Chapter 14 - The Secret of Leon's Diary
Cerita Unknown Person diikutsertakan dalam challenge 100 days writting. Happy reading^^
famts_writer vee_corvield Beelzebell_
****
Leon datang dengan mata sepat. Dasinya begitu longgar. Rambutnya berantakan, mencerminkan betapa kacaunya ia. Kemarin malam, Leon sangat kehilangan buku yang telah menjadi penawar rindu. Kira-kira ke mana buku itu sekarang? Mustahil kalau ketinggalan di kebun binatang, mengingat Leon tak meninggalkan tasnya untuk sekadar pergi menghadap panggilan alam.
Kelas berlangsung sepi. Bahkan Leon lupa kalau bulan ini diliburkan untuk menikmati musim panas yang disambut puluhan tugas. Pergi ke sini bila ada giliran piket atau butuh ruang tenang untuk belajar. Berkat hilangnya buku secara tiba-tiba membuat Leon tak dapat tidur. Namun, hari ini mengubah Leon yang muram menjadi segar dan ceria. Ada buku usang di mejanya, sama persis dengan miliknya. Lantas, ia lari menerjang anak tangga demi memeriksa isinya.
Sorot matanya bertukar penuh pertanyaan. Ia periksa dari halaman terakhir ke halaman awal. Semuanya puisi, bukan catatan hariannya maupun foto-foto yang terkumpul di bagian tertentu.
"Ini buku siapa, sih?" Leon duduk di meja, mencari biodata pemilik buku ini. Tertanda 'Ash Victorian' sebagai nama pemilik. Leon tersenyum setelah membaca dua puisi buatannya dari sembarang halaman. "Ternyata Kak Ash suka puisi, ya."
Lelaki beriris ambar itu melotot teringat sesuatu. Ia baru saja membuka buku pribadi tanpa seizin Ash.
"Itu bukumu, Leon?" Ditambah suara Alisa yang berdiri di samping Leon, kagetnya setara dengan bertemu hantu di sekolah tak terurus. Melalui sorot mata horor, melirik gadis berambut sebahu yang sudah mengerling sambil mengulum bibirnya. Alisa berkata, "Aku cuma penasaran karena kamu ada di sini, padahal hari ini kamu gak ada giliran piket."
"Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Leon dengan nada rendah.
"Sejak kamu fokus sama buku itu?" Alisa membalas, mengedikkan bahunya. Mereka saling membisu sebelum akhirnya pergi menuju perpustakaan. Kalau saja Leon ingat denah sekolahnya, ia bisa sampai di perpustakaan dalam waktu singkat jika melewati pintu belakang gedung kelas 10. Namun, baik Leon maupun Alisa, tak ada yang ingat jalan menuju pintu tersebut.
"Semenjak ada tugas karyawisata, sekolah jadi sepi begini," kata Leon celingak-celinguk, terpaku dengan wilayah kelas 12. "Apa senior tengah belajar, makanya ramai pakai muka cemas begitu?"
Alisa mengikuti pandangan Leon. "Begitulah, tapi banyak alumni yang bilang kelas 12 sibuk sama tugas spesial. Tak ada siapapun yang mengetahui tugas tersebut."
"Benarkah?" Ia menelengkan kepala. "Rasanya mustahil kalau alumni tak mengetahui isi tugas spesial yang kamu sebutkan."
"Aku juga merasa begitu," kata Alisa membenarkan argumen Leon. "Setelah aku cek tugas spesial EPHS di dark web beberapa hari lalu, orang yang membeberkannya dikabarkan tewas, sehari setelah memposting artikel tentang tugas spesial. Kemudian, artikel dia dihapus secara misterius."
"Tak heran kalau mereka tak tahu tugasnya." Pembicaraan mereka berakhir begitu sampai di perpustakaan.
Mata mereka dimanjakan oleh pemandangan furniture kayu bercatkan hitam. Lampu gantung yang begitu mewah, lilin yang tertata rapi, serta dinding warna merah marun yang dihiaskan tanaman hias dan pigura foto kepala sekolah dari masa ke masa.
Sungguh klasik, batin Leon dan Alisa bernada kagum.
"Ada yang bisa kubantu?" Perhatian mereka teralihkan oleh sosok pemuda yang bersandar di kursi kayu. Kacamata bulat bertengger di batang hidung, memperlihatkan iris semerah darah tengah menatap dua pengunjung. Sarung tangan putih yang dia kenakan menutup buku dengan singkat.
"Kak Ash, ya?" Senyum manis terbit di bibir tipis Leon, berjalan mendekati meja pustaka-ada plat di mejanya. "Apa buku ini milik Kakak?"
Buku bersampul bahan kulit di genggaman Leon kini beralih pada pihak Ash. Pemuda berkulit putih pucat itu menyibak halamannya saja. Baca isinya pun hanya setengah menit.
"Kenapa ada di kamu?" tanya Ash menatapnya dingin.
"Saya tak tahu, Kak," jawab Leon menelan saliva dengan susah payah. "Tiba-tiba saja ada di meja. Saya kira itu buku catatan milik saya, j-jadi saya buka ... sedikit halamannya. Maaf."
Ash tak menjawab, justru kembali membaca. Kehadiran mereka seolah tak dianggap. Leon tak tahu mesti melakukan apa selain mengamati barang-barang di meja pustaka. Selain peralatan untuk memberi cap pada kartu bukti meminjam buku, banyak barang antik yang diletakkan dengan sempurna. Semacam lilin dengan piringnya, fountain pen berwarna hitam, cangkir teh pun mirip di era pemerintahan Inggris.
"Leon," Alisa menarik lengan lelaki itu, "kita pergi sekarang." Butuh banyak tenaga supaya Leon keluar bersamanya, meninggalkan Ash yang memandang spesifikasi buku miliknya. Ia membandingkan dengan kepunyaan Leon yang diambil dari laci.
"Maaf, aku mengambil bukumu."
****
Sementara itu, Alisa berjalan membungkuk, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menariknya keluar. Mereka pergi ke wilayah asrama, berteduh di kawasan hutan. Selama Alisa berbaring di bawah pohon rindang, Leon malah pergi menyusuri hutan, menelisik setiap pohon.
Seekor anak macan keluar dari persembunyian, berlari minta dipeluk. Leon mengabulkannya, bangkit dan berputar sambil mengelus punggung hewan berbulu loreng. Alisa sedikit terusik mendengar gemeresak rerumputan yang diinjak. Matanya membulat sempurna begitu auman menggemaskan-mirip kucing mengeong-keluar dari mulut anak macan. Leon duduk bersila, mengajak anak macan bersalaman.
"Kau bawa anak macan, lagi?" Alisa berguling memposisikan dirinya bertiarap.
"Selagi dia tak berbahaya, kenapa tidak?" Alisa kedapatan tatapan meneduhkan dari manik ambarnya. "Toh, ini anak macan, bukan induknya."
"Tapi sama aja nanti gedenya makan daging." Alisa bertopang dagu, sedang bibirnya mencebik. "Manalah tau pas tumbuh dewasa, dia makan kamu."
"Sebab itulah mereka ada di hutan, wilayah hewan dan manusia sangatlah berbeda. Jika manusia mengusik wilayah hewan, maka mereka mengusik wilayah kita."
Alisa tertegun, mencoba mencerna pendapat Leon yang sekarang melepaskan anak macan ke kawasan hutan kemudian melentangkan tubuhnya. Gerakan mata yang berpindah secara bertahap, Alisa mengangguk paham. "Ngomong-ngomong, kau bilang buku catatanmu hilang. Apa itu benar?"
Alis Leon terangkat dikala melirik ke arahnya. "Iya, kamu tau bukuku di mana? Kemarin waktu kita karyawisata, bukuku masih ada di tasku."
Raut wajah Alisa menegang. "Mu-mungkin ada yang mencurinya," kilahnya tersenyum kikuk. "Aku melihat tasmu belum di-resleting, gak menutup kemungkinan bukumu dicuri, kan?"
"Hanya stalker yang nekat mencuri buku catatan orang lain," kata Leon menyanggah. "Untuk apa mereka curi bukuku? Supaya mereka mau bantu aku? Aku tak punya kenalan di sini selain seseorang yang sering diceritakan kakekku."
"Aku setuju denganmu." Alisa menunduk memainkan helai rumput. "Lalu seseorang? Siapa itu?"
"Aku juga tak tau." Leon memejam sebentar, membiarkan titik sinar matahari yang menembus celah menghangati wajahnya. Ia mendengarkan napasnya sendiri yang berembus mirip siulan angin. Sinarnya menyilaukan mata saat terbangun. "Katanya, orang itu akan selalu mengawasiku. Dia dengan segenap jiwa dan raga akan melindungiku."
"Sampai sekarang kau belum menemukannya?"
"Belum." Leon melemparkan senyum tipis-senyum palsu. "Biarkan waktu yang mempertemukanku dengannya."
Alisa membatu. Sepasang matanya menciut sedikit. Badannya mulai memanas. Senyum Leon sungguh memabukkan, merangsang berahinya. Ia berusaha mencari celah baginya bernapas, tapi wajah lelaki itu mengitari otaknya. Segalanya tentang dia. Lantas, ia kembali melentangkan tubuhnya. Sama-sama memandang dedaunan yang bergoyang.
"Kenapa buku itu penting bagimu, Leon?" Tangan ceking Alisa terangkat. Jemari berhiaskan cincin itu menghalau sinar matahari yang menembus celah dedaunan.
"Karena di situlah ... kenanganku bersama mereka tercatat dalam sejarahku." Di balik tatapan sendu, tersimpan sejuta ketakutan yang terpendam, jauh dari jangkauan orang dalam memahami perasaannya.
"Pergi sejauh mungkin dan temui Aki, Leon!" Sebab buku catatan Leon adalah jawaban dari mimpi buruknya. []
Majalengka, 15 Januari 2021
Hmm, jadi itu alasan Leon sayang buku catatan, sampai panik pas bukunya hilang. Tapi, kenapa jawaban mimpi buruknya harus di buku catatan Leon, ya? Nantikan di chapter selanjutnya!
SPOILER ALERT!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top