16. Belum Yakin
"Adhisty, kamu mau kita bicara?" tanya Taru sambil berusaha menjaga kesabarannya dalam menghadapi sang istri. Di atas ranjang, Adhisty menatap ke arah jam di meja sebelahnya.
"Dua jam sejak aku keluar ruang kerja, baru kamu datangi aku?" kata perempuan itu dengan dingin.
"Kan tadi saya selesaikan kerjaan dulu," jawab Taru, tetap dengan tenang.
"Ya udah lanjut sana kerja sampai pagi, aku mau tidur." Adhisty menarik selimut sampai menutupi kepalanya sambil tidur terlentang.
Taru mendesah. Ia berjalan lambat ke ranjang dan duduk tepat di dekat kaki Adhisty. Pria itu tak berusaha menarik kembali selimut sang istri ataupun menyentuhnya. Ia hanya duduk di sana.
"Saya nggak ngerti kenapa kamu marah Adhisty, dan saya nggak bisa menebak. Saya sudah berusaha memikirkan alasannya, tapi nihil. Saya butuh dijelaskan. Bisa tolong jelaskan dulu kenapa kamu marah?" tanya Taru.
Perlahan Adhisty menurunkan selimutnya. Kepalanya terlihat, matanya menatap langit-langit.
"Aku nggak pernah ketemu laki-laki seperti kamu, Taru," ucap Adhisty. Nadanya terdengar melunak, tapi tajam seperti sebelumnya.
"Seperti apa?"
Adhisty menghela napas, "I give everything to you, yet it doesn't make me feel wanted."
Ucapan Adhisty membuat Taru menahan rasa ganjil dan tak terima. Tentu saja Taru menginginkan Adhisty. Ia memuja dan bahkan ketagihan terhadap tubuh perempuan itu. Apakah semua gairah di malam-malam sebelumnya tak cukup untuk membuat Adhisty merasa diinginkan?
"Well, of course you are wanted, Adhisty. But we can't want it everytime, right?" tanya Taru yang masih tak paham dengan ucapan Adhisty.
"Bukan menginginkan dalam konteks berhubungan badan aja," Adhisty mengangkat tubuhnya. Kini ia duduk dan menatap Taru, "Tapi menginginkan keberadaan aku dalam hidup kamu. It feels like you're gonna be fine without me anyway."
Taru menelan ludah perlahan. Keresahannya mencuat. Sejenak ia teringat percakapannya dengan Arun sebelum dirinya menikah.
"Don't be silly, kalau saya nggak mau keberadaan kamu dalam hidup saya, nggak mungkin saya mengajak kamu menikah kan?" tanya Taru. Adhisty tertawa kecil.
"Kita sama-sama tahu bahwa kamu mengajak saya nikah karena keinginan ibu," ucap Adhisty. Perempuan itu menatap Taru dalam-dalam, "I mean, are we in love? Do you love me?"
Jantung Taru berdegup kencang. Ia mulai bingung dengan arah percakapan ini. Pembicaraan apapun dengan perempuan yang satu ini memang selalu tak tertebak arahnya, membuat laki-laki ini seperti terjebak dalam ketidakpastian.
Seumur hidup Taru tak pernah merasakan situasi serba salah seperti ini. Menegangkan, membuatnya tak bisa menebak apa yang akan terjadi. Sebuah hal yang jarang terjadi mengingat Taru begitu handal menebak langkah-langkah bisnis yang harus ia tapaki sebelumnya.
Begitu sudah menyangkut Adhisty, tebakannya kerap berujung pertengkaran. Meskipun sampai sekarang ia masih mampu menyelamatkan hubungan mereka, Taru masih merasa tak akan pernah tahu reaksi Adhisty terhadap sikapnya. Hal inilah yang membuatnya merasa bahwa hubungan mereka begitu menarik. Begitu menggairahkan.
Tapi apakah ini semua dapat dikatakan cinta?
"Could I ask you one thing?" Keheningan Taru menciptakan pertanyaan baru dari Adhisty.
"What is it?" tanya Taru balik.
"Could you make us be in love?"
Seketika kepala Taru pusing. Permintaan Tuan putri di hadapannya benar-benar lebih absurd dari tuntutan klien manapun yang pernah ia temui.
***
Arun dan Utami sudah terbiasa disambangi secara mendadak oleh Taru. Dalam sebulan, pria itu bisa empat sampai lima kali mendatangi kantor Pandoraverse untuk melakukan rapat mingguan. Karena inilah Adhisty memberi ide untuk menyatukan semua perusahaan mereka ke dalam satu gedung.
Saat ini, ide itu masih dalam tahap pencarian gedung yang cocok, jadi kebiasaan Taru melakukan sidak ini pun masih harus dijalankan. Tapi ada yang aneh dari sidak Taru pagi ini. Alih-alih mengambil ruang rapat dan melakukan pertemuan dengan jajaran manajerial, Taru hanya mengajak Utami, Olive, dan Arun bertemu di ruangan sang CEO Pandoraverse.
Saat Taru selesai membicarakan masalahnya, Arun hanya menggaruki kepalanya dengan kikuk sementara Utami dan Olive hanya saling pandang sambil menahan senyum.
"Saya kembali ke meja saya dulu kalau ternyata pertemuan ini nggak berkaitan dengan pekerjaan," ujar Olive. Dengan lihai ia menekan satu tombol di telepon kantor Arun tanpa terlihat oleh siapa-siapa. Dengan begitu, ia bisa menguping dari luar sambil menjaga pintu dari tamu ataupun karyawan lain yang memiliki keperluan dengan Arun.
"Lo jawab apa emang pas dia nanya gitu?" tanya Arun ketika Olive sudah keluar.
"Ya... gue tanya balik."
"Tanya apa?"
"...With each others?"
Arun dan Utami spontan bertukar pandangan sebelum akhirnya Arun berseru gemas, "Yah elah lo, Mas!!"
"Eh, tapi make sense kok pertanyaan Pak Taru." Di luar dugaan, Utami malah membela Taru.
"Make sense gimana?" tanya Arun sewot.
"Ya mungkin aja Mbak Adhisty itu hanya ingin merasakan jatuh cinta. Nggak harus dengan Pak Taru, yang penting bisa fulfilling needs affection dia," jawab Utami. Taru tersenyum tipis.
"Tam... lo tuh wise dan dewasa banget ya ternyata," puji Taru pada Utami.
Utami tersipu mendengar sanjungan itu. Bangga juga rasanya dipuji sosok kakak seperti Taru.
"Kok mau-maunya sama Arun sih?" tanya Taru, tak tahan untuk jail. Sudah lama dirinya tidak menggoda Arun, rindu juga melihat manusia yang satu itu kesal.
Dengan sigap Arun mengambil pulpen di kantung kemejanya dan melempari wajah Taru dengan pulpen itu.
"Nggak usah ngomong sembarangan lo, Mas." kata Arun. Sementara itu, Utami tertawa geli. Tak habis pikir dengan dua orang yang masih saja bersikap kekanakan meskipun sudah nyaris berusia paruh baya.
"Tapi yaa, nggak mungkin Adhisty mikir kayak begitu," Arun berusaha mengembalikan percakapan mereka ke topik semula.
"Kenapa?" tanya Taru sambil mengernyit.
"Karena ribet. Ngapain juga jatuh cinta sama cowok lain, dan lihat suami sendiri jatuh cinta sama cewek lain. Bukannya lebih simple kalau saling jatuh cinta?" jelas Arun. Perlahan Utami dan Taru mengangguk, mengiyakan penjelasan Arun tadi.
"Hm... kalau dipikir-pikir, lo sama Adhisty cocok ya, Run? Jawaban tentang ini aja mirip," komentar Taru. Ia mengingat kejadian semalam, dimana Adhisty tambah mengamuk setelah pertanyaan sederhananya dan berkata bahwa Adhisty tak berminat memperumit keadaan dengan orang-orang tambahan dalam hubungan mereka.
"Wah iya, Pak? Tuh kan aku bilang juga apa. Harusnya kamu sama Mbak Dhisty. Aku patah hati paling nggak lama," Utami yang juga terhibur melihat muka panik Arun pun memutuskan bersekongkol dengan Taru untuk menggoda suaminya.
"Terus nanti sama gue ya, Tam?" Taru mengangkat tangannya mengajak Utami tos.
"Iya dong, Pak," kata Utami sambil menge-tos Taru.
"Tam, tam, anak udah satu sama aku. Ngomong jangan sembarangan yaaa..." Arun berkata sambil menahan geram menatap Taru.
"Nggak bakal gue ambil, takut amat sih, Run." Taru terkekeh sementara Utami sudah terbahak. Ia mengusap-usap wajah Arun agar emosi pria itu reda. Sementara itu, pria yang wajahnya tengah diusap-usap pun berubah cemberut. Ingin marah, tapi tangan sang istri terasa begitu lembut dan nyaman.
"Lo ke sini ngapain sih, Mas, selain ngerusuhin rumah tangga gue?!" tanya Arun pada Taru. Akhirnya ia putuskan untuk melampiaskan kemarahannya pada si biang kerok bin provokator dalam percakapan itu.
"Adhisty nanya tentang cewek spesial sebelumnya," ujar Taru tiba-tiba. Wajahnya sudsh serius lagi. Arun dan Utami melongo. Pertengkaran mereka berputar haluan dengan cepat. Tahu-tahu Taru sudah kembali membicarakan sang istri.
"Nanya gimana?"
"Dia nanya, ada nggak cewek yang gue anggap spesial. Gue jawab ada, ibu dan dia."
"Awww... so sweet..." kata Utami sambik tersenyum luluh. Mata Taru terbuka lebar dan tubuhnya yang semoat bersender di meja kerja Arun pun menegak.
"Nah, reaksi normalnya tuh harusnya kayak si Tami gini kan? Tapi dia malah marah. Bingung nggak lo?"
"Mungkin dia nggak nangkep maksud lo, Mas," tebak Arun.
"Lo pikir gue nangkep maksud dia apa?" Keluh Taru, membuat Arun menahan tawanya. Taru tak tahu bahwa keadaannya saat ini telah menjadi hiburan segar bagi Arun yang sempat pesimis bahwa pria itu bisa mengalami problema suami-istri. Taru terus saja bercerita, "Udah gitu, setelah gue coba ajak ngomong, dia nanya tentang saling jatuh cinta. Gue nggak ngerti sama sekali dengan pikirannya Dhisty..."
"Saya ngerti dong," ucao Utami bangga. Tak lama, suara Olive terdengar dari telepon kantor Arun,
"Maaf mengganggu, Bu Utami dicari Pak Danang."
"Ribut sama marketingnya Tama Corp, biasa. Sebentar ya," kata Utami ringan pada Arun dan Taru.
"Duh, nanggung banget nih, Tam..." keluh Taru. Wajahnya terlihat putus asa, membuat Utami tak tega.
"Pak, Mbak Adhisty itu mau bapak bilang cinta sama dia. Bapak bisa nebak perasaan saya dan Arun sejak lama, masa' nebak maunya Mbak Adhisty aja bingung terus?" Utami menyelesaikan wejangannya sebelum berlalu meninggalkan dua pria yang melongo, mencerna ucapan Utami tadi.
"Hmm..." Taru memikirkan ucapan Utami matang-matang.
"Jangan hamm-hemm! Lo beneran belom pernah bilang cinta sama Adhisty?! Kacau lo, Mas," seru Arun sambil meninju lengan Taru.
"Kok kacau?" tanya Taru heran.
"Ya suami mana yang nggak pernah bilang cinta ke istrinya? Apalagi istri lo Adhisty," jawab Arun.
"Emang kenapa kalau Adhisty?"
"Dih, berlagak bego. Lo tahu nggak dalam sehari udah berapa banyak yang ngegombalin istri lo?"
"...Dulu?"
"Sekarang."
Mata Taru terbelalak, "Sekarang dia masih digombalin?! Kan udah nikah sama gue!"
"Mas, semua orang tahu pernikahan Adhisty itu pernikahan bisnis. Banyak dari mereka yang masih berharap hubungan lo dan istri lo itu nggak berhasil," jelas Arun serius.
"Nggak mungkin..." Taru menggelengkan kepalanya.
"Tanya aja sendiri ke Adhisty," tantang Arun. Taru diam. Ia tahu bagaimana para pria mengagumi istrinya, tahu cerita tentang bagaimana orang-orang itu berkejaran dan berlomba-lomba mendapatkan Adhisty.
"Buruan bilang cinta, sebelum ada cowok lain yang bisa ngeluluhin hati Adhisty." Petuah itu menjadi kalimat terakhir dari Arun untuk Taru. Sebuah kalimat yang memperkeruh perasaan si suami yang tak pernah berpikir terlalu dalam tentang cinta.
Taru tak tahu harus bersikap apa sekarang.
***
Taru menjadi begitu dingin terhadap Adhisty di mobil saat perjalanan menuju pulang. Sang istri tidak mempertanyakan kenapa dirinya diam saja selama perjalanan. Pria itu bahkan lupa memasang musik dan terus melaju dalam keheningan.
Adhisty sendiri merasa gugup. Sejak ucapannya semalam, Taru terlihat berbeda. Seperti menjadi banyak pikiran. Adhisty belum memiliki energi untuk mendesak Taru tentang perasaan pria itu.
Membicarakan perasaan memang bisa menjadi begitu sulit bagi pria.
Keduanya masuk ke rumah tanpa saling bicara. Lama kelamaan, keheningan itu terasa ganjil.
"Adhisty," Taru memanggil istrinya sebelum perempuan itu menuju kamar mandi.
"Soal permintaan kamu..." lanjut Taru lagi. Ia terdengar ragu.
"Ya?" Adhisty merespon seolah percakapan inilah yang ia tunggu sepanjang hari.
"If I said it, it is supposed to be the truth. I want to be sure that I... love you..."
Wajah Adhisty terasa kebas. Ada perih terasa menusuk matanya, sementara dadanya seperti dipukul keras berkali-kali.
"Saat ini, aku belum yakin."
Kepekatan langsung memenuhi dada dan kepala Adhisty setelah Taru menyelesaikan ucapan terakhirnya.
(((Bersambung)))
***
Muahahahaa... parah bet Mas Taru~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top