Chapter 2 - Batu Jatuh ke Jurang
Tinggal sedikit lagi Leon membereskan barang bawaannya, ia bisa berbaring santai atau melihat-lihat aktivitas pelajar di lapangan serba guna. Begitu ia menaruh tumpukan buku ke meja kecil, pandangan Leon terpaku padanya: buku yang ditaruh di paling atas. Ia ambil kembali buku yang ia lihat, hitung-hitung upah membereskan barang bawaan yang banyaknya bukan main.
Buku bersampul kain kulit warna cokelat kopi pun ia elus lembut. Ia buka ke satu halaman dengan sembarang, terlihat tulisan macam huruf sambung di kolom tulisan berikut foto dirinya bersama pria setengah abad semasa kecil. Ah, melihat sosoknya sendiri yang masih kecil membuat Leon tersenyum geli. Betapa lebarnya senyum Leon kala itu, ditambah tengah mengangkat kucing oranye.
Ia kembali memerhatikan tulisannya sendiri. Catatan ini ditulis tiga tahun lalu. Begini tulisnya:
"Aku ingin Aki bahagia di masa tuanya. Hanya saja, bagaimana caranya aku mewujudkan keinginanku? Waktu itu aja aku bikin Aki sama Nini khawatir."
Tatapannya melebur menjadi sendu. Kalimat terakhir ini mengingatkan Leon akan insiden di Bandung. Tidak, bukan saatnya Leon bernostalgia. Leon menggeleng cepat mengharapkan adegan itu terhapus selamanya, tapi benaknya tak mau mengusir adegan yang ia benci sangat. Leon mohon, siapa saja, tolong hapus kenangan masa lalu yang gelap bagai tinta.
Tiga titik air mendarat membasahi lembaran kertas kusam nan kuning. Sia-sia Leon buka buku ini, otaknya malah bernostalgia. Selain itu, ia penasaran dengan keadaan di luar sana. Dari awal ia kemas selalu berisik. Pemuda dengan anting liontin bulu burung hitam tersebut beranjak dari ranjang, menaruh bukunya begitu saja dalam keadaan terbentang.
Ada ketua kelas di sana, tengah bertatap muka dengan seseorang. Terik sinar senja menyilaukan mata. Salah Leon sendiri yang berdiri dari balik jendela. Muka dia tak sanggup dilihat saking silaunya. Dari seragam resmi, dia perempuan. Dia bersurai sebahu, tengah menerima pemberian dari ketua kelas.
"Terima kasih, ketua kelas." Suaranya begitu merangsang rasa penasaran. Sedikit nyaring, tetapi lembut di dengar, tak macam cewek matre kebanyakan. Sekalinya dia berbalik menaruh kaki berselimutkan sepatu pantofel di permukaan jalan aspal, membelai rok motif kotak-kotak serta rambut dengan lembut.
Dia mampu membuka mata hati Leon. Irisnya mengecil, matanya melotot takjub. Tubuh Leon seakan memanas. Sepasang netranya mengamati ke mana gadis itu pergi.
Siapa gadis itu? Ia berharap bisa bertemu dengannya lagi. Biarlah Tuhan yang mengatur waktu.
****
Alunan musik piano begitu menenangkan, mengiringi keadaan kamar yang cukup sepi. Jendela dibiarkan terbuka, menjadikan angin malam berdesir sebagai pendingin ruangan. Rambutnya sedikit kering, tak disisir ke belakang pula. Dengan sehelai handuk yang mengalung di belakang leher, Leon tampak berpikir keras memahami tulisan di buku catatan teman.
Bibir sewarna persik berkomat-kamit. Mata beloknya mengerling-ngerling ke arah bentangan buku. Ia berusaha untuk konsentrasi pada materi yang ia catat tadi siang, tapi entah kenapa terpikirkan terus soal cewek itu.
Emang apa yang menarik dari cewek itu? Cantiknya? Gemesnya? Leon tak larat menjelaskan alasannya secara jelas dan terperinci. Ia mendengkus gusar, menunduk guna mampu melipat tangan di pangkal kepala. Leon gagal konsentrasi! Posisinya diubah menjadi bertopang dagu. Bola matanya mengarah ke bawah, mengamati setiap garis yang dikeluarkan oleh pulpen di tas kertas. Lebih mirip coretan abstrak ketimbang tulisan atau gambar.
Lama banget ketua kelas keluarnya. Jajan apa, sih? batin Leon menggerutu. Sebelah pipi tirusnya menggembung, Leon sangat bosan. Bosaan sekali! Netranya mengerling ke arah TV besar, kemudian berbalik hingga posisi duduk menyamping.
Ya kali Leon nonton TV demi menunggu ketua kelas? Tak seru kalau nonton TV tanpa cemilan! Awas saja kalau ketua kelas datang tak bawa makanan. Mending ia tidur. Ia bangkit dari kursi dan....
Tolong aku....
Seketika irisnya menciut, rahangnya mengeras. Ia mematung dalam posisi bungkuk. Suara siapa tadi? Sungguh parau, terbata-bata, juga pelan. Macam suara orang yang hendak diambil nyawa oleh Tuhan. Langsung saja ia bangkit berdiri sampai kursi yang diduduki terjungkal memicu bunyi gebrakan, menampakkan pupil mata yang ramping macam jarum kompas, warna irisnya pun menyala terang.
Leon menggeram bak hewan, pertanda ada bahaya yang bisa mencoreng nama baiknya.
Kepalanya terus-menerus menggeleng kaku macam robot rusak. Gerakannya makin keras semenjak bunyi derap langkah berkumandang di mana-mana. Pandangannya langsung mengerling dan tak bergerak sama sekali ke arah pintu masuk. Lewat imajinasinya setelah mendengar bunyinya, ada dua orang yang berpatroli di lapangan sepak bola. Mereka mengobrol tiada henti mengenai keanehan di sekolah.
Seketat itukah patroli malam di sekolah ini?
Cepatlah....
Setelah suara tadi, muncul berbagai suara menyakitkan seakan hendak merobek gendang telinga. Semakin memekakkan telinga, membuat kepala Leon pusing. Berulang kali Leon menggosok daun telinganya supaya tak mendengarnya lagi, tapi suaranya terus terdengar. Ia langsung menggedorkan jendela sampai pecah menggunakan tangan kosong, loncat keluar sebelum mereka datang memeriksa kamarnya.
Pemuda jangkung ini berlari menghindari sorotan senter. Leon sempat terjatuh akibat rerumputan yang licin akan embun hujan kemarin. Menurut penjelasan ketua kelas, ada sebuah hutan luas di belakang asrama putri-berada di tengah dua gedung asrama putra. Tempat tersebut dibatasi oleh pagar besi sehingga Leon mesti loncat dari situ. Nasib baik ia terbiasa loncati penghalang area yang tinggi macam pagar besi ini.
Pemuda berkulit sawo matang ini mendarat bertekuk lutut, beberapa kerikil kecil menyebabkan luka lecet di lutut beserta telapak kaki. Lampu senter menyorot ke sembarang pelosok hutan, sehingga Leon terus-terusan menghindar dan berlindung. Mau tak mau, Leon meraih dahan kayu kuat dalam sekali lompatan, lalu duduk di sana layaknya seekor monyet. Organ vitalnya berdegup nyeri kala sesosok berjubah warna cokelat tanah mengatur mode tembakan di senapannya. Orang itu pasti menyadari keberadaannya. Buktinya dia celingak-celinguk membidik objek menggunakan senapan sundut yang dilengkapi senter.
"Perasaan aku dengar suara orang nginjak rumput," gumamnya kembali mengarahkan ujung moncong ke depan. Sepasang sepatu boots kulit memijak genangan air kotor. Bunyi becek terdengar menggelikan bagi pendengaran dan otak Leon.
Manik mata Leon bergerak bolak-balik secara vertikal. Badan dia gemuk dan pendek. Dia memiliki kumis tebal seperti karakter mafia yang di film kartun. Leon lupa lagi judul filmnya. Topi dan jubah panjangnya nyaris menutupi seluruh tubuh. Meski begitu, Leon masih mampu mengamati rupa orang itu. Pipinya cukup tembam untuk seorang bapak gendut. Tak lupa seluruh jari tangan kanan berhiaskan cincin batu akik, salah satunya tengah berdekatan dengan pelatuk senapan api.
Tunggu, batu akik? Leon kira batu semacam itu hanya di Indonesia.
"Bersiaplah, hewan keparat." Bunyi ceklekan dari tuas kokang sudah membuat Leon merinding. Apa yang akan dia lakukan? Serigai lebar di bibir hitamnya, dia melanjutkan ucapannya, "Kalian akan pulang kepada Tuhanmu."
Ludah mulai banjir di bibir bawah Leon. Giginya menggertak kuat. Cengkeraman di ranting pohon pun makin kuat sampai ada bekas cakar, separuh ranting tersebut tergenggam di tangan Leon. Tak ayal urat-urat di punggung tangan beserta leher Leon timbul berkat emosi merah dalam hatinya dan pikiran. Baik ia ikuti ke mana orang itu pergi.
Tolong bunuh dia, Leon....
Kini suara itu terdengar jelas. Asalnya di depan sana, di arah orang itu pergi. Dengan lompat dari satu pohon ke pohon yang lain adalah cara terbaik untuk membuntuti sang target, walau akhirnya terdengar gemerisik dedaunan. Berulang kali bapak buntal itu membidik waspada ke arah sumber suara. Untungnya Leon lebih cepat dari dia, jadi ia bisa leluasa mencari sumber ucapan misterius dari atas pohon.
Ia dikejutkan dengan seekor harimau yang terbujur kaku, membiarkan darah mengalir deras di bulu-bulunya. Terlebih hari ini hujan lagi, suasananya makin horor nan mencekam. Kalau dihitung, ada tiga tembakan di tubuh hewan tersebut: di kepala, perut, dan dada. Bapak itu cukup akurat dalam hal menembak. Namun, dia mati karena ukuran pelor yang besarnya seukuran ibu jari. Leon kagum sekaligus terkejut dengan hewan ini. Dia merelakan sedikit waktu untuk menunggunya di detik-detik kematian.
Dia telah membunuhku, Leon. Tolong, bunuh dia....
Di sela Leon mendapatkan informasi, ia mendengar dia menggeram lemah. Leon coba cari hewan serupa menggunakan kekuatan mistis: melihat dengan jelas walau jarak terpaut 1 km. Sayangnya tak ada penghuni hutan selain mayat macan dan bapak berjubah itu. Apa harimau ini yang bicara padanya lewat telepati? Mungkin Leon coba membalas ucapan dia. Ia menatap hewan di sana dengan dingin. Di mana yang lain?
Mereka sedang bersembunyi. Kumohon, tolonglah rakyat kami, Cyndhakyuu. Pria itu membunuhku, mencoba melenyapkan rakyat kami untuk kepentingan dirinya sendiri.
Wajah Leon memucat, ditambah ribuan tetes hujan dan suhu dingin yang membekukan kulit. Iris emasnya kembali menciut, merasakan kengerian sekaligus rasa murka di dalam tatapan Leon. Bapak itu tak boleh menyakiti populasi hewan, meski hewan tersebut termasuk pemakan daging.
Ah, aku tak punya banyak waktu untuk berbicara denganmu. Selamatkan mereka dari bapak bedebah itu....
Gigi putihnya menggertak, refleks pada target yang diincar sekarang. Gambaran bapak buntal yang tengah membidik target empuk menghiasi iris Leon. Dia bagaikan daging empuk yang enak untuk dimakan.
Biarkan kuku runcing ini menangani urusan daging terdakwa. Tiada ampun untuk manusia yang membunuh makhluk ciptaan Tuhan.
Lantas Leon terjun dari ketinggian satu meter, tepat saat bapak berkumis tebal tersebut ada di depannya, di titik yang sesuai untuk terjun bebas. Kuku-kuku runcing yang mencuat di jari kaki menancap di perutnya. Biarkan benda ini terus menancap, sedangkan tangannya bersiap mencabik muka bapak ini sampai tiada bentuk. Leon mencakar dengan liar dan tak kenal manusiawi, persetan pembunuh makhluk ciptaan Tuhan! Tuhan sudah susah payah ciptakan satu makhluk, tapi malah dibunuh begitu saja demi kepentingan diri sendiri.
Leon merebut senapan sundut dari genggaman bapak tadi. Meski awalnya dicegat begitu kuat, pada akhirnya satu tangan putus dari tubuhnya. Leon lempar tangan tadi begitu saja, melepaskan satu tembakan mengenai wajah sang pelaku hingga hancur. Leon segera bangkit dari ritual penyiksaan. Seluruh tangan, kaki, dan pakaian yang dikenakan berlumuran darah. Saking banyaknya mungkin tak dapat dibersihkan pakai air, harus pakai sabun banyak-banyak.
Sejenak Leon menjilat cairan merah yang mengotori jemarinya. Rasanya cukup pahit dan berbau asap, tapi tergantikan dengan secuil daging segar yang tersangkut di sela kuku. Darah tadi ibaratkan obat penenang bagi Leon. Mungkin sekarang mereka—sekumpulan macan—tengah tertarik dengan bau darah ini. Pemuda bermanik amber menyala lekas pergi dengan santainya sambil membelai dua liontin bulu burung.
Mungkin banyak siswa yang mengira dua bulu di antingnya hanya sebatas hiasan. Mereka salah besar. Sekalinya dibelai oleh jari telunjuk sang empunya, dua bulu tersebut mengeluarkan bunyi gaung seperti siulan dan mendatangkan angin kuat. Selain itu, dari bunyi gaung memberikan sinyal kepada populasi harimau untuk segera menyantap daging segar gratisan.
Tak perlu menunggu lama, sekumpulan hewan buas berbulu loreng datang dan melompat ke arah mayat pemburu. Leon puas sekali mendengar auman mereka, terkesan bahagia sangat dengan hidangan kali ini. Memang harus begitu, kenapa dia malah membunuh hewan yang dilindungi?
Ini adegan yang paling Leon suka.
Jarak Leon dengan sekumpulan hewan buas itu terpaut jauh. Tiba-tiba saja jantung Leon nyeri kala berdetak. Bau amis ini memang sudah tercium olehnya....
Namun ingatan Leon menyanggah semua kenyataan di sini. Jangan bilang kalau tangan ini.... Tidak, Leon pasti berangan. Ia berbalik kaku, seketika kaget bukan main. Apa yang ia lihat sekarang tak sepadan dengan harapan.
Pandangannya mulai berkunang-kunang seiring melihat kejadian mengerikan di depan mata, sebelum akhirnya ambruk dan layar hitam menghalangi penglihatan Leon. []
Bagaimana? Seru kah? Kebayang kah? Ada yang udah ketebak soal sifat khusus Leon?
Komen yaa kalo ada yg gak puas!
Tanggal dipublikasikan pertama kali: 27 April 2020
Tanggal revisi: 5 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top