11. Perasaan Yang Tersembunyi
Akhir pekan di musim panas merupakan waktu yang sangat menyenangkan untuk melakukan acara di luar ruangan. Keputusan yang tepat bagi Adhisty untuk merayakan ulang tahunnya dengan melakukan pesta barbeque siang itu.
"Ingat ya... No business talk," kata Adhisty. Matanya menatap tajam Taru, memperlihatkan kepada siapa kalimat itu ditujukan meskipun ia tengah bicara di hadapan para kerabat dekatnya. Sementara itu, para tamu terkekeh dan merasa lega. Mereka pun dapat menikmati acara itu sepenuhnya karena bos mereka sendiri bertitah untuk tak membicarakan pekerjaan.
Halaman rumah Adhisty dan Taru yang sangt luas telah didekorasi menjadi tempat piknik yang luar biasa menyenangkan. Tak hanya lengkap dengan beberapa kain flanel besar yang terbentang di beberapa titik; satu untuk duduk dan bersantai, satu untuk tempat melakukan swafoto, satu lagi beratapkan payung besar jika tidak ingin tersengat sinar matahari.
Sementara itu, Adhisty juga mempersiapkan sisi bermain anak dimana di dalamnya terdapat sebuah arena bermain Happy hop yang di dalamnya anak-anak bisa melompat, terowongan, mandi bola, dan berseluncur di perosotan. Selain itu ada juga tempat bermain pasir, gelembung busa, dan alat gambar dan mewarnai.
Di satu sisi, terdapat dua juru masak yang memanggang daging-daging sapi, domba, dan beberapa hidangan laut. Rencana untuk membeli dan memanggang sendiri bubar jalan ketika Taru dan Adhisty sama-sama menyadari bahwa mereka tak punya waktu sama sekali untuk melakukannya. Karena itulah Taru meminta Olive untuk membantu mempersiapkan acara ini.
Bu Indri sedang menemani Utami yang tinggal menunggu beberapa minggu lagi sampai hari perkiraan lahirnya. Sementara Arun, dia berbincang dengan suami Olive. Sejak Arun menikah, pria itu memang jadi lebih bersahabat kepada Taru.
Olive bersama Arila dan istri Sony sedang bermain bersama-sama anak-anak mereka sedangkan Sony dan suami Arila. Pak Hutama belum datang. Beliau baru saja berlibur ke Maldives bersama teman-temannya yang masih dekat sejak masa SMA dan kini sedang terbang menuju rumah itu.
"Nyindir?" tanya Taru kepada Adhisty saat perempuan itu sudah menjauh dari pusat perhatian dan berada di dekat. Ia memberikan satu gelas jus jambu kesukaan Adhisty saat bertanya tadi.
"Kok nyindir? Aku beneran memperingatkan loh. Khususnya buat kamu," jawab Adhisty sambil mengambil jus jambunya.
"Kok khususnya saya?"
"Karena kamu yang 24 jam bahas pekerjaan melulu. I know I'm your business partner, tapi saat ini aku mau kita jadi kayak keluarga. I'm also your wife, you know?" ucap Adhisty dengan gaya tegas.
"Jadi... mau ngomongin soal keluarga?" tanya Taru.
"Iya dong, thanks by the way," jawab Adhisty sambil mengangkat gelasnya sejenak lalu menyeruput minumannya.
"Ngomongin keturunan dong?"
"Keturunan?"
"Anak, Adhisty."
Wajah Adhisty langsung kebas. Matanya sedikit membesar dan bibirnya kaku. Tubuhnya terasa panas dingin saat bibir Taru menyentuh telinganya dan berkata, "Cepat atau lambat harus kita bikin kan?"
"Hey, bisa nakal ya kamu," Adhisty mendorong pelan Taru. Tidak untuk benar-benar dijauhkan, tapi hanya tak menyangka bahwa pria itu bisa membuatnya geregetan.
"Kamu kok kayak anak SMA yang gampang malu bicara seperti ini? Are you really a player?" tanya Taru dengan gaya jahil.
"Oh, you wanna play with me?"
"I can't wait, Adhisty."
"I will tell you whenever I think it's gonna be fun to play with you," Adhisty menjawab semua balasan jahil Taru dengan tantangan yang tak kalah mengusik gengsi.
Di luar dugaan, Taru menarik pinggang Adhisty dengan cepat dan menghisap dalam bibir Adhisty. Seluruh tamu sampai termangu. Para anak kecil menutup mata. Adhisty sendiri tak bisa memutuskan apakah ia marah ataupun tertarik pada kejutan ini.
Taru melepaskan ciumannya dan tersenyum kepada Adhisty, "Ada bekas jus di atas bibir kamu. Baru saya bersihkan."
Adhisty tertawa sambil menutup malu wajahnya menghadapi seruan dari para tamu mereka. Ia lalu mengangguk dan berkata pada suaminya, "Okay, boleh juga."
Keduanya tertawa dan Adhisty begitu menikmati sentuhan Taru yang perlahan hilang, seperti enggan melepaskan tangannya dari pinggang sang istri. Perempuan itu mulai menyapa para tamunya, bermain bersama anak-anak bawahan kepercayaannya, sampai akhirnya duduk bersama Bu Indri dan Utami.
"Enak banget deh spot ini. Ada senderan, tempat duduk empuk, makanan enak. Ya ampun, bikin mager!" kata Utami sambil bersender di beans bag yang sangat empuk. Terik mentari tak perlu ia takuti karena kehadiran payung besar dan tinggi telah menyejukkannya. Dengan tubuh yang semakin berat karena perut yang sudah semakin besar, makan daging panggang sambil bersantai di lingkungan terbuka ini sungguh terasa menyegarkan.
"Kayaknya Adhisty sengaja bikin tempat ini untuk kita santai-santai, Tam," jawab Bu Indri. Sama dengan Utami, ia pun merasa senang bisa duduk sambil melihat anak-anak bermain sambil menikmati udara luar yang bercampur dengan aroma daging-daging yang dibakar.
"Syukurlah kalau kalian suka dan ngerasa nyaman. Bu, dagingnya mau tambah? Biar aku ambilin," kata Ahdisty sambil menawarkan untuk mengambilkan daging ke piring Bu Indri yang sudah kosong.
"Udah dulu, kamu santai di sini dulu dong. Dari tadi kamu kan udah keliling," jawab Bu Indri sambil menarik lembut lengan Adhisty agar menantunya itu duduk.
"Iya, Mbak. Santai dulu," kata Utami yang sudah mulai merebahkan setengah tubuhnya ke beans bag. Adhisty pun menyambut ajakan itu dengan senang.
"Bagaimana, Dhis, anak ibu?" tanya Bu Indri. Adhisty pun sempat bingung menjawabnya.
"Sedikit jahil, tapi baik banget kok ke aku, Bu," jawab Adhisty.
"Anak ibu sifatnya nggak buruk-buruk banget kan, Dhis?" tanya Bu Indri lagi. Adhisty langsung bertatapan dengan utami sebelum akhirnya keduanya terbahak. Keduanya baru melihat kekhawatiran Bu Indri tentang anaknya yang sebenarnya cukup tepat sasaran, tapi membuat mereka tak tega untuk menjawab yang sebenarnya.
"Taru baik kok, Bu. Terkadang kelampau sibuk sama kerjaan sampai jadi cuek, tapi semua masih bisa dikomunikasikan," Adhisty memutuskan untuk sedikit jujur agar Bu Indri dapat mempercayainya.
"Ibu tenang aja, Pak Taru itu sejahil-jahilnya masih kalah kalau Mbak Dhisty udah tegas sama dia," kata Utami.
"Ehm, tegas atau galak?" sindir Adhisty. Utami langsung tertawa salah tingkah mendengarnya.
"Mbak, aku nggak mau cutiku berubah PHK jadi sekarang aku pura-pura tidur aja ya," kata Utami seraya menutup wajahnya dengan topi jerami yang entah kenapa berada di dekatnya.
Adhisty tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kembali menghadap ke arah Bu Indri.
"Kalau ada yang nggak bisa dikomunikasikan, kasih tahu ibu ya, Dhis. Biar ibu bantu bicara sama dia," kata Bu Indri. Adhisty tersenyum dan memeluk ibu tua tersebut seraya mengucapkan terima kasih.
Satu hal yang ia syukuri dari pernikahannya dengan Taru, ia akhirnya kembali mendapatkan sosok ibu yang baik dan perhatian.
***
"Siang, Pap. Gimana Maldives?" tanya Taru sambil membantu supir Pak Hutama mengangkat koper-koper dari mobil.
"Belum berubah, bikin ngantuk," jawab Pak Hutama ringan.
"Mau makan atau langsung istirahat dulu?" tanya Taru, mengingat Pak Hutama baru datang dari perjalanan panjang.
"Makan deh, lapar banget. Sengaja cuma ngemil tadi di jalan," jawab Pak Hutama.
Taru tersenyum. Ia bersiap menuju ke sisi juru masak untuk mengambilkan Pak Hutama beberapa porsi daging, kentang, dan tumisan sayur.
"Eh, kamu udah bilang kan ke Dhisty soal warisan?" pertanyaan mertuanya itu menghentikan langkah Taru.
Taru berdeham dan berkata, "Ehm, ya, sedang kami usahakan kok, Pap."
"Ingat ya Taru, no keturunan, no warisan." Pak Hutama mengangkat jari telunjuknya dan menggoyangkan ke kiri dan kanan.
Taru menghadapkan dirinya kepada Pak Hutama dan berkata, "Saya akan make sure supaya Adhisty mendapatkan apa yang menjadi hak-nya."
Di balik tembok dekat ruang tamu, Adhisty berdiri dalam diam. Ia mendengar percakapan Papi dan suaminya itu dengan jelas. Senyum pahit mengembang di wajahnya.
Ada sisi hatinya yang tersentuh saat menyadari bahwa Taru begitu melindungi perasaannya selama ini.
Tapi berarti kemesraan mereka saat makan malam itu, lalu apa yang dilakukan suaminya tadi di hadapan para tamu...
Kekecewaan yang membingungkan mengalir ke seluruh tubuh Adhisty. Untuk sejenak, ia berharap godaan sang suami kepadanya beberapa hari terakhir dilakukan dengan tulus.
(((Bersambung)))
***
Hai, para pecinta Taru.
Pertama-tama aku mau mengucapkan selamat menjalani bulan Ramadhan.
Kedua-dua, aku mau menginformasikan bahwa cerita ini akan hiatus selama bulan Ramadhan, mengingat hubungan love-hate Adhisty dan Taru akan semakin memanas setelah titik ini.
Rasanya ku tak sanggup nulis yang panas2 saat seharusnya memperbanyak ibadah 😅
Kalau masih mau mengikuti karyaku, aku menulis on going di Storial. Cerita young adult, bebas panas, hopefully menyenangkan untuk diikuti, dan tidak berbayar.
Judulnya "Hit The Beat".
Kenapa di storial? Kenapa nggak di wattpad aja? Karena udah pernah ngepost instagram kalau cerita itu akan kutulis di storial. Rasanya aneh aja kalau nggak.
Taru dan Adhisty bakal balik lagi setelah Ramadhan.
Demikian, mohon maaf kalau ada yang nggak berkenan. Semoga diterima yaa...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top