10. Adu Rayu

Warning, 21+.

Mature content.

Begitulah. Siap-siap aja yah. Kayaknya sih 21+ nih (gajelas banget. Udahlah langsung baca aja)

***

[MALAM RESEPSI PERNIKAHAN ARUN-UTAMI]

"Perempuan itu datang nggak, Ru?"

Baru ingin menyantap sajian di piringnya, Taru sudah dihadapkan pertanyaan penuh teka-teki dari ibunya. Kursi di tempat VIP yang seharusnya cukup nyaman untuk acara pernikahan itupun seketika berubah menjadi kursi panas bagi Taru.

Pria itu memang sudah mengantisipasi pertanyaan "kapan menyusul Arun?" yang ia yakini akan datang malam ini oleh ibunya. Tapi ia tak pernah menyangka bahwa Bu Indri akan menanyakan seorang perempuan secara khusus.

"Hm? Perempuan mana, Bu?"

"Perempuan yang dulu ibu tanyain itu loh..."

Pikiran Taru langsung mengarah ke wajah Adhisty. Ia pun mengerung tak nyaman, mengingat perempuan yang kerap membuat kepalanya serasa mau pecah itu.

Memang perempuan itu cantiknya luar biasa. Tapi sifat menyebalkan dan hobi mengatur-nya juga tak kalah merepotkan. Sialnya, Bu Indri yang pernah sekali ditolong Adhisty tak pernah berhenti membicarakan sang "malaikat baik hati" yang sebenarnya lebih mirip setan penguji iman bagi Taru.

"Nggak tahu deh, Bu," jawab Taru asal. Baru kali ini ada perempuan yang mamou mengganggu pikirannya selama berbulan-bulan.

"Kok bisa nggak tahu sih? Kata kamu dia partner kerja. Berarti temannya Arun juga kan?" tanya Bu Indri sambil berusaha sabar.

"Hmm..." jawab Taru sambil mengunyah makanannya. Sekalian menghindar untuk bicara kepada sang Ibu.

"Ru, ibu cuma bisa bilang kalau ibu suka sama dia. Kamu tahu nggak, rata-rata perempuan yang dekati kamu itu kabur lihat ibu. Dia malah mendekat dan membantu ibu waktu itu. Mana cantik kayak putri raja, beruntung banget kalau dia bisa jadi menantu ibu..."

"Hmm..."

"Ibu ingin melihat kamu ditemani pasangan hidup, sebelum ibu pergi." Ucapan itu membuat Taru buru-buru menelan makanannya dan meminum air. Ia lalu memandang panik Bu Indri.

"Ibu jangan ngomong begitu dong." Perhatian Taru langsung teralihkan oleh seseorang yang sedang menyalami Arun dan Utami di pelaminan. Perempuan itu tampak bagai bidadari dengan gaun merah muda dan riasan natural yang mengalihkan semua keindahan di mata Taru.

Pria itu termangu, nyaris tak bernapas dan lupa sekitar. Ibunya pun heran, mencari kemana arah Taru memandang, lalu melebarkan senyum.

"Nak..." Bu Indri menggenggam tangan Taru, menyadarkan pria itu dari lamunannya. Bu Indri menunggu sampai sang anak menatap matanya, lalu ia merogoh sesuatu dalam tas-nya; sebuah kotak perhiasan.

"Itu cincin kawin dari Bapak yang selalu ibu bawa kemana-mana. Kenapa dikeluarkan?" tanya Taru heran. Kotak perhiasan berisi cincin itu adalah kotak keramat, seolah jimat bagi sang Ibu. Tak pernah sekalipun ibunya membiarkan kotak itu keluar dari tas, kecuali jika sudah berada dalam rumah. Tapi kali ini, Bu Indri menyuruh Taru untuk membukanya.

Taru mengikuti perintah sang ibu dan membuka kotak perhiasan itu. Terdapat sebuah cincin dengan mata berlian yang indah di dalamnya.

"Perjuangkanlah seorang perempuan, Taru. Jangan dipendam. Karena jika kamu berhasil mendapatkan hatinya, perempuan akan memberikanmu hidupnya," ucap sang ibu. Taru terdiam cukup lama sampai akhirnya mengadah dan menatap sang ibu. Ia tersenyum dan menatap Adhisty.

Saat itu, Taru telah membulatkan tekad untuk memperjuangkan Adhisty meskipun tak tahu bagaimana caranya.

***

"Taru?" Adhisty memanggil Taru beberapa kali yang melamun menatap tangan kanannya. Tangan kanan dengan cincin berlian pemberian Bu Indri di jari manis.

"Hm... maaf," ujar Taru sambil menyunggingkan senyumnya. Adhisty dan gaun merah muda memang serasi. Perpaduan manis dan menawan terpancar tanpa ragu dari dalam diri perempuan itu, entah kenapa selalu membuat Taru betah memandangnya.

"Malah bengong. I said thanks..." kata Adhisty. Di hadapan mereka sudah terpampang makanan utama, bebek panggang dengan kentang tumbuk, sayuran, dan saus spesial buatan chef ternama yang kini memasak di dapur mereka.

"Maaf hanya bisa bikin kayak gini aja buat kamu," ucap Taru sambil menunduk malu. Beruntung tadi ada Olive, sehingga ia dapat terbantu untuk mencarikan gaun dari brand favorit Adhisty dalam waktu satu jam saja. Semakin dipikir, Taru semakin malu akan sedikitnya kontribusi dirinya untuk acara ini.

Seharusnya ia bisa melakukan lebih banyak.

"Aku suka kok. Akhir-akhir ini kayak kepengen acara yang lebih private kayak gini. Weekend nanti mau bikin barbeque party, tapi ngundang yang deket-deket aja, yuk?" tanya Adhisty. Ia membayangkan mengobrol bersama Arun dan Utami, Olive dan keluarga, Soni dan keluarga, Arila dan keluarga, serta Papinya dan Ibu Taru. Akhir-akhir ini, Adhisty merasa merekalah orang-orang terdekatnya.

Taru tersenyum pahit mengingat ucapan Arun yang mengatakan bahwa perempuan itu secara tak langsung membuang kehidupan sosialnya demi melindungi kenyamanan sang suami. Kenapa juga ia harus mengetahui kenyataan itu, kini ia jadi tak bisa mengabaikan apapun keinginan Adhisty.

"Boleh, nanti saya siapkan," ucap Taru.

"Aku mau belanja dagingnya, biar puas pilih-pilih daging kesukaanku," tambah Adhisty.

"Nanti saya antar."

"Tapi aku nggak mau masaknya. Nggak bisa panggang, bisanya makan aja."

"Nanti saya yang panggang."

"Kok tumben?"

"Tumben?"

"Manis."

Taru sedikit tersenyum mendengar ucapan perempuan itu. Baru saja ia memikirkan hal yang sama. Adhisty terlihat sangat manis ketika tidak marah-marah. Keduanya makan bersama beberapa suap sebelum akhirnya melanjutkan percakapan mereka.

"Jadi, senang kencan sama saya?" tanya Taru.

"Hmm... lumayan," jawab Adhisty. Taru mengerutkan alis.

"Kok Lumayan? Kurang apa?" tanya Taru. Raut wajahnya terlihat serius.

"Kurang cinta..." jawab Adhisty dalam hati. Ia tak berani mengucapkannya. Takut jika hal ini disampaikan, kenyataan itu malah tak mampu diterimanya.

Saat ini, dengan kejutan semanis ini, Adhisty bisa berpura-pura merasa bahwa dirinya dicintai suami. Itu cukup. Ia menatap makanannya, lalu satu pertanyaan menggelitik pikirannya.

"Kamu benar-benar nggak pernah jatuh cinta ya, Ru?" tanya Adhisty.

"Sepengalaman saya belum," jawab Taru, "Kalau kamu?"

Adhisty terkekeh, "I was a lovers. So yeah, pernah lah jatuh cinta beberapa kali."

"Termasuk ke Arun?" tanya Taru cepat. Adhisty memicingkan matanya. Tapi percakapan mereka harus tertahan oleh pelayan yang mengangkat piring mereka yang telah kosong, mengisi gelas mereka dengan air dan meletakkan makanan penutup. Chef ternama yang disewa Taru memperkenalkan makanan penutup itu dan memberi sedikit atraksi yang membuat kubah yang terbuat dari cokelat itu meleleh dan menjadi saus bagi inti makanan penutup di dalamnya.

Setelah Chef mengucapkan selamat menikmati dan pelayan kembali mengambil jarak, barulah mereka kembali mengobrol.

"Kamu cemburu sama Arun?" tanya Adhisty. Ada getaran yang bersembunyi di dalam dirinya ketika ia menunggu jawaban Taru.

"Aneh kan kalau nggak? Mengingat Arun dekat sama kita, dan kamu istri saya," jawab Taru. Jawaban yang begitu diplomatis, masih tak teraba apakah sebenarnya pria itu cemburu atau hanya mengucapkan sesuatu yang pantas diucapkan oleh seorang suami.

"Aku sama Arun itu sama. Setelah kencan sekali, kita tahu kalau kita sama-sama buaya. Sesama buaya nggak akan saling makan," kata Adhisty.

"Jadi kalau cowok lain, kamu makan?" tanya Taru sambil menyeringai. Adhisty menahan emosinya dan mulai melancarkan sikap lain. Daripada terus berseteru dengan sang suami, mungkin ada baiknya jika ia mengeluarkan pesona yang kerap luput dari mata pria di hadapannya.

Siapa tahu setelah terpesona, pria yang satu ini juga bertekuk lutut di hadapannya.

"Sudah pasti dong, Taru. Everyone has their needs, I know how to fulfill it. So I need to reach my fulfillment too, right?" tanya Adhisty dengan suara yang berbeda. Sedikit menggoda dengan nada rendah yang terdengar lebih dewasa dan intim di telinga Taru.

"Hmm..." Taru mengangguk-angguk. Di usianya kini, tema sensual bukanlah hal yang tabu. Apalagi dengan Arun yang berada di dekatnya, ia sudah paham sekali istilah-istilah yang menjurus ke arah yang lebih panas. Karena itulah ia tahu bahwa saat ini Adhisty tengah menggodanya.

"How can't you fulfill mine, though?" Taru bertanya dengan tenang. Adhisty mengangkat bahu.

"Cause I'm not fulfilled by you."

"Then probably you have to let me."

"Let you what?"

"Fill you."

"Wow... Taru..." Adhisty bertepuk tangan, "Flirtatious juga ternyata."

"Well, If we talk about needs and fulfillment..." ujar Taru menggantung.

Adhisty kembali tersenyum dan mengangkat bahunya. ia menyantap makanan penutup di hadapannya. Mengulum sendoknya dengan cara yang membuat mata Taru tak bisa lepas dari bibir lembut perempuan itu. Rahang Taru bahkan turun ketika melihat Adhisty menjilati sendok.

Adhisty mengamati suaminya dari ekor matanya. Kalau Taru pikir bisa membuatnya salah tingkah dengan membicarakan topik sensual, pria itu salah.

Makan malam berakhir, Taru dan Adhisty mengantar chef yang telah memasak untuk mereka sambil memuji-muji makanannya layaknya pasangan suami istri yang harmonis. Entah Taru sadari atau tidak, lengannya tak lepas merangkul pinggang Adhisty.

Bagi Adhisty, saat itu Taru telah jatuh pada pesonanya.

Setelah chef dan seluruh staff restorannya pulang, Mereka membiarkan ruang makan untuk dibereskan pelayan yang datang esok pagi dan bersama menuju kamar. Bahkan sampai pintu kamar mereka terbuka, Taru tak berhenti merangkul pinggang Adhisty.

"Thank you, robot alien kesayanganku..." Adhisty menahan Taru di depan kamar. Ia mengalungkan tangannya ke leher pria itu. Niatnya murni hanya ingin menggoda Taru dan melihat mata suaminya semakin tenggelam dalam pesonanya.

"Kok robot alien?" tanya Taru.

"Kok nggak komentar soal kesayangan?" Adhisty bertanya balik.

Taru terlihat salah tingkah. Kalau sedang begini, Adhisty selalu gemas pada ekspresi manis Taru yang pura-pura tak melihatnya sambil membenarkan kacamata.

Taru terkesiap saat Adhisty menangkup rahangnya dan menarik wajahnya. Saat mereka semakin dekat, Adhisty berkata, "Anggap ini hadiah untuk makan malam manis kita."

Lalu jantung Taru berpacu ketika bibir Adhisty menyentuh bibirnya. Ada yang bergelung naik sampai ke kepala pria itu saat ia merasakan lidah Adhisty bermain dalam mulutnya.

Seketika Taru kehilangan kontrol atas dirinya. Ia tarik pinggang Adhisty sampai menempel pada perutnya dan ia angkat perempuan itu masuk ke kamar.

Adhisty terkejut saat Taru membanting pintu kamar dan menyenderkan tubuhnya dengan kasar ke pintu tersebut. Lalu serangan Adhistu sedikit demi sedikit dibalas Taru hingga akhirnya situasi berbalik.

Tiba-tiba saja Taru menjadi memiliki kontrol atas tubuhnya.

Adhisty mencoba melepaskan cumbuan mereka, tapi mata Taru yang terpejam dan bibirnya yang terus mencari kenikmatan lewat bibir Adhisty seperti tak mau diganggu lagi. Taru menggeram, napasnya semakin cepat, dan tubuhnya pun semakin melekat ke tubuh Adhisty.

Taru pun beranjak dari bibir ke ceruk Adhisty. Ia menarik paha perempuan itu naik ke pinggangnya, membuat tubuh mereka saling terasa satu sama lain.

Adhisty yang tadinya hanya ingin bermain-main pun menjadi terbakar gairah. Mulutnya yang sudah berantakan oleh bekas lipstik itu mendesah berkali-kali saat tubuhnua bergesekan dengan tubuh sang suami. Ia merasa nyaris gila ketika membuka jas dan kemeja Taru, lalu pria itu kembali mengangkatnya dan melemparnya ke atas ranjang.

Adhisty mengejar napas sampai akhirnya tersadar bahwa situasinya sudah cukup serius. Ia pun berteriak, "Time out!"

Taru tampak tak peduli. Tubuhnya yang kini tinggal memakan celana panjang dihadapkan oleh Adhisty yang telah berantakan karena ulahnya.

Taru pun menyerang Adhisty. Menahan kedua pergelangan tangan perempuan itu di atas ranjang. Ia membiarkan sang istri mengerang hebat saat dirinya melumat leher serta menindih istri cantiknya itu.

Malam itu, Adhisty begitu mempesona dan ia tak sanggup menahan diri lebih jauh lagi. Dengan tergesa, Taru mengangkat gaun Adhisty dan meraba ke dalam.

"Taru... please..." ucap Adhsity dengan tersengal-sengal. Ia sendiri sudah tak sanggup melawan nafsu yang telah menggebu. Tapi ia masih berpegang pada prinsipnya, ia hanya akan melakukannya dengan pria yang ia cintai dan mencintainya.

Taru menutup mata dan menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuh Adhisty. Perlahan ia mengatur napas. Adhisty diam tak bergerak, semakin lama semakin merasa bersalah. Ia pun berubah gugup ketika wajah Taru bangkit dan berada di depan wajahnya.

Perlahan pria itu mengecup lembut bibir Adhisty, lalu berkata, "Terima kasih hadiahnya."

Istrinya tersenyum dan menjawab, "Ganas juga ya kamu?"

"Suka?"

"Lumayan..."

Taru tersenyum, lalu memasukkan tangannya semakin dalam ke balik gaun Adhisty. Hal itu menbuat Adhisty menaikkan dadanya dan mendesah hebat. Sensasi yang diberikan jemari Taru kepada tubuhnya sungguh luar biasa.

"Weird... your body say they love it." ucap Taru penuh kemenangan. Adhisty memelototi pria yang kini menjauh dan melepaskan tindihannya.

Pria itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Sementara itu Adhisty menggigiti bibirnya melihat tubuh Taru dari belakang.

Seumur hidup, ia tak pernah merasakan berkencan dengan pria yang usianya lima tahun lebih tua seperti Taru.

Pria dewasa ternyata menarik juga...

(((Bersambung)))

***

Eh, double up. Hehehe...

Abis ngecek twitter, makasih banyak buat yang udah nge-promote ArunTamiiii...
Terharu akutu~

Bab ini buat kalian yaa ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top