Chapter 7 - Gudang Sarana Olahraga

"Cuma cokelat panas doang?" Malam-malam dingin begini, Tyo malah mengeluh tidak jelas. "Mana snacknya?"

"Gak ada." Dijawab dengan dingin. Ketua Kelas berlalu begitu saja setelah mengantarkan tiga cangkir cokelat panas, duduk di samping Leon yang tengah membaca buku pelajaran. "Leon aja anteng dikasih cokelat panas, masa kamu gak?"

"Forget it!" Tyo menepis semua kritik dari Ketua Kelas, meneguknya sampai habis tanpa jeda. "Malas kalau urusannya sama Ketua Kelas!"

Leon tak mengindah. Pikirannya terlampau hanyut ke dalam dunia sejarah. Cukup tenang rasanya, setelah dilanda ketegangan akibat kejadian siang tadi. Insiden yang semula menghantui otak Leon pun hilang mendadak.

Getaran ponsel menimbulkan bunyi di meja, membuyarkan fokus Leon memahami materi. Tangan kurusnya melayang lembut mengambil benda pipih itu. Gemy menelepon. Ada apa gerangan? Lantas ia menyapu ikon hijau, kemudian menempelkannya di daun telinga. "Halo? Kak Gemy?"

Hanya desahan mencurigakan. Dia di mana? Dengan siapa? Ia mengulangi perkataannya, "Halo? Kak Gemy? Ada apa?"

"Kita ketemu di gudang dekat gedung kelas 12, malam ini juga!" Dan sambungan terputus. Dahi Leon mengkerut. Ada apa dengan seniornya? Ia cek jam di ponsel.

Tertanda pukul 22.20, siswa tak boleh berkeliaran di jam segini. Namun, Gemy mengajaknya bertemu malam ini. Ia perhatikan, tiga temannya sudah bersiap melancarkan pertanyaan aneh tentang sang penelepon.

"Gemy bilang apa barusan?" Tidak dengan Ketua Kelas. Dia masih terbilang waras.

"Dia minta aku buat ketemuan," jawab Leon takut-takut. "Aku tidak tahu mau ngapain. Firasatku gak enak."

"Tak biasanya." Glenn yang sibuk menghangatkan diri dengan minum akhirnya buka suara, meski terlihat lesu. "Kau harus hati-hati, Leon. Mengingat firasatmu mengatakan ada yang janggal."

Tyo mengangguk mendukung Glenn. "Konon katanya, hanya orang-orang bermental baja yang bisa bertahan di kelas lingkungan hidup. Aku tak tahu kenapa banyak yang hengkang setelah bergabung di situ. Paling lama itu sehari."

"Ah, aku tahu yang itu dari artikel EPHS di dark web," kata Ketua Kelas menanggapi pendapat Tyo. Lain halnya dengan Leon. Ia menyimak obrolan mereka dengan menyesap cairan manis ini.

"Yang terpenting sekarang," sejenak Leon meletakkan cokelat panas yang tersisa setengah ke meja kecil, "bagaimana caranya aku bisa ke sana tanpa ketahuan penjaga malam?"

"Tak usah risau." Ketua Kelas menepuk pundak Leon. "Besok hari Minggu, jadi sekarang para penjaga malam tidak beraktivitas."

Leon melirik dan mendelik tak percaya. "Benarkah...."

"Meski begitu, mereka mulai beraktivitas satu jam sebelum ganti tanggal," sela Ketua Kelas menciutkan semangat beserta nyali Leon. "Baik kamu turuti apa kata Glenn. Firasatmu akan sangat berguna untuk mengartikan arti pertemuanmu dengan Gemy."

Ngerinya.... Leon tak kuasa menelan saliva. Ingatannya harus kuat. Satu jam sebelum ganti tanggal, maknanya mereka akan datang mengerjakan tugas di jam 11 malam. Leon ingat sekarang. Ia pun keluar dengan balutan jaket hitam pemberian kakek dan selama pendek selutut. Persetan celana panjang!

Sesekali Leon mengecek ponselnya selama perjalanan. Kini jam menunjukkan pukul setengah 11 malam. Ia hanya punya waktu setengah jam!

"Kenapa harus malam-malam begini?" gumam Leon memasukkan ponselnya kembali. Ia berpikir kritis, berapa suhu di malam hari? Jauh lebih dingin dari pada masa ia kemah SMP. Terpaksa Leon menghangatkan muka supaya tak demam.

Sampailah Leon di depan gedung kelas 10. Seingatnya, gedung kelas 12 arahnya ke jalur menuju perpustakaan. Kaki beralaskan sendal itu kembali berjalan terseok-seok. Namun ada yang aneh saat pergi ke sana. Leon merasa ada yang mengikutinya.

Ternyata firasatnya benar. Leon masuk ke lingkaran yang cukup bahaya. Ada yang mengikutinya dari belakang. Untuk berjaga-jaga, ia merogoh saku tempat menaruh ponsel. Setitik cahaya putih menyembul di balik saku celana. Tahan, jangan gegabah. Leon tak boleh gegabah....

"Face me!" Ia langsung berbalik menyoroti jalan dengan flashlight. Leon arahkan kiri-kanan, tak ada orang. Ini pelik. Mustahil bersembunyi di balik gedung kelas 12. Jarak Leon dengan gedung tersebut cukup jauh untuk bisa bersembunyi. Meski semak-semak cukup rimbun, kecil kemungkinan dia selamat dari pandangan Leon.

"Harusnya aku ajak Ketua Kelas," keluh Leon menyalahkan dirinya sendiri. Ia baru ingat, Gemy tak melarang ajak orang untuk menemani perjalanannya. Sial....

Layarnya menampilkan nama penelepon. Tyo meneleponnya. Buru-buru ia mengusap ikon hijau dan menekan ikon speaker. "Tyo? Halo?"

"Leon, kau sudah sampai sana?" tanya Tyo sedikit berdeham.

"Baru di tengah jalan," jawab Leon terengah-engah. Pandangannya mengerling waspada, bahkan tempo langkah pun melamban. Sesekali ia berputar guna memperhatikan sekitar. "Memangnya kenapa?"

"Aku baru ingat, dia mulai berkeliaran." Leon mengernyit bingung. Dia? Siapa yang Tyo maksud? "Baik kamu berhati-hati. Kalau kamu selamat, berarti kamu lagi beruntung. Tetap waspada, Leon."

"Oke." Tanpa berpaling, ia menekan tombol merah sebagai penutup, kembali menampilkan layar utama bergambar Leon semasa SMP. Sedikit lagi ia mulai memasuki gerbang gudang yang Gemy maksud.

Banyak alat-alat olahraga semacam tongkat baseball dan bola kasti berserakan macam sampah. Tak jarang botol kaca kosong terlabel miras terkenal menghiasi dinding dan sudut gudang. Di dalam sana terdapat punggung seorang pemuda berambut ikal pendek. Dia pasti Gemy!

"Kak Gemy!" Leon langsung berlari macam peserta atletik, berhenti di bawah lampu pijar yang menerangi pada satu titik. "Kakak ... ada perlu apa sama aku?"

Dia tak menjawab. Dia mematung. Leon membatin, dia memang mencurigakan. Indera penglihatannya mulai terasah tajam, dimulai dengan kadar cahaya di iris ambarnya, menukarkan bentuk pupil mata yang bulat menjadi tajam bagai jarum. Ia menyipit. Aura hitam itu kembali keluar, kini dari tubuh Gemy.

"Berdasarkan data siswa," Gemy berbalik melemparkan senyum sinis, "kau punya riwayat disorder." Ia berjalan menghampiri Leon yang perlahan berjalan mundur. Gemy melihat cahaya mata juniornya berkedip tak karuan. "Anehnya sir Robert mau menerimamu. Bahkan di hari pertama kamu sekolah, kamu sudah cari masalah."

Leon terbelalak kaget. Seketika punggungnya menempel dengan pintu besi, yang entah kapan bisa tertutup rapat. "Siapa yang memberitahumu soal masalahku?"

Gemy tak menggubrisnya. Pemuda itu terus mendekati Leon yang terpojok. Ketukan alas sepatu warriornya menggema di ruangan ini.

"Jawab pertanyaanku!" Emosi Leon tak dapat dikendalikan. Peluh membanjiri mukanya. Semampu mungkin ia beringsut menghindari Gemy, mencari sesuatu untuk dijadikan senjata selama tubuh ini tak diambil alih oleh alter egonya. Ekor matanya menangkap tongkat baseball yang tergeletak di sudut ruangan, pun dilumuri debu. "Aku mulai tak percaya padamu, Kak Gemy."

"Memang seharusnya begitu!" Gemy dengan cekatan menarik kerah baju Leon, membantingnya ke pintu besi. Tak sampai situ, tangan dengan kuku runcing berjuang melawan pukulan tongkat baseball demi mencekik leher Leon. Tangan Gemy lah pemenangnya. Dia berhasil merampas senjata milik Leon dan mencekik leher sang lawan dengan kuat. "Kau pantas mati. Kau telah menghancurkan hati pacarku!"

"Bahkan aku tak tahu siapa pacarmu!" sergah Leon dengan nada terputus-putus. Kedua tangan ini terus menarik cekikan Gemy. "Tolong, jangan buat aku menyakitimu. Kumohon...."

"Apa ini? Kau masih mencoba peduli padaku?" Ia menambah kekuatan di tangannya. Leon semakin sesak, semakin brutal berontaknya. Bahkan di saat Leon tersiksa pun, Gemy sempat tertawa bahagia. "Orang yang kamu bunuh, dia ayah dari pacarku! Ketika polisi dan detektif tengah menyelidiki kasusnya, aku perhatikan, kamu sangat santai, dan kamu bisa merasakan aura milikku. Tak sia-sia aku berbaik hati padamu."

"Ah, satu lagi," sambung Gemy membuang muka lawannya, tak lama ia mengangkat rahang bawah Leon menggunakan tongkat baseball. "Soal dari mana aku tahu soal masalahmu dengan kepala penjaga malam, itu bukan urusanmu."

Sebenarnya, nyali Gemy sedikit berkurang kala menatap iris Leon yang bersinar mirip mata harimau. "Seandainya aku emang pelaku insiden pembunuhan, maumu apa?"

"Aku ingin kau mati!" Cengkeramannya menguat. Tongkat baseball siap diayunkan dengan keras. Lewat telepati, Leon membaca keinginan Gemy supaya kepalanya hancur dalam sekali pukulan. Leon takkan pernah beranjak pada pendiriannya.

Seseorang menahan tindakan Gemy. Nyaris kepala Leon bersentuhan dengan permukaan tongkat itu, tapi tak berpengaruh pada pandangannya. Justru ia menjeling pada sosok di belakang Gemy.

"Kau bagaikan bunga Marigold, Gemy." Seketika Gemy melotot gelisah. Sesuatu yang dingin menggores lehernya. Bulu kuduk berdiri tegang.

"Ash?" Memanggil namanya pun sampai terbata-bata. Kalau dipikir-pikir, dia yang disebut Ash terbilang seram. Sorot matanya terbesit hampa. Air mukanya tak berubah sama sekali. Tak ada senyuman, tak ada kerutan di kening.

"Kumohon, lepaskan aku!" Permintaan Gemy tak dikabulkan. Ash masih pada posisinya, meletakkan bilah pisau di leher Gemy. Malahan netranya mengarah pada Leon. "A, aku akan biarkan Leon hidup! Kumohon, jangan bunuh aku!"

Ash kembali memandang tawanannya lama-lama, sebelum pisau di lehernya berhasil dileraikan. Ada sedikit cairan merah mengalir dari lubang yang sedikit menganga. Sambil menutup luka, Gemy melampiaskan emosinya dengan cara mengamati Ash dan Leon secara bergantian. Ia berlari pontang-panting, meninggalkan mereka berdua di dalam gudang sarana olahraga.

Leon jadi teringat apa kata Tyo. Dia mulai berkeliaran. Apa yang dimaksud Tyo adalah pemuda ini? Ada aura kelabu yang keluar dari tubuh Ash, menguar memenuhi ruangan. Pemuda dingin itu hadap kanan, memeriksa pisaunya sendiri.

"Ka-kak Ash." Leon berniat menghampiri Ash, tapi lirikannya membuyarkan niatnya, membuatnya bergidik ngeri. Selepas itu, dia kembali berpaling.

"Ternyata dunia remaja gak seindah dunia fiksi." Ash bercakap lagi! Kali ini lebih panjang. Kacamata khas bangsawannya mengkilap kala melirik Leon, sebelum akhirnya pergi tanpa basa-basi.

Orang itu.... Rasanya Leon kenal dengan dia. Wajahnya begitu familier. Dari mana ia mengenal Ash? Tubuhnya merosot dan berakhir duduk menekuk lutut. Ia mendesah berat.

"Leon!"

Bayangan itu.... Baru kali ini Leon mendapatkan kepingan ingatan. Seorang anak kecil yang tertawa riang kala menghampirinya.

"Ayah pasti masih hidup!"

Dia bertukar menangis histeris di pelukan Aki. Muka dan kedua tangannya kotor akan darah. Dia meronta, seolah ingin lari ke kuburan yang diduga almarhum ayahnya.

Benarkah dia orangnya? Leon hanya bisa mengacak rambutnya penuh pasrah. Lain halnya dengan Ash, yang bersandar di sisi pintu dengan santainya. Wajahnya terpapar sinar biru sedang dua ibu jari berhiaskan plester putih tengah mengetik sesuatu kepada orang tertuju.

Di situ tertulis, "Saya akan melindungi Leon dengan baik, seperti halnya Tuan melindungi saya." []

famts_writer vee_corvield Beelzebell_

Tanggal publikasi: 10 Mei 2020
Tanggal revisi: 20 Oktober 2020

SPOILER ALERT!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top