24. Tatapan yang Teralihkan
"Enak nggak?" tanya Adhisty sambil menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja makan.
"Enak." jawab Taru sebelum menyuapkan kembali nasi uduk ke dalam mulutnya.
"Mau lagi?" tanya Adhisty lagi.
Taru mengangguk, "Boleh."
Adhisty meminta piring Taru sementara pria itu memandanginya penuh tanya sambil memberikan piring itu. Taru tak berhenti memandangi sang istri saat perempuan itu melengos ke dapur dan mengambilkan Taru nasi uduk, suiran ayam, tempe orek, dan telur dadar iris buatannya.
Sudah lewat dua minggu sejak Adhisty pertama kali memasakkan Taru nasi goreng. Entah ketagihan masak atau memang hasil mengidam, sejak saat itu Adhisty tak pernah absen membuatkan suaminya sarapan. Bahkan di akhir pekan pun ia tetap melakukannya.
Dari semua hal, yang mengejutkan Taru adalah Adhisty ternyata begitu pandai memasak. Meskipun tak pernah memasak seumur hidupnya, Adhisty mengaku mudah mengikuti resep makanan yang sempat ia cari di internet. Mungkin dirinya sedikit tak terampil dalam memotong atau mencincang, tapi sampai sekarang tak ada satupun hasil makanannya yang tak dilahap habis oleh Taru saking enaknya.
Kini Taru merasa salah tingkah. Begitu ganjil rasanya dilayani tuan putri seperti Adhisty. Ia tahu bahwa istri kerabat-kerabatnya tak ada yang memasakkan suaminya makanan. Untuk apa? Mereka bisa masak hasil masakan chef ternama setiap minggu jika mau.
Tapi dirinya tak bisa merasa biasa saja setelah dibuatkan sarapan selama dua minggu oleh Adhisty. Taru merasa spesial, dan Adhisty terlihat semakin sempurna di matanya.
"Ehm, makasih." Pikiran Taru buyar saat perempuan itu berdiri di sebelahnya dan meletakkan sepiring nasi uduk di hadapannya.
"Aku mandi dan ganti baju, baru kita berangkat ya," ucap Adhisty. Ia landaskan sebuah kecupan di tulang pipi Taru sebelum beranjak.
Taru memejamkan mata. Aneh, kecupan Adhisty seolah beriak dan membuat detak jantungnya terasa lebih kuat. Ia dapat merasakan wajahnya memanas dan senyumnya terangkat.
Rasa senang dan bangga menyatu di hatinya. Saat itulah Taru menyadari bahwa pesona sang istri benar-benar luar biasa.
***
Taru menatap heran perempuan yang sudah duduk menunggu di ruangannya.
"Kenapa tiba-tiba datang, Dhis?" tanya Taru. Ia segera memeriksa jam tangannya, pukul setengah dua belas.
"Emang nggak boleh kalau istri sekaligus partner bisnis kamu ini mampir?" Sindir Adhisty.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Taru lagi. Kali ini ia memijat pangkal hidungnya. Adhisty ingin merajuk karena kedatangannya seolah sangat mengganggu sang suami, tapi ia urungkan segera niat itu. Keseharian Taru memang sangat sibuk sehingga ia paham kalau acara yang tiba-tiba dapat mengacaukan mood dan jadwal pebisnis itu.
"Tiba-tiba inginnya Taru... aku mau ditemani kamu cari maternity clothes. Baju-bajuku sudah nggak nyaman dipakai," jawab Adhisty tanpa basa-basi. Membuang waktunya dan suami di jam kerja bukanlah hal yang bijaksana.
Taru mendesah panjang, "Kasih aku waktu sebentar."
Taru keluar, bergantian dengan asistennya yang sempat Adhisty dengan diinstruksikan Taru untuk menemani Adhisty.
"Bapak lagi sibuk ya?" tanya Adhisty penasaran.
Si asisten kikuk itu menyeringai lebar, "Bapak sebenarnya ada lunch meeting dengan bos dari perusahaan klien. Ini mungkin agak lama perginya. Ibu mau dibawakan minum apa?"
"Air putih anget aja, aku lagi agak mual," ucap Adhisty sambil memberikan senyumnya.
"Oh iya!" Seru asisten itu, membuat mata Adhisty terbelalak, "selamat atas kehamilannya, Bu! Semoga sehat selalu ya, Bu Dhisty..."
Adhisty tertawa mendengar seruan penuh semangat itu. Asisten Taru adalah seorang perempuan berusia 26 tahun, tapi sifat dan sikapnya terkadang lebih mirip anak-anak usia sepuluh tahun. Serampangan, kikuk, dan meledak-ledak.
"Terima kasih ya," balas Adhisty. Senyum lebar sang asisten mengiringi kepergiannya dari ruangan Taru.
Adhisty bersender di sofa empuk ruangan transparan itu. Berbeda dengan kantor Arun, ruangan Taru dan jajaran manajemen di kantor ini semuanya berdinding kaca transparan. Jika para pemegang keputusan merasa harus berdiskusi secara tertutup, ada tirai yang dapat menutupi dinding tersebut.
Menurut Taru, transparansi ruangan melambangkan transparansi perusahaan. Hal ini juga terbukti meningkatkan performa kerja jajaran manajemen ke atas.
Adhisty selalu suka konsep kantor ini. Di kantor baru mereka nanti, ia berencana memberlakukan konsep dinding transparan ini untuk semua pemilik ruangan. Tentu saja ide ini masih gigih ditentang Arun yang sudah terlalu nyaman bekerja di balik dinding tertutup.
Lamunan Adhisty tentang kantor baru mereka buyar saat Taru datang, "Aku hanya punya lima belas menit Adhisty. Cari pakaian di dekat sini aja ya."
"Terima kasih, Taru," ucap Adhisty. Ia berdiri sambil mengangguk penuh semangat.
Keduanya keluar ruangan. Adhisty menahan tawa saking gelinya melihat asisten Taru yang baru dari pantry direktur membawa segelas air. Dari kejauhan ia memberi isyarat yang menyatakan rasa terima kasihnya sekaligus penolakan air yang ia minta tadi. Dengan wajah canggung asisten itu mengangguk dan kembali ke pantry direktur.
"Luna tuh lucu ya?" tanya Adhisty.
"Ngeselin kadang-kadang. Aku lagi mau lempar dia ke divisi Kamal," jawab Taru.
"Tega kamu."
"Dia potensial kok jadi penulis konten di sana. Lebih baik daripada jadi asisten. Jadwalku sering kacau diatur dia."
Adhisty berhenti sejenak karena merasa mual. Ia membekap mulutnya, menahan gejolak untuk mengeluarkan isi perut.
"Dhis, are you okay? Masih bisa jalan?" Taru merangkul Adhisty erat dan menjadi penyanggah perempuan itu. Adhisty mengangguk lemah.
"Sampai mall dekat sini, kita cari makan dulu baru cari pakaian ya," kata Taru tegas.
Pria itu seperti memberi perintah kepada istrinya, suatu sikap yang biasanya sangat Adhisty benci. Tapi saat itu Adhisty mengangguk tanpa melawan.
Jantungnya berdegup menyadari bahwa saat ini ia baru saja membiarkan orang lain memerintahnya. Tanpa negosiasi, tanpa debat.
Setelah sekian lama, ia baru merasakan sensasi yang begitu menegangkan sekaligus menarik dari membiarkan dirinya berada di bawah instruksi orang lain.
Ia menatap suaminya. Senyumnya mengembang lebar sepanjang perjalanan mereka menuju mobil di parkiran kantor tersebut.
***
"Dhis..."
"Hm?"
"Kamu yakin nggak mau pesan yang lain?"
"Nggak usah, ini aku udah kenyang."
"Fish steak, at least?"
Adhisty mengerung dan berhenti mengunyah seladanya, "Kenapa sih, Ru?"
"Aku cuma mau make sure asupan protein untuk anak kita cukup. Dari yang aku baca, daging-dagingan tuh bagus untuk pertumbuhan janin," jawab Taru lugas.
"Hm, nggak tahu. Aku lagi gampang mual makan daging. Nanti aku ngemil almond aja boleh? Kan protein kacang-kacangan juga bagus."
"Tuna campur salad, please? Dressing kamu juga kan vinegar-based. Minta tuna-nya dimasak matang aja biar nggak amis."
"Kalau tetap throw up gimana?" tanya Adhisty. Beberapa kali mengeluarkan isi perut setelah memakan beberapa suap daging-dagingan membuatnya menghindari sumber protein yang satu itu. Mengingat lemasnya tubuh dan sakit kepama yang terasa berjuta kali lipat lebih menyengat dari biasa membuatnya kapok memaksakan diri memakan daging dan memuntahkannya kembali.
"Kucariin susu," ujar Taru sambil tersenyum.
"Susu pisang ya?" pinta Adhisty.
"Kubeliin satu kardus kalau perlu."
"Okay," Adhisty mengangguk senang akan negosiasi yang cukup menggiurkan itu.
Kehamilan Adhisty memang terbilang unik. Menjelang trimester dua, mual dan pusing yang biasa muncul di trimester pertama malah baru datang. Keinginan untuk muntah yang dialami Adhisty baru bisa hilang kalau minum susu rasa pisang.
Sesibuk apapun Taru, ia tak pernah ketinggalan keadaan terbaru sang istri. Kehamilan seorang perempuan memang membuat banyak perubahan dalam diri perempuan itu baik dari sisi suasana hati, kondisi fisik, sampai selera. Untungnya Taru sempat mencaritahu tentang itu semua sehingga ia tak kaget dan mampu beradaptasi dengan kondisi Adhisty.
Taru mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. Ketika ada seorang pelayan perempuan datang, ia kembali menghadap ke arah Adhisty.
"Hei, udah lima belas menit. Gimana meeting kamu, Ru?" tanya Adhisty sambil melihat jam tangannya.
"Sudah minta tolong yang lain untuk back up. Kamu lagi begini mana mungkin aku tinggal, Dhis?" balas Taru.
"Bisa aja mulutnya," Adhisty tersenyum, menggoda suaminya.
"Bisa apa?"
"Manis."
Taru tertawa kikuk dan menunduk, mengalihkan perhatiannya dari Adhisty.
"Ehm, maaf... kamu Taru kan?"
Suara itu membuat Taru dan Adhisty kompak menengadah. Mereka menatap seorang perempuan berbaju pelayan. Perempuan itu terlihat cantik meskipun dengan rambut terkuncir rapi dan seragam pelayan yang sederhana.
Adhisty melihat ke arah Taru dan ia dapat merasakan ada yang meletup dalam dadanya. Pria yang tadi tersipu mendengar ucapannya kini tak berkedip menatap pelayan tadi. Wajahnya kaku, menunjukkan ekspresi terkejut. Ia seperti memendam rasa yang begitu besar sementara matanya terpaku pada perempuan itu.
Dada Adhisty seketika dipenuhi gelisah. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba mata Taru tak lagi berisi Adhisty. Reaksi yang Taru berikan kepada pelayan di hadapan mereka adalah reaksi yang penuh makna. Reaksi yang tak pernah pria itu berikan kepada perempuan lain.
Bahkan kepada Adhisty.
(((Bersambung)))
***
Cilukba! Hayo hayooo... siapa tuu yang bikin Mas Taru terpaku???
Tenang, tenang, tungguin aja bab selanjutnya yaa...
Btw, out of topic nih. Aku mau nanya dong...
Di sini ada yang udah baca Heart Healer dan udah baca Free-Trial Love juga nggak?
Kalau udah baca Free-Trial love dan belum baca Heart Healer, ada nggak?
Nah... kalau misalnya aku mau ngadain giveaway novel Heart Healer tapi syaratnya mereview Free-Trial Love tertarik nggak? Ada tiga buku untuk yang tertarik dan beruntung.
Kabarin ya, kalau sepi nggak jadi bikin GA 🤣
Udah ah, segitu aja. See you on next chapter~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top