Without Ricky

"Lo kenapa, Lam?" tanya Lala, yang baru masuk ke dalam kelas bersama Genta. Dia duduk kemudian bertopang dagu sambil memandangku lekat-lekat. Sementara Genta sedikit membungkuk masih menempel di belakang Lala.

"Iya, elo kenapa?" kali ini Genta yang bertanya.

"Gue buat salah sama Bu Marita, deh." keluhku, setengah berdesis. Rasanya langitku mau runtuh. Bahkan, gerimis pagi ini seolah mewakili perasaanku. Padahal ini musim panas, tapi sepagi ini gerimis sudah datang seolah mengejek sang mentari yang tak berani menampakkan sinar. Seharusnya, sang mentari lebih berani. Agar gerimis tahu, siapa yang lebih berkuasa di sistem tata surya.

"Kok bisa? Elo nantangin Bu Marita ribut?"

"Elo neror Bu Marita pakek bom?"

"Elo ngadu ke Ricky?" tanya Genta dan Lala bergantian seperti group paduan suara pas upacara bendera saat agustusan di lapangan.

"Enggak gitu, jadi—"

"Selamat pagi, anak-anak!" ucapanku terhenti, ketika Bu Marita masuk ke dalam kelas.

Kelas hampir bising oleh suara bangku yang berderit, seolah hendak melapor ke Bu Marita jika siswa-siswa memaksa untuk masuk dan menduduki mereka.

"Selamat pagi, Bu!!!" seru teman-teman sekelas. Aku sedikit menundukkan wajahku, karena aku takut jika Bu Marita melihat sosokku. Meski aku yakin, rambut ikalku yang mengembang ini akan melambai-lambai dan menunjukkan kepada Bu Marita jika aku berada di sini. Duduk di deretan nomor tiga bangku ke tiga dari arah pintu masuk.

"Bagaimana kemajuan tugas kelompok kalian?" tanya Bu Marita setelah kami hormat kemudian berdoa dipimpin oleh Rian selaku ketua kelas.

Semuanya diam, tidak menjawab. Aku jadi takut, jika beliau akan berceramah, dan itu menyinggungku. Aku memang siswa kurang ajar, dan aku tak tahu dari mana aku memiliki kekuatan untuk kurang ajar seperti itu?

"Kenapa diam? Belum ada yang mengerjakan?!" tanyanya lagi.

"Belum, Bu!!!!" jawab teman-teman kompak.

Kuembuskan napasku, takut jika Bu Marita murka. Tapi, beliau diam saja. Beliau meletakkan kacamatanya kemudian menghentak-hentakkan jemarinya di atas meja seolah berpikir.

"Bu Marita, rapat sudah akan dimulai." Bu Ilyas berseru dari luar, setelah mengetuk pintu kelas kami. Bu Ilyas itu Guru Fisika, beliau berjilbab, wajahnya cantik dan masih muda. Beliau termasuk Guru baru di sini. Meski Guru Baru, beliau terbilang bijaksana. Terlebih cara mengajarnya itu enak. Bahkan di mata Bu Ilyas rumus-rumus fisika yang sulit, disulap menjadi permainan yang cukup mudah dan menarik.

Dan gosipnya, Bu Ilyas sedang dekat dengan Pak Santo. Guru olahraga kami yang maskulin itu. Yang ke mana-mana selalu membawa minyak wangi sebab bau keringatnya tidak enak. Pak Santo, suka dengan Bu Ilyas dari pertama kali Bu Ilyas mengajar di sini. Semua siswa tahu akan hal itu. Sebab, Pak Santo tidak pernah menutupi rasa sukanya. Sempat Bu Ilyas dikerjai Ricky dan teman-temannya, Pak Santo langsung marah kemudian menghukum Ricky. Setelah itu, Pak Santo ke mana-mana selalu mengikuti Bu Ilyas, takut dijailin lagi, katanya.

"Iya, Bu... sebentar." jawab Bu Marita. Rupanya, hari ini ada rapat komite lagi. Biasanya, kalau rapat komite seperti ini, kalau tidak jam kosong, pasti akan dipulangkan pagi. Mengingat, ini baru awal semester.

Bu Marita mengambil tas jinjing warna emasnya, tas yang kata Bu Marita hadiah yang diberikan suaminya, dulu. Hadiah istimewa, katanya. Itu sebabnya, dari dulu sampai sekarang, hanya tas itu saja yang selalu beliau pakai. Beliau pun mengemasi beberapa buku paket dan LKS yang tadi ditaruh di meja. Merapikan rambut pendeknya sekilas kemudian berjalan khas Bu Marita. Jalan sedikit membusungkan badannya dan menatap lurus ke depan.

"Oh ya, saya lupa," kata beliau. "Kalian bisa menghapus nama anggota yang tidak mau mengerjakan tugas kelompok ini. Setiap anggota harus mendapatkan sanksi. Agar kalian bisa tahu bagaimana rasanya berpikir, dan bekerja secara bersama-sama, mengerti?!"

"Iya, Bu!"

Rasanya aneh, bebanku terasa terangkat semua. Itu Bu Marita, kan? Beliau mendengarkan keluhanku? Beliau mendengarkan apa yang menjadi polemik di dalam hidupku? Ya Tuhan, ini benar-benar keajaiban! Aku tidak percaya jika Bu Marita bisa melakukan hal ini. Aku pikir, beliau cukup memiliki pemikiran tertutup dan teguh dengan pendiriannya sampai mengabaikan masukan yang lain, tapi nyatanya, tidak!

"Ck! Ngasih tahu hal nggak penting!" celetuk Bondan. Dia menaikkan kedua kakinya di atas meja kemudian mengambil sebatang rokok dan dinyalakannya.

Dia itu sudah seperti kereta api yang ke mana-mana mengeluarkan asap dengan suara nyaring khas kereta api. Tapi menurutku, Bondan lebih tidak berguna dari kereta api.

"Bondan, lo udah nyari bahan yang gue suruh, kan?" tanyaku.

"Nggak usah sok deh, mentang-mentang Bu Marita berucap seperti itu. Denger ya, Nilam. Gue ini sibuk, lo nggak budek, kan? Gue sibuk! Belum sempet!" marahnya.

Seharusnya, aku yang marah.

Apakah kesibukannya merokok lebih sibuk dari kesibukanku menjaga nilai-nilaiku agar tidak turun? Apakah kesibukannya berkumpul dengan teman-teman badungnya lebih penting dari kesibukanku membantu Tante Rosi di toko? Tidak! Dia tak sesibuk itu, dan dari dulu dia selalu beralasan jika sibuk, dan aku sudah bosan!

"Sudah, Nilam." kata Lala yang menarikku untuk duduk. Aku tadi berdiri, hendak menuju tempat Bondan duduk. Tapi Lala menghentikanku.

"Tapi—"

"Semalem Ricky udah ngasih semua materi, bahkan semua bagian kita. Kita tinggal nyusun jadi makalah terus buat power pointnya aja."

"Kok gitu?" tanyaku. Lala mengangkat kedua bahunya, pertanda jika dia tak tahu.

"Katanya, dia nggak mau kamu repot. Jadi dia yang ngerjain semuanya."

"Nggak boleh gitu, dong! Ini kan kerja kelompok!" kekehhku tidak mau kalah. Ini sama artinya jika Ricky memandang rendah aku, menganggap jika aku tak bisa mengatur kelompokku. Meski aku yakin, alasan dia bukan itu. Tapi aku tersinggung!

"Ya udah, ih! Kita nyari tambahan referensi aja, gimana? Dari pada elo marah? Tapi yang bagian Ricky biarkan. Dan kalau referensinya lebih buruk ambil yang dari Ricky, gimana?" kata Lala memberi ide.

Kuembuskan napas beratku mencoba menenangkan emosi. Tuhan, sepertinya aku terlalu terbawa emosi hari ini. Mulai masalah dengan Bu Marita, kini masalah dengan Bondan yang membuat emosiku meletup-letup. Jujur, aku tidak suka sikap Bondan. Preman kelas yang aku sendiri tidak tahu bisa dibilang sahabat Ricky atau tidak itu benar-benar menyebalkan. Sok jagoan dan sok tampan, tapi tidak pernah mau bertanggung jawab atas apa yang telah menjadi kewajibanya. Aku benci sama dia, dia itu cowok menjijikkan!

"Lam, dipanggil Kak Aldi!" seru Sekar.

Kenapa lagi dengan ketua OSIS yang sebentar lagi akan turun jabatan itu? Rupanya hari ini rutinitasku menjadi babu pun siswa bullyan akan kembali ke asalnya. Mungkin, aku terlalu bermimpi jika setelah aku bersama Ricky semuanya akan berubah. Semuanya akan baik-baik saja. Tapi nyatanya, tidak sama sekali.

Tapi kalau dipikir-pikir, benar sekali kata Ricky. Kenapa aku harus menggantung padanya seolah aku selalu ingin sembunyi di balik punggungnya. Yang dibully itu aku, yang dihina itu aku. Jadi, aku sendirilah yang harus melawan mereka. Kata Ricky, sebab aku dibully karena aku ingin. Aku jadi tahu alasannya kenapa dia bilang seperti itu. Karena, aku diam saja dan tak melawan. Itu sebabnya aku menjadi bahan bulan—bulanan. Dan itu, sangat menyakitkan.

"Lo juga?" tanyaku. Sekar mengangguk kemudian dia menggandeng tanganku untuk ikut dengannya.

Kuisyaratkan pada Lala dan Genta untuk menungguku di perpustakaan, sebab jam akan kosong sampai bel pulang berbunyi mengingat jika hari ini rapat komite.

Tidak lama setelah menyeberang lapangan tengah Sekolah, aku dan Sekar sudah sampai di ruang OSIS. Sudah ada Mila, Kak Aldi, Maman dan yang lainnya di sana. Sedang mengutak-atik komputer dan aku tak tahu kenapa.

"Ada apa ya, Kak?" tanyaku mencoba sesopan mungkin, sebab dia adalah ketua di sini.

"Pakai tanya ada apa lagi, elo ke mana aja?!" marahnya, mata lebarnya itu melotot, bahkan terlihat merah pertanda jika dia sangat marah.

Apa salahku?

"Lo tahu, komputer ini rusak, dan semua file yang ada di sini hilang, dan semua itu karena elo!"

"Kok gue?"

"Siapa lagi, emang? Elo itu cewek pembawa sial! Semua yang pernah elo pegang itu jadi hancur berantakan!"

Aku sama sekali tak mengerti.

Kupandangi Maman yang memandangku dengan tatapan iba itu. Dia kembali memandang ke arah komputer yang katanya rusak. Maman, memang dikenal dengan pandai mengutak-atik komputer dan program yang di dalamnya. Itu sebabnya nanti saat dia lulus SMA dia mau kuliah menjadi programmer. Semoga, Maman. Aku tahu, kamu pasti bisa.

"Ini bukan karena Nilam, kok," katanya membelaku.

Rambut keritingnya diacak setengah frustasi kemudian dia kembali mengutak-atik komputer itu lagi. Layarnya berwarna hitam, dengan tulisan putih yang terus berjalan cepat di sana. Mungkin, itu adalah salah satu sistem dari komputer yang coba Maman buka.

"Ini karena pirus." lanjutnya.

"Karena Nilam pembawa virus!" kali ini Mila berucap.

Aku bukan alat elektronik, aku bukan USB atau semacamnya. Bagaimana bisa aku disebut pembawa virus? Jika toh kedua tanganku ini ada kuman dan virus, itu pun tidak akan berdampak pada komputer itu. Sebab, memegangnya pun aku tidak pernah. Aku hanya memegang komputer sisi kanan yang menghadap jendela ruang OSIS, sementara komputer yang dinyalakan Maman adalah komputer Mila. Sangat tidak masuk akal jika mereka menuduhku tanpa bukti.

"Lo itu—"

"Cukup!" seruku. Memejamkan mata erat-erat sambil mengepalkan kedua tanganku. Ini tidak adil, dan aku sudah tidak ingin ketidak adilan terus menimpa diriku.

"Kak Aldi dan Mila seneng banget ya nuduh gue. Emangnya sejak kapan gue nyentuh komputer itu? Bukannya itu komputer Mila? Jika memang komputer itu penuh virus, pasti Milalah yang membawanya, bukan gue!"

PLAK!!!

"Nilam!" suara tamparan dan jeritan Sekar pun Maman terdengar bersamaan.

Rasanya sakit, saat pipiku ditampar oleh Mila. Tapi setidaknya hatiku lega, sebab aku bisa mengatakan apa yang selama ini tidak bisa aku katakan. Aku bisa melawan, meski hanya sekali, kali ini.

"Elo ngebantah? Sok jagoan? Hanya karena cowok lo preman? Mau ngadu ama dia? Dasar anak singa nggak punya etika!"

"Gue nggak masalah kalau bagi lo gue nggak punya etika, Mil. Yang penting gue masih punya otak buat ngejaga harga diri gue. Udah capek gue ngalah ama elo, ama Kak Aldi yang selalu jadi penguasa di Sekolah ini. Kita ini sama-sama siswa, dan kita memiliki hak dan kewajiban sama di Sekolah ini."

"Halah, sekolah karena beasiswa aja bangga." kini Kak Aldi bergumam.

"Gue bangga dapat beasiswa karena termasuk siswa pandai, dari pada gue dapat beasiswa karena ngaku miskin." jawabku. Aku pergi dari tempat itu, sementara Mila dan Kak Aldi diam.

Dan aku tahu persis mereka tahu siapa yang kumaksudkan itu. Ya, dia Mila. Yang Mengaku menjadi siswa tak mampu hanya untuk mendapatkan beasiswa. Sampai-sampai, dia memfoto rumah tetangganya untuk dijadikan bukti. Padahal, uang dari orang tuanya tetap dia terima. Sebagai modal untuknya hura-hura.

@@@

Hari ini adalah hari rabu dan matahari terlihat begitu semangat untuk sekedar menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling hebat. Bahkan untuk sekedar mengeringkan jemuran, tidak perlu menunggu sore pasti jemuran akan kering. Kecuali, jika kita sedang menyuci selimut yang tebal. Atau jaket dengan bulu-bulu yang menggemaskan.

Tapi, saat ini aku tak sedang menjemur baju. Aku, Lala dan Genta sedang duduk di bawah pohon belakang kelas untuk mengerjakan tugas kelompok dari Bu Marita. Jumat harus segera dikumpulkan, dan senin kami akan presentasi. Sementara tugas Bondan sampai detik ini, diabaikan. Bahkan aku menelfonnya pun, nomornya tidak aktif. Padahal, dia berangkat sekolah. Tapi tidak pernah ada di kelas. Aku tahu, dia menghindar. Ya, menghindariku.

"Jadi gimana? Kita kerjain bagian Bondan?" tanya Genta meminta pendapat.

"Kalau kita kerjain, di tugas lainnya dia akan melakukan hal yang sama, Ta. Lo tahu tabiat dia, kan? Dia akan ongkang-ongkang kaki dan nggak akan pernah nyadar. Kita harus kasih efek jera!" seru Lala.

"Gue setuju!"

"Jadi?" kini Genta bertanya pada kami.

"Kita tanya terakhir kali pada dia. Kalau dia tetap nggak gubris sampai nanti jam dua belas malam. Kita hapus namanya dari kelompok kita, gimana?"

"Tapi, La. Nggak jahat?" tanyaku. Jujur, aku sebenarnya tidak tega. Biar bagaimana pun, Bondan adalah teman sekelasku. Aku tahu rasanya hancur karena tidak dapat nilai, bagaimana aku bisa melihat temanku hancur karena hal yang sama?

"Aduh, Lam! Please deh jangan jadi cewek baik dan polos, ih! Elo tahu gimana jahatnya dia sama elo? Udah, deal! Itu keputusan akhir kita! Bukan karena kita ingin, tapi karena harus. Biar dia kapok, dan nggak ngulangin hal ini lagi pada teman kelompok lainnya nanti!"

"Oke, deh!" seru Genta.

Aku pamit menjauh sebentar karena ada telfon dari Ricky. Kemarin seharian dia tidak ada kabar, dan aku khawatir.

"Halo." sapaku.

"Olah." jawabnya, aku mau tertawa tapi kutahan.

"Bagaimana?"

"Apanya?"

"Pesta ulang tahun Mamamu, Ricky."

"Oh, baik... berjalan baik," jawabnya. "Lo udah ngisi soal di LKS itu belum?"

"Sudah."

"Yaaah." aku dengar ada nada kecewa di sana. Aku bingung, bukanya dia yang menyuruhku mengisinya?

"Kenapa?"

"Kalau lo ngisi LKS itu, berarti lo nggak kangen gue, dong! Padahal pengen dikangenin Nilam!"

Aku ingat, alasan dia memberiku LKS, sebagai pengalihku untuk tidak memikirkannya, katanya. Tapi tetap saja, aku tak bisa berhenti untuk memikirkannya. Aku kangen dia.

"Kok gitu?"

"Kalau lo kangen, gue kan mau bilang sesuatu."

"Apa?"

"Gue juga kangen banget ama elo, Nilam!"

"Ya udah, gue kangen."

"Nggak jadi ngomong, deh!"

"Kok gitu? Tapi tadi elo ngomong."

"Mana?"

" Lo kangen gue juga."

"Hahaha, iya... lo pulang jam berapa?"

"Jam tiga sore, kenapa?"

"Gak apa-apa, tanya saja."

"Ya udah."

"Ya udah gitu aja?" tanyanya, aku bingung.

"Emang apa?"

"Cium jauhnya nggak ada, ya?"

Mungkin saat ini, wajahku sudah semerah udang rebus karena malu. Sampai-sampai, tak kujawab ucapan Ricky. Aku hanya bisa diam, meski pikiranku takut jika Ricky mengira telfonnya sudah aku tutup.

"Ya sudah nggak jadi."

"Lo... kok gitu?" tanyaku. Menyesal, seharusnya kuturuti saja, cium jauh sama Ricky.

"Nanti aja, kalau ketemu. Gue cium langsung. Hahaha!" aku langsung menutup telfon, kemudian kembali pada Genta dan Lala. Meneruskan tugas kami yang tertunda, dan besok tugas ini harus jadi sempurna.

@@@

Pulang sekolah aku dan Lala memutuskan untuk menemui Bondan di rumahnya. Tanpa Genta, sebab Genta ditelfon Mamanya disuruh pulang cepat. Ada saudara dari Singapura yang kebetulan ada keperluan di Indonesia, katanya. Yang kebetulan mampir dan tidak menginap. Jadi, Genta harus pulang. Jika ingin bertemu dengan saudaranya itu.

Awalnya, kami ingin naik angkot dan menunggunya di halte. Tapi kami segera urungkan. Sebab, di halte sekarang bukan lagi tempat untuk menunggu angkot pun bus. Tapi sebagai sarang penyamun. Maksudnya, anak-anak badung Harapan Bangsa ada di sana. Ada Alex, Andrew dan teman-temannya yang aku tidak tahu namanya.

"Apa mau tawuran, ya?" tanya Lala terlihat khawatir.

"Nggak tahu." jawabku. Karena memang aku tidak tahu. Tapi syukur, hari ini tidak ada Ricky. Setidaknya, Ricky tidak terkena masalah jika mereka ingin tawur antar sekolah. Silahkan mereka mau saling pukul. Asal, tanpa Ricky. Aku tak peduli!

Dari arah belakangku rupanya ada Rendy dan teman-temannya, itu geng Ricky. Sedang mengendarai motor dengan santai kemudian berhenti setelah melihat anak SMA Harapan Bangsa. Dan bodohnya aku, berada di tengah-tengah mereka!

"Berengsek! Ngajakin tawuran lagi, mereka!" pekik Rendy dengan wajah emosi. Dia seperti menelfon seseorang dengan tak sabaran. Aku tebak, dia sedang menelfon Ricky.

Apa begitu penting Ricky untuk mereka? Bukankah mereka sudah banyak? Lalu, untuk apa harus ada Ricky? Oh, aku lupa. Ricky kan, ketua mereka.

Bisa kulihat juga Bondan sok gaya di sana, sambil membawa sebuah pisau yang cukup tajam. Bondan, apakah ini pekerjaan pentingmu itu? Sampai kamu mengabaikan tugas dari Bu Marita? Jika iya, aku akan sangat membencimu!

"Ini Ricky di mana, sih? Ngilang gitu aja, telfonnya mati!" seru Rendy semakin kesal.

"Sembunyi kali! Mungkin disuruh ceweknya, lihat tuh! Si Singa, udah ada di antara kita. Mau jadi sok penguasa!" celetuk Bondan yang terdengar begitu jelas di telingaku.

"Iya, ya! Ricky kan pecundang sekarang! Semenjak pacaran ama cewek aneh itu, dia sekarang jarang peduliin kita! Apalagi membela sahabat-sahabatnya. Pacar lebih penting dari sahabat."

Setelah Olan berseru, Rendy turun dari motornya. Kemudian dia mendekat ke arahku. Matanya menatap tajam, dan aku tahu di dalam matanya ada banyak kebencian terhadapku.

"Ingat ya, Singa. Mungkin lo berpikir menjadi Ratu setelah pacaran dengan Raja kami, tapi bagi kami, lo nggak ubahnya seperti sampah! Benalu yang terus menggerogoti Ricky, dan batu penghalang antara kami dan Ricky! Lo, orang yang merenggangkan hubungan kami. Sampai Ricky lemah dan seperti banci!"

PLAK!!!

Aku nyaris tak percaya, ketika Lala menampar pipi Rendy. Mata Rendy melotot, tersirat jelas jika dia semakin marah kepada kami.

"La, lo nggak usah ikut campur dalam masalah gue sama anak Mama yang cupu ini! Yang bisanya sembunyi di ketek Mamanya!" seru Rendy. Kok, jadi merembet ke orangtuaku?

"Diam, Rendy! Kenapa lo ngungkit orang yang udah mati!"

BUKKK!

"Berisik!" bentak Rendi. Lala tersungkur di jalanan beraspal, tepatnya jalan berukuran tiga meter menuju gerbang Sekolahku. Ekspresi Rendy nampak panik, melihat Lala diam tak bergerak. Pun denganku.

"Mama lo udah mati?" tanya Rendy, kini dengan nada lebih datar kemudian berjongkok. Kudorong tubuh Rendy sampai dia jatuh.

"Jangan sentuh sahabat gue!" marahku. Dia hanya diam, tak segalak tadi. "Yang nyakitin cewek itu hanya cowok banci!" marahku lagi. Kini air mataku sudah mengalir melihat Lala pingsan. Lala, memang sangat lemah. Dia gampang sakit-sakitan, terlebih dipukul sekeras itu oleh Rendy.

"Ricky pernah bilang, kalau persahabatan cowok itu lebih dalam dari persahabatan cewek yang habis manis sepah dibuang. Persahabatan cowok nggak peritungan, dan nggak ngenal apapun. Tapi nyatanya? Lo ngejelek-jelekin sahabat lo sendiri di belakangnya? Gue terima kalau lo ngatain gue, tapi Ricky? Asal lo tahu ya, Ren... kemarin, Ricky rela terluka parah hanya untuk membela Mondy yang terluka karena anak Harapan Bangsa. Apa elo tahu itu? Dia pergi ke sana, sendiri! Apa elo tahu itu? Dia tanpa membawa apapun, melawan mereka! Gue rasa, elo dan teman-teman badung lo ini nggak akan pernah tahu! Nggak akan pernah mengerti tentang hubungan emosional yang bernama persahabatan. Karena, kalian nggak punya itu meski hanya satu!" Rendy diam tak menjawab. Jujur, jika disuruh memilih. Rasanya, aku ingin menghilang saja dari muka Bumi. Jika bisa, aku ingin hari ini tidak pernah ada. Tapi, tidak mungkin.

"Dan lo, Bondan. Gue kasih waktu lo sampai jam dua belas malam. Kirim tugas bagian lo atau nama lo gue coret dari anggota gue!"

"Berengsek lo, Lam!"

"Cukup!" Arya datang, entah dari mana. Membuat Alex dan teman-temannya membunyikan motor dengan suara bising. Mereka langsung mendekat ke arah kami. Tuhan, pintaku hanya satu. Semoga, hari ini tidak tawuran. Karena, aku berada di tengah-tengah mereka sekarang.

Aku duduk, menaruh kepala Lala di atas pangkuanku. Aku tidak mungkin membawanya pergi. Sebab, dia berat!

Arya memandang ke arah teman-teman satu Sekolahnya seolah menyuruh mereka untuk bubar. Tanpa aba-aba, mereka langsung bubar begitu saja. Aku tidak tahu, apa gara-gara Arya adalah Ketua OSIS mereka menakuti Arya? Kurasa, bukan itu!

"Jangan ganggu gebetan gue." kata Arya. Pelan, tapi cukup sampai ke telinga Rendy, Bondan dan teman-temannya.

"Cih! Apa hebatnya cewek aneh ini? Jadi rebutan orang banyak. Heran gue!" seru Olan. Meludah seolah melecehkanku. Aku masih diam. Arya membantuku, dia membawa Lala ke dalam gendongannya.

"UKS lo, mana, Lam?" tanya Arya. Mengabaikan para anak badung yang melihatnya dengan wajah sebal. Kuabaikan juga mereka, rasakan!

Kulihat dari ujung mataku, Bondan hendak mengejar. Tapi, buru-buru dicegah Rendy. Mungkin, Rendy merasa bersalah, itu sebabnya dia mengalah.

@@@

Setelah kubawa Lala ke UKS, dan meninggalkannya bersama Arya pun Rian. Hari ini sudah sore. Tentu saja sudah banyak Guru yang pulang. Hanya tinggal satpam Sekolah, Mang Ujang yang ada di warungnya pun Mpok Lela.

Aku sedang menuju warung Mpok Lela. Yang menurutku lebih dekat dari UKS ketimbang warung Mang Ujang yang berada di ujung. Karena, harus melewati gedung kelas 3 dulu. Dan itu, merepotkan.

"Lam!" seseorang memanggil namaku. Aku berhenti tepat di gedung kelas satu. Kudongakkan wajahku dan....

BYURRR!!!

Aku sama sekali tidak menyangka! Jika akan ada air comberan yang jatuh tepat mengenai tubuhku! Aku sama sekali tidak menyangka! Jika hal itu dilakukan secara sengaja karena aku mendengar jelas tawa renyah setelah kejadian itu! Dan, aku juga tidak menyangka! Jika yang melakukan itu adalah Mila! Dia dendam!

Aku ingin marah tapi tidak bisa. Aku ingin membalas tapi tidak kuasa. Aku tahu, semakin aku melawan maka akan semakin menjadi mereka. Dan pada akhirnya, aku kembali menjadi pecundang lemah dan menjadi bahan bullyan mereka. Tuhan, apakah ini memang sudah nasibku? Apakah aku hidup di Dunia ini hanya untuk dibully? Tuhan, kenapa engkau melakukan hal tidak adil kepadaku? Apa salahku, Tuhan!

Rick... apa yang kamu katakan salah! Katamu aku harus membela diriku sendiri agar tidak ada yang berani mengangguku. Tapi nyatanya? Mereka semakin jahat! Mereka selalu menyakitiku di bagian yang selalu bisa membuatku jatuh! Seolah-olah meremehkanku adalah kegemaran yang harus dilestarikan!

Rick... aku lelah. Aku tidak mau lagi diperlakukan seperti ini oleh mereka. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa diam! Aku tidak punya kekuatan untuk membela diriku sendiri. Karena benar kata Rendy, aku ini sampah! Dan sampah selamanya tidak akan pernah menjadi batu permata!

"Ya ampun, Nilam! Maafin gue, ya! Sengaja sih! Biar elo nggak songong!"

"Iya! Lagian, baru pacarnya ketua biang rusuh yang dinobatkan jadi black prince aja belagu! Sampai kapan pun, Ricky itu hanya nganggep elo mainan, nggak lebih!" rupanya, bukan hanya ada Mila. Tapi Kak Aldi juga!

Kuabaikan mereka, aku buru-buru ke toilet untuk membersihkan diri sebelum aku membelikan teh hangat untuk Lala. Meski aku yakin, sekujur tubuhku yang basah karena air comberan ini tidak akan pernah bisa bersih.

Kulirik HP yang kuletakkan di bibir bak mandi. Rupanya, Ricky sedang menelfon. Bagaimana ini? Bagaimana jika dia tahu! Tapi, tidak mungkin. Dia, kan, sedang bersama Mama dan Raka. Dia tidak ada di sini.

Aku keluar dari kamar mandi untuk menjawab telepon Ricky. Kuembuskan napas panjangku, kuusap air mataku dan berusaha untuk tenang. Ricky, tidak boleh tahu jika aku sedih. Sebab, jika dia tahu, dia juga akan sedih.

"Hallo."

"Ngapain? Lama angkatnya."

"Oh, iya... gue ada di kamar mandi." jawabku. Sejenak, dia diam.

"Masih di Sekolah?" tanyanya.

"Iya." jawabku.

"Lo habis nangis?"

"Enggak, kok!"

"Masak? Yakin? Nggak bohong?" selidiknya.

"Iya."

"Gue benci orang bohong, Lam," aku diam, dia juga diam. Seperti ada suasana canggung di antara kami. "Gue udah pulang."

"Beneran?"

"Iya... dan lo mau tahu sekarang gue ada di mana? Coba tanya deh." katanya.

"Di mana?" tanyaku.

"Di sini, di Sekolah. Dan sedang berada tepat di belakang elo. Ngeliatin elo yang basah." jawabnya. Tubuhku mematung seketika. Kutoleh arah belakang. Ricky mematikan teleponnya. Kemudian memasang tampang dingin meski dengan senyuman, berjalan mendekatiku.

Entah kenapa, ekspresi Ricky membuatku merinding. Aku takut, jika dia akan berbuat ulah lagi pada Kak Aldi dan itu karenaku. Aku tidak mau itu terjadi! Semoga, Ricky tidak melakukannya, semoga saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top