18. Do Something
Adhisty tak bereaksi saat menemukan Taru yang sedang melempar senyum ke arahnya di meja makan pagi itu. Perempuan itu melenggang ringan ke kursinya dan mulai melahap sarapannya tanpa suara.
"Saya minta Mbak buatin kamu omelet kesukaan kamu. Polos dan sayurannya di pinggir," kata Taru dengan gaya membujuk anak kecil.
"Terima kasih," jawab Adhisty datar. Penantian Taru di meja makan berbuah hambar karena sang istri diam saja, tidak terlihat senang dengan perhatiannya itu.
Apakah perhatiannya kurang?
"Weekend nanti mau jalan? Ke mana gitu," tanya Taru.
"Ke mana?" tanya Adhisty balik.
"Terserah kamu."
Adhisty mendesah panjang, "Kebiasaan ya ternyata? Ngajak tanpa tujuan..."
"Adhisty, I'm trying here..." ujar Taru sambil menahan geram.
"Well, lucky for you, you don't need to try that hard. Pria yang mencintai aku banyak, Taru. Aku hanya harus mencari yang standard-nya cukup memenuhi keinginan Papi."
"Apa maksud kamu?" Jantung Taru berdetak semakin kencang. Tiap ucapan Adhisty semakin menggiring hubungan mereka ke ujung tanduk.
"Sudah jelas, Taru. Aku lebih baik menikah dengan pria yang tidak aku cintai, daripada dengan yang sulit mencintai aku," kata Adhisty lagi.
"Adhisty, jangan bicara sembarangan lagi..."
"Aku nggak main-main. Begitu mendapatkan pria lain yang sanggup meyakinkan aku, aku ingin kita cerai."
"Adhisty!" Taru menggebrak meja makan dengan keras, tapi reaksi Adhisty tetap tenang. Tidak terguncang meskipun gebrakan itu membuat asisten rumah tangga mereka tergopoh-gopoh ke dapur untuk memeriksa keadaan.
"Tapi kalau kamu ingin menceraikan aku lebih dulu juga nggak apa-apa loh, Ru. Pasaranku naik kalau sedang single. Lebih mudah mencari pria saat tawaran yang datang lebih banyak," dengan nada suara yang normal, Adhisty bicara. Seolah Taru tak membuatnya resah. Seolah di hadapannya, sang suami tak punya wibawa.
Taru kembali menelan geramnya. Adhisty bukan Arun yang melunak saat dimaki. Semakin Taru menaikkan suaranya, semakin sulit rasanya menghadapi Adhisty. Tapi ia pun kesulitan berbicara dengan baik dan lembut
Ia tak tahu harus melakukan apalagi sekarang.
***
"Kacau sih lo, Mas," keluh Arun yang sudah tak paham lagi. Taru bisa menjadi begitu brilian sebagai pebisnis, tapi begitu idiot sebagai pencinta.
"Gue hanya berusaha menghargai dia dengan kejujuran, nggak tahu kalau bisa jadi separah ini hasilnya," jawab Taru lemah. Dia sudah terbaring di sofa ruang kerja Arun. Rasanya mirip sekali dengan gambaran seorang pasien yang bertemu dengan psikolog atau psikiater di film-film zaman dulu.
Sementara itu, duet Arun dan Utami kompak hadir memberikan sesi konseling gratis mereka. Selalu begitu setiap kali Taru butuh.
"Tapi tahu nggak sih lo, Mas, berapa banyak orang di luar sana yang jujur kalau mereka secinta itu sama Adhisty?" tanya Arun.
"Secinta apa?"
"Well I heard, some of them even said mereka bakal nunggu jandanya Adhisty nggak peduli walaupun itu masih empat puluh tahun lagi."
"Dasar orang-orang gila..." komentar Taru datar. Meskipun dia resah memikirkan bahwa ada satu orang yang dikatai gila itu yang akan dipilih Adhisty untuk menggantikannya.
"Bapak sendiri gimana, emang bener nggak apa-apa kalau nggak ada Mbak Adhisty?" Utami mencoba mengutarakan pertanyaan.
"Well, now that we're married, I prefer to hold her in my life. Gue nggak mau gagal dalam pernikahan," jawab Taru tegas.
"Then do something," ujar Arun frustrasi. Ia tahu bahwa Taru tak pernah ambil pusing soal perempuan. Karena sifat tak acuh yang berlebihan inilah tak ada perempuan yang betah dengan Taru. Siapa juga perempuan yang rela berhubungan dengan laki-laki yang tak menjadikannya prioritas?
"What?" tanya Taru sungguh-sungguh. Arun mengusap wajahnya dengan lelah. Sekalinya ada perempuan yang membuat Taru peduli, pria itu serba tak tahu harus berbuat apa.
"Bilang kalau Bapak cinta Mbak Adhisty, even if it's a lie." Utami sudah malas memancing dan berbasa-basi. Taru sepertinya memang tak akan tahu kalau tidak diberitahu.
"Cinta... itu lagi masalahnya. Ada apa sih dengan cinta? Bukannya kita sudah terlalu tua ya untuk membicarakan cinta? Bukannya sudah lewat ya masanya? Can't we like a very good buddy living together and do teamwork like other marriage works?" keluh Taru.
Arun dan Utami mendesah. Arun menatap istrinya sebelum perempuan itu bersuara, "Tapi kalau bukan dari suaminya, kepada siapa Mbak Adhisty bisa berharap mendapatkan cinta, Pak?"
Taru diam menatap Utami. Kini ia melihat letak permasalahannya. Pasti berat bagi Adhisty yang biasa dirayu dan dikagumi lelaki untuk tiba-tiba harus bersamanya yang jarang merayu ataupun mengagumi.
Tapi merayu dan mengagumi perempuan secara terang-terangan memang bukan kebiasaan Taru. Dia bukan Arun yang bisa dengan mudah mengeluarkan kata-kata manis kepada perempuan yang disukai. Apalagi dengan mudahnya bicara cinta.
Taru pernah beberapa kali mengutarakan cinta pada perempuan, tapi pada akhirnys cinta itu tak pernah lebih besar daripada perhatian untuk perusahaannya. Bagaimana kalau kali ini juga sama? Bagaimana kalau Taru tak dapat membuktikan cintanya pada Adhisty seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya?
"Fine, I'll talk to her later," Taru memutuskan untuk menyelesaikan sesi konseling yang melelahkan ini. Ia duduk tegak dan berpikir mungkin sudah saatnya ia pergi ke konselor pernikahan profesional. Kasihan juga pasangan Arun dan Utami jika ia ganggu terus begini.
"Kenapa nggak sekarang? Sekalian ngejemput kan?" tanya Arun sambil mengecek jam tangannya. Benar tebakannya, waktu telah menunjukkan pukul lima sore.
"Dia ada pertemuan bisnis," jawab Taru ringan.
"Pertemuan bisnis... jam lima sore?" wajah Arun berubah. Alisnya mengkerut dan seringainya naik.
"Soal agency baru."
"Sama cewek apa cowok?"
"Dari namanya sih cowok."
Arun tertawa mendengar celetukan Taru tadi.
"Mas, Adhisty nggak pernah menganggap dinner berdua aja sama lawan jenis sebagai pertemuan bisnis. They must be dancing with flirts and-"
Taru tak mendengar ucapan Arun lebih lanjut. Ia segera menuju ke lift.
***
"Thank you for meeting me."
"Well, the pleasure is mine, Adhisty. Senang sekali mendapat kesempatan bicara dengan kamu."
"Loh, memangnya saya pernah menolak ajakan bertemu dari Anda?"
"Bukan begitu. Saya kagum dengan kamu yang begitu cantik dan cerdas. Sangat menyenangkan untuk diajak bicara."
Adhisty tersenyum atas sanjungan seorang pria tampan seusianya itu. Dipta, masih berada di usia 30-an tapi sudah menjadi CEO sebuah research agency yang cukup besar di Indonesia. Karismanya tak kalah dengan Taru, kemampuan berbisnisnya juga baik. Seandainya Taru juga memiliki kemampuan menyanjung yang sama dengan Dipta...
Tunggu, kenapa jadi ingat Taru sih?!
"Dhis..." panggilan Dipta membuyarkan pikiran Adhisty yang sempat berkecamuk. Mau bagaimanapun juga bayangan Taru susah hilang dari benaknya.
"Maaf, belakangan ini saya sering merasa kurang fit. Tapi nggak apa-apa kok," ujar Adhisty sambil memijat pelan ceruk lehernya dengan telapak tangan. Lumayan juga rasanya untuk meredakan nyeri dan pening yang kerap muncul karena tak sanggup menahan tekanan batin setelah menjadi istri Taru.
Dia lagi, dia lagi! Hus! Kamu pergi dulu dong!
"Are you okay? Kamu kelihatan pucat juga, Dhis," Dipta menampakkan raut khawatir. Raut yang ingin sekali Adhisty lihat di wajah Taru.
Mengapa begitu mudah bagi laki-laki lain untuk memperhatikannya, tapi begitu sulit bagi suaminya sendiri untuk mencintainya?
"Hai, Sayang. Maaf aku terlambat."
Suara itu membuat dentuman hebat di dada Adhisty. Keterkejutannya semakin menjadi saat pria yang baru saja memanggilnya sayang itu mengecup pipinya, membuat wajah perempuan itu kaku. Dipta terlihat bingung dengan pemandangan itu.
"Perkenalkan," Taru merentangkan tangannya untuk menjabat tangan pria itu dengan ramah, "Taru Bagus Darmawan. Suami Adhisty."
Adhisty tersenyum lebar, berusaha memainkan perannya sebaik mungkin. Ia tidak mungkin memperlihatkan ketidakharmonisannya dengan Taru di depan umum. Bisa-bisa dirinya menjadi gosip di geng sosialita sampai membuat Papinya sakit kepala.
"Kupikir kamu nggak bisa datang," kata Adhisty.
"Untuk kamu, aku pasti usahakan, Dhis," ujar Taru. Tatapannya begitu dalam memasuki mata Adhisty, seolah berharap istrinya paham bahwa ia tak bermain-main dengan ucapan itu.
Dipta terlihat salah tingkah. Adhisty merasa kasihan pada pria itu. Dipta pasti merasa canggung setelah menyadari bahwa ia baru saja menggoda istri orang.
"Sudah sampai mana percakapan kalian?" tanya Taru.
"Belum mulai kok," jawab Adhisty.
"Loh kenapa? Kamu juga sih aneh," Taru mengalihkan perhatiannya dari Adhisty ke Dipta, "Saya sudah bilang kalau lebih baik pakai perusahaan saya aja. Meskipun perusahaan saya adalah perusahaan media placement consultant, tapi dalam praktiknya kan melakukan data mining juga."
"Wah, benar juga. Kenapa nggak gabung dengan perusahaan suaminya saja, Dhis?" tanya Dipta. Adhisty tersenyum.
"Setelah kuhitung, cost-nya lebih besar karena harus melakukan riset tambahan, Dip. Better pakai lepasan aja," jawab Adhisty.
"Wow... hebat ya, penuh perhitungan," kata Dipta. Taru melihat binar kekaguman di wajah pria itu sehingga ia spontan menggenggam tangan Adhisy.
"That's my wife," kata Taru sambil menatap Adhisty.
Perempuan itu terpaku. Entah apa yang diucapkan suaminya itu benar atau bukan. Ekspresi Taru saat menatapnya, genggaman Taru ke tangannya, ucapan penuh kebanggaan tentangnya... ini semua betulan atau hanya akting sebagai suami di hadapan orang lain?
Pertanyaan Adhisty harus ia telan sendiri. Dengan Taru, percakapan di meja itu menjadi lebih serius dan profesional. Setelah pertemuan itu, keduanya pulang bersama. Sepanjang perjalanan, Adhisty tak bicara. Taru pun tak berinisiatif membuka percakapan seperti biasa.
Kehangatan mereka seketika lenyap dan Adhisty merasa bodoh sempat mempertanyakan bahwa apa yang mereka punya di meja makan tadi adalah kenyataan.
Dengan Taru, yang ada hanya dinginnya kekecewaan.
Setelah sampai di rumah, Adhisty segera keluar dari mobil. Tubuhnya lelah, nyeri di kepalanya muncul kembali. Ia hanya ingin mandi air hangat dan menyegarkan tubuhnya.
"Adhisty!" seru Taru saat perempuan itu berjalan cepat masuk ke rumah. Ia segera mengejar dan menahan pergelangan tangan sang istri ketika mereka sudah berada di lantai dua.
"Lepasin!" Adhisty menarik lengannya, tapi genggaman Taru lebih kuat.
"Nggak! Saya nggak akan lepasin kamu!"
Taru menyudutkan Adhisty ke dinding. Ia mengangkat dan menahan kedua tangan Adhisty di dinding itu. Perempuan itu mengadah, menatap suaminya yang marah.
"Saya nggak akan lepasin kamu..." ulang Taru dengan suara yang lebih pelan dan tempo yang lebih lambat.
Jantung Adhisty berdetak cepat, pening di kepalanya semakin menjadi. Ia terlalu lelah untuk perseteruan ini...
(((Bersambung)))
***
Yeay! Bisa update!
See you on next chapter 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top