28. Dilema Suami

"Menurut kamu perutku gimana? Udah kelihatan belum baby bump-nya?"

"You look great, Adhisty."

"I know, I always look great. Yang kutanyakan kan bukan itu."

Wajah Taru menegang. Setelah berpikir sejenak dia berkata, "Badan kamu masih kecil kok."

"Jadi belum kelihatan baby bump-nya?! Padahal bagiku udah mulai muncul loh ini. Beratku juga naik. Duuuh... sehat nggak ya si Adek?"

"Adhisty maaf, aku bingung. Tadi kupikir kamu mau dibilang badannya kecil."

"Aku mau tahu pendapat kamu tentang perut aku."

"Udah kelihatan kok... kan tiap malam Papanya ajak ngobrol."

"Terus kenapa tadi bilang badanku kecil?"

Taru mengangkat bahu, "Bukannya cewek sukanya dibilang kecil ya?"

Adhisty menatapnya tegas dan menantang, "Aku nggak peduli siapa cewek yang ada di bayangan kamu itu, tapi kalau sudah ngomong sama aku, bilang aja yang sebenarnya."

"Oke. Kamu gendutan," balas Taru sigap

"Gently, Taru..." Adhisty memelotot sambil berusaha sabar dan tidak meneriaki ayah dari anak yang dia kandung.

"Tapi masih sangat cantik," buru-buru Taru memperbaiki kata-katanya.

Adhisty tersenyum. Dia berjinjit dan mengecup pipi Taru, "Good boy."

Adhisty pergi, meninggalkan Taru yang masih termangu sambil mengusap pipinya. Akhir-akhir ini Taru merasa istrinya menjadi semakin aneh. Setiap hari Adhisty pasti mengecupnya meskipun hal itu tak ada dalam ritual yang telah disepakati.

Belum lagi sikap Adhisty di depan karyawan jika mereka sedang bersama, tangannya seolah ogah menjauh dari lengan Taru. Jika tidak dirangkul, digandeng, pastilah tangan Taru digenggam. Seolah tangan pria itu tak boleh menganggur saat mereka bertemu.

Taru sempat berpikir bahwa alasan keanehan ini karena hormon sehingga membuat Adhisty makin sering bergairah. Untuk itu, dia selalu menyambut senang sang istri setiap malam.

Menjelang minggu ke-16 kehamilan, kehidupan malam mereka semakin membara di atas ranjang. Bagi Taru, Adhisty semakin atraktif. Taru sendiri merasa bahwa akhir-akhir ini dirinya menjadi semakin lemah di hadapan Adhisty. Perempuan itu tak perlu menggodanya macam-macam, tinggal menyentuh daerah sensitifnya dan dia pun bisa langsung menegang dan bekerja semalaman.

"Taru, ayo..." Adhisty memanggilnya untuk bersiap berangkat ke kantor. Taru tersenyum.

Ada sesuatu dalam dirinya yang mendamba keberadaan Adhisty dan itu bukan hanya sekadar gairah.

***

"Bu... Pak... ini dedeknya udah keliatan ya jenis kelaminnya," Dokter Opi bicara sambil melihat layar USG.

"Apa, Dok?" tanya Taru.

"Jangan, Dok!" Cegah Adhisty cepat.

"Kok jangan?" Taru pun bingung.

"Temen-temen aku ada yang kepengen bikinin baby shower tujuh bulan nanti. Mau ada acara revealing baby sex juga," jelas Adhisty. Dokter Opi terkekeh mendengarnya.

"So?" tanya Taru yang tidak merasa tercerahkan oleh pendapat tadi. Apa hubungannya pesta itu dengan keinginannya untuk mengetahui jenis kelamin anaknya saat ini.

"Ya jadi sekarang kita minta dokter untuk tulis jenis kelamin anak kita, kasih ke temenku supaya dia bisa koordinasiin sama EO mereka, terus nanti pas tujuh bulan di reveal dan kita bisa surprised," jelas Adhisty.

"Denied." Taru seketika kehilangan minat atas topik itu.

"Kok denied?!"

"Cause it's silly."

"Taru! Ukh!" Adhisty yang sudah siap berdebat mendadak berhenti. Ia terlihat kesakitan. Sesuatu seperti mendesak perutnya secara tiba-tiba dari dalam.

Taru pun panik melihatnya. Buru-buru ia pegangi juga perut Adhisty sambil menatap cemas ke arah dokter.

"Waaah... dedeknya nendang tuh. Nggak mau papa-mama berantem ya, Dek?" celetuk dokter Opi.

Mereka saling menatap dan melempar senyum.

"Ya udah, nanti kita pura-pura kaget aja pas pestanya," kata Adhisty, mencoba berkompromi.

"Aku kaget beneran kok pasti melihat kebodohan mereka," celetuk Taru. Adhisty melempar tawanya. Untuk celetukan kasar itu, dia tak memarahi Taru. Laki-laki itu pun pasti bingung atas keberadaan teman dadakan Adhisty yang menggunung dalam sekejap.

Beberapa waktu terakhir, banyak perempuan-perempuan sebaya Adhisty dari kalangan sosial atas yang berusaha mendekati keluarga mereka. Selidik punya selidik, terdengar kabar bahwa imej sosial mereka akan naik jika mereka berada dalam lingkaran dalam keluarga Hutama.

Terbukti dengan pesatnya karir Arun, Dion, dan suami Olive karena para istri adalah teman terdekat Adhisty.

Perempuan lain tak mau kalah, mereka berusaha bersahabat dengan Adhisty. Di beberapa pesta, Adhisty kerap menjadi bintang. Puncaknya adalah ide baby shower yang dikemukakan 'teman baru Adhisty'.

"Pokoknya apapun yang terjadi, kalian harus jaga aku supaya mereka jaga jarak dari aku," pinta Adhisty pada Utami, Olive, dan Natasya. Ketiganya hanya terkekeh dan menggoda Adhisty sebagai artis ibukota sensasional.

Tapi godaan ketiga perempuan itu tak pernah membuat Adhisty sebal meskipun terkadang berlebihan. Dengan bayi dalam perutnya dan Taru di sisinya, Adhisty tengah merasa di puncak kebahagiaannya.

"Ibu, ini dilihat perkembangannya sih Dedeknya masih sehat dan normal ya. Kalau dari kesehatan ibu sendiri gimana? Masih moody atau mual kalau makan?" tanya Dokter Opi.

Adhisty menggeleng, "Sudah nggak moody dan nggak mual kok, Dok. Mungkin gara-gara lagi sibuk pindahan kantor aja nih kadang-kadang kecapekan."

"Hayo... ibu, dikurangi dulu kegiatannya. Jangan sampai kecapekan. Berat ibu dalam lima bulan hamil tuh baru naik seribu gram."

"Emang itu nggak normal ya, Dok?" tanya Adhisty. Sementara, Taru hanya menyimak penjelasan dokter mereka saja.

"Yaa... biasanya kenaikan kalau sudah masuk trimester dua kan mencapai dua kilo lebih. Sebenarnya yang penting janinnya sehat sih. Tapi kalau ibu kecapekan, tidak baik juga bagi kualitas lingkungan dedek di perut," jelas dokter Opi.

"Hmm... Dok," tanya Taru yang entah kenapa terpikir sesuatu.

"Ya?"

"Kalau untuk berhubungan... aman nggak ya?"

"Amaaan," dokter Opi tertawa kecil, "Boleh banget, asal jangan berlebihan."

Bukannya terlihat tenang, Taru dan Adhisty malah terlihat menegang.

"Berlebihan tuh... yang kayak gimana contohnya, Dok?" tanya Adhisty.

"Ya berhubungan setiap hari, caranya kasar, begitulah kira-kira."

Adhisty mengangguk-angguk sementara wajah Taru sudah kebas. Keduanya tahu bahwa ada yamh harus mereka bicarakan sepulang dari kontrol kandungan ini.

***

Suasana di dalam mobil hening dengan Taru serius melihat jalanan dan Adhisty sibuk menatap dan mengelus perutnya.

"We did it every night," celetuk Taru tiba-tiba.

"Almost. Almost every night," koreksi Adhisty, meskipun ia tak merasa lebih baik atas koreksi itu.

Sudah beberapa minggu ini mereka menjadi begitu aktif bercinta. Dalam seminggu, mereka mungkin hanya meliburkan kegiatan itu di satu malam. Itu pun karena lembur bekerja di rumah.

"Dan aku selalu kasar..." Taru mengusap-usap wajahnya, membayangkan malam-malam dimana dirinua mendesak Adhisty dengan begitu cepat dan dalam.

Adhisty tak menjawab ucapan Taru tadi. Baginya, kekasaran Taru dalam bercinta membawa sensasi nikmat tersendiri. Tak jarang ia menantang dan memancing sikap kasar itu agar muncul dan membuatnya merasakan keseruan yang seperti tak berujung.

Saat ini proses pemindahan kantor sedang terjadi. Adhisty lebih sering bekerja di tempat Taru untuk memonitor kepindahan Tarundaya Group ke kantor baru mereka. Karena itulah mereka berdua kini berada di parkiran eksklusif gedung kantor Tarundaya.

Parkiran itu sepi. Petugasnya sering berlalu setelah membantu memarkirkan mobil. Entah untuk berpatroli, atau sengaja memberi Taru privasi. Hal itu disyukuri Adhisty karena ia jadi punya ruang untuk menggoda sang suami.

"Kamu jangan jadi khawatir ya? I'm okay. I'll be fine even if you do it again... and again..." Adhisty menangkup wajah Taru. Mata Adhisty berkilat melihat reaksi suaminya itu. Ia tahu bahwa sentuhannya telah membuat pria itu melemah, tak berdaya menginginkannya.

"Adhisty, I don't think it's healthy..." bisik Taru dengan susah payah.

"Touching you isn't healthy?" Balas perempuan itu dengan suara kecil. Sentuhannya merambat perlahan ke leher, lalu dada Taru. Membuat pria itu mati-matian menahan desahan dan keinginannya untuk meminta lebih.

"We just did it last night," suara Taru semakin lirih karena apapun yang mulutnya ucapkan, hatinya tak mengamini. Gejolak dalam dirinya terus menagih hal yang sebaliknya.

Adhisty mengusap paha Taru berkali-kali, membuat suaminya memejamkan mata erat-erat. Dengan sekuat tenaga laki-laki itu berusaha menahan dirinya, apalagi ketika Adhisty mendekati tubuhnya dan membuatnya menghirup aroma parfum lembut sang istri yang memabukkan.

"Suka nggak sama yang semalam?" bisik Adhisty tepat di dekat telinga Taru.

Pria itu tak berkutik. Ia hanya mendeham sambil berusaha tak menatap Adhisty. Jemari perempuan itu mengusap lembut perutnya, membuat Taru frustrasi dan berharap sentuhan itu dapat bergerak turun.

"Then let's do it again tonight. Anggap aja belajar pelan-pelan," ucap Adhisty lagi.

Taru tak sanggup menahan lagi desahannya. Seketika ia membayangkan tubuh polos sang istri di atas ranjang. Siap ia terkam dan mainkan. Adhisty terkekeh puas melihatnya.

Perempuan itu pun melumat bibir Taru, membuat pria itu membalas lumatannya dengan hisapan dalam dan berkali-kali.

Taru mendesah menikmati cecapannya dengan sang istri. Ia lalu terengah menyadari kebodohannya yang tidak bisa menahan diri untuk tak menanggapi Adhisty.

Tapi perempuan itu begitu menggoda. Begitu menggairahkan dan membuatnya terus menginginkan kemesraan tadi. Seolah tahu, Adhisty pun tak berhenti menyerangnya. Menyentuhnya dengan cermat dan membuatnya berkali-kali jatuh ke dalam kubangan hasrat.

"Sekarang kerja dulu yuk?" ujar Adhisty. Ia segera membuka pintu mobil, lalu membetulkan pakaian dan riasannya di spion.

Taru yang masih mendongak perlahan menunduk. Sambil terengah dia berkata, "Jangan ge-er... dia nggak ngomong sama kamu..."

Ia berusaha menenangkan diri dari serangan pagi yang begitu menggiurkan tadi. Dengan lemas ia menatap Adhisty dari balik kaca pintu.

Taru tahu bahwa mereka harus memberi jeda terhadap kegiatan intim mereka. Tapi entah bagaimana caranya menghindari perempuan itu nanti malam saat dirinya bahkan sudah mendambakan tubuh mulus sang istri sebelum tengah hari.

(((Bersambung)))

***

Hai hai...

Gimana ceritanya bagian ini? Akutu kayak nggak pede deh, soalnya kayak nggak maksimal gitu. Masih radang tapi udah bisa nulis. Jadi nulis aja daripada ketumpuk di kepala gitu. Hehehe...

Semoga suka yaa...

See you on next chapter ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top