Keinginan - Ayva
Penulis: Yemimaliez
Gadis itu berdiri di tengah cakrawala.
Terlihat hutan lebat berjejer memenuhi pulau Hetheozdemia, wilayah klan penyihir hitam yang tersisa. Bola mata onix itu menatap kagum betapa indah biru kehijauan laut yang mengelilingi pulau. Ia menyipitkan mata sedang bibir tersenyum lebar ketika melihat bola bercahaya yang disebut sebagai “matahari” oleh gurunya. Ia berbalik, di bawah telapak kaki kecil itu muncul lingkaran sihir dengan rangkaian mantra dan simbol berputar mengikuti gerakannya. Beberapa burung berterbangan, menembus gumpalan awan.
“Sungguh indah, mengapa aku dilarang keluar pulau padahal di luar ada banyak hal yang mengagumkan?” gumamnya masih menatap semua itu dengan mata berbinar.
“Karena berbahaya.”
Seketika, tubuh gadis itu tegap, lalu berbalik kaku. Keringat dingin mengucur begitu seseorang di hadapannya memberikan tatapan intimidasi.
“Ke-ketua, a-aku tidak bermaksud—“
“Kembali, Ayva,” perintah ketua dengan aura menakutkan keluar darinya, membuat Ayva—si gadis itu—menelan ludah susah payah dan mengangguk patuh.
***
Ayva menyentuh pipinya yang terasa panas dan perih. Bayang-bayang pohon yang menghalangi cahaya matahari, gubuk dari ranting pohon dan daun, beberapa penyihir yang menggunakan sihir untuk memasak dan kegiatan lain, membuatnya mengigit bibir.
“Kau tahu mengapa kau tidak akan pernah kuandalkan meski kau penyihir hebat? Kau pembangkang, Ayva! Satu tamparan terlalu ringan untuk pelanggaranmu hari ini!” bentak ketua menaikkan oktaf suara.
“Aku punya alasan! Aku muak dengan kegelapan. Lelah dengan pelajaran, orang-orang, dan pemandangan yang sama.” Ayva menatap tajam laki-laki berambut hitam kelam itu. “Aku bosan berurusan dengan ketua klan penyihir sepertimu, tapi aku hanya ingin mengetahui dunia luar!”
PLAK!
Ayva membulatkan mata menyadari sebulir air mata jatuh dari sana.
Ketua menyentuh bahunya, lalu berkata dengan suara rendah, “Jangan membuatku terpaksa menyegel sihirmu, Ayva!”
“Kalau begitu jawab pertanyaan yang selama ini kau hindari,” lirih Ayva, “mengapa kita harus bersembunyi?”
“Hentikan, Ayva. Banyak yang mendengarmu!”
Namun Ayva tidak peduli, bahkan ia sengaja menaikkan suara. “Jawab aku!”
Beberapa penyihir menghentikan aktivitas mereka, melihat ke ketua klan dengan tatapan penasaran. Ayva tersenyum sinis melihat ketua terdiam dan menatapnya datar. Disegel kekuatannya? Dia tidak takut. Ia mengerutkan kening saat ketua sedikit membuka bibir.
“Ayva, kau—“
“Ketua, ada masalah! Klan elemental mengirim ribuan pasukan ... maaf, Ketua.” Pemuda yang baru saja menyela membungkuk dengan tangan kanan di dada.
Ayva menaikan alis kebingungan ketika tiba-tiba ketua menarik tangannya. Namun, ia tidak berani bertanya, tidak selama ia bisa merasakan ketegangan menakutkan di sekitarnya.
“Ayva, kau pastilah penyebab kejadian ini, jadi kau harus ikut.” Ketua mendekat ke telinganya, “Selamat, kau akhirnya mendapatkan jawaban yang sangat ingin kau ketahui.”
Detik itu, Ayva kehilangan keberanian membangkang ketua klan untuk pertama kalinya. Kata “pasukan” tadi sudah cukup untuk membuka matanya. Dugaan-dugaan buruk menguasai pikiran dan perlahan, rasa bersalah mulai mencekiknya.
***
“Ribuan pasukan klan penyihir elemental memiliki tujuan yang sama, melenyapkan kita.”
Ayva menunduk dalam ketika mendengar perkataan dari tetua klan. Sejauh yang ia pandang hanya ada wajah penuh kewaspadaan, bunyi ketukan meja yang terbuat dari batang kayu di sebelah kanan, dan ayunan kakinya karena tidak nyaman dengan suasana suram.
“Tetua, saya yakin kita masih bisa melindungi klan kita jika mencoba untuk bernegosiasi dengan mereka. Pemimpin klan elemental mungkin bisa menerima negosiasi,” bujuk lelaki di sebelah kanan, tidak lain adalah ketua.
Beberapa penyihir tampak berdiskusi sejenak. Setelah itu, salah satu dari mereka berbisik pada tetua. Ayva mengambil kesempatan ini untuk bertanya.
“Negosiasi apa? Apa mereka pernah menyerang kita juga dulu?”
“Kebalikannya,” jawab ketua tanpa menoleh, “Ayva, mereka menganggap apa pun yang berkaitan dengan warna hitam membawa kesialan dan klan kita pernah memulai perang karena tidak menerima pendapat itu. Klan kita hampir memusnahkan seluruh penyihir elemental, kau tahu artinya?”
“Keseimbangan dunia sihir terganggu?” tebak Ayva.
“Hampir benar. Klan kita merusak keseimbangan dunia sihir dengan menghancurkan klan yang berpengaruh besar. Itulah mengapa seharusnya kita tetap bersembunyi.”
Ayva membelalak tak percaya, lalu berkaca-kaca. Bibirnya terbuka ingin mengeluarkan kata “maaf”, tapi tidak bisa dikatakan. Sebab ia tahu, minta maaf pun tidak merubah keadaan.
“Sebagai ketua, kau terlalu meremehkan,” kata Tetua membuat Ketua dan Ayva tersentak bersamaan, ”dengan kebencian yang mereka pendam tiga belas tahun terakhir, kau pikir mereka masih mau melakukan negosiasi? Yang bisa kita lakukan adalah mengevakuasi penduduk yang tersisa.”
“Evaluasi dadakan? Kita belum mengetahui tempat yang aman dan tidak punya cukup waktu. Kemungkinan besar mereka akan menyerang tepat setelah melihat kita keluar dari pulau. Kita juga harus meluruskan bahwa klan penyihir hitam telah berubah agar tidak terjadi perang di masa depan,” bujuk ketua tidak didengarkan sama sekali, kecuali oleh Ayva.
Ayva mengangkat tangan lalu berbicara dengan lantang dan percaya diri, “Izinkan saya untuk melawan mereka. Sendirian.”
“Kau ingin dibunuh?” sinis ketua.
Ayva mengangguk tegas. “Saya siap untuk itu dan ... “ Ayva menurunkan tangan, berdir, lalu melanjutkan, “ ... ada kemungkinan mereka mengetahui keberadaan kita karena saya. Saya tidak berharap dimaafkan, bahkan satu tamparan katanya tidak cukup sebagai hukuman setelah diam-diam keluar dari pulau.”
Para penyihir senior saling berpandangan, tetua menatap ketua seolah meminta penjelasan. Ketua mengembuskan napas berat, berdiri lalu membungkuk.
“Ini karena kelalaianku mengawasi anak ini, saya minta maaf. Tapi dia termasuk penyihir hebat, mengorbankan dia beresiko tinggi—“
“Selain melawan, saya akan mencoba bernegosiasi. Selama saya bertarung kalian bisa melakukan evakuasi. Izinkan saya turun tangan. Atau saya perlu menunjukkan kemampuan saya?”
Keheningan menguasai ruangan berdinding batu itu. Ayva berusaha untuk tidak terganggu dengan pelototan ketua. Lagipula, ia yakin dengan kemampuannya. Ia bahkan telah menguasai seluruh kemampuan sihir hitam di usianya yang ketiga belas tahun. Ia yakin tanpa negosiasi pun, ia akan memukul mundur pasukan klan elemental.
“Kami yakin orang tuamu akan bangga denganmu, Nak,” ujar Tetua yang dibalas dengan senyuman tipis oleh gadis berkuncir kuda itu.
***
Sekali lagi dia berada di “dunia luar”.
Ia tersenyum tipis dan menaikkan dagunya, menatap barisan pasukan penyihir berjubah putih. Satu penyihir di bagian tengah membawa tongkat dengan batu permata empat warna pada ujungnya. Tampak bendera berwarna putih dengan sebuah simbol di tengah di bawa oleh beberapa penyihir yang mengelilingi pembawa tongkat. Api, air, tanah, angin, dia yakin itulah arti dari simbol-simbol itu. Mereka berjalan dengan langkah dan tempo yang sama, menyebabkan bunyi hentakan yang begitu keras. Selain pasukan penyihir, mereka juga diikuti hewan-hewan yang tak pernah ia jumpai. Burung bersayap api, burung bersayap runcing dan kecepatan yang janggal, kuda dari air, dan yang terakhir kucing pasir.
Tepat setelah barisan pasukan itu berhenti, terjadi hujan batu di perbatasan pulau Hetheozdemia. Namun, Ayva hanya mengangkat satu jemarinya hingga sedikit menyentuh salah satu batu, hujan itu berhenti. Terjadi kebingungan sesaat, tapi setelah itu pasukan mereka terpecah menjadi empat, melancarkan serangan empat elemen bersamaan. Air laut membentuk ombak tinggi dan menerjang, angin memperbesar bola api yang dilemparkan padanya.
“Bahkan jika kalian bekerja sama seperti ini ...” Ayva mengangkat tangan, dalam sekejap dinding raksasa terbentuk melindunginya. Detik berikutnya semua serangan berhenti, mengikuti gerakan tangan yang berhenti di udara. “ ... kekuatanku adalah mencuri sihir yang kusentuh baik dengan tubuh atau sihirku lalu mengendalikannya. Jadi kalian akan kalah satu kali lagi. Masih ingin perang?” ancam Ayva dengan percaya diri.
“Masa lalu tidak berubah, ya.”
Ayva tersentak, lalu menoleh cepat. Ia membelalak menyadari sang pembawa tongkat ada tepat di belakangnya, mengacungkan tongkat padanya.
“Kekuatanmu mengejutkan, tapi tidak cukup untuk melawan kami yang sudah siap dengan strategi dan pengalaman bertarung. Kau mengenakan jubah hitam, bola matamu batu onix, kau pastilah anggota klan pembawa sial yang sudah menghancurkan keseimbangan dunia sihir.” Sang pembawa tongkat itu menyeringai, lalu mencengkram leher Ayva. “Sepertinya aku melihatmu hari ini, jadi benar pulau ini markas kalian.”
Napas Ayva mulai memburu, seolah udara menjauhinya. “Jangan sembarangan kau! Kami hidup bersembunyi karena kalian! Seenaknya memburu kami hanya karena masa lalu kuno padahal kami telah berubah, uhuk ...” Kakinya berayun cepat, sang pembawa tongkat mengangkatnya tinggi masih dengan mencekiknya.
“Hitam adalah warna pembawa kesialan, nasib malang, itulah yang terjadi dan masa lalu tidak bisa dirubah. Kau yang tidak mengetahui apa yang terjadi jangan berlagak seolah kau adalah korbannya! Sebelum masa lalu terulang, kami akan memusnahkan kalian semua, dimulai dari kau!”
Penyihir itu memukul tanah dengan tongkatnya. Dinding tanah yang melindungi Ayva runtuh. Serangan yang sempat berhenti kembali bergerak. Menghimbit, mencabik-cabik gadis itu tanpa jeda. Lalu melemparkannya jauh ke dalam hutan, hingga menabrak dinding salah satu rumah.
Gadis itu batuk darah sejenak, kemudian menoleh ke arah seorang lelaki yang hari ini terus mengomel-omel dan menamparnya.
“Ketua, lari. Mereka mungkin sudah di sini. Uhuk!”
“Evakuasi hampir selesai, kau juga ikut—“
“Mereka akan membunuh kita semua sebelum evakuasi selesai,” sela Ayva membungkam ketua.
Ketua menganga, menatap tak percaya gadis yang dikenal kuat itu dalam keadaan berantakan. Bahkan tulang tangan kecilnya terlihat. Darah mengucur dari kepala dan memar di seluruh tubuhnya.
“Larilah, akan kuhalangi mereka. Aku masih bisa mengeluarkan sihir ... uhuk!”
Kebakaran hutan menyebar begitu cepat dengan bantuan kayu dan angin. Hentakan kaki berderap semakin jelas. Namun Ayva masih memaksakan diri untuk memukul mundur api yang mulai mendekat dengan sisa tenaganya.
“Lari ... aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri,” lirih Ayva lemas.
Tepat setelah itu serangan yang sama datang. Hujan batu disertai badai api menyebar, melahap habis semua pohon dan menghancurkan segala bangunan yang ada. Jika bukan karena ketua melindunginya, mungkin Ayva sudah tamat saat itu juga.
“Kubilang evakuasi sudah hampir selesai. Jika mereka semua sudah ada di depan kita, kita hanya perlu bertahan sampai semuanya selamat lalu lari.” Ketua mengeluarkan ratusan lingkaran sihir, mengendalikannya agar membentuk tameng di depan mereka. “Kita akan melakukan kerja sama. Jadi jangan sok bisa mengatasinya sendirian seperti tadi, Bodoh! Kita akan mati jika melakukannya sendirian!” bentak Ketua dengan emosi meluap-luap, suda sejak rapat tadi ingin mengatakan hal itu tetapi ditahan karena adanya tetua yang menghalanginya.
Benturan antara serangan dan pertahanan ketua berlangsung cukup lama. Sang pembawa tongkat yaitu Oze, pemimpin klan elemental menggeram. Ia mengangkat tongkatnya, memberi kode untuk pasukan menghentikan serangan.
“Ketua, mereka ada di depan kita! Kau masih bisa pergi dan lindungi klan kita sementara aku menghalangi mereka, ya? Kumohon dengarkan aku. Kau percaya aku kuat, ‘kan?” bujuk Ayva sambil ikut memperkuat lingkaran sihir ketua.
Ketua menghela napas, berdiri, dan mengulurkan tangannya. “Tidak peduli betapa kuatnya dirimu, jangan pernah mengatasi semuanya sendirian, jika kau lakukan pasti kau akan gagal. Jadi ...” Ketua menarik gadis itu hingga berdiri tegap, “ ... ayo mati bersama! Ayva, kau mau tidak, mencuri kekuatanku permanen?”
Tepat setelah ketua mengatakan itu, Oze mengayunkan tongkatnya, mengeluarkan empat elemen sekaligus. Penghalang terguncang sesaat lalu retak. Merasa percaya diri bahwa penghalang itu akan hancur, pasukan memulai penyerangan yang sama secara beruntun. Penghalang itu semakin retak tiap detik berlalu.
“Apa yang kau rencanakan, Ketua? Mencuri permanen bukan hanya menghilangkan kemampuanmu, tapi ada kemungkinan tubuhmu tidak akan kuat dan terbunuh dari dalam!” sanggah Ayva sambil melangkah mundur.
“Aku akan berusaha bernegosiasi, kubilang kita akan bekerja sama, ‘kan? Lagipula, semakin kita perpanjang debat ini, penghalang sihir yang kubuat akan hancur. Bagaimana jika kau coba langsung?”
Ketua memamerkan senyuman mautnya yang sangat mengintimidasi. Ayva tidak habis pikir mengapa penyihir satu ini mengalami gangguan jiwa di saat kritis.
Dinding penghalang hampir hancur, mempercepat laju detak jantung gadis berambut hitam itu. Ia mengepalkan tangan lalu menjawab dengan kesal bercampur panik, “Baiklah! Setelah itu apa?”
“Terjang, curi semua sihir mereka secara permanen. Gunakan sihirku untuk melindungi diri, jadi sihir apa pun takkan bisa menyentuhmu. Mudah, ‘kan?”
Baiklah rencana itu bisa Ayva lakukan dengan sangat mudah, apalagi ia sudah mengamati semua pasukan itu tadi dan yakin hanya si pembawa tongkat yang bisa mengeluarkan empat elemen sekaligus. Kini yang ia permasalahkan adalah keselamatan ketua.
“Kau juga bisa menggunakan sihir pelindung padaku. Cukup sentuh keningku dan efeknya akan sama, aku tidak akan bisa diserang dengan sihir,” ucap Ketua percaya diri, “pada akhirnya tugasku adalah mengawasimu, memulai negosiasi dengan ketua klan elemental jika mereka menginginkannya sementara tugas mengulur waktu kembali padamu.”
Dinding penghalang hancur berkeping-keping. Ayva menciptakan serangan yang sama dan langsung menerjang tanpa peringatan. Adu kekuatan antara elemen asli dan yang sudah tercampur dengan sihir hitam sangat sengit. Belajar dari kesalahan sebelumnya, dia tidak sekali pun berhenti bergerak hanya untuk meremehkan mereka. Semua serangan mereka akan hancur saat mengenainya. Sementara mereka kaget, dia akan menyentuh satu bagian tubuh mereka lalu mencuri sihir. Butuh waktu yang lama, tapi ia berhasil.
“Tapi di mana si pembawa tongkat tadi?” gumamnya begitu selesai melenyapkan hewan sihir di perbatasan pulau, “sebaiknya aku kembali.”
Oze menatap tajam lelaki berjubah hitam yang berjalan mendekat dengan tatapan intimidasi. Ia sudah mencoba menyerang, tapi berakhir sia-sia karena semuanya hancur begitu menyentuh tubuh lelaki bermata onix. Ia melangkah mundur, berniat untuk kabur lalu menenggelamkan pulau itu.
“Masa lalu tidak berubah, klan kalian benar-benar pembawa sial. Kalian harus dimusnahkan sekarang—“
“Aku tahu itu, Oze. Tidak perlu mengatakannya, kau dan aku adalah saksi dari tragedi itu. Tapi itu masa lalu, bahkan klanmu berkembang pesat daripada kami yang hidup dalam bayang-bayang. Bisakah kita hentikan saja? Atau kau mau menciptakan legenda baru di mana klan elemental menghancurkan keseimbangan dunia dengan melenyapkan seluruh penyihir hitam?” sindir Ketua masih dengan tatapan intimidasi.
“Kalau kuhentikan kalian akan membalas kami lalu menusuk dari belakang! Kau pikir aku bodoh? Buktinya gadis tadi! Dia melenyapkan kemampuan pasukanku karena perintahmu, ‘kan?” balas Oze tak terima.
Tiba-tiba ketua berhenti mendekat. “Kami tidak akan melakukannya. Sudah cukup dengan perang. Klan penyihir hitam dan klan kalian sudah pernah memulai perang. Jangan terpuruk karena masa lalu, Oze. Jangan merusak masa depan klan kita hanya karena kau menginginkan balas dendam atas nama keadilan palsu.”
“Aku memohon padamu, aku tidak ingin hidup dalam kegelapan lagi. Bisakah kita hidup saling menghargai?” sahut Ayva dari belakang mengejutkan keduanya.
Oze tertegun, melirik ketua lalu Ayva yang membungkuk sangat rendah bergantian. Ia menghela napas lalu mengacungkan tongkatnya pada gadis itu.
“Apa buktinya aku bisa mempercayai omong kosongmu?”
“Bukti seperti apa yang kau mau?” tanya Ayva tanpa takut.
“Kembalikan kekuattan sihir mereka, maka aku akan percaya padamu.”
Itu mustahil bagi ketua, karena ia pikir Ayva sudah mencuri sihir mereka semua secara permanen. Oze pun beranggapan begitu karena berpikir gadis di hadapannya benar-benar ingin mengalahkan semua pasukan. Namun, Ayva berdiri tegap dan mengangguk tegas. Dia memejamkan mata. Dari tubuhnya keluar pecahan sihir lalu mengambang di udara. Ia menahan diri agar jangan sampai terjatuh sebelum mengeluarkan semuanya, termasuk sihir dalam dirinya yang asli. Tiba-tiba pecahan sihir itu berpencar, memasuki setiap raga penyihir yang terkapar di tanah.
“Ayva!” teriak ketua saat tubuh gadis itu hampir membentur tanah. Tak disangka, saat perhatiannya terfokus pada wajahnya, Ayva menyentuh tangannya dan pecahan sihir terakhir kembali ke tubuh ketua.
“Tunggu. Tunggu. Tunggu! Ayva bangun! Kau membangkang lagi. Kau benar-benar keras kepala ... Ayva, bangun.”
Oze berlutut, menyentuh tangan Ayva dan mengecek detak jantungnya dengan perasaan campur aduk. Antara menyesal memulai perang atas nama balas dendam sekaligus bersalah atas permintaannya padahal masih banyak klan elemental di luar sana untuk membagikan sihir mereka. Napasnya tidak teratur dan senyumnya mengembang saat merasakan detak jantung gadis lemah itu masih ada. Namun, senyum itu menghilang ketika ia merasakan ada perbedaan pada tubuh Ayva.
“Ayva ... kehilangan kemampuan untuk mengeluarkan sihir,” lirihnya.
“Tidak masalah, karena semua ini berakhir bahagia,” bisik Ayva dengan sisa tenaganya. Ia tersenyum tipis, diikuti kedua ketua klan di sampingnya.
Ketua menutup mata Ayva, lalu menempelkan bibirnya di kening gadis itu.
“Benar, perang berakhir, kita bisa hidup di ‘dunia luar’ sesuai keinginanmu, Ayva.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top