Chapter 1 - Elite Private High School

Sepasang sepatu melangkah sedikit terseret memasuki ruangan megah dan terkesan kuno nan mewah. Netra secerah ambar mengerling memerhatikan sekitar. Tampak ramai. Ia tak tahan keramaian. Suaranya terlalu bising macam dengung lebah. Tali tas gendongnya ia genggam erat, melanjutkan perjalanan menuju ruang kepala sekolah dengan seragam SMA asal Indonesia.

Sambil berjalan tak tahu arah, pemuda bersurai cokelat dengan poni belah tengah celingak-celinguk gelisah. Di mana ruang kepala sekolah? Ia pergi menelusuri setiap lorong dan ruangan. Bagus, ia tersesat karena tak dikasih penjelasan denah yang jelas. Ia menopang tangan di balkon, di lantai atas dengan latar belakang majalah dinding bertampalkan pamflet lama. Sedari tadi mereka yang berlalu lalang menatapnya dengan heran, seolah-olah berprasangka kalau ia salah masuk sekolah.

Memang, ia belum dikasih seragam resmi sekolah ini, Elite Private High School! Sial betul hari ini. Desah berat berembus lewat mulut, membungkuk membenamkan muka ke lipatan tangan di balkon. Ia lelah sekali.

"Kau yang namanya Leon Cyndhakyuu, kah?" Seseorang tadi ... mengajak Leon mengobrol, kah? Sejenak pemuda dengan bentuk mata belok mendongak kaku, memamerkan tatapan sayu. Kemudian melirik menuju asal suara dengan malas.

"Leon? Oi...." Sesosok pemuda dengan rambut dipangkas model mangkuk terbalik tengah membungkuk sedikit, melambaikan tangan di depan muka Leon. Kalau dilihat-lihat, dia terlihat percaya diri dengan badan gempalnya.

Ah, tidak. Leon melamun. Ia terkejut, membeliak kaget dan segera berbalik membenahi seragam beserta rambutnya. "I-iya, aku Leon Cyndhakyuu."

"Aku sudah nunggu kamu di ruangan ini, lho," tegurnya menunjukkan satu ruangan di belakang menggunakan jempol. "Kepala sekolah mau ketemu sama kamu."

"Ma-makasih udah mau nunggu aku." Leon bercakap seraya mengangguk kaku. Ia mengikuti laki-laki gendut dari belakang, membungkuk sedikit, bersedekap ketakutan.

Leon nyaris memekik kagum kala melihat ruangan yang serba mewah walau menggunakan barang-barang berbahan biasa. Lemari kaca bertatakan buku-buku hingga piala ditaruh di masing-masing sisi meja kepala sekolah. Ditambah beberapa tanaman hias macam bambu rezeki di beberapa sudut dan sela ruangan kosong.

Di depan sana-di meja kepala sekolah dengan tumpukan map dan kertas-sudah ada pria berpakaian rapi. Perawakannya tak terlalu pantas untuk disebut kepala sekolah menurut Leon. Iyalah, mana ada kepala sekolah model atlet angkat besi? Sudah begitu, pahatan wajahnya terkesan keras, bentuk mukanya saja model persegi.

"Kau," jari telunjuk berhiaskan cincin perak menunjuk sang penuntun Leon, "berdiri di samping saya."

Dia tak mampu menyanggah. Dia tak ambil pusing menuruti titahan pria itu. Kini Leon saja yang menghadapi pria berambut ubanan di beberapa sisi. Ah, entah kenapa Leon sedikit tegang. Peluh sebesar biji jagung diam-diam merayap turun dari pelipis. Menelan saliva saja susah, sudah macam diinterogasi polisi.

"Kau yang namanya Leon Cyndhakyuu?" tanyanya memeriksa selembar kertas yang ia duga formulir biodata siswa. Matanya masih saja menyipit walau sudah mengenakan kacamata bingkai persegi. Setidaknya Leon mampu bernapas lega dari tatapan sang kepala sekolah. "Dari SMAN 1 Bandung?"

Leon sedikit terlonjak, begitu sepasang manik hitam kembali berkontak langsung dengan mata amber. Ia mengangguk kaku. Ia sepenuhnya ketakutan dengan tampang kepala sekolah di sini.

"Kau akan ditempatkan di kelas 10-A," katanya menaruh kertas beserta kacamata ke meja. "Aku mengharapkan kamu masuk ke kelas 10 unggulan, sayangnya kamu lemah di sejarah. Jadi sebelum ke kelas...."

Dia merogoh sesuatu dari balik meja. Ah, Leon penasaran. Kakinya sengaja dijinjit guna melihat barang apa yang beliau keluarkan. Satu plastik berisikan lipatan seragam resmi dibanting dengan sewajarnya ke meja. Bahkan ada logo sekolah yang Leon lihat di prasasti.

"Pakai baju ini terlebih dahulu," sambungnya berdeham singkat. "Kau akan satu kelas dan satu kamar dengan orang yang di samping saya. Paham?"

Tatapan tajam Sir Robert William-Leon lihat di papan nama di meja dekat tanaman bunga anthurium-tak mempan bagi Leon yang terpukau akan seragam resmi EPHS. Pemuda berkulit sawo matang ini meraih serahan beliau. Ia mencium aroma baju baru lama-lama. Leon suka bau ini, sampai embusannya begitu lega. Bungkusan tadi ia dekap seerat mungkin, kemudian membungkuk menarik senyum lebar saat berdiri tegak.

"Terima kasih sudah menerima saya di sini!"

****

Meski guru beserta siswa lain keluar menikmati istirahat pertamanya, Leon masih berkutat dengan materi di papan tulis sebelum dihapus oleh siswa yang kena piket hari ini. Ia lebih nyaman dengan sistem belajar zaman dulu. Terkadang karena tempo menulis dipercepat membuat buku-buku jarinya sakit. Pernah sekali tangannya tak mampu bergerak karena kebanyakan nulis, pada akhirnya ia meminta bantuan teman sebangkunya untuk menulis semua materi. Tetapi kali ini, Leon sudah terbiasa. Ibunya pernah bilang kalau ia harus membiasakan diri menyelesaikan satu pekerjaan.

Ya, ibunya yang bilang.

Tiba-tiba saja jemarinya berhenti menari bersama pulpen. Benda mirip stik drum itu terjatuh dalam dekapan jari-jari tangan. Setiap kali membicarakan beliau, jantungnya yang berdenyut nyeri. Kenapa harus ada memori mengerikan di ingatan Leon?

"Yuk, kita keliling sekolah." Pemuda dengan pipi tembem-tepatnya teman sebangku-menepuk punggung Leon yang seragamnya menempel mulus kena peluh. Ia kira tepukannya dibalas satu lirikan ramah khas Leon, nyatanya dia enggan melirik. Ia perhatikan tangan kanannya berhenti menulis, dia mematung.

"Hei?" Ia sedikit membungkuk untuk melihat wajah Leon. Terlihat iris matanya menciut dan berkaca-kaca, yang perlahan meluncur dari sudut mata ke pipi tirus dalam bentuk air mata. "Leon? Kamu kenapa?"

"Eh?" Spontan Leon menoleh tanpa harus mengelap bekas aliran air mata. Tanpa memedulikan dirinya, ia berkata, "Apa?"

"Kamu kenapa nangis?" tanyanya membenarkan letak kacamata, melipat tangannya di meja.

"Hah? N-nangis?" Leon merasakan sesuatu yang dingin dan basah menjalar di sekitar pipinya. Ia usap bagian demikian, seketika terlihat coretan basah di punggung tangan-bila diarahkan ke cahaya matahari. "Sejak kapan aku nangis?"

"Kamu ini bagaimana, sih? Situ yang nangis, masa gak ingat?"

Memang benar yang dia bilang, kenapa harus tanya balik kalau dirinya sendiri menangis? Tunggu, Leon sungguh tak ingat kapan dirinya menangis. Ah, jangan-jangan ... sudahlah. Tak payah dipikirkan. Mau disanggah berapa kalipun tetap saja dia tak mau kalah berdebat. Toh, dia punya bukti kuat perihal demikian.

"Maaf bikin kamu khawatir." Seraya tertawa sumbang, ia megelap cairan asin di pipi dan sudut mata dengan lengan seragam. "Ayo, katanya mau ajak aku keliling sekolah."

"Kamu yakin mau langsung pergi gak pakai beresin buku dulu?" Ia menguap seperti auman kuda nil. "Cepatan."

"Iya." Lantas, ia memasukkan semua peralatan tulis ke tas secara satu per satu. Kotak pensil, buku catatan, semuanya sudah dimasukkan ke tas. Ia beranjak turun dari undakan bangku seraya mengenakan jas resmi yang semula digantungkan ke kepala kursi, disusul ketua kelas yang berlari tergopoh-gopoh membawa beban lemak di perut.

Mula-mula, mereka pergi menuju lapak di wilayah sekolah. Kata ketua kelas, gerbang ditutup saat matahari terbenam total, jadi mendahulukan bagian yang berada di wilayah sekolah.

Letak sekolah ini dihimpit dua lapak.
Sebelah kiri gerbang adalah toko buku. Terlihat cukup tua, tapi Leon suka dengan isi toko yang penuh rak tanpa alas di belakang. Mungkin kapan-kapan Leon akan ke sana, siapa tahu ada buku menarik untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tadi sempat amati buku-buku yang terpajang di rak.

Di sebelah kanan gerbang sekolah ada kafe Cherry. Lewat jendela tanpa bingkai, nampaknya kafe ini bernuansa zaman film mafia. Terdapat rak bertatakan wine di meja pelanggan. Di meja pelayan ada banyak alat untuk membuat kopi. Mewah sekali, bahkan lampu gantungnya seperti yang ada di film-film jadul.

"Kapan-kapan aku ajak kamu ke sini deh, di kafe kamu bisa minum apple cinnamon tea yang enak banget diminum. Nanti aku traktir sebagai pertemanan kita di kelas 10-A." Dia bahkan mau mengajak Leon untuk minum bersama di kafe.

Selanjutnya, pria bersurai hitam model mangkuk terbalik itu menuntun Leon menuju belakang gedung kelas. Bila melewati ke masing-masing sisi gedung sekolah, Leon dibuat takjub dengan suasana ini. Bila ambil jalan di sebelah kanan gedung sekolah, terdapat hamparan permadani dengan bangku panjang dan bis sekolah yang sudah dirambati daun liar. Sebuah lampu jalan pun diletakkan dekat bangku panjang.

Ada dua bangunan tua yang menghimpit jalanan menuju lapangan sepak bola-bisa dipakai untuk olahraga baseball. Di sebelah kiri terlihat kuno, disusun dengan bebatuan pipih dan dirambati tanaman jalar. Plang di atas pintu pun terlihat kusam sampai tak dapat dibaca. Perpustakaan, itulah yang bisa Leon lihat menggunakan kekuatan mistis.

Lain halnya bangunan sebelah kanan jalan. Justru dinding dan pintunya terlihat bersih dan modern. Ukurannya pun jauh lebih besar dari pada bangunan di kiri-bahkan dua kali lipat. Leon sempat heran dan bertanya pada ketua kelas, "Bangunan apa itu sampai ukurannya lebih besar ketimbang perpus?"

"Itu gedung olahraga," jawab ketua kelas melirik pada bangunan yang dimaksud. "Bangunannya lebih gede karena bisa dipakai buat segala jenis olahraga. Ada kolam renang juga di sana, bahkan ada lapangan serba guna selain lapangan di depan kita."

Leon hanya ber-oh ria, mengangguk paham terhadap keadaan di sini. Namun, harusnya perpustakaan diperbaharui juga, tidak melulu gedung olahraga dan kelas-kelas. Mereka melanjutkan perjalanan bertajuk "perkenalan lingkungan sekolah", meski harus menabrak beberapa pelajar yang terburu-buru. Untuk sampai ke lapangan berhamparan rumput sintetis, mereka mesti melewati tangga berbahan batu.

"Dan selamat datang di wilayah pelajar!" Caranya mempersembahkan penampilan daerah ini sudah seperti pembawa acara yang andal.

Ah, ini sungguh surganya pelajar. Mata emas Leon pun berbinar-binar. Kenapa? Ia kira setelah melewati taman hanya lapangan sepak bola. Rupanya di sini asrama pelajar Elite Private High School. Jarak antara asrama dengan lapangan serba guna kurang lebih sekitar tiga meter. Ada tiga gedung bertingkat dan juga pagar besi sebagai penghalang bila bola keluyuran ke asrama. Masing-masing di belakang gawang satu; satu gedung lebar di depan-bila pergi dari taman ke lapangan sepak bola; dua bangunan lagi menghimpit jalan, tapi tak bertingkat.

"Semua koper dan tas ranselmu sudah dibawa ke kamar di lantai bawah sama Pak Satpam." Ia membenarkan letak kacamata senejak, lalu menunjuk gedung di sebelah kanan setelah berpijak di sisi lapangan. "Kamar kita ada di pintu ujung kanan."

"Hati-hati aja. Kita harus tidur sekitar jam sembilan malam, kalau tidak bakal dicatat sama penjaga malam. Mereka licik banget, sampai dilaporkan langsung ke Sir Robert," tambah ketua kelas melirik gedung kecil tak bertingkat di sebelah kiri tempat tangga batu tadi.

"Harus banget, ya?" tanya Leon membenarkan dasi yang melorot sedikit ikatannya. Tiba-tiba saja bel berbunyi, tak mengizinkan mereka untuk makan siang.

Ah, iya. Leon mendelik panik. Ketua kelas belum makan siang. Leon takut dia sakit perut karena tak makan siang. Dengan hati-hati ia menatap ketua kelas yang mengernyit bingung, kemudian berkata, "Ke-ketua kelas gak apa-apa, g-gak makan siang? Aku bisa ganti rugi buat beli makanan yang kamu suka...."

"Aku gak lapar kok," Ketua kelas membalasnya seraya tergelak renyah. Tangan empuknya menepuk punggung Leon. "Santai aja kali."

Leon terperangah, mengikuti arah ketua kelas berbalik menuju gedung sekolah. "Kita ke kelas lagi. Guru kimianya galak."

Lagi dan lagi Leon terperanjat, disenggol pelajar lain pula. Ia tak punya banyak waktu lagi, maka berlari mengejar ketua kelas adalah cara terbaik guna tak terlambat sekaligus tak tersesat.

Seulas senyum terukir di bibir semerah bulir jeruk. Leon berjanji, akan belajar bersungguh-sungguh dan tak buat masalah saat bersekolah di sini! []

Tanggal versi lama: 24 Mei 2020
Tanggal revisi: 16 Agustus 2020

Temui saya di IG: revina_174

Saranghae, yorobun ♡

vee_corvield Beelzebell_ famts_writer

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top