21. Memulai Ritual
"Dhis, are you okay? Muka kamu kenapa?" Taru menengok sekilas ke arah Adhisty dalam perjalanan mereka menuju rumah. Sepanjang jalan, perempuan itu terus menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Setelah menyetir beberapa saat, Taru baru menyadari hal itu dan memeriksa keadaan istrinya.
"... Aku malu." Suara Adhisty teredam tangkupan tangannya, tapi cukup jelas untuk diterima telinga Taru.
Taru tertawa. Awalnya pelan, tapi semakin lama semakin keras. Lamanya tawa Taru membuat Adhisty menarik wajahnya dari balik tangkupan dan menatap suaminya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Puas banget ya, Ru?" tanya Adhisty, membuat Taru semakin terbahak.
"Lega tepatnya. Aku harap apa yang terjadi di antara kita benar-benar karena hormon kehamilan, Dhis."
"It felt real, though... keselnya aku ke kamu yang cuek, ngerasa nggak dianggap, apalagi waktu kamu bilang belum yakin cinta sama aku, kayak hancur gitu rasanya," kata Adhisty dengan suara bergetar. Ia merasa sangat malu untuk menghadapi Taru saat itu, apalagi setelah semua yang ia ucapkan semalam dan tadi pagi di rumah sakit.
Sekarang semuanya terasa konyol...
"Mungkin ada bagusnya kejadian kemarin itu," ucap Taru.
"Apa bagusnya?" tanya Adhisty bingung.
"Aku jadi paham dan harus minta maaf sama kamu, calon ibunya anak aku," jawab pria itu. Sekilas ia menengok ke arah istrinya sambil memberi senyuman yang begitu lepas. Wajah Adhisty merona saat ia menatap senyum Taru.
"Aku harusnya membuat kamu tenang. Tapi malah mengucapkan hal-hal yang bikin kamu kepikiran," kata Taru. Begitu pengertian sampai-sampai Adhisty merasa tak enak hati.
"Oh, come on! Kamu tahu di sini aku yang over-reacted!" kata Adhisty.
"Ya kamu memang over-reacted, sampai nge-date sama laki-laki lain just to make your point..." balas Taru sambil menggoda sang istri.
"Ya ampun..." Adhisty mengusap perutnya, "Aku ngelaba sambil bawa anak ya kemarin malam tuh..."
Taru terbahak keras, diikuti sang istri beberapa saat kemudian.
"Tega kamu..." celetuk Taru ringan. Adhisty mengusap lembut bahu pria yang sedang menyetir itu.
"I'm really sorry, Ru. Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, aku nyesel dan malu banget sudah bikin kamu jadi ikut uring-uringan," Adhisty memutuskan meminta maaf secara benar kepada Taru. Setelah naik-turun emosi yang ia alami, pria itu berhak mendapatkan penyesalan darinya.
"I'm fine. Kamu juga nggak uring-uringan out of nowhere kan? Sekarang kita tahu sebabnya."
"Iya."
"Jadi... sekarang kita aman kan?" tanya Taru lambat-lambat. Sebenarnya ia masih sedikit khawatir untuk mengkonfirmasi hal ini, tapi sepertinya kondisi perasaan Adhisty sudah jauh lebih baik setelah mendengar penjelasan dokter tadi.
"Ya mau gimana lagi? Kamu udah telanjur ninggalin jejak di perut aku begini..." jawab Adhisty ringan.
"Oh... jadi, kalau nggak ninggalin jejak, kita masih nggak aman?" pancing Taru. Adhisty tertawa, membuat perasaan suaminya menjadi seringan kapas. Senyum lebar kembali terulas di wajah Taru.
"Kalau nggak ninggalin jejak, mungkin aku nggak akan peduli tentang dicintai atau nggak sama kamu," jawab Adhisty.
Senyum Taru perlahan hilang, "Nggak peduli?"
"Ya... sekarang semua kerasa make sense gitu. Kalau aku nggak hamil, aku mungkin akan asyik-asyik aja memandang hubungan kita. Udah tahu kamu cuek, ngapain juga kan aku berharap diperhatikan kamu? Better aku cari cara untuk menyenangkan diri aku sendiri daripada pusingin hubungan kita," jelas Adhisty.
"Aku nggak keberatan kalau kita ngomongin hubungan kita, Dhis," balas Taru.
"Kalau sedang krisis. Kalau situasi aman terkendali juga palingan kamu cuek lagi. I dated men like you, Taru. Udah hapal sifatnya kayak apa. Memang harusnya aku nggak expect banyak soal perhatian. Dasar hormon kehamilan nyebelin. Bisa-bisanya aku jadi melodramatic kayak kemarin..."
Adhisty kembali terkekeh, tapi kali ini Taru tak ikut tertawa bersama. Beragam pikiran muncul di kepalanya sepanjang sisa perjalanan. Sementara Adhisty, perempuan itu tak berhenti tersenyum sambil mengusap perutnya. Masih rata. Ia tak sabar untuk merasakan momen ketika perut itu sudah membuncit.
Akhirnya Adhisty dapat merasakan momen menanti kehadiran buah hati.
Setelah mereka sampai rumah, Taru segera mengiringi Adhisty naik tangga sampai masuk kamar. Perempuan itu tak menggoda ataupun mengejek suaminya. Ia menikmati perhatian itu dan tak ingin Taru urung melakukannya di kemudian hari.
"Kamu mau home spa? Aku teleponin salon langganan kamu," ucap Taru. Adhisty memicingkan mata.
"Emang kamu tahu nomor salon langganan aku?" tanya Adhisty.
"Aku minta dikirimin dulu nomornya sama kamu," jawab sang suami yang gagal romantis itu. Adhisthy tertawa riang.
"Aku mau massage, tapi biar aku aja yang mgehubungin Mbak langgananku. Kamu kalau mau ngurus kerjaan buat besok ke ruang kerja aja," ujar Adhisty.
Taru segera memeluk Adhisty erat-erat, membuat sang istri terkekeh.
"Semangat ya, calon Papa..." Adhisty menepuk-tepuk bahu Taru. Ia tahu bahwa pria itu sangat bahagia dengan adanya kabar kehamilan ini. Terlihat jelas dari ekspresi Taru yang jauh lebih cerah dan penuh senyum dibanding ekspresi pria itu sehari-hari.
Mungkin Taru belum mencintainya, tapi setidaknya mereka kini memiliki penantian dan cinta yang sama terhadap calon anak mereka.
Taru mengecup rambut Adhisty. Begitu pelan sampai perempuan itu tak merasakannya, "I'll do my best, Sayang."
Jantung Adhisty berdetak kuat. Wajahnya terasa kebas dalam pelukan Taru saat mendengar panggilan yang ditujukan untuknya tadi. Sekilas, ia pikir ia salah dengar.
Taru dan panggilan Sayang... begitu canggung, menggelitik, dan unik. Hormon kehamilan ditambah Taru sebagai pasangan memang telah menjadi ujian kedewasaan tersendiri bagi Adhisty.
***
Malam itu Adhisty mencari buku dan info seputar kehamilan secara daring. Ia tak hanya mempelajari apa yang harus ia lakukan selama proses kehamilan, tapi juga memahami apa yang akan ia alami dalam proses tersebut.
Taru masuk ke kamar, disambut dengan senyuman oleh Adhisty.
"Lagi lihat apa?" tak seperti biasa, Taru menaruh perhatian pada kegiatan Adhisty. Padahal perempuan itu hanya sibuk menatap layar ponselnya saja.
"Baca e-book seputar kehamilan, biar nggak kaget nanti," jawab Adhisty.
"Oh... coba aku lihat juga," tanpa diduga minat Taru terhadap kegiatan Adhisty meroket malam ini. Begitu tinggi dan jauh sekali dibanding sebelumnya.
"Kamu kenapa? Tumben..." tanya Adhisty. Ia takjub dengan perubahan Taru yang cukup drastis.
"Salah ya?" Taru bertanya balik. Saat ini ia sudah berada di sebelah Adhisty. Tubuh keduanya tak begitu berjarak karena Taru sengaja mengambil posisi sedekat munhkin dengan sang istri.
"Nggak kok," Adhisty mengusap perutnya, "Hebat juga kamu, Nak. Bisa menaklukkan hati Papa yang sedingin biang es ini."
"Kamu juga hebat," ujar Taru sambil mengecup kening Adhisty. Gerakan itu membuat jantung Adhisty berdegup. Spontan ia menjauhkan dirinya dari Taru.
"Okay, it's getting creepy. Ada apa sih, Ru?!" tanya Adhisty. Taru menatapnya, lalu menghela napas.
"Aku menangkap satu hal dari pertengkaran kita kemarin-kemarin," kata Taru.
"Apa itu?"
"Kita butuh ritual."
Adhisty memejamkan matanya perlahan. Taru dan pikiran ajaibnya selalu ampuh membuat Adhisty tak habis pikir.
(((Bersambung)))
***
Eh, double up. Hehee...
Semoga bisa menghibur kalian hari ini yaa...
Di sini aku juga mau kasih tahu bahwa Mas Taru dan Mbak Dhisty akan slow update dari sekarang. Update menjadi minimal seminggu sekali.
Kuusahakan banget untuk tetap update setiap minggunya ya.
Sampai jumpa di bab selanjutnya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top