Chapter 5 - Unknown Teror
"Ini pesanannya!" Dua cangkir cokelat panas dan sepiring croissant hadir mengundang rasa lapar di perut. Dua pemuda berpakaian olahraga sekolah masih mengatur napas setelah berlari mengelilingi wilayah sekolah di bawah langit bersemu oranye.
Mata sipit Ketua Kelas begitu lemah kala mendongak memandang pelayan kafe berkulit pucat ini. "Kak Caleb paling terbaik-"
"Harus bayar tapi," selanya sekejap melirik Leon dengan lemah. "Bawa anak baru lagi. Yang kemarin aja belum lunas."
"Eh, hu-hutang?" Kening Caleb mengkerut menyokong tatapannya, menguras nyali Leon untuk menatap pelayan kafe itu. Leon langsung menyibukkan diri dengan mengendus aroma manis cokelat panas. Nasib baik suasana tegangnya hancur lewat tepukan meja. Tak terlalu kuat, tapi gelak sumbang Ketua Kelas buat dua pasang mata mengarah padanya.
"Tenang, aku bawa uang kok." Buru-buru ia ambil beberapa lembar uang dari saku celana. Mana lecek semua, ditambah sekeping koin game. "Ini buat teman baruku."
"G-gak usah," tolak Leon terkekeh sumbang. Di sela Leon merogoh uang di saku celana, diam-diam ia menggeser uang milik Ketua Kelas yang ditaruh di wilayahnya. "A-aku bawa uangnya."
Dompet persegi bentuk anak ayam berada dalam genggaman Leon. Cukup buat Caleb terheran soal dompet Leon. "Berapa harganya?"
"Se-sepuluh dollar," jawab Caleb tersenyum kaku. Dua lembar uang bernilai lima dollar pun diterima. Di masa ini, Caleb membungkuk bertopang dagu, mengamati setiap lekukan tubuh Leon yang sibuk menyesap cokelat panas.
Apa yang menarik dari Leon? Ia tak tahu harus menyimpulkan perasaannya sekarang. Jengah? Tak nyaman? Risih? Semuanya bercampur satu. Berpikir positif saja, mungkin dia baru lihat Leon.
"Kamu ... siswa baru, eh?" tanya Caleb memulai bicara. Ucapannya mampu mencairkan ketegangan di sekujur tubuh Leon.
"Y-yeah," jawab Leon mengangguk kaku, sedang matanya mengerling menghindari tatapan Caleb. "B-baru pertama kali ke sini juga."
"I see...." Dia mengangguk mengerti. Lekas dia berdiri mendengkus lega. "Happy nice day, new student."
Akhirnya.... Desah berat keluar dari mulut, menunduk lesu sambil menggenggam cangkirnya kuat-kuat. Setidaknya Leon senang bebannya menghilang. Bercakap dengan orang asing berasa diteror begal.
"What's up, bro?" Ketua Kelas baru saja memotong croissant untuk jatah makan Leon. Ia senggol sikunya sedikit supaya Leon melirik, menyerahkan sepotong roti pesanan Ketua Kelas. "Mau ini?"
"Trims." Entah kenapa gerakan Leon merasa berat. Jemari kurusnya menerima sodoran Ketua Kelas. Mendadak pandangan Leon berubah merah dalam sekali kedip. Iris ambarnya langsung menciut menjadi sebesar biji kacang.
Banyak darah di sekitar tangannya, mengalir deras sampai merambat ke potongan roti. Rotinya jatuh ditepis begitu saja, seakan Leon enggan memakannya. Toh, siapa yang mau makan makanan bercampur darah? Setelah berkedip lagi, tak ada yang namanya darah di tangan.
Barusan ia kenapa?
"Kamu kenapa, Leon? Sakit?" tanya Ketua Kelas mencengkeram bahu Leon. "Mau kuantar ke klinik? Aku tau lokasi kliniknya."
"Ah, g-gak usah." Lagi-lagi Leon menolak ajakan Ketua Kelas dengan halus. Sesak di dada masih bersarang, begitu pula embun peluh di sekujur tubuh. Ia elap muka berbasuh keringat menggunakan lengan baju. "M-mungkin aku lagi kecapean, tiba-tiba aku berhalusinasi."
Nilai kejujuran dan kebohongan berlangsung seri. Sepenuhnya masuk akal karena Leon baru selesai lari bersama Ketua Kelas, jangan lupakan kebohongan yang menjadikan penjelasannya hiperbola macam aliran romantisme.
"Rotinya!" Leon membungkuk mengambil roti tadi, dibersihkan terlebih dahulu dengan cara disapu pakai jemari sebelum dimakan. Sempat dicegat oleh Ketua Kelas yang berkata, "Rotinya udah kotor, Leon!"
"Gak apa-apa kok, Ketua Kelas." Selembut mungkin Leon menepis cengkeraman temannya. Ia menggigit dan mengunyahnya, ada sensasi renyah dan lembut akan adonan roti. Ditambah lelehan cokelat panas yang ia minum. Sungguh surganya pecinta kue. "Kata Aki, makanan yang jatuh ke lantai macam roti ini masih bisa dimakan sebelum lima menit. Yah, kecuali makanan lembek macam pizza atau minuman."
"Tetap aja gak higienis," sanggah Ketua Kelas meneguk cokelat panas sampai tersisa setengah gelas. "By the way, cowok tadi itu kakak kelas kita, namanya Caleb."
"Kakak kelas?" Leon menoleh sekejap sebelum mata ambar mengamati pekatnya cokelat panas pesanan yang Ketua Kelas pesan. "Aku jarang ketemu kakak kelas."
"Iyalah, setiap angkatan punya gedung tersendiri. Makanya kamu jarang ketemu kakak kelas."
"Setiap angkatan punya gedung tersendiri?" Kepala Leon terteleng, sedang jemari panjangnya mencoba mengelap noda bubuk kakao di sisi cangkir. "Maksudnya?"
"Begini-" Ia berdehem sebentar untuk mencairkan suasana. "Contoh, kita kelas 10. Kita ada di gedung yang menghalangi gedung kelas 11 dan 12, jadi kelas 11 di jalur menuju gedung olahraga, kelas 12 di jalur ke perpustakaan."
"Pantas jarang ketemu...."
"Gak heran, sih." Ketua Kelas menimpali pemahaman Leon. Roti croissant yang dipotong setengah pun habis sekali lahap saking kecilnya. "Tapi kamu bisa ketemu kakak kelas pas ada kelas tambahan."
"Alamak, lupa aku!" Spontan tangan kotor akan noda cokelat terkepal dan memukuli keningnya dengan pelan. Untung saja kening Leon tak ikut kotor. "Aku belum milih kelas tambahan...."
"Apa itu 'alamak'? Bahasa kampungmu?" tanya ketua kelas melipat tangan di meja.
"Eh, iya. Maaf...." Meski nadanya pelan, Leon masih mampu tergelak kecil penuh kegembiraan-terlihat dari senyum di bibir semerah buah persik.
"Besok aku kasih denah lokasi kelas tambahan. Tapi kamu harus berhati-hati sama kakak kelas." Ia mendekat pada Leon, begitu pula Leon yang penasaran maksud ketua kelas. Mata hitam Ketua Kelas menjeling kiri-kanan sebelum melanjutkan ucapannya. "Beberapa kakak kelas ... ada yang berusaha menghabisi nyawa adik kelasnya."
Manik ambar Leon langsung menciut. Ujung jemarinya menjadi dingin, bahkan sensasi dingin tadi menjalar dan berakhir dengan denyut nyeri di jantung. Rasa ini mirip dengan halusinasi ketika Ketua Kelas kasih croissant. "M-membunuh?"
"Iya." Ketua Kelas mengangguk mantap. Anggukannya melorotkan kacamata, lantas dibenarkan dengan cepat bagai orang gugup. "Aku gak tau siapa aja kakak kelas yang mencoba mengancam nyawa adik kelas, yang jelas kamu harus hati-hati sama Kak Ash."
"Kak Ash?" Leon spontan menengok. "Seseram apa dia?" tanya Leon penasaran.
"Kalau kata orang, dia kayak elang. Bisa dibilang mata-matanya Pak Robert lah-bukan, mata-matanya EPHS. Tapi aku gak pernah lihat Kak Ash ngobrol sama Pak Robert, bahkan sama teman-teman pun gak ngobrol. Dia siswa kelas 12 unggulan, merupakan senior termuda dengan usia sama kayak kita," jawab Ketua Kelas mulai bercerita.
"Senior termuda? Pinter banget dia." Jemari Leon mencengkeram sisi cangkir dari atas, mengangkatnya sedikit sambil bergerak mengaduk endapan kakao. "Pasti banyak prestasinya. Aku pengen kayak gitu...."
"Prestasi Kak Ash kebanyakan di teknologi. Bahkan urusan kriminal bakal dia tangani lewat dark web, kebanyakan soal pembullyan. Banyak rumor mengatakan, jangan sekali-kali kamu bikin dia emosi. Bisa aja dia membunuhmu." Ketua kelas memajukan tubuhnya, mencari batang hidung pelayan kafe. "Cokelat panas sama croissant satu lagi!"
"Apa yang buat dia emosi?" Cerita Ash yang notabene mata-mata EPHS itu menarik juga. Leon penasaran dengan dia.
"Entahlah." Percakapannya terjeda oleh tindakan mengelap lensa kacamata. "Artikel tentang dia tersebar sampai ke dark web. Ah iya, kak Ash juga pintar meretas situs web. Makanya tiap kasus tentang hacker, nama dia tertulis sebagai orang yang perbaiki situs, sekalian nangkap peretas situsnya."
Kak Ash keren pakai banget.... Leon ingin sekali bertemu dengannya, tapi bagaimana? Selain itu, Leon merasa kenal akan sosok kakak kelas itu lewat namanya. Di mana? Entahlah, ingatan Leon sedikit terganggu.
"Leon." Datang seorang pelayan kafe membawa pesanan ketua kelas, tepat saat ia memanggil nama temannya. "Kalau ada orang yang melukaimu, apa yang bakal kamu lakukan nanti?"
"Kenapa ketua kelas nanya gitu?"
"Aku tak tahu." Mulut kecil ketua kelas terbuka lalu menutup lagi, tak jadi mengatakan sesuatu. "Aku merasa-kau terlalu baik, Leon. K-kau berbeda sama cowok kebanyakan. Firasatku mengatakan kalau kamu bakal diteror terus-menerus."
"Aku tak mau ... sakiti siapapun, meski mereka sakiti aku." Di kalimat ini, perbincangan mereka berakhir. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan Leon meminum cokelat panas tanpa menikmatinya.
Leon harap dia tak menaruh curiga.
"Kenapa kamu gak mau melawan?" tanya Ketua Kelas melanjutkan perbincangannya. "Kamu bisa aja jadi korban bully kalau kamu lemah begitu."
Leon hanya mampu melebarkan senyum kecut. "Privasi."
Iya, privasi. Karena yang Leon bayangkan saat ini adalah dirinya diambil alih oleh alter ego, yang cara membunuhnya menyetarakan penderitaan hewan. Entah bagaimana caranya dia-alter ego-mengeksekusi sang korban waktu itu.
****
Entah dari mana dia mendapatkan foto Leon. Dua bilah pisau melesat menancap foto tersebut, mengeluarkan cairan merah berbau masam dari belakang foto: saus tomat.
Segala sisi ruangan dipenuhi kertas dan pin. Dari setiap kertas yang ditancapkan pin, banyak sekali tulisan mirip langkah-langkah di teks prosedur. Kebanyakan dicoret menggunakan pulpen merah, tapi tak sedikit gambar manusia abstrak penuh coretan tinta. Entah yang dicoretnya di kepala, tangan, atau tidak bagian bibir. Sekarang, satu poin langkah dicoret dengan kasar.
Lampu pijar berpendar kedip-kedip, menerangi sosok berjubah hitam. Dia menaruh kedua tangan di meja yang berserakan akan peluru dan benda tajam.
"Kamu takkan pernah bisa lari dariku...." Tangannya mulai terkepal kuat hingga buku-buku jari memucat. Dengkusannya begitu kasar, tak selaras dengan nada kala bercakap. "Kau takkan pernah bisa lari dari masalah!"
Gebrakan menggelegar ke seluruh sudut ruangan. Beberapa bingkai foto di meja pun mendadak terbaring, menerima gelombang getar dari gebrakannya. Satu dari tiga bingkai kacanya pecah. Karena itulah pandangannya teralihkan.
Bila dilihat dari dekat, terdapat foto seorang bapak paruh baya tengah mengangkat ikan hasil pancingan. Senyumnya yang lebar tak lagi memancarkan riang gembira bagi sosok ini.
Senyum dia tak lagi ada di dunia.
"Jangan harap kau bisa lolos dariku, Leon," katanya bernada rendah. "Jangan mimpi!" []
Tanggal publikasi: 7 Mei 2020
Tanggal revisi: 2 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top