Satu-satunya Pedang yang Tak Boleh Kugunakan

Penulis: Decaade

Di suatu siang yang terik. Di sebuah dojo kecil di tepian hutan. Sesosok pemuda tengah mengayunkan pedang kayunya berulang kali ke arah pria yang jauh lebih tua darinya. Namun, pria yang diserang pemuda itu tak pernah mendapati dirinya terkena pukulan pedang. Menyadari hal itu, si pemuda mengambil lompatan panjang ke belakang. Ia menarik napasnya dalam-dalam lalu melesat ke arah targetnya. Tebasan pada bagian pinggang dilancarkannya.  Serangannya cukup cepat, namun tidak untuk lawannya. Dengan satu langkah ke samping saja sudah cukup bagi sang pria tua untuk menghindarinya. *bletak* Suara kayu yang membentur kepala si pemuda terdengar keras. Ia pun terjatuh untuk kesekian kalinya.

“Kenapa kau tiba-tiba jadi bersemangat seperti ini, Ren?” tanya pria tua. Dia meletakkan pedang kayunya di rak pedang lalu menuju meja di pojok ruangan untuk mengambil nampan dengan teko air dan dua gelas kosong di atasnya.

Si pemuda yang dipanggil Ren itu duduk sila dengan pedang kayunya yang diletakkan di samping kanan. “Aku... melihat Ksatria Pedang di sungai,” ucapnya lirih. Tatapannya terus menghadap ke lantai di depannya.

Pria tua yang telah berada di hadapan Ren itu kini tengah menuangkan air dari teko ke gelas-gelas yang kosong. Setelahnya dia menyesap air dari salah satu gelas yang diambilnya perlahan sampai habis. “Ksatria Pedang! Apa yang dia lakukan di sekitar sini!?” teriak pria tua. Di luar dugaan, ternyata dia begitu terkejut setelah mengetahui hal itu. Responnya agak terlambat.

“Dia mandi, Kek,” ucap Ren polos. Pria tua yang ternyata adalah kakeknya terbatuk-batuk mendengarnya. Ren segera menambahkan kalau dia tidak bermaksud mengintip atau berbuat hal buruk lainnya. “Intinya, aku ingin melampauinya,” ucap Ren mantap.

“Kakek terkejut kau bisa menjumpainya di sekitar sini. Apalagi melihat sosoknya yang selalu memakai zirah itu sedang mandi,” gumam Kakek. Mendapati cucunya yang terus-terusan memandanginya dengan tatapan aneh, sang Kakek berdeham. “Kakek tidak terlalu paham tentang motivasimu, tapi baiklah. Selama masih ada napas pada Kakek, akan kubuat kau jadi ahli pedang terhebat di dunia!” seru kakek penuh semangat.

Ingatan dari satu tahun yang lalu itu hadir sebagai mimpi dalam tidur Ren. Ketika terbangun, Ren merasakan butiran air yang menetes dari matanya kemudian meluncur melewati pipinya. Dari segala bentuk ungkapan kesedihan yang ada, dia malah memilih tersenyum. Menurutnya, masa lalu yang dimilikinya bukanlah sesuatu yang buruk sehingga perlu disesali. Memang harus diakui kalau Ren merindukan masa-masa dengan kakeknya dulu sebelum sang kakek meninggal. Tapi ini semua adalah keputusannya dan ini adalah jalan yang diambilnya.

Sepeninggal kakeknya, Ren pergi ke gunung yang cukup jauh di selatan rumahnya. Ia memenuhi wasiat kakeknya untuk berguru ke sahabat seperguruan kakeknya. Kurang lebih sebulan ia mempelajari seni berpedang di sana. Ia mempelajari segala yang diberikan oleh guru barunya dengan cepat. Setelah merasa tak ada lagi yang bisa dipelajarinya, Ren berpamitan untuk pergi ke kota.

Dan di sinilah Ren berada beberapa bulan terakhir. Di sebuah kota bernama Corfall yang menjadi jantung kerajaan Lotharien. Dia dapat mengumpulkan informasi sekaligus mempertajam kemampuannya di sini.

Ren keluar dari penginapan yang ditempatinya. Dia berjalan menuju alun-alun kota dengan  pedang kayu di tangan kanan dan kirinya. Alun-alun kota bagian selatan adalah lapaknya. Ren berhenti di sana lalu meletakkan dua pedang kayunya dan sekantong penuh koin emas di hadapannya. “Ayo, ayo! Lapak adu pedang telah dibuka!” teriak Ren.

Tak butuh waktu berjam-jam untuk menunggu orang-orang datang ke lapaknya. Inilah metoda efektif yang telah dilakukan Ren sejak berbulan-bulan lalu. Dia menawarkan sekantong penuh koin emas kepada siapa saja yang dapat mengalahkannya dalam adu pedang. Koin emas yang dijadikan barang taruhan ini adalah peninggalan kakeknya. Ia tak berniat untuk menggunakannya sepeser pun jadi ia tak boleh kalah dalam semua pertandingan. Sebagai biaya sehari-hari, ia dapatkan dari keping koin perunggu yang dibayarkan orang bila ingin ikut serta dalam pertandingan. Sekali kayuh, dua-tiga pulau terlampaui. Ren bisa memperdalam ilmunya dengan melawan berbagai orang, mendapat uang untuk hidup, sekaligus informasi tentang Ksatria Pedang. Ren juga sedikit berharap bila suatu hari Ksatria Pedang akan muncul dengan sendirinya dan mengajaknya bertanding. Namun, sekali lagi itu hanyalah sebuah harapan, harapan semu yang samar.

Hari beranjak sore. Sudah puluhan orang yang ia kalahkan hari ini. Kebanyakan tidak terlalu berambisi untuk mendapatkan sekantong koin emas, melainkan hanya sekedar bermain-main menghibur diri. Ren juga tidak pernah memukul orang dengan sungguh-sungguh.

Hari ini dia mendapatkan informasi yang cukup menarik. Seseorang berkata bahwa menurut rumor yang beredar Ksatria Pedang adalah keturunan perempuan dari keluarga Selorn. Hal itu berarti tidak ada yang mengetahui jati diri Ksatria Pedang. Seorang ahli pedang yang terlahir di keluarga Ksatria Suci penjaga kedamaian kerajaan, keluarga Selorn. Selama ini, dia selalu mengenakan zirah platina berwarna perak kebiruan baik saat menjalankan misi maupun tidak. Tidak ada yang mengetahui nama depannya. Ia hanya dipanggil sebagai Ksatria Pedang Selorn.

Ren berniat menyudahi rutinitasnya hari ini dan pergi ke bar untuk membeli sejumlah makanan saat seorang bocah laki-laki menantangnya. Ren tidak pernah meremehkan lawannya, siapapun itu. Ia menerima tantangan dari bocah di hadapannya.

Namun, tetap saja bocah hanyalah bocah. Terlalu cepat sepuluh tahun baginya untuk bisa mengalahkan Ren. Pedang kayu terjatuh dari tangan si bocah yang menjadi sebab kekalahannya. Bocah itu hendak pergi begitu saja sebelum Ren menghentikannya. “Maaf, aku tidak punya uang untuk membayar,” ucap si bocah dengan wajah lesu. Bocah itu memang belum membayar koin partisipasi, tapi bukan karena itu ia menghentikannya. Ren merasa iba pada bocah lesu yang nampak kumal itu.

Jadilah Ren mengajaknya untuk pergi ke bar bersamanya. Ren menyuruh bocah itu untuk memesan makanan yang diinginkannya. Si bocah tersenyum lebar lalu memesan semangkok mi kuah dan segelas besar susu. Meskipun nampak sekali kalau ia kelaparan, tapi ia tidak memesan makanan secara berlebihan. Dia sadar akan posisinya.

Tak lama menunggu, makanan yang dipesan telah tiba. Ren hanya tersenyum sambil memandangi si bocah yang sedang makan tanpa ikut memakan apapun. Mi dan segelas besar susu habis dengan cepat. “Namaku Leo, terima kasih atas hidangannya, kak!” seru si bocah. Ren menanggapinya dengan tersenyum lalu ia ikut memperkenalkan dirinya.

Ren dan Leo terlibat dalam sebuah obrolan ringan yang sarat akan informasi. Leo bercerita tentang hidupnya kepada Ren bahwa dia adalah anak tertua yang memiliki kewajiban untuk menjaga ibu dan dua adiknya di rumah kecilnya. Ren mendengarkan dengan seksama, tanpa menampilkan rasa prihatin sedikitpun. Itu karena Ren melihat sorot kebanggan yang terpancar dari mata Leo. Dia sungguh bocah yang kuat.

Leo kemudian menanyakan bila ada sesuatu yang bisa dibantu olehnya terhadap Ren. Ren lantas menanyakan tentang informasi yang Leo punya mengenai Ksatria Pedang tanpa sungkan. Leo tampak berpikir sejenak, agaknya sedang mengingat-ingat sesuatu. Leo berseru puas saat ia mampu membawa kembali sebuah ingatan ke permukaan. Ia bilang kejadian ini sudah beberapa hari yang lalu, saat ia mendengar anggota kerajaan membicarakan tentang ramalan dan Ksatria Pedang. Rein baru pertama kali mendengar hal itu. Melihat ketertarikan dari lawan bicaranya, Leo melanjutkan ceritanya.

Ren benar-benar bersyukur telah berbicara dengan bocah itu. Akhirnya dia mendapatkan gambaran tentang keberadaan Ksatria Pedang yang dicari-carinya. Setelah mengucap terima kasih sekali lagi, Leo beranjak meninggalkan bar. Ren menghentikannya untuk memberikan dua puluh keping emas kepada Leo. Leo merasa keberatan, uang itu terlalu banyak untuknya dan ia juga berkata kalau tidak perlu belas kasihan dari Ren lebih dari yang telah diterimanya. Namun, setelah Ren memaksanya dengan berkata bahwa koin itu adalah bayaran untuk informasi yang sangat berharga darinya, Leo bisa menerimanya.

Hari mulai gelap, Ren memutuskan untuk kembali ke penginapan dan memikirkan langkah selanjutnya. Sesampainya di kamar, ia dilanda rasa bimbang. Berdasar ramalan yang didengar Leo, pada gerhana matahari yang akan datang dua hari lagi, sesosok iblis akan bangkit di dataran batu jauh di barat dan akan membawa kehancuran pada dunia. Dunia akan selamat apabila sosok itu dihancurkan sebelum ia mendapatkan wujud sempurnanya saat gerhana matahari. Dan yang digadang-gadang untuk membasmi iblis itu, siapa lagi kalau bukan Ksatria Pedang. Ren merasa bingung. Haruskah dia menemui Ksatria Pedang di sana ataukah lebih baik menunggunya tiba di kota pusat ini? Di tengah kebingungannya Ren tertidur.

Suara yang berat dengan gema menyuruhnya untuk bergegas pergi ke barat, sebelum semuanya terlambat. Ren terbangun dengan peluh membasahi bajunya. Ia tidak tahu kenapa, tapi rasanya ia harus tiba di barat hari ini juga. Hari masih sangat pagi saat Ren keluar dari penginapan. Ia membawa serta pedang kayunya ke tempat penyewaan kuda. Ren menggedor-gedor pintu rumah pemiliknya. Sang pemilik keluar dengan raut wajah yang menunjukkan bahwa ia merasa terganggu. Tanpa basa-basi, Ren menyodorkan koin-koin hasil lapaknya kepada pemilik untuk ditukarkan dengan kuda yang paling kuat dan paling cepat.
Segeralah Ren meluncur ke barat bersama partner barunya. Menurut info yang ia dapatkan dari pemilik persewaan kuda tadi, yang disebut sebagai dataran berbatu di barat kemungkinan besar adalah Bukit Batu dan perjalanan ke sana bisa memakan waktu dua hari.

Ren terus melakukan perjalanan ke barat dengan kuda tercepat yang bisa ia dapatkan. Tidak hanya cepar, staminanya juga bagus. Namun, kuda juga makhluk hidup yang butuh istirahat. Ren tidak bisa memacunya terus-menerus.

Hari kedua yang belum diinginkan kehadirannya oleh Ren tiba juga. Telah tampak bayang-bayang hitam yang akan menutup matahari. Bunyi dentuman dan gemuruh mulai terdengar dari arah yang ditujunya. Ren memacu kudanya lebih cepat. Bukit Batu telah masuk ke dalam jangkauan pengelihatannya. Terlihat banyak orang yang sedang bertarung melawan sesuatu berwarna hitam yang sangat gesit. Mereka menang jumlah, tapi tidak dengan kekuatan. Bahkan Ksatria Pedang yang tersohor itu kesulitan menghadapinya.

Cahaya perlahan mulai menghilang. Gerhana matahari telah tiba dan lebih buruknya lagi, sang iblis belum dimusnahkan. Kuda yang dinaiki Ren meringkik panik. Ditengah kegelapan, terdengar suara geraman yang mengerikan. Langit bergemuruh dengan kerasnya. Petir-petir yang menyambar memberikan kilasan singkat akan wujud sempurna iblis.

Gerhana seharusnya sudah berakhir, tapi cahaya matahari tak mampu menerangi daerah ini. Awan hitam menutupi langit. Dari awan-awan hitam itu timbul muncul, sesosok makhluk panjang berwarna hitam dengan guratan-guratan merah di tubuhnya.

Sosok itu keluar dari kumpulan awan. Ekornya melecut menghempaskan ujung bukit tertinggi. Batu-batu besar beterbangan ke arah para penantang iblis ini terutama ke arah Ksatria Pedang yang tampak kelelahan. Tanpa pikir panjang, Ren yang telah turun dari kudanya segera melesat ke tempat Ksatria Pedang berdiri. Kecepatannya sudah jauh berbeda dibandingkan dulu saat berlatih dengan kakeknya. Dengan sebuah pedang kayu yang digenggam dengan kedua tangannya, Ren membelah batu besar yang mengancam Ksatria Pedang. Sebilah kayu saja agaknya tidak mungkin bisa melakukannya, tapi dengan kecepatan yang diberikan seorang Ren hal itu dapat disaksikan oleh semua orang yang ada.

“Aku akan mengeluarkanmu dari zirah itu jadi bersiaplah,” ucap Ren lirih. Ren berbalik menghadap Ksatria Pedang yang tengah terduduk. Tak bisa ditebak ekspresi apa yang tergambar di wajah Ksatria Pedang saat mendapati Ren tersenyum kepadanya. “Pinjamkan sebentar benda ini kepadaku.” Ren mengambil pedang emas yang digenggam oleh tangan kanan Ksatria Pedang. Semua orang terkejut terheran-heran. Ren mungkin tidak mendengarnya, tapi seseorang berteriak, “Ba-bagaimana mungkin! Pedang Suci Excalibur, dengan mudahnya diangkat oleh orang yang tidak jelas itu!”

Sosok iblis yang ada di hadapan Ren menggeram sekali lagi. Api keluar dari lubang hidungnya yang besar-besar itu. Iblis itu kemudian meluncur ke bawah, begitu juga dengan Ren yang meluncur ke arahnya sambil menghunus Excalibur. Iblis itu menghembuskan api yang mampu melelehkan batu. Ren melompat ke samping, keluar dari jangkauan api mematikan itu. Ia membuat sayatan panjang di tubuh panjang sang iblis dengan menancapkan Excalibur di samping tubuh sang iblis lalu berlari ke arah yang berlawanan.

Saat mencapai ujung tubuh, Ren dihempaskan oleh ekor sang iblis. Badannya menabrak batu besar sampai membentuk cekungan yang serupa dengan badannya di sana. Sang iblis melesat, menabrakkan kepalanya ke arah batu. Tepat di detik-detik terakhir, Ren berhasil melompat naik ke tubuh iblis. Ren menusuk-nusukkan pedangnya di sana. Iblis yang menyadarinya membawa Ren terbang menembus awan. Di sana, sang iblis berputar-putar seperti cacing yang menggeliat ketika terkena panas. Sang iblis meluncur sambil berputar secara gila-gilaan ke sana ke mari. Akibatnya, Ren terlempar dari pijakannya. Sang iblis menyabetkan ekornya, menghempaskan Ren ke bawah. Ren menghantam tanah berbatu amat keras. Belum lagi ada tanda-tanda dari Ren untuk kembali berdiri, api yang sangat panas disemburkan ke arahnya. Asap tebal mengepul di sana.

Orang-orang ya ada di sana sepakat dalam diam bahwa Ren telah tiada. Tanpa memastikannya pun manusia biasa tidak mungkin bisa bertahan dari semua itu. Sang iblis berputar-putar di atas sambil menggeram keras seakan ia sedang menunjukkan hukuman bagi orang yang berani melawannya. Ksatria pedang tampak terpukul. Ia merasa telah benar-benar dikalahkan. Ia berpikiran untuk bertarung sampai akhir, mengorbankan dirinya demi keselamatan semua orang di sini. Meskipun orang yang ada di sini berhasil melarikan diri, jika iblis tidak dikalahkan hasilnya tetap saja kehancuran.

Asap masih mengepul di tempat Ren yang terkapar. Melampaui periraan semua orang yang ada, dia belumlah tewas. Ren masih berada di alam bawah sadarnya. Kegelapan memenuhi pandangannya. Sebenarnya dia juga berpikiran sama seperti orang-orang yang ada di medan perang, bahwa dia sudah mati. Ren benar-benar kecewa pada dirinya, dirinya yang masih begitu lemah. Ia amat berharap diberikan kesempatan kedua. Ren masih harus menepati janjinya kepada seseorang.

Menjawab keinginan Ren, kegelapan mutlak nan dingin di sekitar Ren digantikan oleh cahaya yang hangat. Ren terkejut ketika mendapati sesosok makhluk yang bentuknya mirip dengan iblis yang dilawannya menampakkan diri di hadapannya. “Ah, kadal panjang lagi!” serunya. Makhluk itu sepertinya menyesal telah hadir menemui Ren. “Aku adalah Naga Cordia, naga pemelihara alam. Aku datang ke sini untuk memberikan kepadamu kesempatan kedua,”ucap makhluk itu. Suaranya mengangkat kembali suatu sensasi. Itu adalah suara yang memerintahkannya untuk pergi ke Bukit Batu ini.

Mendengar sebutan Naga Cordia juga membawa kembali sebuah ingatan ke permukaan. Sebuah cerita yang suatu waktu pernah diceritakan oleh Kakeknya. Tentang seorang pemuda yang menjaga seekor naga kecil dari tangan manusia lainnya yang keji. Seekor naga yang terlahir kembali di dunia setelah ribuan tahun, Cordia. Semua keturunan dari pemuda itu dikatakan mendapat berkah dari sang naga. “Kau sudah mengingatnya bukan, Renfield Cordia! Setidaknya sebelum tertidur lagi, akan kuanugerahkan sebagian dari kekuatanku untukmu,” Naga itu tertawa. Tawanya mirip seperti tawa kakeknya. Naga itu agaknya sudah tua juga.

Ya, Reinfield Cordia. Ia adalah salah satu keturunan dari pemuda penyelamat sang naga. Nama belakangnya berasal dari nama naga itu sendiri. Tubuh Ren perlahan mulai memudar. Ren mengumbar senyumnya kepada naga tua. “Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Cordia,” ucap Ren.

Ketegangan masih mewarnai wajah tiap-tiap orang di medan perang. Sosok iblis panjang, si Naga Hitam, masih berputar-putar di angkasa. Cahaya keemasan menguar dari tempat dihempaskannya Ren. Cahaya itu membawakan kehangatan untuk semua petarung yang hadir. Dari balik asap yang mulai menghilang, Ren telah berdiri dengan sebilah Excalibur yang memancarkan cahaya emas kemerahan. Kebangkitan Ren telah membawa kelegaan yang terpancar di wajah tiap orang. Sungguh, Ksatria Pedang yang melihat sosok Ren saat ini ingin sekali bertarung di sampingnya. Namun, apa dayanya. Pedang suci miliknya bahakan telah dirampas oleh Ren.

Naga hitam yang menyadari keberadaan Ren menggeram sejadi-jadinya. Naga itu menyemburkan api terus-menerus ke arah Ren. Naga itu salah kalau berpikiran bahwa dia bisa melenyapkan tubuh Ren dengan apinya. Sebab, hanya dengan satu tebasan melintang, semburan api dari naga itu terbelah. Gelombang dari tebasan yang dilakukan Ren bahkan mencapai wajah si naga. Darah yang juga hitam menetes dari goresan yang tertoreh di bawah mata kanan si naga.

Naga hitam mengamuk sejadinya. Naga itu melesat ke arah Ren, mengibaskan ekornya, menyemburkan api ke sana-sini. Namun lagi-lagi semua serangan yang dilancarkan naga itu sia-sia. Naga Hitam lalu memutari Ren dengan amat cepat. Darinya timbul pusaran angin besar dengan petir yang menyambar-nyambar di dalamnya.

Ren terseret ke arus pusaran angin. Naga Hitam yang juga ada di dalamnya menghantam Ren dengan ekornya. Tubuh Ren terhempas ke bawah menghantam tanah berbatu. Tak butuh waktu lama begi Ren untuk dapat berdiri lagi. Namun, kali ini si naga sudah melesat ke arahnya sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Ren pun dilahap oleh iblis naga itu.

Apa yang terjadi selanjutnya lagi-lagi di luar akal manusia biasa. Naga Hitam terbang ke angkasa. Ia berputar-putar di atas, meraung kesakitan. Secercah cahaya keemasan memancar keluar dari tubuhnya. Dengan satu raungan keras yang memilukan, tubuh naga itu hancur. Potongan-potongan daging naga berubah jadi abu berwarna hitam yang menghujani Bukit Batu.

Pertarungan telah usai. Sorak sorai terdengar dari mulut semua orang. Kini, sesosok pemuda dengan rambut berwana merah dan pedang emas di tangan kanannya telah berdiri di hadapan Ksatria Pedang. “Aku, Renfield Cordia! Dengan pedang ini telah mengalahkan iblis yang mengancam kehidupan umat manusia! Atas semua yang kulakukan ini, kuambil gelar Ksatria Pedang dari keturunan Selorn ini!” seru Ren. Semua mata tertuju padanya. Mereka kebingungan bagaimana harus menyikapi ini semua.

Ksatria Pedang yang tidak terima angkat bicara, “Apa maksudmu!?” Ren tersenyum mendengarnya. “Yang mengalahkan iblis itu adalah aku, jelas kalau aku lebih unggul darimu,” jawab Ren. Ksatria pedang tampak menundukkan kepalanya.

“Sebagai orang yang lebih lemah dariku kau tidak pantas menyandang gelar itu,” ucap Ren. Ksatria Pedang terdiam sejenak kemudian berkata, “Bertarung dengan pedang, adalah bagaimana aku dibesarkan. Kalau kau merebut gelar itu dariku, maka tidak ada lagi alasan bagiku untuk bertahan di dunia ini.” Ksatria Pedang berbicara dengan suara yang bergetar.

“Kau hanya perlu menyudahi peran itu. Biarkan aku yang mewarisi gelar dan semangat juangmu. Yang perlu kau lakukan hanyalah bertahan hidup, dan jadilah alasan bagiku untuk tetap mengayunkan pedang, Emelia Selorn.” Ren menebaskan Excaliburnya secara vertikal, membuat sayatan yang membelah bagian depan zirah Ksatria Pedang dan membuatnya terlepas dari penggunanya.  Yang tampak di hadapan Ren saat ini adalah sesosok gadis berambut hitam panjang. Manik mata coklat perempuan itu beradu dengan milik Ren yang berwarna hijau. Gadis yang disebut Ren sebagai Emelia itu meneteskan air matanya. Ren menarik tangannya kemudian menyambut bibir Emelia dengan bibirnya.

“Kalau aku adalah pedang, siapakah dirimu?” tanya Emelia. Ren tersenyum mendengarkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang pernah diajukan Emelia dulu saat mereka pertama kali bertemu di sungai di hutan belakang rumah kakeknya. Itu adalah pertemuan pertama mereka sebelum Emelia selalu mengenakan zirahnya, menyembunyikan identitasnya. “Aku akan jadi pengguna pedang,” jawab Ren. Emelia juga tersenyum mendengarkan jawaban dari Ren. “Jika demikian, bukankah seharusnya kita bertarung bersama?” tanya Emelia kembali.

Emelia menantikan jawaban dari Ren. Jawaban yang belum sempat ia dapatkan saat melontarkan pertanyaan serupa sepuluh tahun yang lalu. “Membuat pedang kesayanganku kotor oleh darah? Mana mungkin kulakukan itu, bukan?” Ren menjawab pertanyaan Emelia dengan senyuman lebar. Emelia lagi-lagi menitikkan air matanya. Kali ini ia yang lebih dulu menautkan bibirnya yang kemerahan ke bibir Ren.

Ini adalah sebuah kisah, tentang seorang laki-laki yang mengayunkan pedangnya demi mencapai orang yang dikaguminya. Ini adalah sebuah kisah, tentang seorang laki-laki yang merebut segalanya dari orang yang dikaguminya. Ini adalah sebuah kisah, tentang seorang laki-laki yang membawakan kehidupan baru untuk orang yang dikaguminya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top