Forget Me?

"Nilam, mau sampai kapan kamu ngelamun terus? Pelanggan Tante nanti pada kabur." aku tersadar dari lamunanku,

Sungguh, rasanya sangat linglung karena kejadian tadi sore. Apa itu benar? Aku benar-benar tidak tahu. Aku yakin Ricky hanya bercanda, karena dia tahu aku bukanlah gadis populer di sekolah. Aku bukanlah gadis cantik yang bergaya, seperti gadis-gadis yang mendekatinya. Apa ini salah satu siasatnya untuk membalas dendam masalah beberapa hari yang lalu?

"Maaf, Tan."

"Mikirin pacar?" tebak Tante Rosi, aku menggeleng kuat. "Belajar yang bener jangan mikirin cowok dulu, nanti kalau beasiswamu dicabut bagaimana? Memangnya kamu mau sekolah pakai apa? Kamu gak bisa ngandalin Tante terus, kan?" aku mengangguk faham,

"Iya, Tan." jawabku, aku tidak boleh memikirkan apapun selain belajar dan membantu Tante Rosi di toko roti ini. Aku tidak mau nilaiku turun, aku tidak mau menyusahkan Tante Rosi.

"Selamat datang di Rose Backery, silahkan memilih roti kesukaan anda." dan seperti itu, rutinitasku sepulang sekolah sampai jam sembilan malam. Baru setelah itu aku belajar sampai larut malam.

@@@

Rasanya lelah, ingin sekali aku beristirahat sekarang juga. Tapi, aku belum menyelesaikan tugas merangkumku dari Bu Marita, serta makalah agama dari Pak Mahmud. Rasanya sudah setiap hari aku belajar, tapi tetap saja, urusan tugas masih banyak yang keteteran. Apakah waktu 24 jam itu tak cukup untukku?

Ada beberapa sms yang masuk, tentu saja dari anak-anak kelas, yang terbanyak dari Salma dan Bondan. Aku tahu, kenapa mereka selalu menerorku di saat tugas sedang banyak-banyaknya begini. Apalagi kalau bukan mau minta contekan, kalau tidak begitu mereka akan menyalin tugasku, menyalin sama persis, dan jujur, aku tidak mau itu.

Untung saja, sekarang sudah larut. Mana mungkin aku keluar mencari warnet. Ada komputer di rumah pun, itu komputer tua. Untuk memasang WIFI juga aku tidak ada biaya, mungkin, alasan ini cukup kan untuk bilang tidak bisa pada mereka?

"Oke, tidur!" putusku setelah selesai mengerjakan semuanya, besok tinggal pergi ke warnet untuk mencetak tugas-tugasku ini.

Semoga, tidak kesiangan lagi, dan semoga tugas kali ini bisa diterima oleh guru-guru dengan tangan terbuka. Karena aku yakin, setidaknya, tugasku ini akan mendapatkan nilai A.

@@@

"Pagi Nilam!! Gimana tugas lo? Beres, kan? Pinjem buat referensi!" aku serahkan makalahku pada Lala, anak satu ini memang seperti itu. Suka sekali melihat makalah orang dan membandingkan dengannya, bukan apa-apa, dia takut saja jika salah ambil tema. Karena, sifat pelupanya yang sudah mulai parah.

"Gen, udah ngerjain makalah?" Genta yang baru datang mendekat, dengan senyuman tersungging dia mengacungkan kedua jempol tangannya.

"Genta, calon pacar Lala gitu lo." katanya percaya diri. Lala hanya mendengus, tapi sudah tidak bertengkar lagi seperti biasa, mungkin, Lala sudah terbiasa.

Kami hendak melangkah menyusuri halaman tengah sekolah, tapi tiba-tiba langkahku terhenti. Mau bagaimana lagi, kedua kakiku spontan kaku saat melihat sosok itu, sosok yang entah sejak kapan dia jadi rajin. Pagi-pagi sekali sudah berada di sekolah nongkrong dengan teman-temannya, sosok yang saat ini sudah ketawa-ketiwi dengan teman-temannya, dan sosok yang membuatku menata rambut tanpa sengaja.

"Kita lewat muter aja yuk, jangan lewat sini." ajakku, setengah memohon.

"Ngapain sih? Ada yang deket juga malah nyari yang jauh, ayok ah jalan."

Setengah diseret Genta dan Lala aku pun berjalan melewati gerombolan Ricky. Anehnya, saat aku lewat, dia mengacuhkanku, dia kembali seperti Ricky biasanya. Bahkan, saat ini, di sampingnya tengah ada Echa, teman sekelas kami yang katanya pacar Ricky.

Jangan mimpi, Nilam.

Mungkin tidak seharusnya aku memusingkan guyonan Ricky kemarin. Lagi pula, katanya juga dia bilang jika sekarang dia tidak memiliki perasaan apapun padaku. Nilam, rupanya kamu tipikal wanita yang mudah besar kepala, batinku memperingati diri sendiri. Tapi, kenapa hanya karena masalah ini aku mulai mengenal satu rasa lain di dalam hatiku.

Terluka..

Apa aku berhak? Aku tersenyum getir di antara gelak tawa Lala dan Genta yang entah aku tak tahu mereka membicarakan apa. Yang jelas, aku merasa bersyukur karena ada mereka. Setidaknya, tampangku yang sudah bodoh ini, tidak terlihat semakin bodoh di depan semuanya.

"Jadi mana makalah gue, Lam?" Bondan yang tiba-tiba muncul di balik pintu sebelum aku masuk ke dalam kelas.

"Makalah apa?" tanyaku bingung, bukankah semalam sudah ku jelaskan tentang makalah itu? Aku tidak bisa membuatkan untuknya.

"Makalah gue lah, gue kan minta bantuan ama elo semalem. Gue gak bisa ngerjain, karena Kakak gue sakit, masak elo gak mau bantuin sih? Jangan pelit, mana-mana makalahnya."

"Eh Bon, elo itu punya hati gak sih? Tugas itu tugas elo, kok elo minta buatin Nilam? Elo gila, ya?" nyolot Lala, aku yakin dia pasti tidak akan terima jika sahabatnya diperlakukan seperti itu, Lala terimakasih ku ucapkan padamu.

"Halah cewek sok cantik, gak usah sok deh lo! Gue gak ngomong ama elo, ya?!"

Setengah mendorong, Bondan meraih makalah yang ada di tanganku. Untung saja, Genta ada di belakang Lala, jika tidak, aku yakin tadi Lala akan jatuh begitu saja di lantai.

"Jangan kasar ama cewek woy! Gue laporin ke Pak Mahmud lo, Bon!"

"Banci lo Gen."

"Genta cukup!" teriakku, saat dia hampir meninju wajah Bondan. Cukup! Aku tidak mau karenaku semua ribut. Cukup akan aku selesaikan masalahku sendiri tanpa campur tangan siapapun, yang akhirnya merekalah yang akan terluka karenaku.

"Bondan, balikin makalah gue." pintaku, tapi senyum miringnya itu terlihat jelas, dengan apa yang akan dilakukan pada makalahku.

"Kalau gue gak ngumpulin, elo juga gak bisa ngumpulin, Lam."

KRAAAK!!!

Aku hanya bisa meringis, seperti serpihan-serpihan makalahku yang dirobek-robek Bondan begitu rasanya hatiku, sangat ngilu. Bagaimana bisa, ada seorang teman seperti itu? Bagaimana bisa hidupku harus dikelilingi orang-orang seperti mereka.

PLAKK!!

Lala menapar pipi Bondan, tapi Bondan langsung pergi. Aku tergopoh memungut serpihan-serpihan makalahku, hancur sudah, terlebih lima belas menit lagi Pak Mahmud akan masuk ke dalam kelas. Apakah nasibku akan sama saat pelajaran Bu Marita waktu itu?

"Makanya jadi anak jangan sok pinter! Emangnya kami mau apa temenan apa elo? Kalau lo gak pinter, ogah deh gue temenan ama elo."

"Bener Cha, hukuman tuh buat cewek sok pinter, dasar cewek aneh."

"Anak singa. Ih!"

Ya, seperti itulah mereka. Seolah di depanku memasang topengnya masing-masing, saat ada pelajaran yang menurut mereka aku ini penting. Namun, setelah itu, aku hanyalah aku, di balik topeng mereka itu, aku hanyalah penganggu, aku hanyalah segumpal debu, yang siap disapu kapan saja mereka mau.

Ku kumpulkan puing-puing makalahku, kemudian aku duduk di bangkuku. Lala memelukku sementara Genta marah-marah tak jelas, dia langsung pergi keluar untuk mencari Bondan, meski aku berfikir, jika semua itu percuma. Bondan tidak mampu dikalahkan Genta, sampai kapanpun itu.

"Selamat pagi anak-anak!"

Seru Pak Mahmud, semua menjawab dengan malas-malasan karena aku yakin, tugas dari Pak Mahmud. Kali ini sangatlah sulit, karena makalah yang wajib dikumpulkan harus dengan sumber yang real. Dalam artian kita harus datang dan mewawancari langsung, bukan sumber yang bisa kita peroleh dari internet. Namun sayangnya, aku tak bisa memenuhi tugas yang sangat berharga itu, aku menyesal.

Mereka jahat...

"Kita lanjut materi kemarin, ya?"

"Pak!" Ricky berseru, sambil mengacungkan telunjuknya. Tumben, biasanya dalam setiap pelajaran. Dia lebih suka menenggelamkan wajahnya, sambil menggoda Rian yang kebetulan duduk di depannya.

"Ya, Rick? Ada apa?"

"Bisa tidak pelajaran kali ini dijelaskan dengan proyektor, Pak? Kisah Nabi tidak apa-apa, Pak? Meski hanya sebentar, atau ceramah deh Pak? Boleh ya? Mumpung saya lagi baik nih!" serunya, yang aku tak mengerti, kenapa dia bersikeras untuk itu.

"Bapak tidak bawa laptop, Rick."

"Pakai punya saya Pak, Bapak ada materinya, kan?" paksanya tidak mau terima.

Pak Mahmud meski guru BP, yang sering membawa Ricky keluar-masuk ruang BP. Tapi nyatanya, Pak Mahmud tidak pilih kasih, melihat Ricky antusias ingin belajar, membuat Pak Mahmud bahagia bukan kepalang.

"Ini tidak apa-apa?" tanya beliau meminta persetujuan murid yang lain, semua mengangguk semangat.

Ricky maju ke depan sambil membawa laptopnya, menata ke sana dan sini, seolah dia bukanlah Ricky badung seperti biasanya.

Semua anak duduk diam di bangkunya masing-masing, melihat proyektor yang sedang memutar sebuah vidio. Tapi, vidio yang ditampilkan Ricky bukanlah vidio ceramah ataupun kisah Nabi. Melainkan kejadian yang baru saja ku alami. Apa dia sengaja melakukan ini? Seolah menunjukkan kepada Pak Mahmud jika aku tidak bersalah? Lalu kenapa? Kenapa dia sampai melakukan sejauh itu?

Aku benar-benar tak mengerti.

"Ini apa?!" tanya Pak Mahmud dengan amarahnya,

Beliau memandang ke arah Bondan kemudian berdiri, "Bondan! Kemari kamu!"

"T..tapi, Pak."

"Tinggalkan kelas Bapak, selama 2x pertemuan, jangan masuk ke kelas Bapak! Tulis permintaan maaf kepada Nilam sebanyak sepuluh lembar kertas folio, mengerti?!"

"Tapi, Pak."

"Mengerti Bondan?!"

"I..iya, Pak."

Semuanya langsung berkasak-kusuk, Ricky memasukkan flashdisk yang benar setelah dia meminta maaf kepada Pak Mahmud. Untuk sekali dalam dua tahun aku sekelas dengan Ricky, baru kali ini dia perduli, terlebih perduli terhadapku seperti ini. Bukan, mungkin kebetulan akulah yang menjadi korban, tapi setidaknya aku tahu, di balik sifat badungnya, ternyata ada sisi baik yang tak aku tahu dari Ricky. Ya dia Ricky, Ricky yang melakukan hal dengan caranya sendiri, Ricky yang selalu membuat orang bertanya-tanya, bagaimana sifat aslinya.

@@@

Istirahat hari ini, Lala dan Genta mengajakku ke warung Mpok Lela, penjual somay paling enak di sekolah kami. Kami mengambil tempat duduk bagian ujung, agar tidak terlalu ramai, agar kami bisa menikmati makanan kami dengan tenang. Maklumlah, Kakak kelas 3 biasanya sok berkuasa, jika kita tidak mengalah, maka habislah riwayat kami.

Untuk ukuran anak-anak minoritas seperti kami, duduk di pojokkan dan tidak terlalu terlihat itu yang terbaik. Setidaknya mengamankan diri dari bahaya pemalakan, atau bahkan dijaili Kakak angkatan, itu pun berlaku untuk geng Ricky. Meski mereka masih kelas 2, tapi soal tawuran, mereka yang paling pertama.

"Somay Mpok 3, seperti biasa!" seru Genta, dia sudah mengambil garpu dan sendok, seolah tidak sabar menunggu makananya datang. Seperti anak kecil yang ditanya Mamanya apakah mau sarapan pakai ayam goreng, atau tidak?

Sangat lucu.

"Ricky tuh, Lam. Elo harus berterimakasih ama dia, dia udah bantuin elo." Lala menyikut lenganku, jujur tanpa diberitahu pun, aku pasti akan berterimakasih. Tapi, aku rasa, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berterimakasih padanya.

"Hey Rick!" seru beberapa Kakak kelas, "Bagi uang, bokek nih."

"Berapa, Kak?"

"Mapuluh ribu."

"Gue juga Rick, motor gue abis nabrak nih, butuh duit tigaratus ribu."

Tanpa fikir panjang aku lihat Ricky merogoh dompetnya, kemudian dia memberikan lembaran uang-uang itu pada teman-temannya, mereka tertawa kemudian bertos ria. Apa benar, berteman seperti itu?

Jujur, meski ucapan mereka tidak terlalu keras, tapi cukup bisa terdengar di telingaku yang jarak duduk mereka tidaklah jauh dari tempatku duduk. Bahkan, meja kami berdampingan.

"Gue ke toilet dulu ya, kebelet nih."

"Ok!"

Mereka kembali terbahak seolah kepergian Ricky menjadi kesempatan emas untuk mereka, aku sama sekali tak mengerti, kenapa mereka segembira itu.

"Mayan ya, mepetin dia, uangnya ngalir terus kayak mesin ATM."

"Iya, gak tahu uang dari mana, mungkin dari ngerayu Tante-Tante. Bisa ngecengin cewek-cewek cantik juga kita."

"Mayan Bro, kita bisa numpang tenar sekaligus punya kacung buat disuruh tawuran."

Teman-teman munafik,

Aku tak pernah berfikir, ada teman seperti mereka, jenis-jenis sahabat yang sebenarnya mereka berlaku bangsat. Teman yang memanfaatkan temannya sendiri. Entah mengapa, darahku terasa meletup-letup. Aku tidak suka, jika ada orang lain bernasib sama sepertiku, meski dengan cara mereka sendiri. Tetap saja, memanfaatkan adalah perbuatan yang tak akan pernah termaafkan. Lalu, apakah Ricky mengetahui semua ini? Jika tidak, maka akan ku beranikan diri untuk memberitahunya agar dia menjauhi teman-teman jahatnya. Namun jika dia tahu, muungkin aku harus menyadarkannya, seperti dia mencoba menyadarkanku dulu.

"Gue balik dulu ya, kelupaan sesuatu." pamitku, meski Lala sempat bertanya tapi dia mengijinkan juga.

Aku keluar dari warung Mpok Lela, tapi yang ku cari rupanya berdiri manis sambil bersandar di dinding depan warung. Apa dia mendengar? Aku yakin, dia mendengarnya dengan jelas semua perkataan teman-teman jahatnya.

"Ricky," ujarku, dia melirikku sekilas tanpa minat kemudian berjalan menjauh dari warung Mpok Lela, berhenti di bawah pohon cemara, yang terletak di belakang gedung ruang kelas 1.

"Elo udah tahu, kan?" tanyaku, dia hanya diam dan memunggungiku. Aku yakin, dia tahu. "Mereka itu bukan temen yang baik buat elo, Rick. Mereka itu deketin elo hanya untuk manfaatin lo doang, gue yakin elo tahu semuanya, tapi kenapa elo diem aja? Seharusnya elo berani bilang sama mereka, bukankah kemarin elo ---"

"Gue baik ama elo bukan berarti lo berhak ikut campur urusan gue," katanya menyela ucapanku. "Mau mereka pura-pura atau manfaatin, itu gak ada hubungannya ama elo, ngerti?!" dia langsung pergi begitu saja, seolah tidak mengenalku sama sekali.

Nilam, kau bodoh!

Seharusnya aku tidak harus melakukan hal itu. Benar apa kata dia, aku bukan siapa-siapanya, untuk apa aku ikut campur dalam urusan pribadinya? Menerobos zona aman dan mencoba mengusik kehidupan dia, kehidupan Ricky.

Aku salah, kenapa aku melangkah sejauh ini, seharusnya aku tetap diam di dalam zonaku. Zona di mana menjauhi Ricky adalah hal utama, zona di mana tidak dekat-dekat dengan Ricky adalah hal wajib yang harus dilakukan. Tapi, bagaimana bisa, takdir telah memaksaku melangkah sampai sejauh ini. Bahkan takdir seolah mematikan lentera sebagai penerang jalanku untuk kembali.

Aku merutuki takdirku, seharusnya aku tak sejauh itu berinteraksi dengan dia, seharusnya aku tak membuat banyak kesempatan untuk dekat dengan dia, Ricky. Sampai akhirnya semua hal itu menjadi awal dari semua mimpi buruk yang tak pernah aku inginkan. Rick, tahukah kamu jika aku di sini merindukanmu? Bahkan, bait-bait puisi ini tak mampu membendung rasa rinduku padamu. Andaikan bisa, aku ingin kau kembali seperti dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top