Chapter 13 - Buku Sakral Leon
Cerita Unknown Person diikutsertakan dalam challenge 100 days writting. Happy reading^^
famts_writer vee_corvield Beelzebell_
****
"Serius kamu mau di sini aja, Alisa?" Dua teman sejenis tampak sibuk memasukkan barang-barang penting ke dalam tas. Alisa berfirasat, tas kembung juga karena barang seperti make up, ponsel beserta headset dan charger, dan alat selfie hingga makanan ringan.
"Iya," jawab Alisa duduk bersila di atas ranjang temannya, "aku gak kebagian kelompok juga. Masa paksa mereka terima aku di kelompoknya?" Ia membantu memasukkan barang yang belum termuat di tas. "Kalian gak bawa pembalut gitu buat jaga-jaga kalau tembus? Atau kamera polaroid biar gak perlu cuci foto?"
Mereka saling pandang sebelum serempak berteriak, "Iya!" Makin kacaulah mereka, lari sana-sini cari dua benda yang Alisa sebut. Gadis berambut lurus sebahu itu hanya tergelak geli.
Beberapa menit kemudian....
"Sudah!" Temannya yang bertubuh sedikit gempal menepuk tas mini kembung dengan gemas. "Thanks, Asheve."
"Santai aja." Alisa meliriknya sebentar sebelum membaca majalah wanita, bersandar di kepala ranjang. "Jangan lupa oleh-oleh, kalian gak kasihan sama aku yang diam di asrama?"
"Pastinya!" Gadis berambut merah menyala yang dipangkas pendek itu mengacungkan jempol. "Kita pergi dulu!"
****
Jam dinding menunjukkan pukul setengah 11 siang, tapi panasnya mulai menguras energi Alisa yang menonton film aksi Asia dalam keadaan tengkurap. Berkali-kali ia menguap sampai mulutnya mirip raungan singa. Mata terasa ingin terpejam lebih lama. Namun, ketukan pintu berhasil memercikkan semangat, membuat matanya terjaga.
Ia memandang pintu. Seingatnya, tidak ada siswa yang berkeliaran di asrama akibat tugas karyawisata. Apa temannya sudah pulang? Kaki jenjangnya menapak di permukaan lantai, berjalan sempoyongan demi membuka pintu. Seketika rasa penat Alisa hilang oleh kedatangan Leon yang mengenakan kaos oblong warna hitam.
"Leon?" Alisa langsung menyisir rambutnya dengan jari, berusaha terlihat seperti belum beraktivitas dengan senyum lebarnya. "Kamu gak pergi karyawisata?"
"Maunya begitu," jawabnya mengerling jengah. "Jadi aku mau ngajak kamu ke kebun binatang."
Tiba-tiba saja tubuhnya berdesir dingin, seperti disiram air terjun. Jantungnya berdetak nyeri. Alisa berusaha setenang mungkin, dengan cara menelengkan kepala. "Ke kebun binatang?"
Ini benar-benar keinginanku! Dalam hati Alisa menjerit histeris. Namun, mengapa dia mengajaknya?
"Iya...." Leon menghalangi pandangannya dengan telapak tangan. "Kamu mau ikut ke kebun binatang buat liburan musim panas?"
Alisa mendelik antusias. Leon sungguh mengajaknya? Ke kebun binatang? Untuk liburan musim panas? Bukan untuk....
"Ah, bukan. Maksudku untuk karyawisata." Leon mengoreksi ucapannya. Mukanya begitu panik sebelum manik ambarnya berpaling.
Alisa tak bersuara cukup lama sebelum akhirnya bertanya, "Apa kau belum dapat anggota karyawisata?"
Leon terhenyak, mundur selangkah seraya mengiakan dengan gelagapan. "A-aku baru tau soal karyawisata dari ketua kelas. Saat itu aku ketiduran jadi gak tau...."
Mata Alisa membulat dan berkedip tak sesuai ritme. Pikirnya, kenapa Leon tidak tanya ke teman-teman sekelasnya supaya bisa gabung ke kelompok karyawisata? Tidak, ini yang ia inginkan. Dengan ajakan Leon, Alisa bisa dapat nilai dan memulai lembar asmara. Tidak, hanya dapat nilai! Ia langsung membanting pintu dengan kuat, membiarkan satu tangannya menempel badan pintu. Napasnya terengah-engah, seperti tiada oksigen di sini.
"Alisa!" Alisa melotot salah tingkah. "Gimana soal...."
"Aku mau satu kelompok sama kamu!" Kala memekik, tubuhnya berlangsung sejuk. Jantung pun tak lagi berdetak nyeri. Ia bertanya-tanya, apakah Leon masih ada di sana?
"Nanti aku ke sini lagi." Selepas dia berkata demikian, derap langkah sendal kian mengecil. Leon telah pergi. Alisa bisa mendesah panjang. Kaki seputih adonan kue berlenggok gemetaran, duduk pasrah di pinggir ranjangnya. Tak luput ia menghilangkan efek perasaan aneh di hatinya dengan kipas angin portable.
"Kenapa kamu bisa terpincut hanya karena Leon mengajakmu pergi?" Wajah dan sekitar lehernya memanas, lantas ia tangkup guna terasa dingin. "Apa mereka benar, kalau sekarang ini aku suka Leon?" Suaranya tercekat saat bergumam demikian.
Iya, mungkin saja mereka benar. Tinggal menunggu momen tepat untuk membuktikannya.
****
"Banyak banget raptor di sini," kata Alisa berdecak kagum. Matanya secara cepat melihat Leon yang merogoh kamera dari tas. Ada sebuah buku kusam di sana. Seolah tak tahu apa-apa, ia berlari menghampiri kandang kambing yang berkeliaran menyambut pengunjung. Rambutnya yang dijepit asal itu nampak terlepas sedikit demi sedikit saat Alisa loncat-loncat kegirangan, berbalik dan memekik, "Ke sini, Leon!"
"Ah, iya." Leon berlari kecil, berdiri di belakang Alisa. Untuk kali ini, ia bersungguh-sungguh menatap kagum. Kambing yang takkan pernah dijumpai di sembarang tempat, makhluk ini tak boleh ia lewatkan untuk bahan laporan.
"Foto kambingnya, Leon." Alisa berseru. Tiba-tiba saja Alisa tersentak bahkan menahan napas saat berbalik mempertegas ucapannya.
Wajah mereka begitu dekat, bahkan hidungnya nyaris bersentuhan. Kalau diperhatikan, Leon terlihat seperti blasteran. Kulit berwarna sawo matang, tapi warna irisnya menyerupai orang Amerika: ambar. Alisa makin penasaran, kenapa lelaki yang satu ini selalu menyelipkan banyak misteri?
Tidak, bukan saatnya mengobservasi Leon. Perlahan ia mengambil buku di tas Leon dengan hati-hati, selagi Leon terpedaya dengan suasana roman ini. Begitu buku usang itu ada di tangannya, Alisa mengakhiri dengan mendengkus pendek. Mereka saling buang pandang. Alisa menyibukkan diri dengan mencatat identitas hewan yang ia lihat, Leon mengatur kamera agar siap menangkap gambar.
Sesekali, ia mengelus tanduk kambing, tertawa kecil saat hewan herbivora itu melontarkan kalimat khasnya: mbek! Alisa tak sadar kalau Leon tengah mengarahkan fokus bidik kamera kepadanya.
Satu gambar tersimpan di memori kamera. Untuk memastikan kejelasan foto, Leon memperlihatkan hasilnya pada Alisa di perjalanan menuju toilet. Dia tak sengaja memandang kaki Alisa yang berjinjit demi memeriksa foto, maka Leon membungkuk menyetarakan tinggi badan Alisa.
"Kau pintar sekali dalam menggunakan kamera, Leon." Alisa melirik Leon yang tersenyum manis. "Kau mau ajari aku tangkap gambar?"
Merasa diperhatikan, Leon pun menoleh bersamaan senyumnya memudar. Mereka berkontak langsung dengan perasaan yang sama: Suka. Iya, Alisa merasakan dingin mendesir di tubuhnya. Terus terang, ujung jari terasa dingin bagai dicelupkan ke air es. Leon mendengkus enteng guna mengalih perhatian. "Katanya mau ke kamar mandi. Aku tunggu di sini buat observasi hewan karnivora."
"Oke." Ia berlari kecil sembari memandang ke arah kandang hewan herbivora, menahan tas selempang mini dengan tangan. Alisa berharap Leon tak curiga padanya. Selepas masuk ke toilet, ia bersandar dan mengeluarkan barang penting versinya.
"Kenapa dia bawa buku kusam begini?" Alisa tersenyum miring, membolak-balikkan bukunya. "Apa karena penting, ya? Aku akan melihatnya nanti malam."
****
Sekarang jam setengah delapan malam, tapi teman-temannya tak kunjung pulang. Kamarnya dibiarkan gelap gulita, mengandalkan sinar dari TV yang menayangkan film Fast and Furious 8. Cukup menerangi Alisa yang duduk bersila di ranjang sambil mengamati buku usang di genggamannya. Ada beberapa foto yang tersisip di antara halaman, hanya timbul sedikit.
Mungkin tak masalah kalau melihat isinya. Dengan hati-hati—sampai sebelah matanya terpejam—ia menyibak sembarang halaman. Iya, satu halaman saja, setelah itu ia kembalikan ke pemiliknya.
"Bukuku hilang!" Alisa refleks menutup bukunya. Dadanya berdebar. Tangannya bergetar. Bahkan napasnya memburu. Tadi ia mendengar Leon menjerit. Pikirnya, apa lelaki itu mengetahui perihal buku ini? Selain itu, TV mati tanpa ia sadari.
Sekonyong-konyong Alisa merasakan bukunya ditarik. Sebesar apapun tenaga Alisa dikerahkan untuk buku itu, pada akhirnya lolos dari cengkeramannya. Tampak ada siluet manusia di ambang pintu, berdiri dan mengamati buku seperti memeriksa deskripsi singkat dan judul sebuah novel.
"Siapa kau?" tanya Alisa menatap menahan amarah. "Mau kau apakan bukuku?"
"Bukumu?" Alisa tak dapat melihat wajahnya, tapi ia merasa orang itu tengah memandangnya. "Ini buku Leon."
Alisa mendelik kaget. Tubuhnya bergetar tegang hingga timbul sensasi dingin di ujung jari. "Dari mana kau...."
"Baik kau menjauh dari Leon sebelum dia murka." Dia mengalihkan topik secara tidak tepat, memancing amarah Alisa yang semula dilanda tegang.
"Kenapa aku harus...." Seketika ia merasa letih. Badan ini tak larat untuk sekadar duduk tegak. Gadis berambut sebahu itu ambruk di ranjang, meninggalkan sejuta pertanyaan perihal kalimat terakhir dari orang tak dikenal. []
Majalengka, 12 Januari 2020
SPOILER ALERT!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top