Chapter 12 - Musim Panas

Cerita Unknown Person diikutsertakan dalam challenge 100 days writting. Happy reading^^
famts_writer vee_corvield Beelzebell_

****

Siang hari ini begitu terik, sampai kipas angin portable yang Leon beli tak larat mengusir panas. Ia telah dua kali ganti baju, tapi keringat di badan selalu membasahi kaos yang Leon kenakan. Ia harus berjuang menyelesaikan tugas musim panas dengan bantuan kipas angin portable yang minimal menghapus peluh di leher.

"Kamu kuat banget, kerjain tugas di tengah teriknya matahari." Ketua Kelas datang membawa ember kecil keluar rumah, entah apa isinya.

"Dari pada dikerjain pas otak pengen tidur," kata Leon menyanggah ocehan Ketua Kelas. "Mending kerjain tugas hari ini biar malamnya tinggal dipahami."

"Heuh, malas!" Dia berteriak di luar kamar, terdengar pula pecutan kain basah. "Mending liburan!"

Kegiatan menulis pun berhenti. Dahi Leon mengerut. "Bukannya kita gak boleh keluar wilayah sekolah?"

"Emang iya." Ada suara percikan air di luar asrama. Ketua Kelas masuk menenteng ember dan menaruhnya di sisi pintu. "Maksudku, kita ada tugas karya wisata, yang mana kita akan liburan sambil observasi."

"Karya wisata?" Leon berbalik dan menyipit penuh tanya tanda. "Kok aku gak tau?"

"Kamu tertidur di kelas gara-gara kemarin belajar sampai tengah malam." Ucapan Ketua Kelas mungkin ada benarnya. Leon teringat dirinya belajar matematika dari jam 7 malam sampai pukul 1 dini hari, sudah termasuk masa istirahat dengan menonton film laga. Alhasil, ia terkekeh renyah. Ketua Kelas duduk di samping ranjang Leon setelah menyalakan TV yang menayangkan berita tentang destinasi wisata di luar negeri, mencebik sebal.

"Kapan ada karya wisata?" tanya Leon antusias.

"Katanya sih 4 hari lagi," jawabnya mendongak sebentar. "Mending kamu cepat-cepat cari pasangan kelompok sama lokasi buat laporan karya wisata. Kamu sendiri yang menentukan anggota dan lokasinya."

"Eh, bebas milih?"

Sekilas mengerling menyimak tayangan di TV sebelum mengiyakan pertanyaan Leon. "Ketua Kelas sendiri?" Lagi-lagi temannya bertanya. Ia melirik lesu.

"Aku Ketua Kelas, katanya harus sepasang sama ketua kelas lain." Ah, jawaban yang mengecewakan. Tatapan Leon berubah gelap. Ia menunduk murung. Padahal Leon sudah berharap agar satu kelompok dengan Ketua Kelas. Ia kembali melanjutkan kegiatan mengerjakan tugas musim panas.

Tidak, baik pikirkan soal destinasi untuk karya wisata. Jemari besar Leon meraih buku tipis bersampul gambar foto-foto siswa yang berkarya wisata dan buku quarto ukuran mini. Ia sudah menuliskan beberapa momen dan keadaan sifatnya sendiri. Sebagian besar momen dinyatakan hilang minat. Perasaan paling Leon minati ada di momen kelas lingkungan hidup, yang tertulis kalau anak macan yang ia temukan mulai tumbuh dewasa.

Dari sini, Leon mampu menyimpulkan soal destinasi wisata yang cocok untuk bahan laporan.

****

"Ke kebun binatang?" Alisa terteleng polos. Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan tanktop dan celana pendek warna hitam.

"Iya...." Leon menghalangi pandangannya dengan telapak tangan. Pikiran negatif selalu datang meski ia menduga kalau Alisa berpakaian seperti itu karena panas. "Kamu mau ikut ke kebun binatang buat liburan musim panas?"

Alisa mendelik antusias. Leon cepat-cepat mengoreksi, "Ah, bukan. Maksudku untuk karya wisata."

Alisnya terangkat, bahkan bibirnya terbuka begitu menggoda. Dia tak bersuara cukup lama sebelum akhirnya bertanya, "Apa kau belum dapat anggota karya wisata?"

Leon terhenyak. Dalam benak, ia memuji dugaan Alisa yang tepat sasaran. Ia mundur selangkah seraya mengiyakan dengan gelagapan. "A-aku baru tau soal karya wisata dari Ketua Kelas. Saat itu aku ketiduran jadi gak tau...."

Mata bulat Alisa berkedip tak berdasarkan ritme. Namun entah kenapa muka Alisa memerah dengan cepat, merambat ke daun telinga. Ia langsung membanting pintu tanpa berkata apa-apa. Seketika Leon khawatir. Bagaimana kalau ia pergi sendirian? Bagaimana caranya menjelaskan soal karya wisata secara individu? Leon mencoba mengetuk pintu. "Alisa? Gimana soal—"

"Aku mau satu kelompok sama kamu!" Alisa menyela dari dalam kamar. Rasanya puluhan kembang api meletup di hati Leon. Ia tak tahu perasaan apa yang menggelitik hatinya, tapi syukurlah kalau Alisa mau satu kelompok dalam pembuatan laporan karya wisata.

Karena itu pula, Leon tersenyum lebar.

****

Hari karya wisata dilakukan serempak walau destinasinya berbeda. Leon pergi dengan setelan kemeja putih dan celana panjang hitam. Lengannya berbalut manset hitam. Bahkan hari ini Leon mengenakan kacamata bingkai bulat. Kemarin Leon merasa sensitivitas matanya kambuh kala ia tidur.

"Banyak banget raptor di sini," kata Alisa berdecak kagum. Dia berlari menghampiri kandang kambing yang berkeliaran menyambut pengunjung. Rambutnya yang dijepit asal itu nampak terlepas sedikit demi sedikit saat Alisa loncat-loncat kegirangan. Dia berbalik dan memekik, "Ke sini, Leon!"

"Ah, iya." Leon berlari kecil, berdiri di belakang Alisa. Wangi lemon tercium di leher anggotanya, mengingatkan Leon akan sosok Aki yang sering menggosokkan minyak angin beraroma lemon di beberapa tubuhnya. Ia memejam mata, ingin bernostalgia sejenak momen bersama Aki.

"Foto kambingnya, Leon." Alisa berseru. Sudah cukup menjelajah masa lalu. Ia tersentak dengan pemandangan yang tak biasa. Leon rela menahan napas.

Wajah mereka begitu dekat, bahkan hidungnya nyaris bersentuhan. Ia bisa melihat warna kulit Alisa yang putih kemerahan akibat sinar matahari. Matanya seperti portal lintas dimensi. Kalau boleh jujur, Leon ingin sekali mengecup bibir merah Alisa. Tidak, menyentuh pun ia bersyukur.

Alisa mendengkus pendek, membuyarkan angan-angan Leon terhadap gadis pendek ini. Mereka saling buang pandang. Alisa menyibukkan diri dengan mencatat identitas hewan yang ia lihat, Leon mengatur kamera agar siap menangkap gambar. Sesekali Leon melirik gadis di depannya.

Dia tengah mengelus tanduk kambing. Leon iri dengan kambing itu. Namun, kenapa Leon iri? Ia mengarahkan fokus kamera ke arah Alisa. Melihat dia tertawa kecil, Leon seakan membeku karena pesonanya. Bibirnya terbuka sedikit dan berkata tanpa bersuara, "Kenapa kamu bisa menarik perhatianku, Alisa?"

Satu gambar tersimpan di memori kamera. Untuk memastikan kejelasan foto, Leon memperlihatkan hasilnya pada Alisa di perjalanan menuju toilet. Ia tak sengaja memandang kaki Alisa yang berjinjit demi memeriksa foto, maka Leon membungkuk menyetarakan tinggi badan Alisa.

"Kau pintar sekali dalam menggunakan kamera, Leon." Alisa melirik Leon yang tersenyum manis. "Kau mau ajari aku tangkap gambar?"

Merasa diperhatikan, Leon pun menoleh bersamaan senyumnya memudar. Mereka berkontak langsung dengan perasaan yang sama: Suka. Leon mendengkus enteng guna mengalih perhatian. "Katanya mau ke kamar mandi. Aku tunggu di sini buat observasi hewan karnivora."

"Oke." Dia berlari kecil sembari memandang ke arah kandang hewan herbivora. Ketika melihat tangan kecilnya yang menahan tas selempang mini itu buat Leon tergelak renyah. Dia gadis tak biasa.

Ia mendengar auman di belakang. Benaknya menerka, apakah itu singa? Atau beruang? Atau harimau? Tidak, Leon membaca peta dan daftar hewan di Saskatoon Foresty Farm Park & Zoo. Tidak ada harimau. Lelaki berkacamata tersebut berbalik sembari mengarahkan kamera ke arah kandang seluas wilayah rumahnya. Satu dari empat orang pegawai itu menancapkan suntikan ke tubuh hewan karnivora. Dia singa. Tak jauh dari tempatnya, mayat manusia dengan seragam macam pegawai tadi sudah tak terbentuk dilumuri darah.

Sang raja hutan berhenti memberontak dan terduduk menghadapnya. Sepasang mata sayu merangsang rasa tak enak di benak Leon. Tangan bergetar hingga kamera jatuh menggantung. Mata Leon perlahan berubah warna, pupilnya berubah bentuk menjadi seperti singa itu. Ia melihat kakinya melangkah tanpa disuruh. Bukan ini yang Leon inginkan. Dalam kesadarannya yang nyaris menghilang, Leon menyimpulkan kalau alter egonya akan bangkit bila hewan membunuh manusia, begitupun sebaliknya.

"Leon!" Irisnya kembali berwarna cokelat, menciut dan bergerak kiri-kanan. Sudah banyak pengunjung yang memenuhi sisi kandang singa. Bisik-bisik orang bergemuruh di kedua belah sisi. Tak luput kilat dari kamera yang mirip bintang di galaksi. Leon pun tak tahu kapan Alisa ada di sebelahnya.

"Mau pulang?" tambahnya dengan raut cemas. "Muka kamu pucat banget."

Leon tak menjawab. Ia berpaling mengelap peluh di keningnya kemudian menjawab, "Iya, aku butuh istirahat."

****

Pintu ditutup pelan. Leon ambruk di kasur empuknya. Partikel-partikel kecil melayang di sekitarnya—Leon lihat lewat sinar matahari. Bau matahari, mungkin Ketua Kelas menjemur kasur saat ia pergi ke kebun binatang. Napas Leon begitu memburu seiring peluh membasahi sekujur tubuhnya.

Mumpung tas selempang masih bersamanya, ia pun memeriksanya. Buku observasi, pulpen, dompet, kamera, foto. Leon merasa janggal dengan isinya. Ia bangun menjatuhkan semua barang di dalam tas. Tidak ada lagi selain struk belanja. Ia membulatkan matanya, barulah Leon ingat.

Buku sakralnya telah dicuri! []

Tanggal revisi: Majalengka, 12 Desember 2020

SPOILER ALERT!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top