Reinkarnasi

Karya: Rede-fine

***

“Sebenarnya apa yang terjadi?” Seorang lelaki menatap sayu ke arah pintu. Membuang pandang dari seorang kakak yang duduk di sampingnya. “Pikiranku benar-benar kalut.”

Rheinalt Shamus. Lelaki berparas tampan yang kini menjadi pucat dan sedikit menyeramkan.  Ia memandang Aldrich—kakaknya—yang menatapnya bingung.

Tanpa pikir panjang, Aldrich mengambil sebuah perekam suara berukuran kecil berwarna hitam. Bentuknya seperti ponsel zaman dahulu. “Kau tahu maksudnya apa? Kau siap mendengarkannya?”

“Rasanya badanku sakit semua,” balas Rheinalt dengan tubuhnya yang cukup lemas. “Ada apa dengan perekam suara itu?”

“Kau baru saja menyelesaikan reinkarnasi, Rhei.” Oh ya, Rheinalt menjadi paham setelah itu. Ia mengangguk, tapi tetap saja bingung akan tujuannya setelah tertidur selama dua tahun lebih. “Dengarkan ini.”

Telinga Rheinalt memfokuskan fungsinya. Dan terdengarlah sesuatu yang membuat lelaki itu membelalak cepat—terkejut bukan main. Tubuhnya merespons berupa hentakkan kecil saat duduk.

“𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘳𝘦𝘪𝘯𝘬𝘢𝘳𝘯𝘢𝘴𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢. 𝘈𝘨𝘢𝘳 𝘬𝘪𝘴𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘵𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘭𝘪𝘯𝘵𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶. 𝘐𝘯𝘪 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘈𝘷𝘦𝘭𝘪𝘯𝘦 𝘉𝘳𝘺𝘵𝘩𝘦 𝘓𝘪𝘷𝘳𝘰𝘪𝘯𝘦, 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘢𝘣𝘢𝘥𝘪𝘬𝘶. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶, 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.”

Alat bersuara itu memberhentikan hasil rekamannya. Aldrich tersenyum bangga. “Selamat! Kau telah menjadi manusia, Rhei! Beruntungnya, kau masih bisa mengunjungi kerajaan vampir kami.”

“Lalu? Aku menjadi manusia sungguhan? Bagaimana perasaan Raja Xavier? Apa ia tak setuju?” tanya Rheinalt bertubi-tubi. “Dan ... di mana Aveline?”

Kepala Aldrich mengangguk. “Mungkin, raja tak mempermasalahkanmu. Dan Aveline sepertinya berada di belakang istana.”

“Baiklah. Aku akan segera ke sana.”

“Rhei, jangan seka—” Ucapan Aldrich terpotong saat melihat adiknya yang segera ke luar dari rumahnya. 𝘚𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳, 𝘢𝘥𝘪𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘵𝘶.

Persetan dengan kakaknya. Kini, Rheinalt tak bisa berlari kencang seperti dahulu. Napasnya pun mulai terengah saat berbebar sejauh beberapa puluh meter. Ia menyadari, dan perlahan mengelap keringatnya. Akhirnya, ia telah menjadi manusia sungguhan!

Dengan keadaan setengah berlari, akhirnya ia sampai di bukit belakang istana vampir. Matanya meneliti sekeliling, mencari seorang gadis. Dan ... itu dia!

Ada Aveline yang sedang berdiri membelakangi Rheinalt. Ia tak menyadari. Lantas hal itu menjadi alasan sang lelaki itu mampir dan memeluk Aveline dari belakang. Perlahan, ia melingkarkan kedua lengannya di seputar pinggang kekasihnya. Tak lupa untuk mencium leher gadis itu. Membuat Aveline merasa geli, terkejut sekaligus terharu.

“K-kau ... Rheinalt?” tanya Aveline memastikan. Pelan-pelan ia membalikkan badannya, dan kembali terkesima. Itu benar, ia tak sia-sia menunggu lamanya reinkarnasi yang dihadapi Rheinalt. “A-aku merindukanmu, mencintaimu.”

Air mata itu menetes perlahan dari pelupuk mata. Rheinalt yang memulainya, ia tersenyum penuh arti. “Aku adalah manusia, sekarang.”

Dengan lembut, Aveline mengusap lembut tangan Rheinalt. Kemudian mengenggam keduanya. Ia kembali tersenyum, mengalirkan air matanya. “Aku bisa merasakan hangatnya tanganmu.”

Senyum Rheinalt kembali cerah. Ia mengecup lembut bibir sang pujaan hati selama beberapa detik. Aveline juga membalasnya dengan lembut. Kedua insan itu terjatuh pada rindu yang akan segera terbalaskan. Keduanya tak pernah merasa sebahagia ini.

“Aku mencintaimu,” ucap Rheinalt penuh perasaan.

Balasan Aveline pun sama. “Selalu, dan selamanya,” lanjutnya diiringi senyuman indah.

Keduanya saling melemparkan kirana. Selama beberapa puluh detik. Hingga Rheinalt lagi-lagi berkata, “Ingin sekali aku melepas rindumu. Kau ingin ke mana setelah ini? Pergi jalan-jalan menghabiskan waktu bersamaku? Kita juga akan memulai hidup baru.”

“Rheinalt ... baik kalau begi—"

Kedua mata Rheinalt terpejam. Tubuhnya segera tersungkur, berangsur dengan Aveline yang ikut merosot. Gadis itu sangat kaget terhadap apa yang ia lihat saat ini. Ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?

“A-Aveline ....” Pandangan Rheinalt kabur. Lemas tubuhnya terlihat jelas pada mata yang mulai sayu. “A-aku memiliki darah. K-kau bisa melihatnya.”

Mata Aveline membelalak cepat. Melihat ke bagian kaki Rheinalt yang menjulur jenjang di samping. Banyak darah di sana, akibat peluru yang ditembakkan oleh ... siapa yang berani melakukan hal ini?

“RHEINALT!” Teriakan Aveline menandakan hancurnya jiwa yang telah ia bangun bersama sang kekasih. Air mata yang kembali muncul, kini telah berganti menjadi isakan perih. Suaranya mengecil, tapi sangat menikam hati Rheinalt. Aveline tak sanggup lagi berteriak. “K-kau bisa bangun, Rhei. Kau pantas hidup!”

“Telah b-berapa kali aku menyatakan c-cinta padamu?” ujar Rheinalt yang tersenyum tulus—meski menahan rasa sakit di kakinya. “Aveline, ak-aku ... benar tulus mencintaimu.”

Aveline mengelus lembut pipi Rheinalt. Beralih ke bagian rambutnya yang halus. Perlahan tapi pasti, kelopak mata Rheinalt melebar. Lelaki itu memejamkan mata. Dengan napas yang perlahan hilang dari nyawanya.

Hati Aveline telah terlampau remuk. Ia tak bisa lagi memekik marah sekaligus pilu. Yang dilakukannya hanya memeluk kekasihnya dengan erat, mencium pipinya dengan lembut, lalu menuju bibir. Tak lupa mengecup kening sang lelaki. Ia sudah tak sanggup lagi menahan pedih. Apakah ini adalah awal kehidupan yang diimpikan Rheinalt? Bukankah ini adalah sebuah perpisahan dari kilatnya pertemuan?

Kepala Aveline perlahan mendongak. Ia melihat di daerah belakang istana—di lantai dua. Di sana terlihat Raja Xavier tersenyum dan merangkul pundak seseorang di sampingnya yang sedang memegang senapan DXL-3—senjata api yang cukup mematikan.

Aveline benar-benar marah dengan tatapan sadisnya. Lantas, ia memelototi raja itu. Namun, Xavier bergegas memalingkan muka. Memandang seseorang di sebelah kiri. Tak lupa dengan senyum miringnya.

Tanpa sadar, mata Aveline mengikuti. Melihat dan bertatapan dengan seseorang wanita tua berambut putih gading. Kedua mata orang tua itu melotot, memandang intens ke arah Aveline—𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘫𝘦𝘣𝘢𝘬𝘢𝘯.

Bagaikan hipnotis, Aveline segera tergeletak lemas dengan hulu yang menyentuh bagian samping kepala Rheinalt. Napasnya terengah, dan ia merasakan detak jantungnya yang melemah. Tatapan wanita tua itu memabukkan—dan menjadi racun menuju kematian.

Senyum Xavier semakin cerah saat mendapati kehadiran Aldrich—yang berada di lantai dasar. Ia berbisik pelan, “Kehidupan barunya telah berakhir secepat ini. Dan ia tak menyadari akan regulasi yang diberikan pada gadisnya.”

Aldrich datang, melihat dari kejauhan akan kematian adiknya dan juga Aveline. Hatinya sangat sesak melihat apa yang kini terjadi. Ia berucap pelan, “Maafkan aku, Rheinalt. Seharusnya kau tak bisa langsung menemuinya. Sang raja membenci keputusanmu.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top