Raka & Mona
Napas Arya terengah, sementara Ricky lebih memilih diam dengan napas yang beraturan. Aku yakin, perkelahian tadi, tidak akan mempengaruhi dan menguras energinya. Bagi Ricky, perkelahian tadi adalah perkelahian kecil. Dari perkelahian-perkelahian yang pernah dia lakukan bersama teman-temannya.
"Bukankah kita seharusnya sekolah? Apa kita nggak terlambat, nih?" tanyaku. Berusaha menciptakan sedikit ruang, dari suasana hening yang mereka berdua ciptakan.
Hanya ada suara beberapa motor. Yang melihat aneh Arya sedang merebahkan tubuhnya di jalan. Kemudian, pandangan si pengendara, tertuju pada Ricky, dan berakhir, padaku. Aku bisa menebak, apa yang ada di otak mereka. Mungkin, mereka pikir, aku ini cewek terkenal. Sebab, sampai membuat cowok-cowok ini berantem. Terlebih, di sekolah mereka—mereka cukup dikenal dengan cowok populer.
Atau kalau tidak seperti itu. Para pengendara motor berpikir jika keduanya gila. Karena berantem hanya karena cewek yang cenderung aneh sepertiku. Ah, biarkan! Kenapa aku memusingkan tanggapan orang-orang?
"Buat apa sekolah? Kita udah terlambat. Kalau maksa buat pergi, yang ada, kita akan disuruh berdiri menghadap tiang bendera sampai tengah hari! Kalau Si Anak Badung itu, sih... nggak masalah. Karena, itu adalah hal yang biasa baginya. Kalau gue? Nggak, gue nggak bisa." Arya berseru. Aku melirik, ke arah Ricky yang masih diam. Sibuk dengan luka kecil di ujung bibirnya.
Aku berdiri gelisah. Ini memang telat, tapi, jika kita punya alasan yang tepat, seharusnya tidak apa-apa, kan? Bagaimana aku bisa bolos? Terlebih, hari ini ada pelajaran Bu Marita. Lalu, bagaimana dengan beasiswaku nanti? Kalau benar-benar dicabut, uang dari mana aku bisa bersekolah? Aku bukan seperti mereka, kelompok orang-orang kaya. Yang bisa masuk ke sekolah elit seperti itu kapan saja. Tapi aku? Tidak, aku tidak boleh bolos. Kalau sampai Tante Rosi tahu, dia akan marah!
"Gue udah sms—in Pak Mahmud. Gue ngizinin elo. Gue bilang, elo ditabrak becak waktu mau berangkat sekolah, dan lo pingsan. Jadi, lo nggak usah cemas soal pelajaran. Beliau pasti akan mengabarkan berita ini di kelas."
"Hah?" tanyaku bodoh. "Gue, ditabrak becak sampai pingsan?!" pekikku. Mengulang kembali ucapan yang baru saja dilontarkan Ricky. Dia mengangguk, tanpa ekspresi. Wajahnya datar, sedatar jalan yang ada di depan. Kenapa harus ketabrak becak? Ih, Ricky! Bisa tidak alasannya yang keren sedikit!
"Terus, elo?" tanyaku kemudian. Dia menunjuk dirinya sendiri, sambil acuh—tak—acuh. Kemudian, kembali memasukkan HP—nya ke saku celana.
"Gue nggak bisa masuk, karena nolongin elo yang ketabrak becak."
"Pak Mahmud percaya gitu aja?" tanyaku bego.
"Iya."
"Masak, sih? Beliau percaya?" tanyaku yang masih tidak percaya.
"Anggap aja beliau percaya."
Ih Ricky! Bisa tidak untuk sehari saja dia serius. Bukan malah menjawab pertanyaan dengan hal yang membuatku takut. Aku takut, jika Pak Mahmud tidak percaya. Lalu, masalah ini akan merembet ke mana-mana. Itu, kan, repot.
"Yok, Lam... pergi ama gue." ajak Arya setelah dia berdiri. Mengulurkan tangannya padaku. Tapi, Ricky langsung berdiri di depanku. Menjadi pembatas antara aku dan Arya, setelah itu, dia menepis tangan Arya dengan kasar.
"Ini cewek gue. Dia bukan barang pribadi milik gue yang bisa lo pegang, lo pinjem dan lo bawa saat lo ingin." katanya penuh penekanan. Pandangannya tajam menembus manik mata Arya.
"Dan tentu lo juga tahu, kan... jika dia bukan hewan peliharaan. Yang bisa lo kekang-kekang dan perlakukan seenaknya aja."
"Cih!" Ricky meraih tas punggungnya, kemudian menata jaket yang ia kenakan. Memasukkan kedua tangannya di dalam saku jekat. Kemudian berjalan menjauh. Sesaat, dia berhenti. Memiringkan wajahnya dan menatapku.
"Lo mau pergi ama gue, apa ama dia? Semua terserah ama lo." Ricky berjalan semakin jauh, dan itu berhasil membuatku bingung. Aku tidak tahu, harus bagaimana. Apakah aku harus tetap di sini, atau, pergi bersamanya.
Arya menatapku, seolah-olah dia menantikan sebuah jawaban. Kugenggam tangannya sesaat, kemudian kulepaskan lagi. Mungkin, ini di luar logikaku. Tapi, hatiku seolah memaksa untuk memilih keputusan bodoh yang akan kubuat.
"Maaf, Ar... gue nyusul Ricky dulu, ya." aku pun berlari. Menyusul langkah Ricky. Kutarik jaketnya, agar dia menoleh. Ricky langsung merangkulku. Tapi, dia memutar kepalanya ke belakang. Memandang Arya seolah menunjukkan jika dialah sang pemenang. Aku tidak bisa melihat wajah Arya. Aku merasa bersalah karenanya. Akan tetapi, tetap saja, aku melakukan hal bodoh ini. Memilih Ricky, si cowok badung yang entah kapan akan menjadi cowok penurut.
==000==
"Kita ngapain ke sini, Rick?" tanyaku, saat ini, aku dan Ricky berada di sebuah tempat. Yang aku bingung, untuk apa dia datang ke sini. Padahal, tempat ini lumayan jauh dari tempat kami.
"Gue pikir lo mau ketemu Mama ama Raka," jawabnya. Aku langsung kaget. Bertemu Mama Ricky? Segera, kupandangi tubuhku. Aku takut, jika penampilanku ini tidak pantas. Seharusnya, Ricky bilang dulu. Biar aku bersiap. Agar aku bisa mengepang rambutku biar tidak begitu mengembang, atau memakai bando agar terlihat lucu. "Lagi pula, kupikir, Mama juga kangen ama elo." katanya lagi.
Kangen? Kugaruk tengkukku yang tidak gatal. Padahal, ini baru kali pertama aku bertemu dengan Mamanya. Kok bisa, kangen? Oh, mungkin, setelah beberapa kali Mamanya buat vidio untukku. Atau, Ricky, sudah memberikan fotoku pada Mamanya. Itulah mengapa, Mamanya kangen padaku.
Aku tersenyum, mengingat wajah Mamanya yang tersenyum di dalam vidio-vidio itu. Tersenyum padaku. Sepertinya, Mama Ricky jauh lebih ramah dari pada Papanya. Yang meski, beliau juga baik terhadapku.
"Lho... kita kok masuk sini sih, Rick?" tanyaku, aku bingung. Untuk apa dia mengajakku masuk TPU.
"Nanti, lo juga bakal tahu." jawabnya. Setelah membeli karangan bunga, dia mengajakku pergi. Apa dia mau mengunjungi makam Kakek—Neneknya dulu? Entahlah, lebih baik aku diam. Dari pada banyak bertanya, malah membuat dia tidak nyaman.
Aku mengekori langkahnya. Menyusuri makam-makam yang berjajar rapi serta bersih terawat di sini. Langkahku, langsung terhenti. Saat dia mendadak berhenti. Kudongakkan wajahku untuk melihat ke arahnya. Tapi, dia hanya diam membisu. Entah, apa yang terjadi di depan sana. Matanya lurus-lurus memandang ke arah batu nisan itu.
Ekor mataku mengikuti arah pandang Ricky. Memandang ke arah batu nisan berukirkan nama 'Mona'. Nama yang cukup nyentrik untuk ukuran Nenek.
Tatapan Ricky seperti menerawang entah ke mana. Dia kemudian berjongkok, menaruh rangkaian bunga itu di pusara 'Mona'. Ricky mengelus pusara itu kemudian menciumnya.
Aku ikut berjongkok di samping Ricky. Dia menyerahkan rangkaian bunga lainnya padaku.
"Letakkan di sana." perintahnya. Kuiringkan wajahku sambil menunjuk ke arah makan sebelah makam 'Mona'. Kemudian, menaruh bunga itu di atasnya. Kulirik makam itu, penasaran dengan siapa nama suami dari Nenek Ricky.
Mataku meneliti, sebuah ukiran nama 'Raka Adriansyah' terukir di sana. Aku hendak kembali menghadap Ricky. Namun, aku mengingat sesuatu. Raka... Raka Adriansyah? Kuamati lagi ukiran nama di batu nisan itu. Mungkin, aku salah.
Tapi, nama itu tetap saja tidak berubah. Di sana, nama Raka Adriansyah terpampang nyata. Aku terkejut, tapi ketika aku hendak bertanya pada Ricky, dia sudah sibuk dengan semua perasaan sedihnya. Eskpresi berbeda yang dia tampakkan beberapa detik lalu. Ricky... menangis.
"Apa kabar, Ma... Ka," katanya. Hatiku terasa sesak mendengar nama itu keluar dari mulut Ricky. Aku bingung, aku tidak tahu, ekspresi apa yang harus kutampilkan sekarang.
Bagaimana bisa Mamanya Ricky beserta Raka di pusara ini? Bukankah, kemarin-kemarin, Mamanya Ricky sering mengirimiku vidio? Sering menelfon Ricky dan bercakap-cakap dengannya?
Kupandang lagi tahun kematian keduanya. Keduanya, meninggal di hari yang sama. 20-02-2013. Dua tahun yang lalu keduanya meninggal. Jadi vidio itu? Lalu, kenapa Ricky harus bersandiwara dengan semua ini? Atau jangan-jangan, apa yang dikatakan Arya itu benar? Jika Ricky mengalami gangguan kejiawaan.
"Apa kabar, Ma... Ka, kalian baik-baik saja, kan? Sorry, Ricky baru bisa datang sekarang. Soalnya, nggak sempet. Hehehe." katanya yang mulai bercerita. Seolah-olah, Ricky sedang berbincang dengan orang hidup. Yang kini tepat berada di depannya.
Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini! Apakah aku harus menangisi keterpurukan Ricky karena depresi akan kehilangan orang-orang yang disayang? Atau, aku harus lari sejauh-jauhnya karena mengetahui jika ternyata Ricky mengalami gangguan mental. Seharusnya, aku menuruti Arya. Seharusnya, aku percaya pada Arya jika Ricky gila!
"Oh ya... kata Mama, Mama kangen ama Nilam, kan? Ini, dia datang, Ma. Dia juga kangen ama Mama. Kangen ama masakan Mama. Ya, kan, Lam?" kini, Ricky menatapku dengan senyuman lebar. Kontras dengan matanya yang terus menangis. Mengudnang kesedihan datang.
Aku menunduk diam, tidak menjawab pun membantah ucapan Ricky. Sungguh, aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan saat ini.
"Rick... gue, gue..." kataku pada akhirnya. Mulutku tercekat, saat kilat tidak suka terpancar di bola matanya. "Gue balik dulu, ya. Gue, gue... ada perlu." dustaku. Buru-buru aku berdiri kemudian melangkah pergi.
Ricky, tidak seperti biasanya. Dia tidak menahanku pun berusaha untuk memanggilku. Dalam kediamannya, dia memandang kepergianku.
Mungkin, memang, aku salah. Aku menghindari Ricky atau pun bisa dikatakan jika aku egois dan tidak mengerti tentang kesedihannya. Kesedihan pacarku. Tapi ketahuilah, saat itu. Aku terguncang dengan beberapa fakta yang baru saja kuterima. Dan, aku takut... jika Ricky menyakitiku sewaktu-waktu. Aku takut dengan kenyataan jika Ricky benar-benar memiliki gangguan mental! Aku tidak menyangka hal itu akan terjadi. Dan, aku tidak tahu. Bagaimana aku akan berhadapan dengan Ricky setelah ini. Antara memilih berhenti menemuinya, atau, pura-pura jika hubungan kami tidak pernah terjadi sama sekali. Ya, aku harus melakukan itu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top