"

Taru langsung tertawa, lalu mengecup kening Adhisty, "Mana mungkin lupa? Aku sudah persiapkan sesuatu untuk kamu."

Mata Adhisty berbinar, "Yang bener kamu?! Aku aja baru mau siapin kejutan!"

"Bener kok. Kamu sibuk ngurus baby shower juga, makanya keduluan kan?"

Adhisty memeluk Taru erat-erat. Ia tak pernah merasa sebahagia itu. Membuat Taru mempersiapkan sesuatu untuk ulang tahun perkawinan mereka yang pertama adalah pencapaian tertingginya hingga saat ini.

"Okay, aku nggak mau buang waktu lagi. Aku sekarang pergi dulu cari kado buat kamu. The clock's ticking. Bye, Run. Bye, sayang..."

Taru tersenyum lebar mendengar Adhisty memanggilnya "sayang" dengan begitu wajar. Apalagi setelah itu, sang istri pun mengecup pipinya. Lengkap sudah kebahagiaannya.

"Gokil, lo nyiapin apa buat Adhisty?" tanya Arun yang penasaran tepat setelah sosok Adhisty sudah tak terlihat dari tempat mereka berdiri.

Senyum Taru hilang meskipun matanya masih mengarah ke tempat beranjaknya Adhisty tadi. Setelah diam beberapa saat, dia langsung menekan pangkal hidungnya, "Yeah, about that... could you help me?"

Arun tersenyum bodoh, mencoba mencerna maksud Taru. Sedikit demi sedikit matanya terbelalak dan mulutnya menganga.

"Ah, parah lo, Mas!"

"Gue nggak tahu harus ngapain tadi."

"Lo lupa anniversary lo sendiri?!"

"Gue nggak lupa, gue cuma nggak nyangka kalau gue harus nyiapin sesuatu buat Adhisty."

"Kacau, kacaaauuu... ayo ke ruangan gue. Kita meeting sama Tami dan Olive."

"Is it necessary?"

"Mereka yang lebih ngerti soal maunya Adhisty. Kan mereka yang nyiapin baby shower-nya istri lo. Yuk ah."

Taru menurut. Dia hanya punya waktu kurang dari 24 jam untuk memberi kejutan esok pagi untuk Adhisty, atau 30 jam jika dia memutuskan untuk memberi kejutan itu di malam hari.

Tapi ia dapat membayangkan wajah kecewa Adhisty saat tahu bahwa kejutan Taru harus ditunggu sampai malam harinya.

"This is so messed up," Taru memijat kepalanya di hadapann Arun, Olive, dan Utami.

"I know! It's like you never learn about your wife," tambah Arun. Taru melihat sahabatnya itu dengan kesal yang nyaris tak bisa ia tahan.

Kenapa Arun selalu bisa lebih memahami Adhisty ketimbang dirinya?!

"Udah, Mas. Nggak usah manas-manasin. Pak Taru udah mau meledak tuh," Utami bicara sebelum Taru mulai melabrak Arun.

Taru menarik napas panjang dan berusaha menenangkan diri. Akhir-akhir ini, apapun yang menyangkut Adhisty selalu sukses membuat dirinya kehilangan ketenangan.

"Jadi, menurut kalian gimana?" tanya Taru kepada Utami dan Olive.

"Yaaa... yang paling gampang sih surprise box. Saya bisa hubungi langganannya Pak Arun," Olive mulai melempar saran. Utami terlihat penasaran mendengarnya.

"Mas, kamu punya langganan surprise box? Kok aku nggak pernah tahu ya? Buat acara apa?" tanya Utami.

Arun memelototi Olive yang hanya bisa menahan geli setelah ingat bahwa vendor yang ia kenal adalah langganan Arun untuk merayakan monthversary dengan para pacarnya terdahulu.

Utami melihat tatapan yang saling dilempar Olive dan Arun, lalu langsung mengambil kesimpulan sendiri, "Oooh..."

"Liv!" Arun terlihat panik. Ia menatap Taru, mencoba meminta pertolongan. Bukannya menolong, Taru hanya berkata tanpa suara ke arah Arun, "Syukurin."

Setelah puas, Taru lalu mengabaikan kepanikan Arun sepenuhnya dan bicara serius dengan Olive.

"Surprise box itu sebesar apa? Berisi apa?" tanya Taru.

"Box-nya paling besar kira-kira setinggi pinggang saya. Kalau dibuka akan ada balon besar bertuliskan ucapan selamat sesuai pesanan. Selain itu ada balon-balon kecil juga untuk memberi efek flowing setelah box dibuka," jelas Olive.

"Bisa ditambahkan hadiah di dalamnya?" tanya Taru. Arun mengangkat alisnya tinggi-tinggi sambil saling pandang dengan Utami.

"Bisa, Pak."

"Kamu cari set perlengkapan mandi di Beau Bath yang ada bath bomb mawar dan lavender-nya. Bikin jadi kayak hampers besar ya, Liv," tiba-tiba Taru dengan lancar memberi instruksi dengan menyebutkan nama toko perlengkapan mandi favorit Adhisty itu. Olive menatap takjub atasannya. Itu pertama kalinya ia melihat bos besar Taru memberi perharian yang begitu detail untuk seorang perempuan.

"I want those all first thing in the morning. Kirim ke rumah saya. Bisa?" tanya Taru.

"Consider it done, sir." jawab Olive penuh percaya diri. Kepercayaan diri itu membuat Taru sedikit merasa lega. Dari semua orang  ia tahu bahwa dirinua bisa mempercayakan hal ini kepada Olive  si asisten serba bisa.

(((Bersambung)))

***

Demi apapun, aku run through banget nulisnya. Habis nulis langsung up. Maaf kalau isinya kurang2 yaa..

ku go back to write dulu~

See you on next chapter!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top