The Lion is Mine
"Jadi... gimana?" suara riuh anak-anak menyamarkan pertanyaan Ricky pada Sesil yang saat ini hampir menangis.
Aku tidak berani menerobos kerumunan anak-anak. Karena, tidak mungkin sekali untukku saat ini bertemu dengan Ricky. Maksudku, aku belum bisa menata hatiku, menata detak jantungku yang berpacu hanya karena menyebutkan nama itu. Apalagi ketika melihat wajah Ricky.
"Turunin tas gue, Rick." rengek Sesil. Kutebak, itu adalah rengekan kesekian kalinya. Kupandangi tali yang Ricky pegang, tampaknya tali itu terjulur ke atas dan melilit salah satu tangkai pohon. Dan di sana, ada tas Sesil yang digantungkan tinggi-tinggi.
Ricky masih bertopang dagu. Sementara tangan lainnya menaik—turunkan tas itu seolah menyuruh Sesil agar mengambilnya. Meskipun hasilnya pasti akan... nihil.
"Katanya lo cinta ama gue, jadi... usaha dong buat dapetin hati gue. Eh... tas elo maksudnya." ucap Ricky menggoda.
Kusipitkan mataku mendengar ucapan itu. Tumben... Ricky berkata seperti itu. Biasanya, kalau tidak langsung mengucapkan hal-hal yang menyakitkan hati ya diam. Apakah, Ricky sudah mulai berubah?
"Nilam! Lo mau ke mana?" kata Lala, yang sedari tadi mencoba mencari celah untuk dapat menembus kerumunan anak yang membentuk lingkaran.
"Gue lihat di sini aja, ya." ucapku. Mencari tempat paling aman, di semak-semak pohon. Di sini, pasti Ricky tidak dapat melihat. Dan, sementara aku, bisa melihatnya dengan leluasa.
Lala mengabaikanku, dia terus berusaha untuk menembus kerumunan itu dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Ricky...." kata Sesil lagi.
Bondan, Rendy dan teman-teman Ricky berseru. Seolah-olah, wajah hampir menangis Sesil adalah tontonan yang menarik. Seolah-olah, wajah merah padam Sesil karena menahan semua rasa malu dan jengkel adalah barang langka yang patut untuk mereka tertawakan.
"Gue nggak suka cewek cengeng, Sil. Jadi, kalau mau jadi cewek gue... lo harus kuat mental," Ricky kini berdiri, melampaui tinggi anak-anak karena dia berada di atas bangku taman sedari tadi. Mata cokelatnya, memicing ke arah Sesil dengan tatapan tajam itu.
"Belum juga gue siram elo pakek es teh, kan? Atau... gue injek-injek buku elo. Apa perlu gue dorong dan jambak-jambak rambut lo yang abis ke salon itu biar makin... cantik?"
Jantungku tiba-tiba berhenti berdetak tatkala Ricky mengatakan itu. Tanpa sadar, kuraba rambut sampai segaramku yang basah.
Dia tahu dari mana?
Tadi... dia belum di sekolah. Terlebih, koridor tadi lumayan sepi. Jadi, siapa yang memberi tahu Ricky masalah itu? Apakah dia melakukan ini pada Sesil karenaku? Aku tidak percaya jika memang itu iya.
"Maafin gue, Rick." rengek Sesil lagi. Kuedarkan pandanganku, di sana, ada Bu Marita yang berdiri sambil bersedekap. Diam tanpa mencoba melerai. Tumben? Padahal... biasanya, beliau akan menjadi orang pertama yang akan marah, bahkan memukul Ricky jika dia berbuat ulah.
"Lo tahu kenapa gue gantungin tas mahal lo ini?" tanya Ricky lagi. Dia berjalan ke arah Sesil, kemudian tersenyum dingin.
"Agar lo bisa ngehargain barang-barang lo juga orang lain. Agar lo ngerti, gimana rasanya jadi mereka yang sering lo pandang sebelah mata." tandasnya. Sesil menunduk, sesekali dia mengusap pipinya dengan kasar.
"Udah Rick, kerjain aja kerjain!" teriak Bondan memanasi.
"Ajak main Rick! Hahahaha!" timpal Rendy.
Ricky menurunkan tas Sesil, kemudian dia menendangnya seperti bola. Tas itu melayang beberapa saat sebelum kemudian jatuh.
"Sorry, gue nggak level ngeladenin cewek model dia." jawabnya. Menebas celana abu-abunya kemudian pergi seolah dia tidak melakukan apa-apa.
Anak-anak ber—hu ria, seolah mereka kecewa dengan pertunjukan gagal Ricky. Setelah memungut tasnya, Ricky langsung melenggang membelah para siswa.
Berjalan mendekat ke arah Bu Marita kemudian ber—tos dengan Bu Marita.
Hah? Ber—tos?
Kukucek mataku untuk memastikan. Bu Marita tersenyum sambil mengatakan sesuatu kepada Ricky pun sebaliknya. Kukucek lagi mataku yang mungkin tiba-tiba berubah jadi minus. Tapi, apa yang kulihat tidak berubah. Apa yang kulihat benar-benar nyata.
Aku bingung. Apa hubungannya Bu Marita dengan ini semua? Tidak mungkin, kan... Bu Marita adalah dalang di balik kelakuan badungnya Ricky hari ini?
"Nilam!"
"Eh?!" pekikku. Saat pantatku ditepuk Lala.
Aku segera mundur dari semak-semak, meski susah, karena rambutku tersangkut di ranting-ranting itu. Kemudian, aku berdiri. Lala mendengus, membantuku untuk mengambil beberapa dahan dan daun yang ada di rambutku.
"Elo ini, ih!" gemasnya. Kugaruk tengkukku, meski aku bingung dia gemas kenapa.
"Di antara semua tempat, kenapa lo milih semak-semak? Emangnya lo pikir, elo itu musang? Atau tikus?!" geramnya marah.
Kuabaikan Lala yang masih menjerit-jerit di belakang. Karena, yang penting sekarang Ricky. Yang bahkan... sosoknya hampir menghilang dari pandanganku.
Setengah berlari kukejar ke mana perginya Ricky. Namun, lagi-lagi dia tidak ada. Bahkan, di kelas pun, tas Ricky tidak ada di sana. Bu Marita juga tidak ada.
Di mana perginya Ricky? Apa yang kulihat tadi bukan Ricky? Tapi, Sesil masih di sana, di tempatnya. Menangis sambil memunguti tasnya yang berantakan. Aku tidak tega. Ingin sekali kubantu dia. Tapi, aku tahu, jika dia tidak akan mau menerima bantuanku.
"Ah!" pekikku. Ketika rambutku ditarik oleh seseorang yang membuatku berjalan mundur menuju belakang gedung kelas.
Ini siapa? Tidak sopan sekali!
"Sakit... sakiiit!" keluhku. Orang itu melepas cengkeramannya. Membuatku memegangi kepala. Takut, jika rambutku rontok semua. Nanti kan, bisa gundul.
"Untung baru kujambak." kata orang itu. Seketika, kuputar tubuhku menghadapnya.
Mataku melotot saat tahu siapa yang membawaku ke belakang gedung sekolah. Sosok itu bersandar di tembok. Sambil menebas seragam putihnya yang tidak kotor. Mata cokelatnya menyipit. Kemudian memandangku dengan tatapan aneh.
Kubungkam mulutku kemudian mundur, segera aku menundukkan wajahku dalam-dalam. Bagaimana ini? Aku belum siap bertemu dengannya. Terlebih... berdua seperti ini.
Aku ingin meminta maaf. Tapi, aku juga tidak tahu apakah ini saat yang tepat untukku meminta maaf? Bagaimana dia bisa bersekolah lagi?
Ricky! Kamu membuatku bingung!
"Gue... gue—"
"Gue tahu lo nggak suka gue kayak gini," katanya menyela ucapanku, "Meski lo nolak buat gue lindungi. Gue nggak peduli."
"Gue—"
"Meski lo nolak gue ada di sekiat lo, gue bakal lindungi lo dari jauh."
"Rick, gue—"
"Dan... jika lo nggak nggak sudi meski gue jauh... maka, bayangan gue akan tetap ada sama elo."
"Ricky maafin gue!" dia diam. Tidak mengatakan hal aneh-aneh lagi. Aku menunduk, takut jika dia marah.
"Rick... maafin gue. Gue jahat ninggalin elo waktu itu. Seharusnya, gue nggak ngelakuin itu, kan? Seharusnya gue ada buat elo... bukannya—"
Ucapanku langsung terhenti, saat tangan kanan Ricky menarik lenganku dan membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Dia mencium keningku sekilas. Kemudian, tetap di posisi seperti itu. Memelukku dengan satu tangannya.
"Mana mungkin gue marah ama cewek pengecut kayak elo," katanya, "Mana mungkin gue marah ama orang yang udah jadi sebab gue hidup selama ini."
Karenaku dia punya alasan untuk hidup? Tidak... aku tahu bahwa kenyataannya tidak seperti itu.
Dia terobsesi dengan Mamanya dan juga Raka jika selama ini mereka dianggap hidup. Tidak menutup kemungkinan jika namaku lah yang menjadi obsesi dia. Dan menempatkanku di tempat yang salah. Dia hanya memandangku sebagai Nilam, ceweknya dulu. Bukan Nilam sebagai diriku sendiri. Obsesinya membuatku sakit. Karena, mengetahui kenyataan jika dia tidak benar-benar mencintaiku.
Apakah aku salah berpikir seperti itu? Seharusnya, aku tahu sejak dulu saat Ricky mulai mengatakan perasaannya.
Jika cowok sempurna seperti Ricky, tidak akan pernah benar-benar mencintai gadis paling jelek di sekolah sepertiku. Iya... itu adalah jawaban paling logis dari semua pertanyaan yang merajai otakku. Tidak ada jawaban yang lainnya lagi.
Sekarang, semuanya terserahku. Semuanya ada di tanganku. Apakah aku akan menerima jika Ricky hanya terobsesi kepada namaku? Atau, aku harus membangunkannya dari semua obsesinya untuk mendapatkan cinta yang sebenarnya? Atau malah, jika dia benar-benar sadar, dia akan meninggalkanku.
"Rick... di sekolah." kataku. Menjauhkan diriku dari rengkuhannya.
Ricky mengusap wajahnya. Kemudian dia tersenyum tipis. Meraih permen karet yang ada di sakunya kemudian mengunyahnya.
Dia tampak berbeda. Dia tidak seperti Ricky yang kulihat di rumahnya beberapa waktu yang lalu. Padahal, waktu itu, dia terlihat hancur. Tidak setegar seperti sekarang. Di manakah kekuatan Ricky ini? Apakah ini adalah salah satu kebiasaannya untuk membuat cangkang seolah dia baik-baik saja?
"Bantu gue..." katanya lagi, "Bantu gue hadapi kenyataan kalau Mama dan Raka udah nggak ada."
"Gue selalu ada buat elo," kataku. Mengangguk kuat-kuat berharap dia mempercayaiku. Dia tertawa. Memperlihatkan gigi ginsulnya yang lucu itu.
"Tapi, siapa yang tiap hari nelfon lo itu? Yang ngaku Mama lo itu, Rick?" tanyaku. Dia berdehem kemudian menggaruk tengkuknya aneh.
"Yang nelfonin aku? Dia Rian."
Hah? Apa aku tidak salah dengar?
"Rian? Rian teman sekelas kita?" tanyaku lagi memastikan.
"Iya." jawabnya. Tapi, jawabannya membuatku sedikit kecewa.
"Heh kalian! Buruan masuk, Bu Marita mau ngasih kuis dadakan! Dasar! Pacaran mulu bikin orang susah aja lo pada!" mara Genta, yang datang tiba-tiba.
Sebenarnya, aku juga ingin bertanya pada Ricky. Siapa yang memberitahunya tentang aku tadi. Sampai dia harus menjahili Sesil. Tapi, pertanyaan itu masih kupendam. Aku ingin menanyakannya nanti-nanti saja.
Iya... nanti. Sampai aku yakin apa yang diucapkan sebelumnya itu benar-benar keluar dari mulut Ricky.
==000==
"Jadi, pilih salah satu dari gambar ini biar gue yang mesenin buat elo." paksa Lala sambil menyodorkan sebuah katalog baju di depan mejaku.
Padahal, aku sangat sibuk dengan persiapan ini—itu untuk acara prom. Terlebih, mendatangkan bintang tamunya. Tapi, Lala seolah tidak mengerti tentang kebingunganku.
"Ih, Nilam! Elo denger gue nggak sih!" marahnya.
"Gue nggak punya uang buat beli itu, Lala." jawabku mulai kesal.
Sekarang ini, aku sedang berada di ruang OSIS. Bersama Sekar dan anak-anak OSIS lainnya. Tapi, Lala membuntutiku. Dengan alasan mau membantu. Padahal, boro-boro membantu. Yang ada, dia malah membuat otakku semakin keruh karena katalog yang dibawanya itu.
"Duh, La... elo mau bantu nggak, sih? Buatin bunga dari ini gih! Banyak yang belum jadi, nih!" keluh Maman. Menenteng sekardus kertas warna—warni dan diletakkan di depan Lala.
"Gue nggak bisa buat, Man."
"Yaudah, bantu Sekar ngetik surat undangan sana!"
"Ih!" kata Lala ogah-ogahan.
"Lala, katanya lo ke sini mau bantu kami, kan?" kataku menghardiknya. Meski enggan, akhirnya Lala nurut juga. Aku yakin, nanti, dia akan mengomel karena capek. Ya... itulah Lala, sahabatku.
==000==
"Jadi, lo ikut?" tanyaku pada Ricky. Sepulang sekolah, dia tidak langsung membawaku pulang ke rumah. Katanya, dia haus. Itu sebabnya dia mengajakku mampir ke tukang cendol pinggir jalan. Katanya, cendol ini, kesukaannya.
"Ikut ke mana?" tanyanya. Mengabaikanku dan terus menikmati cendol yang ada di tangannya.
Langit masih biru. Pertanda jika musim kemarau enggan berakhir. Teriknya mentari membiaskan sinar yang tak sengaja menyentuh kulit putih Ricky. Tapi, dia sama sekali tidak mempedulikan teriknya matahari. Bahkan, dia sengaja duduk di sebelah kananku agar aku tidak kepanasan.
"Ke prom... besok malam." kataku. Dia menarik sebelah alisnya, kemudian menatapku.
Rambutnya acak-acakan. Karena helm. Tapi, rambut acak-acakan Ricky masih saja keren. Bagiku, dia semakin tampan.
"Kamu ikut?" tanyanya yang membuatku nyaris tersedak. Dia menepuk-nepuk bahuku.
"Gue kan panitia." jawabku setengah berbisik. Aku ingin bilang; ikutlah denganku, Rick. Tapi kenapa, mulutku selalu terpeleset setiap kali ingin mengucapkan hal itu.
"Tahun kemarin, kamu nggak ikut, kan?"
"Tapi sekarang gue ikut!" jawabku cepat. Dia tampak menimbang-nimbang. Meski aku yakin, dia tahu ada yang aneh pada diriku.
Jika dia tidak ikut. Maka, aku akan dimarahi Sekar dan anak OSIS lainnya. Ricky adalah alasan kenapa cewek-cewek sekolah semangat datang.
"Tapi, aku ada janji ama temen."
Apakah dia mau konvoy lagi? Atau... berkelahi seperti biasanya?
"Lo ikut, ya... temenin gue."
"Tapi, aku udah janji duluan ama mereka."
"Lo harus nemenin gue!"
Dia meletakkan gelasnya tiba-tiba dan itu berhasil membuatku memekik. Ya Tuhan! Kenapa aku jadi memaksanya. Wajahnya mendekat ke arahku, meneliti setiap inci ekspresi yang kutampilkan. Aku harap, dia tidak tahu, jika aku memasukkannya ke dalam perangkap konyol anak-anak OSIS.
"Jam berapa?" tanyanya kemudian. Napasku, hampir saja berhenti karena pandangan Ricky yang mengintimidasi.
"Jam tujuh."
"Sampai?"
"Tengah malam." bohongku. Aku tidak ingin, dia pergi konvoy, aku tidak ingin dia berkelahi dengan teman-temannya.
Dia tersenyum, meraih gelasnya yang ditaruh di tanah berumput tadi. Kemudian kembali menikmati cendolnya.
"Yakin sampai tengah malem? Nggak takut aku apa-apain?"
"Maksunya?"
"Aku temenin. Tapi, aku minta upah."
"Upah apa?" tanyaku tanpa balas. Dia hanya tersenyum, mengedipkan matanya ke arahku. Aku sama sekali tidak tahu, upah apa yang dimaksud Ricky.
Jika dia benar-benar minta upah. Maka, aku harus membongkar celenganku. Semoga, isi celengan itu cukup untuk membayar upah Ricky.
==000==
Hari ini, sekolah pulang pagi. Sebab, nanti malam akan ada prom night. Itulah salah satu kebijakan dari sekolahku.
Setelah anggota OSIS mempersiapkan semuanya. Khusus untuk hari ini, semua persiapan acara sampai selesai, akan ditangani oleh para guru. Serta beberapa staf tambahan yang sengaja mereka sewa untuk acara. Agar, semua anak bisa menikmati acara yang diadakan setahun sekali ini.
Dan, saat ini, di sinilah aku. Terjebak lagi oleh situasi di mana aku harus menuruti semua perintah Lala. Setelah batal memesan gaun yang akan kupakai di acara prom. Lala akhirnya menyerah dan meminjamiku gaun lamanya.
Meski begitu, dia sangat getol membawaku ke salon. Saat aku menolak karena tidak ada uang. Genta malah ikut-ikutan memaksaku. Kata mereka, uang untukku ke salon sudah mereka siapkan jauh-jauh hari. Itu sebabnya, aku tidak perlu cemas.
Meski aku tidak cemas, sepertinya, pegawai salonlah yang saat ini cemas. Sudah dua alat catok yang rusak karena ingin meluruskan rambutku. Bahkan, Mbak-Mbak itu menatap rambutku dengan jengkel.
"Mbak, kayaknya... rambut temen Mbak ini nggak bisa dicatok, deh..." keluhnya ke—sekian kali. Jujur, aku malu. Terlebih, melihat ekspresi beberapa pengunjung salon saat pegawai ini memekik karena catoknya rusak tadi.
"Ini bukan rambut, Mbak... ini kawat! Masak dilurusin nggak bisa, sih! Aku nyerah deh, Mbak! Temennya bawa ke salon lain saja!"
"Aduh, Mbak... jangan salahin rambut temen saya yang indah itu, dong kalau rambutnya susah diatur. Bisa aja, kan... alat Mbak itu yang merknya jelek, makanya gampang rusak. Bukannya di sini ada tulisannya, mengatasi semua masalah anda. Kok sekarang dikasih keluhan gini nggak bisa benerin gimana, sih? Mbak ini pegawai baru, ya? Apa perlu saya panggil menejernya untuk mecat Mbak?" seloroh Lala.
Kutarik-tarik baju Lala agar dia berhenti ngomel. Tapi, tetap saja. Lala itu tipikal cewek keras kepala. Tidak pernah mau disalahkan siapapun.
"Saya tahu, Mbak ini langganan VIP di sini. Tapi, Mbak juga harus sadar dong, berapa besar kerugian salon ini karena teman Mbak. Berapa gaji saya yang dipotong karena teman Mbak ini."
"Eh, Mbak! Saya bisa bayar—"
"Cukup!" marahku. Lala diam pun dengan pegawai itu.
Kulihat rambutku di depan cermin. Lurus tidak, bergelombang pun tidak. Teksturnya kaku dan mengerikan. Aku tidak tahu, harus kuapakan rambutku ini.
"Disanggul, bisa nggak, Mbak?" tanyaku mencoba menawari ide.
Pegawai salon itu memutar bola matanya, pertanda jika dia enggan. Kuembuskan napasku. Kemudian meraih tas rangsel yang ada di kursi sampingku. Aku sudah hafal, mimik apa yang disampaikan pegawai itu. Jadi, aku harus pergi sebelum dia semakin merendahkan rambutku.
"Ya sudah, Mbak... jadi totalnya berapa, ya... sekalian dengan kerusakan alat tadi?"
"Eh, Nilam."
"Lala udah... gue nggak mau debat sekarang, oke? Gue bisa iket rambut ini, sendiri."
"Tapi, Nilam... lo tahu, jam berapa sekarang?"
"Udah...." putusku. Setelah Lala membayarkan itu. Kuseret dia keluar dari salon.
Aku tidak mau, Lala malu karena aku. Terlebih kata Lala. Itu adalah salon langganan Mamanya juga.
Jika memang rambutku tidak bisa diperbaiki. Tidak apa-apa. Toh, selama ini, aku bisa menghadapi rambut ikalku ini. Dan... tidak ada masalah, kan? Meski semua orang mengataiku anak singa.
==000==
Petang ini, aku sudah berada di sekolah. Tepatnya, duduk di dalam mobil Genta yang sudah terparkir mulus. Lala yang duduk di depan bersedekap, dia marah. Sementara Genta tampak bingung, sambil sesekali memandangku lewat kaca mobil. Jika dia mau tertawa dengan rambutku, aku tidak keberatan. Memang, rambutku ini lebih mengerikan dari sebelumnya.
Kutelungkupkan wajahku ingin menangis. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin berani bertemu dengan Ricky. Bertemu dengan Sekar dan Maman yang berdiri di pintu masuk pun, aku tidak berani.
"Jadi..." kata Genta memecahkan keheningan. "Kita turun?" tanyanya lagi menimbang-nimbang.
"Genta, gimana kita mau turun. Kamu lihat sahabat kita? Kondisinya seperti ini!" geram Lala sebal.
"Gue nggak apa-apa, kok. Kalian turun aja, gue tunggu di sini, ya."
"Ih, Nilam!"
"Nilam cantik, kok. Terus masalahnya apa?" tanya Genta lagi.
"Iya... dia cantik, Sayang. Tapi rambutnya? Rambutnya itu!" kata Lala seolah frustasi.
Kupegang rambutku yang berdiri ke sana—ke mari. Rupanya, semengerikan ini rambutku bagi Lala.
"Ya udah... gue nggak apa-apa, gue di sini aja, nggak apa-apa." kataku mencoba meyakinkan.
Belum sempat Lala menjawab. Kaca mobil Genta diketuk dari luar. Mataku melebar melihat siapa yang mengetuk kaca mobil Genta.
Ya... dia Ricky. Mengetuk dengan cara tidak sabaran. Dia Ricky... dengan tampilan yang rapi dan beraturan. Dia benar-benar Ricky, yang memakai kemeja serta jas warna gelap. Aku terpana untuk sesaat, melihat rambutnya yang disisir rapi ke belakang. Mata cokelatnya terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
"Ada apa, Rick?" tanya Genta setelah dia menurunkan kaca mobilnya.
"Nilam ada?" tanyanya.
Sontak, Lala dan Genta langsung memandang ke arahku dengan pandangan mengerikan itu. Aku tidak tahu, apa yang salah dariku. Sampai-sampai mereka seolah enggan mempertemukanku dengan Ricky.
"Nilam ada?" tanya Ricky untuk kedua kali.
"Oh Nilam?" ucap Genta seolah mengulang pertanyaan Ricky.
Tanpa basa—basi, Ricky langsung membuka pintu mobil Genta bagian belakang kemudian menarik tanganku agar keluar. Dia sama sekali tidak mempedulikan, jika rambutku ini mengerikan.
"Gue ajak dia ke mobil gue. Kalian ke sana aja duluan." ucapnya. Setelah menutup pintu mobil Genta kemudian menarikku untuk pergi ke mobilnya.
Mobil hitam legam itu yang dituju Ricky. Dia pun langsung menyuruhku masuk ke dalam mobil yang kursinya hanya dua itu. Ricky, bergegas memutari mobilnya, kemudian ikut masuk juga. Aku bingung, kenapa dia membawaku masuk mobil? Apakah, aku benar-benar tidak pantas untuk ikut prom malam ini?
"Ada karet rambut?" tanyanya.
Meski aku masih bingung dengan permintaannya. Tapi, tanganku sudah mengaduk-aduk tas yang sedari tadi kubawa. Setelah mendapatkan apa yang Ricky minta, segera kuberikan padanya.
"Hadap sana," perintahnya. Ragu, kuturuti ucapannya, memunggunginya.
Setelah dia menyisir rambutku dengan jarinya, dia kemudian mencari sesuatu yang aku tidak tahu, sedang mencari apa dia.
"Aku nggak ada sisir. Tapi, aku bawa ini..." katanya. Menyemprotkan benda seperti parfum itu ke rambutku.
Mengikat rambutku. Kemudian, menggulung ujung rambutku dan memasukkannya ke dalam ikatan yang sudah dia buat sebelumnya. Rambutku seperti disanggul, dan menurutku itu benar-benar rapi. Hasil karya Ricky, yang bahkan pegawai salon saja enggan melakukannya.
"Aku sering liat Mama suka giniin rambutnya, dulu." ucapnya. Bahkan, kebiasaan Mamanya dia ingat dengan jelas.
Sejenak, dia terdiam. Memandang ke arahku seolah-olah dia baru menyadari sesuatu. Dia menutup wajahnya dengan tangan, kemudian dia menjauhkan dirinya dariku.
"Kamu dandan?" tanyanya. Padahal, seharusnya, dia sudah tahu, kan?
"I... iya."
"Jadi tambah cantik."
Aku menunduk, malu. Dia mengatakan hal itu dengan terang-terangan. Dan aku, belum terbiasa dengan itu.
"Kamu mau di sini atau mau masuk?" tanyanya lagi. Entah sejak kapan, dia sudah membuka pintu mobilnya untukku, dan berdiri di luar.
Kuraih tangannya yang dijulurkan untukku. Meski aku tidak percaya diri, tapi dia dengan percaya diri menggamit pinggangku. Entah dengan cara apa, aku bisa mengangkat wajahku. Sebab, malam ini, aku benar-benar merasa malu.
"Jangan tersipu di depan umum. Kamu hanya boleh tersipu di depanku, Nilam."
"Kenapa?"
"Karena aku akan cemburu."
"Tapi—"
"Jangan bicara lagi sebelum lipstik di bibirmu kuhilangkan," katanya. Sekarang, dia berhenti, kemudian mendekatkan wajahnya denganku. Dengan senyuman simpul dia pun bersuara.
"Aku ingin segera menghilangkan lipstikmu itu dengan bibirku, Nilam."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top