You, Me, and A Kiss

"Aku ingin segera menghilangkan lipstikmu itu dengan bibirku, Nilam."

Seketika, kututup mulutku dengan tangan. Kudorong tubuh Ricky untuk menjauh. Lama-lama, aku takut dengan ucapan Ricky seperti itu.

"Lo abis nonton film porno, ya? Kok otak lo jadi ngeres?!"

Wajah Ricky memerah, dia menjauhkan tubuhnya dariku. Bahkan, tangan yang sedari tadi menggamit pinggulku sudah hilang entah ke mana.

"Merusak suasana rupanya adalah hobimu," ketusnya. Aku diam, melihatnya melangkah sendirian. Tampaknya, dia marah.

Aku sama sekali tidak mengerti dengan makhluk yang namanya cowok. Apakah, mesum adalah kebutuhan rohani yang wajib terpenuhi? Mungkin, bagi cowok... sebagian besar hidupnya digunakan untuk memikirkan hal-hal mesum. Sementara sebagian kecil lainnya, barulah urusan lain. Setuju?

"Ayo, cepetan... kalau kamu jalannya lelet kayak siput. Aku tinggal, nih!"

"Eh... iya... iya!"

Kukejar Ricky, meski aku sedikit terpincang-pincang karena sandal ber—hak tinggi milik Lala. Akhirnya, aku bisa menyamai langkah Ricky juga. Saat kami berada di pintu masuk, banyak anak yang melihat.

Iya, mereka melihat ke arahku. Tapi, yang mereka lihat bukan aku. Tetapi, cowok yang ada di sampingku. Lihatlah, bahkan... bisik-bisik mereka tentang Ricky terdengar jelas di telingaku.

"Sekar, gue bantu, ya." tawarku. Saat menghampiri Sekar.

"Nggak usah, Lam... lo udah kerja keras dari kemarin. Sekarang, lo seneng-seneng aja, ama..." kata Sekar menggantung. Matanya tidak berkedip melihat Ricky. Terlebih, dengan penampilan rapi seperti ini. "Ricky." lanjutnya.

Aku yakin, mereka kuwalahan. Meski anggota OSIS baru pun terjun membantu. Tapi, staff yang dikirim para guru belum sepenuhnya datang. Tamu undangan pada acara ini bukan hanya sekolah sendiri saja. Akan tetapi, ketua yayasan dan donatur, serta siswa dari sekolah tetangga juga.

"Tapi—"

"Nilam... udah, lo masuk aja ke dalam, ih! Keburu Rickynya nggak betah terus kabur gimana?" bisik Sekar setelah menyeretku agak menjauh dari Ricky. Dia memang begitu, takut dengan Ricky. Tapi, mau bagaimana lagi. Sekar adalah salah satu anak yang dijadikan bahan lelucon di kelas. Termasuk gengnya Ricky.

"Tuh... lihat, tamunya banyak yang dateng, Nilam. Jadi please, ya... gue kasih tugas lo satu aja, dan itu penting. Lo harus tahan Ricky di sini sampai acara selesai. Cukup, hanya itu. Agar banyak yang datang pada acara ini. Oke?"

Dan, aku mulai mengerti. Betapa pentingnya peranku dalam acara prom malam ini. Aku seperti seorang penjahat. Yang ditugaskan untuk memastikan sandera tidak kabur.

"Heh, cupu! Udah ngajakin cewek gue ngerumpi?" ketus Ricky yang tiba-tiba berdiri di belakangku. Aku terjingkat, pun dengan Sekar.

"I... iya." jawab Sekar takut-takut. Dia menunduk, membenahi letak kaca matanya yang melorot.

"Dasar cupu." Ricky menarik tanganku. Masuk ke aula tengah sekolah. Sebab, di sanalah prom night diadakan.

Anak-anak sudah ramai berkumpul. Wajah mereka tampak terkejut saat melihat Ricky datang bersamaku. Ricky, yang kutahu pasti akan acuh dan seolah baik-baik saja karena terbiasa dengan tatapan mereka, berbeda denganku. Aku malu, aku sungkan. Terlebih... aku merasa tidak nyaman dengan dandananku.

Saat Ricky membawaku menuju ke tempat yang dirasa nyaman, kutundukkan wajahku dalam-dalam sambil memainkan anak rambutku yang kebetulan berada di depan mata. Jujur, aku tidak tahu tanggapan mereka mengenaiku. Aku yakin, mereka akan mencemooh seperti biasanya. Tapi dengan Ricky?

Lagi, kupandangi Ricky yang berdiri di depanku. Kini, cowok kelimis itu sudah sibuk dengan HP—nya. Dia memakai celana jeans hitam, memakai kemeja abu-abu yang dibalut dengan jas bewarna senada dengan celananya. Sementara sepatunya masih seperti saat dia di sekolah. Rupanya, serapi apa pun Ricky. Gaya santai dan seenaknya sudah terlalu melekat seperti biasanya. Ya... ket abu-abu itu, seolah enggan lepas dari kakinya.

"Nilam! Lo udah dapet bunga ama topeng?" tanya Lala yang membuatku bingung. Kulirik arah Ricky, Genta memberinya sebuah topeng yang berhasil membuat Ricky mengerutkan kening.

"Apaan?" tanyanya enggan menerima topeng dari Genta.

"Ada pesta dansa memakai topeng."

"Ogah... kek anak TK aja pakek topeng segala. Emang kalau nggak pakek, siapa yang bakal marahin gue?"

Bener juga, siapa yang berani marahin Ricky? Yang ada, mereka malah takut dengan Ricky.

"Lha... kan elo ikut prom ini, kan?"

"Kata siapa? Gue hanya nemenin cewek gue. Gue nggak mau peduli ama prom sialan ini."

Ih Ricky! Kok malah dia debat sama Genta, sih? Aku sama sekali tidak mengerti. Sifatnya berubah-ubah dengan begitu cepat.

"Aku mau pakek." jawabku cepat, sebelum Genta membalas ucapan Ricky. Ricky menoleh ke arahku. Dengan kilat tajam mengitimidasi itu.

"Kamu ngapain pakek? Mau dansa ama cowok-cowok jelek itu, iya?" tanyanya dingin dan menusuk hati. Sebenarnya, dia kenapa tiba-tiba berubah emosi?

"Aduh, Rick... please deh! Berhenti bersikap posesif kayak ayam jantan yang mau kawin! Kalau lo nggak mau Nilam dansa ama cowok lain, ya ikutin aturan mainnya. Kenapa lo malah marah-marah? Mau bilang cemburu gengsi, ya?" seloroh Lala.

Ricky bersedekap. Setelah ia berjalan ke arahku kemudian berdiri tepat di depanku. Mata cokelatnya itu memandangku lekat-lekat.

"Aku cemburu," katanya. Mataku melotot, Lala dan Genta pun iya. Kutundukkan wajahku yang memerah, semoga dia tidak tahu kalau aku sedang tersipu.

"Tapi, kalau kamu keras kepala memakai topeng jelek itu. Nggak apa-apa, pakai aja. Bahkan kalau kamu mau nutupin seluruh wajahmu juga nggak apa-apa. Aku pasti akan mengenalimu. Dan, aku akan menjadi cowok pertama yang mengulurkan tangan untuk mengajakmu berdansa, Nilam."

"Rick! Woy! Sini bentar!" kami menoleh. Bondan memanggil Ricky dengan tampang gusar.

"Aku ke sana dulu." izin Ricky.

Keduanya tampak saling bisik. Seolah-olah, ada sesuatu gawat yang sedang terjadi. Aku jadi ingat kata Sekar. Jikalau Ricky dan teman-temannya biasanya melakukan konvoy atau pun tawuran. Apakah, teman-temannya sedang mempersiapkan bala tentara untuk mereka siap menyerbu pasukan musuh kapan saja? Ah, pikiranku kembali gusar karena hal ini.

"Bondan bikin rusuh." gumam Lala yang sedari tadi ada di sampingku.

"Ricky udah mulai berubah baik. Tapi selalu aja teman-temannya ngeracun untuk buat ulah." tambah Genta.

"Pokoknya, Lam... lo harus jagain cowok lo itu. Lo harus cegah dia ke mana pun. Bisa-bisa, dia akan berurusan dengan polisi kalau terus-terusan jadi tukang tawuran kayak gitu."

"Bener kata Lala. Kemarin, gue sempet denger kalau polisi udah siap nge—razia tempat-tempat yang sering digunakan tawuran berandalan."

Kupandangi lagi Ricky dan Bondan yang tampak sibuk berbincang. Di sana, Rendy juga sudah ikut bergabung dalam percakapan serius itu.

Apa benar, jika Ricky akan tawuran malam ini? Dan, soal janji sama temannya? Apa maksudnya itu dengan Bondan dan pasukan badungnya?

Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan agar Ricky tidak pergi. Terlebih, jika memang mereka mengadakan tawuran, jam berapa tawuran itu akan dilaksanakan? Apakah diundur, karena aku meminta sang ketua datang ke sini?

"Rick..." ucapku yang sudah mendekati Ricky, Bondan dan Rendy. Ketiganya langsung menghentikan perbincangan serius mereka. Sejenak, Ricky mengelus tengkuknya, sebelum dia menampilkan seulas senyum.

"Kalian lagi ngomongin apa?"

"Oh... itu, ngomongin Mondy." jawab Rendy.

"Ngapain sih, lo sok pengen tahu urusan kita? Ini urusan cowok!" jawab Bondan sewot. Tapi Ricky tetap diam, dia tidak bersuara sepatah kata pun.

"Oh... Mondy gimana kabarnya?" tanyaku yang ingat jika dia di Rumah Sakit.

"Udah sembuh, kok... besok palingan dia sekolah." jawab Rendy lagi. Memang, di antara teman badung Ricky, meski awalnya Rendy jahat padaku. Tapi, sekarang, dia agaknya baik. Baik yang mungkin bisa diartikan sungkan. Mungkin karena, aku adalah pacar Ricky. Ketua geng badungnya dia.

Aku tahu, aku telah lancang memasuki area Ricky. Terlebih, ini adalah teman-temannya. Tapi jujur, aku tidak suka dengan Ricky yang suka tawuran. Ricky yang suka menyakiti orang. Aku ingin Ricky menjadi cowok yang penurut. Bukan penurut itu dalam artian buruk. Percayalah, semua akan kulakukan asal Ricky tidak terjerumus dengan pergaulan salah remaja-remaja zaman sekarang.

"Rick... bisa temenin gue?" tanyaku hati-hati. Aku takut, kediamannya Ricky itu marah. Atau tidak suka dengan ulahku yang terlihat sangat posesif. Sebagai pacar Ricky yang mungkin bisa dikatakan pacar karena obsesi sebuah nama, aku tidak berhak melakukan apa-apa.

"Ke mana?"

"Ke sana. Cari minum." jawabku asal.

"Gue ke sana dulu. Ntar BBM—an aja." ucap Ricky pamit sama Rendy dan Bondan.

Rendy mengangguk, sementara Bondan berdecak tidak suka. Kutundukkan lagi wajahku setengah menggeret Ricky. Dia masih mengikuti langkahku dengan mulut yang terkatup rapat-rapat. Bibir penuhnya itu hanya menampilkan garis lurus. Pertanda, dia enggan membuka suara.

Apa aku salah?

Ya, sepertinya aku memang salah. Tidak seharusnya aku mengekang Ricky. Tapi, bagaimana pun ini demi kebaikannya. Adakah yang mengerti perasaanku saat ini? Adakah yang paham dengan perasaanku yang khawatir terhadap Ricky saat ini? Kurasa, tidak ada satu pun.

"Kamu tidak boleh minum kayak gini." katanya menyadarkan lamunanku. Aku kaget, saat dia meraih minuman bersoda dari tanganku.

"kenapa?"

"Nggak baik buat kandungan."

"Eh?!" pekikku bingung. Memangnya seperti itu ada?

"Kamu boleh ngelarang aku apa-apa aku tidak keberatan. Sebagai gantinya, kamu juga harus nurut apa pun ucapanku. Mengerti?" aku mengangguk patuh.

Dia meraih jus jeruk yang ada di meja, kemudian menarikku untuk menepi. Menghindari keramaian dan pandangan orang-orang.

"Aku nggak suka, mereka ngelihatin kamu." katanya, dengan nada kesal dia meneguk minuman berwarna biru yang dia bawa.

"Kenapa?"

"Karena kamu malam ini cantik. Itu sebabnya mata mereka jelalatan. Aku tidak suka."

"Bukan." jawabku menerangkan. Dia memandangku, dahinya berkerut sejenak kemudian dia mendekat.

"Lalu?"

"Mereka mandangin elo." kujawab. Dia masih mengerutkan keningnya.

"Kenapa?" kini, dia yang bertanya seperti itu. Susah, aku menjawab pertanyaan yang bahkan aku sudah tahu jawabannya.

"Karena..." kataku menggantung, mata cokelat itu tampak teduh. Bibir merahnya terlihat menyunggingkan seulas senyum jenaka, "karena lo ganteng malam ini."

"Hanya malam ini?" tanyanya berhasil membuatku bingung.

"Bukan!" kataku spontan. Dia mendekatkan wajahnya padaku. Sampai kepalaku terhimpit tembok. Bahkan, napas Ricky yang beraturan keluar dari lubang hidungnya, terasa hangat saat menerba pipiku.

"Terus?" tanyanya. Matanya tidak lepas memandang ke arah mataku. Dan, aku sendiri tidak tahu, apa yang harus kulakukan untuk ini. Ricky seolah menelanjangiku, dan membuat semua tulangku lumpuh.

"Lo ganteng, kok... setiap hari." lirihku. Saat aku hendak menunduk, tangan Ricky mengangkat daguku. Mataku kembali menatap mata cokelatnya yang tajam itu.

"Kalau aku nggak ganteng, kamu tidak mungkin jatuh cinta, kan?" tanyanya. Pelan, tapi entah kenapa, pertanyaan itu membuat sebagian kewarasanku terenggut. Ricky meniupkan napas hangatnya ke leherku, dan itu adalah cara teraneh yang mampu membuat tubuhku lumpuh.

"Nilam..." bisiknya, tepat di telingaku. "Aku mencintaimu." wajahnya kini kembali berada di depanku. Perlahan dia mendekatkan bibirnya, dan menempelkannya pada bibirku. Sentuhan bibir Ricky, membuat mataku terpejam tanpa komando. Meski aku takut. Tapi tetap saja, perasaanku terus terbawa suasana. Dan membiarkan Ricky melakukannya.

"Anjing!" marah seseorang sambil menendang Ricky sampai aku terjingkat.

Ricky tersunggur, bersamaan dengan pekikan kagetku. Ya Tuhan! Kami ketahuan! Bagaimana ini?

"Setan!" bentak Ricky tidak mau terima. Dia bangkit, memandang Kak Niko dengan dingin. Ada kilat marah di mata cokelatnya.

"Kalau lo mau ngerusak anak orang, jangan di sini, Njing! Pergi sana cari hotel!"

"Sialan, lo!"

Kak Niko memandangku dengan tatapan aneh. Entah, kenapa dia begitu marah dengan Ricky saat ini.

"Nilam, lo ama gue!" marahnya, meraih tanganku tapi segera ditepis Ricky.

"Dia cewek gue." desisnya penuh emosi.

"Meski dia cewek lo, bukan berarti lo bisa ngapa-ngapain dia, berengsek!"

BUUUK!!

Ricky langsung meninju pelipis Kak Niko, sampai dia tersungkur. Lagi, kini Ricky menendang perut Kak Niko. Seolah enggan memberi kesempatan Kak Niko membalas, Ricky menghajar Kak Niko bertubi-tubi. Sementara aku? Aku hanya bisa menahan jeritanku, agar yang lain tidak tahu. Agar, keributan ini tidak mengganggu acara sekolah yang telah dirancang teman-temanku.

"Ricky berhenti!" bentakku. Tapi, Ricky tidak peduli.

"Rick—"

"Kamu diam, Nilam!" katanya dengan nada lebih tajam dari sebelumnya.

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku hanya butuh keajaiban, semoga... semoga Arya ada di sini. Semoga Arya bisa melerai pertengkaran ini!

"Woy! Setan!" keduanya berhenti ribut. Kuelus dadaku yang sedari tadi sesak, kemudian kuhirup udara dalam-dalam. Aku bersembunyi, di balik punggung Arya yang tiba-tiba datang entah dari mana. Sepertinya, aku dan Arya memiliki telepati. Yang tidak aku mengerti. Sebab, dia selalu datang di saat aku butuh.

"Berhenti atau gue iket lo di rumah, berhenti, Rick!" bentak Arya lagi. Ricky berdecak, dia seolah enggan melepaskan cengeramanya dari Kak Niko. Tapi, Arya langsung memisahkan mereka.

Rupanya, di belakang Arya ada Maman. Cowok itu tampak ketakutan melihat perkelahian itu. Pun dengan Genta, yang langsung merangkulku dari belakang.

"Lo nggak apa-apa, Lam?" tanya Genta panik. Aku menggeleng lemah, karena masih terkejut dengan apa yang terjadi tadi. Sampai-sampai, aku tidak sadar jika gelas yang sedari tadi kubawa sudah jatuh di lantai dan pecah.

"Gue bisa liat ada cinta di mata lo buat cewek gue," geram Ricky yang tertangkap di telingaku. Kornea hitam Kak Niko mengecil, kontras dengan matanya yang melebar. Ricky membuang ludah, matanya memandang Kak Niko seolah dia enggan melepaskannya lagi.

"Siapa pun yang mencintai cewek gue, pasti akan lenyap... apa pun itu caranya." semua orang diam, saat Ricky mengatakan hal itu.

Setelah Ricky berdiri, Arya langsung memukul kepala Ricky sampai dia mengerang kesakitan.

"Bisa nggak, apa-apa nggak harus pakek otot? Mau nunjukin kalau lo jago? Sana, adu panco!" geram Arya.

"Cerewet lo."

"Anjing, lo!"

"Setan!"

Arya terkekeh, seolah sumpah serapah yang baru saja ia katakan dengan Ricky adalah sebuah guyonan. Tunggu, sejak kapan mereka mulai seakrab itu? Belum sempat aku bertanya, tangan Genta yang merangkulku pun ditepis oleh Ricky. Aku terperanjat, saat Ricky merengkuhku dengan posesif.

"Sekali lagi lo sentuh cewek gue, gue potong tangan lo, Gen."

"Anjir! Gue sahabatnya, woy!"

"Gue nggak peduli."

==000==

Setelah pertengkaran itu, suasana kembali mencair. Aku dan Lala memilih satu sisi tenang yang tidak terlalu terlihat banyak orang. Sementara... Ricky, Genta dan Arya sudah bergurau bertiga.

Tampaknya, Genta mengabaikan ucapan pedas Ricky, tadi. Buktinya, kini Genta malah akrab dengan Ricky. Meski, akrab itu hanya sepihak. Seperti yang dilakukan oleh Arya.

Ricky itu diam, dia angkuh. Seperti enggan berinteraksi dengan Genta pun Arya, tapi dia juga tidak menolak keberadaan mereka. Aku tahu, dia sebenarnya ingin dekat. Berhubung sifatnya yang seperti itu, kesannya jadi cuek. Ya... begitulah Ricky, mau bagaimana lagi.

Bahkan, saat acara pengumuman gelar cowok populer di sekolah pun, Ricky enggan maju. Jikalau Bu Marita tidak mendorongnya untuk naik ke atas panggung untuk memberikan pesan—pesan pada anak-anak sekolah. Dia hanya bilang 'makasih' kemudian turun begitu saja tanpa peduli sorot kecewa cewek-cewek yang memujanya.

Kemudian, saat anak-anak menyuruhnya bermain musik. Sudah ada Bondan dan Rendy di sana. Bahkan... Genta juga. Tapi, Ricky menolak. Katanya, dia tidak bisa main musik. Apalagi, menyanyi. Padahal kata Arya, di rumah, Ricky punya studio musik. Yang sengaja Om Irawan buat agar Ricky tidak suntuk. Itulah Ricky, dia cowok yang suka kebebasan, tidak suka terikat dan diatur. Dia ingin hidup, dengan gaya hidupnya sendiri.

"Kamu mikirin apa, sih?" tanya Ricky.

Saat ini, kami sudah pulang. Tapi, kami tidak benar-benar pulang. Karena pemikiranku yang berlebihan akhirnya Ricky kutahan. Dan, sampailah kami di sini. Di sebuah jembatan merah yang cukup sepi. Terlebih, ini sudah larut malam. Bukan hantu yang kutakutkan. Tetapi, Tante Rosi. Bagaimana jika Tante Rosi tahu aku pulang kemalaman? Terlebih, pulangnya di antar Ricky. Pasti Tante Rosi marah.

"Sudah hampir tengah malam, ya?" tanyaku ragu-ragu. Ricky mengangguk, sekarang ini kami sedang duduk di tengah jembatan merah itu. Sambil melihat bintang-bintang.

Kunang-kunang dan jangkrik malam ini aktif. Sang kunang-kunang berterbangan sambil memamerkan sinarnya pada alam. Sementara, jangkrik mengerik seperti lantunan sebuah lagu.

Bisa jadi, ini adalah suasana romantis, yang diciptakan Tuhan padaku dan Ricky. Ah tentahlah, atau hanya aku yang berpikiran terlalu melankolis.

"Ntar aku akan ngomong ama Tante Rosi."

"Jangan!" bantahku saat Ricky mengucapkan itu. Wajahku panik, pasti Ricky bisa menebak karena apa.

"Dia marah kamu pacaran sama aku?" tanya Ricky menebak. Aku menunduk lagi. Wajahku mendung, tidak seperti suasana langit yang cerah bahkan hampir tidak berawan. Musim kemarau rupanya telah datang. Dan, menciptakan malam yang indah penuh bintang.

"Dia ngelarang gue buat pacaran." jawabku.

"Yaudah sih, nggak usah dipikirin." katanya.

"Kok gitu?"

"Kalau kamu mikirin, ntar kamu sakit. Aku nggak mau kalau kamu sakit."

"Tapi, kan—"

"Udah... kita jalanin aja, ya... masalah restu, kita ikhitarkan dulu."

Aku mengangguk, menjawabi ucapan Ricky. Dia tampak merogoh saku celananya, meraih seputung rokok dan korek. Aku memang tidak suka dia merokok. Tapi, aku tidak ingin melarang dia lagi. Jika dia ingin berhenti, aku ingin, itu dengan kesadarannya sendiri.

Dia memandang ke arahku. Kemudian tersenyum, melemparkan rokok dan koreknya ke rumput. Aku tertegun saat Ricky melakukan itu.

"Aku sudah nggak rokok, kok," katanya. Aku nyaris tidak percaya Ricky bilang seperti itu. "Memang tidak bisa lepas sepenuhnya, dulu... semua, kan butuh proses." lanjutnya. Aku setuju dengan ucapannya.

"Kenapa?" kutanya. Dia tersenyum kecut.

"Aku nggak ingin kamu berakhir seperti Mondy..." jawabnya. Maksudnya? Aku tidak paham. "Dia kena penyakit paru-paru. Padahal, dia nggak ngerokok. Pasti, dia sakit karena aku. Karena teman-teman yang sering berbagi asap pada Mondy. Dan, aku nggak mau... cewek yang kusayang sakit karenaku."

Kuelus punggung Ricky. Dia menekuk kedua kakinya dan meletakkan kedua tangannya di sana. Dia menunduk, sepertinya dia terpukul karena keadaan Mondy. Aku merasa jika benar, guru yang paling berharga adalah sebuah pengalaman. Terlebih, pengalaman itu dialami sendiri. Seperti Ricky.

"Oh, ya... bagaimana bisa lo masuk sekolah kemarin?" tanyaku hati-hati. Entah sejak kapan, aku mulai berani banyak tanya dengan Ricky.

"Oh... sumpek di rumah," serunya. "Arya... kambing jantan satu itu, tiap hari dateng mulu. Masak di dapur, dan bikin rumahku berantakan coba. Sial emang tuh bocah! Apalagi, dapet anceman juga ama Bu Marita."

"Anceman?" Ricky mengangguk. Gurat kesedihannya menghilang, wajah putih Ricky terlihat bersinar.

"Iya... jadi, pagi itu, aku ditelfon ama Bu Marita. Gimana pun, hari itu aku harus sekolah. Kalau enggak, mau dikeluarin. Dan, aku harus ngelakuian sesuatu."

"Apa?" tanyaku makin penasaran.

"Tuh ngerjain Sesil."

"Hah?" tanyaku bodoh.

Jadi, yang nyuruh Ricky ngerjain Sesil, Bu Marita? Serius Bu Marita guru Bahasa Inggrisku itu?

"Bu Marita sekarang jadi sahabatku. Kamu nggak tahu, kan? Ah... kudet!" ledeknya. Dia langsung tidur di pangkuanku tanpa permisi, membuatku kaget.

Dia bersedekap. Matanya sudah tertutup rapat. Sejenak kupandangi wajah Ricky yang ada di pangkuanku. Rambut hitamnya, alis tebalnya, bulu mata lentiknya, hidung mancungnya, dan... kututup bibirku saat melihat bibir penuhnya yang merah. Seketika, kuingat kejadian saat tadi di sekolah. Sungguh, aku tidak bisa membayangkan. Bagaimana pesona Ricky membuatku hilang kesadaran.

"Ricky..." lirihku lagi. Aku harus bertanya masalah ini, sebelum aku benar-benar meyakini dengan apa yang sudah tertanam di otakku. "Gue ini Nilam." kataku. Aku tidak tahu, harus berkata apa lagi padanya. Aku hanya ingin bilang, jika aku ini Nilam. Bukan Nilamnya di masa lalu.

"Emangnya siapa yang bilang kamu kambing?" tanyanya setengah bercanda.

"Gue ini Nilam... gue bukan Nilam lo di masa lalu." kataku pada akhirnya. Matanya terbuka. Perlahan, dia mengambil posisi duduk dan menatapku lekat-lekat.

"Siapa bilang kamu Nilamku yang dulu?" tanyanya. Aku menunduk, takut jika dia marah.

"Nilamku yang dulu cewek paling cantik di sekolah. Rambutnya lurus sepunggung, bukan kribo kayak rambut singa. Nilamku yang dulu dia paling nggak suka melihat orang ditindas, bukan yang selalu ditindas dan pengecut. Nilamku yang dulu itu sempurna."

"Bukan kayak gue yang sebaliknya?" dia diam. Tidak menjawab. Aku memang tidak berharap lebih. Tapi, membandingkanku dengan Nilamnya yang dulu, itu membuatku sakit.

"Aku mencintaimu apapun keadaanmu. Kenapa kamu masih ragu?"

"Karena, dengan Nilam lo yang dulu aja lo mendua. Apalagi ama gue."

"Hah? Mendua? Sama siapa?" tanyanya. Dia benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?

"Ani." jawabku. Sorot matanya yang teduh terlihat menajam. Dia memalingkan wajahnya dariku.

"Oh... dia." ucapnya.

"Iya, kan?" tanyaku makin penasaran. Meski hatiku ingin dia berkata tidak, tapi... aku ingin dia jujur.

"Nggak usah bahas."

"Maaf." jawabku. Memang, aku tidak berhak untuk masalah ini. Bagaimana pun, Ani adalah bagian masa lalu Ricky. Yang berhak marah itu Nilam, bukan aku.

"Maaf," ucapnya. Kupandang wajah Ricky yang kembali teduh, matanya memandangku dengan tak menentu.

"Dia hanya teman baikku, dulu. Kurasa kamu sudah salah paham. Apa pun yang dikatakan orang lain bukanlah kebenarannya. Kamu cukup tahu itu saja."

Lalu, jika suatu saat nanti. Ada sosok seperti Ani muncul di tengah-tengah hubungan ini, apa dia akan melakukan hal yang sama?

Aku mau percaya jika Ricky bilang kalau Ani adalah teman baiknya. Namun, aku tidak mungkin menuduh kalau Arya bohong, kan? Aku tahu, Arya itu jujur. Apalagi untuk masalah seperti ini.

"Nilam..." kata Ricky. Dia merapatkan jarak di antara kami. Matanya memandangi seluruh bagian wajahku. "Percayalah padaku." katanya. Ada rasa frustasi, bergeliat gelisah di mata cokelatnya. Seolah-olah, dia sudah lelah dengan pertanyaan ini. Pertanyaan tentang Ani.

Aku mengangguk, menjawabi ucapan Ricky. Kedua tangannya dilingkarkan pada leherku. Senyumnya kembali cerah seperti tadi.

"Aku tidak akan mengkhiatanimu. Percayalah, Nilam." gumamnya lagi. Mata itu kembali menghipnotisku. Seperti orang bodoh aku kembali mengangguk untuk kesekian kalinya.

Bahkan, di malam yang hawanya dingin ini. Darahku terasa mendidih, saat Ricky memberikan kecupan manis di leherku. Basah, dan hangat. Semuanya bercampur jadi satu dan membuat tubuhku luruh.

Setelah dia mencium daguku, matanya kembali memandang ke arahku. Ada kilat aneh di sana, saat mata cokelat itu terlihat semakin pekat.

"Aku mencintaimu, Nilam." ucapnya, sudah kesekian kali dia mengatakan kalimat itu. Seperti sebuah pengakuan. Namun yang kurasakan malah sebaliknya. Dia seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri jika yang dicintai adalah aku. Bukan Nilam... masa lalunya itu.

Hanya untuk sekejap kupejamkan lagi mataku. Bodoh! Seharusnya, aku tidak melakukan itu. Kenapa mataku terpejam secara tidak sadar setiap kali bibir Ricky menyentuh bibirku. Terlebih, saat tengkukku ditekan begitu dalam bersamaan dengan lumatan aneh darinya.

Aku mulai paham, kenapa dia berujar ingin menghapus lipstikku dengan bibirnya. Rupanya, ini yang dia lakukan. Menikmati bibirku dengan bibirnya yang penuh itu. Bahkan, lidahnya mulai bergerilya di dalam mulutku.

Mataku terbuka, bersamaan dengan pekikan kaget dariku. Spontan, kucoba jauhkan tubuh Ricky dariku. Namun, Ricky tak peduli. Dia terus memperdalam ciumannya sampai napasku tersengal-sengal. Ini aneh, pikiran warasku berkata jika hal ini menjijikkan. Saling bertukar liur dengan cara tak wajar. Namun, hasratku terus menginginkannya. Seolah meronta untuk membalas setiap lumatan Ricky meski aku tak pandai melakukannya.

Pelan, dia melepas panggutan itu. Matanya memandangku dengan pandangan teduh dan penuh cinta. Entah dari mana, aku mengartikan tatapannya malam itu.

"Ricky..." kataku di tengah-tengah napasku yang masih memburu. Aku menunduk, tapi Ricky tidak membiarkan itu. "Aku juga mencintaimu." ucapku. Dia kembali tersenyum, setelah mencium keningku, dia langsung memelukku erat-erat. Aku tidak tahu, perasaan apa yang bergejolak dari dalam hatiku.

Yang kutahu hanyalah, malam itu... kunang-kunang seolah memberikan selamat lewat sinarnya yang kerlap-kerlip. Jangkrik tengah bersorak-soray dengan bunyinya yang mengerik. Dan, langit... seolah ikut merasakan apa yang kurasakan dengan taburan ribuan bintang di langit. Untuk sesaat aku hanya ingin seperti ini. Dalam dekapan Ricky tanpa ada satu orang pun yang mengganggu. Ya... untuk sedetik saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top