Bullying
"Bilangin ke Genta, gue maunya dia itu minta maaf. Yang tulus!" ketus Lala sambil melipat tangannya di dada.
Saat ini, aku—Lala—Genta berada di warung Mang Ujang. Karena bel masuk belum berbunyi. Sekalian, dipaksa pasangan yang katanya baru putus ini untuk balikan.
Padahal, sebenarnya, yang mereka lakukan hanyalah, menjadikanku sebagai tembok mereka. Dan, mereka saling bicara sahut-sahutan secara tidak jelas.
Untung, warung Mang Ujang masih sepi. Hanya ada beberapa siswa kelas 1 dan kelas tiga yang duduk di pojokan. Sementara kami, memilih meja tengah karena ukurannya yang lebih panjang.
"Bilangin ke Lala, gue udah minta maaf berkali-kali dengan tulus. Kenapa dia masih nggak mau? Gue kan capek, minta maaf mulu!"
"Gue juga butuh bukti, Nilam... bilangin ke dia!"
"Apalagi gue, capek, bolak—balik rumahnya tapi dianggurin. Emangnya gue bolu basi apa!"
"Ih Genta!" akhirnya, Lala pun berdiri. Setelah menghentakkan kakinya dia bersidekap. Menatap ke arah Genta yang mengikutinya berdiri.
Kuembuskan napas sambil menaruh wajahku di meja. Mereka, benar-benar seperti anak kecil. Terlebih, menyeretku ke dalam masalah konyol seperti ini. Andai saja mereka tahu, jika masalahku lebih berat dari mereka. Andai....
"Udah deh nggak usah kayak gini!" kataku pada akhirnya. Mereka diam, tapi dengan gumaman yang tidak jelas.
"Kalian itu, udah kayak artis dan aktor yang dibayar buat main di sinetron alay! Nggak malu apa dilihat banyak orang? Mending duduk... sini, selesaikan baik-baik," kutarik tangan keduanya untuk kembali duduk.
Genta menyeruput es tehnya seolah-olah emosinya akan hilang karena minum es. Sementara, Lala masih dengan wajah ditekuknya.
"La, lo pingin Genta minta maaf, kan?" tanyaku, kini. Lala mengangguk tapi masih dengan wajah kecut.
"Nah, Gen... minta maaf gih!"
"Gue udah minta maaf, Lam. Tapi dia bebal."
"Udah deh, minta maaf aja. Apa susahnya?" Genta berdecak. Kutarik tangan Genta kemudian kusatukan dengan tangan Lala.
Kuembuskan napasku lagi. Keduanya masih saling punggung. Kemudian, kucubit tangan keduanya agar menghadapku.
"Gen...."
"Ish! La, aku minta maaf!"
"Gitu?" kata Lala masih tidak puas.
"Kamu maunya gimana, sih?"
"Inisiatif, dong! Kamu kan cowok!"
"Ya Allah!" geram Genta hilang sabar.
"Romantis... romantis." bisikku dengan senyuman jahil. Padahal, aku sendiri tidak tahu, bagaimana meminta maaf dengan romantis. Tapi, saat ini, aku mulai bersikap sok tahu.
Genta berdiri, memutari kursinya kemudian berlutut di depan Lala. Meraih tangan kanan Lala kemudian menciumnya.
"Sayang... maafin aku, ya... karena lupa jemput kamu belanja kemarin. Ya?" katanya.
Seharusnya, tidak perlu ada aku, kan? Buktinya, mereka sudah fasih melakukan adegan yang membuatku malu ini. Malu, karena ada beberapa pasang mata yang melihat. Bahkan, Mang Ujang mengintip dari balik gerobak somaynya.
Tapi, aku juga ingin berkhayal. Apakah jika aku marah, Ricky akan melakukan hal itu padaku, ya? Ah... kenapa aku jadi mikirin dia, sih!
"Nggak diulangin lagi?" tanya Lala berhasil membuyarkan lamunanku.
"Iya... suer!" jawab Genta sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huru 'V'.
Tersipu-sipu Lala pun mengangguk. Membuat Genta bernapas lega sambil memanjatkan doa-doa yang aku sendiri tidak tahu itu doa apa.
Melihat mereka, aku jadi bisa menarik sebuah kesimpulan. Jika dalam hubungan pacaran cewek itu menjadi dominan dari cowok. Lalu, hukum-hukumnya pun akan berlaku.
Pasal satu, cewek selalu benar. Pasal dua, jika cewek salah, lihat pasal satu. Ya... itulah cewek. Maunya dingertiin, tapi untuk mengerti ego cowok yang besar mereka seolah tidak mau.
==000==
Siang ini, koridor sekolah cukup lenggang. Tidak banyak anak yang berada di luar untuk sekedar berjalan atau membuang sampah ke tempatnya.
Benar-benar sepi. Sampai-sampai membuatku mengerutkan kening. Kalau saja Lala tidak memberitahuku tadi. Jika saat ini para siswi tengah sibuk dengan katalog-katalog pakaian, dan sibuk memilih salon mana untuk mereka akan berdandan.
Ya, lusa adalah acara prom night, yang pasti, acara itu pasti akan membuat semua anak di sekolah bahagia. Terutama bagi para cewek. Mereka pasti berlomba-lomba memakai pakaian paling bagus di antara yang lainnya. Make-up di salon paling terkenal di Jakarta. Iya, itu wajar. Tapi, hanya bagi mereka. Karena... aku tidak.
Aku sadar, aku bukanlah orang kaya. Aku tidak mungkin bisa membeli baju harga jutaan bahkan sampai ratusan juta di butik-butik ternama. Bahkan, untuk membeli gaun seharga ratusan ribu saja aku tidak bisa. Lemari pakaianku, yang ada hanya daster batik yang dibelikan Tante Rosi seminggu yang lalu. Lainnya? Ah... hanya rok-rok sepan serta kemeja kebesaran saja. Atau... beberapa celana jeans dan kaos, misalnya.
Apalagi masalah make-up. Untuk ukuran remaja yang sedang puber sepertiku. Jangankan tahu merk make-up paling bagus. Lipgloss saja aku tidak punya.
Kugigit bibir bawahku yang mendadak mengering karena ingat jika aku tidak punya peralatan perang wajib bagi para cewek-cewek zaman sekarang. Ah biarkan. Yang penting itu bagi cewek, bukan seberapa tebal mereka berdandan. Tapi, seberapa tajam IQ mereka berjalan. Iya, kan?
"Nilam!" teriak Sekar. Dia berlarian dari kelas, sambil membawa setumpuk buku paket menghampiriku. "Mau ke perpus?" tanyanya.
"Iya. Lo juga?" kujawab sekaligus bertanya padanya. Dia mengangguk.
Nanti, adalah jamnya Bu Marita. Ada tugas menulis artikel Bahasa Inggris. Dan, itu ditulis tangan minimal sepuluh lembar folio. Untung aku sudah selesai. Tapi, yang membuat anak-anak kepikiran bukan itu. Kata Bu Marita, kita harus membawa minimal satu buku untuk mendukung artikel tersebut.
Untung, kemarin aku sudah memisahkan beberapa buku untuk kupinjam dari perpus. Jadi, sekarang, aku tinggal mengambilnya sambil mencocokkan ulang.
"Jadi, lo ikut prom night, kan?" tanya Sekar. Aku diam, tidak menjawab.
"Lo nggak mungkin nggak datang, kan?" tanyanya lagi. "Lo selalu ngelak kalau sekolah ngadain acara kayak gini, Lam. Kenapa, sih? Karena elo jomblo? Lo kan OSIS. Lo bisa buat alasan itu untuk datang, kan? Lagi pula..." kini ucapannya digantung. Sekar membenahi letak kacamatanya kemudian mengusap hidungnya yang tidak beringus.
"Sekarang lo kan udah punya cowok, Lam. Cowok elo itu cowok populer sekolah. Gue yakin, lo bakal bangga kalau lo datang buat liat dia dapetin gelarnya lagi. Lo dateng, ya... agar dia dateng." lanjutnya.
"Jadi?" tanyaku bingung. Dia menggenggam erat tanganku.
"Please, Nilam! Gue denger kabar, banyak cewek yang nggak mau datang ke acara lusa, kalau sampai Ricky nggak dateng lagi. Dia itu lebih mentingin konvoi bareng geng badungnya. Dari pada ngehadirin acara ini. Dan lo tahu sendiri, kan, gimana pentingnya acara ini untuk sekolah kita? Terlebih... untuk kita para OSIS."
Aku bingung, harus menjawab apa. Faktanya, mengajak Ricky untuk ikut acara itu. Sangatlah mustahil. Jangankan mengajaknya ikut. Aku mendekat padanya saja dia pasti sudah mengusirku. Ricky sedang ingin sendiri. Ricky sedang butuh waktu. Waktu yang aku sendiri tidak tahu sampai kapan itu.
Tiba-tiba, dadaku terasa nyeri. Ada perasaan sakit yang tidak terlihat namun jelas kurasakan. Saat ucapan Arya merasuki otakku. Setiap peristiwa yang dialami Ricky dulu. Bersama... cewek itu.
"Eh! Kalau jalan pakek mata, dong! Dasar nggak punya mata!" aku nyaris tersungkur. Jika Sekar tidak memegangiku. Buku-bukuku berserakan di lantai begitu saja.
Di sana, sudah ada Sesil, dan teman-teman se—genknya. Menghadangku sambil bersedekap seperti seorang penguasa.
"Eh... maaf, gue nggak lihat." jawabku. Mungkin, aku benar-benar tidak melihat gerombolan Sesil, tadi. Karena melamun. Terlebih, aku tidak mau cari ribut. Dengan mereka. Ini, kan... di sekolah.
"Dasar udik! Cewek singa! Makanya matanya nggak bisa lihat. Ketutupan rambut kribonya, sih!" kugenggam rambutku. Hari ini, rambutku kukuncir satu. Jadi, tidak mungkin rambutku mengganggu pemandangan. Memang, Sesil dan teman-temannya selalu berlebihan.
"Enggak, kok." jawabku. Sesil mendorong bahuku, sambil menginjak beberapa bukuku yang belum sempat kupunguti. Entah dari mana dia. Yang jelas, sepatu kets warna putihnya, penuh lumpur. Dan, itu mengenai semua bukuku.
"Lo dibuang, ya... ama Ricky?" Sesil menarik kerah seragamku. Bibir merahnya karena lipstik itu tersungging ke atas. Kemudian dia berdecak semangat.
"Untung deh, mata Ricky sekarang udah kebuka. Dia buang sampah kayak elo dan nyari yang lebih baik." aku menunduk. Tidak membalas. Kuabaikan ucapan Sesil hendak mengambil bukuku. Tapi, kedua tanganku ditarik oleh Riska. Teman Sesil.
"Sakit, Ris." keluhku. Semuanya malah tertawa. Seolah-olah, ini adalah adegan lucu. Padahal, semua ini jauh dari kata itu.
"Ups! Sengaja!" kali ini, Riska menyiramku dengan es teh, yang sedari tadi dia bawa. Mulai dari ujung rambutku, sampai seragamku basah.
Jujur, aku ingin menangis saat ini. Bukan karena tubuhku basah karena es teh. Akan tetapi, karena buku-buku pelajaranku yang ikut basah, terlebih... kotor. Di sana ada tugas Bu Marita yang sebentar lagi harus dikumpulkan. Bagaimana ini? Bagaimana aku mengatakan semua ini kepada Bu Marita? Apa yang harus kulakukan.
"Kumohon, Sil, Ris... lepasin Nilam. Kami, kan nggak nakalin kalian." Sekar, kini bersuara. Meski suaranya bergetar karena takut. Dan, untuk alasan ini, aku berterimakasih. Setidaknya dia mau berusaha membelaku.
"Yang satu aneh yang satu cupu. Kalian ini bener-bener kasihan, ya!" buku Sekar direbut. Kemudian dibuang di tengah lapangan basket. Dan bodohnya, aku hanya diam melihat ini semua.
Hatiku ingin berontak, dan membalas mereka. Namun nalarku menolak. Jika aku berontak, bagaimana? Aku harus bersikap baik, di sini. Jika aku menginginkan beasiswa ada di tanganku. Karena, jika aku berbuat rusuh dan melawan mereka. Yang ada hanya, para guru mengira aku berbuat nakal. Dan, akan mengambil beasiswa itu dariku.
"Inget, ya... Lam. Elo itu nggak pantes buat Ricky. Lo itu seharusnya ngaca! Sebelum lo main-main ama kita!"
"Lalu, menurut lo... apakah lo pantes buat dia?" tanyaku. Mata Sesil tampak membesar. Rahangya tiba-tiba mengeras, dan,
PLAK!!
Aku meringis, saat dia menampar pipiku. Seharusnya, ada siswa yang melihat. Seharusnya, ada guru yang lewat. Mengingat di koridor ini, adalah jalan utama untuk menuju ke kelas-kelas dari ruang guru. Tapi, sekolah hari ini lenggang. Percuma saja mendapatkan keajaiban itu. Terlebih, aku sudah melukai harga diri Sesil dengan pertanyaanku itu.
"Dasar cewek—"
"Sil! Ada Bu Marita!" semuanya langsung kabur. Setengah didorong aku tersungkur tepat di depan buku-bukuku yang hancur.
Kupandangi Sesil dan teman-temannya. Mereka berjalan lenggak-lenggok bak peragawati seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Aku menunduk. Mataku mengeluarkan sesuatu yang tidak ingin kukeluarkan saat ini. Aku menangis. Kenapa?
Padahal, sedari dulu mereka melakukan itu aku baik-baik saja. Seharusnya, aku sudah terbiasa.
Lalu, apa air mata ini? Apakah semua lelah yang menumpuk di hatiku telah menguap sekarang? Sehingga kesedihan tidak lagi tertahan?
Tuhan... kenapa denganku? Apa salahku? Kenapa mereka memperlakukanku dengan cara yang beda?
"Lam... Bu Marita." bisik Sekar sambil menepuk bahuku.
Kudongakkan wajahku. Bu Marita berdiri tepat di depanku dengan tampang sangarnya itu. Tubuhku, bergetar, karena takut dengan beliau. Terlebih, tugasnya yang hancur berantakan saat ini tidak sengaja berada di bawah Bu Marita sekarang.
"B... Bu Marita." kataku tergugu. Bu Marita membenarkan letak kaca matanya, dan masih diam untuk sesaat.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nilam? Kenapa sampai buku-bukumu kotor dan berserakan seperti sampah begini?!"
"Jatuh, Bu." jawabku. Aku tidak mungkin mengadu jika ini perbuatan Sesil, kan? Aku tahu Sesil. Dia tipikal cewek yang bermulut manis. Dia bisa memutar balikkan fakta dengan sekali ucap. Dan, aku tidak mau jadi korbannya lagi.
"Saya beri waktu kamu setengah jam. Salin tugas dari Ibu dan bersihkan semua bukumu itu!"
Aku memekik kaget. Tapi, Bu Marita sudah pergi meninggalkanku. Diberi waktu? Apakah itu benar-benar Bu Marita?
Maksudku... Bu Marita adalah tipikal guru yang tidak mau tahu. Betapapun siswa itu berusaha untuk menyelesaikan tugasnya dan alasan apapun yang mereka lakukan. Terlebih, jika semenit saja telat memasuki kelasnya. Tapi, kali ini?
Kuembuskan napasku lega bersamaan dengan Sekar yang menghela napasnya. Kupandangi Sekar, kemudian kami tersenyum. Bu Marita, rupanya... tak semengerikan itu.
Kurasa, aku mulai kehilangan lagi jati diriku. Aku kehilangan lagi kekuatan untuk membela diriku. Entah... ada di mana. Yang jelas, aku seolah kembali seperti sediah kala. Menjadi Nilam lemah, Nilam bodoh, dan... Nilam yang selalu salah. Apakah, karena tidak ada Ricky di sini? Itu sebabnya aku selemah ini? Lalu... apakah Ricky sehebat itu, sampai-sampai tanpa sadar aku menjadikannya sumber keberanianku?
Jika boleh aku jujur, untuk saat ini. Aku ingin dia ada di sini. Aku ingin dia mengulurkan tangannya untuk menolongku. Seperti biasa.
Ricky... aku kangen kamu.
==000==
"Nilam!" segera kutoleh Lala saat berseru memanggilku. Buru-buru aku menghampirinya. Tapi, langkahku terhenti, saat Bondan dan Olan hampir menabrakku.
Bukankah, saat ini pelajaran Bu Marita? Seharusnya, Bu Marita ada di sini, kan? Kenapa membiarkan kelas kosong. Dan, meninggalkan buku-bukunya serta tasnya. Sementara Bondan juga Olan, tumben sekali berani keluar saat pelajaran Bu Marita?
"Ada apa, La?" tanyaku. Setelah duduk di bangku. Kuambil tasku dan memasukkan beberapa bukuku yang kotor tadi. Sudah bersih, meski masih menyisakan warna cokelat dan basah. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya, masih bisa kubaca.
"Eh, elo! Ke mana aja sih?" tanyanya tidak sabaran. Dia menarik lenganku, wajahnya merah pertanda jika dia panik.
"Ke perpus. Nih! Buku gue hancur!" jawabku. Dia memekik, melihat buku-bukuku yang mengerikan itu.
"Siapa? Siapa yang berani gangguin Nilam gue? Siapa!" kali ini Lala berseru dengan suara lantang. Berdiri sambil berkacak pinggang. Semua anak yang ada di kelas, menatapnya, kemudian mereka mengabaikan Lala lagi.
"Denger, ya! Siapapun yang berani nyakitin Nilam, maka... mereka akan berhadapan sama gue, mengerti!" ucapnya lagi. Seolah-olah, yang ada di kelas mendengarkan, dan mengangguk tunduk. Lala pun kembali duduk.
"Tapi, Nilam... itu nggak penting! Maksud gue, ada yang lebih penting dari itu!" katanya lagi. Kuabaikan Lala, kemudian memasukkan buku-bukuku. Lalu, aku maju ke depan kelas, untuk mengumpulkan tugasku di meja Bu Marita.
"Apa?" tanyaku setelah aku kembali ke bangku. Kupandang Rian, yang tampak tegang. Genta, tidak ada di tempatnya. Bukan... bukan. Bukan hanya Genta, tapi sebagian besar cowok yang ada di kelas ini.
"Lho... kok sepi? Yang lain di mana, La?" tanyaku yang baru sadar.
Lala memukul keningnya, kemudian kedua tangannya menggenggam pundakku kuat-kuat. Kelihatannya, dia gemas.
"Ini yang mau gue kasih tahu ke elo, Nilam!" geramnya frustasi.
"Apa sih?"
"Si biang rusuh sudah kembali!" jawabnya. Kukerutkan keningku, maksudnya? Siapa biang rusuh itu? Aku tidak paham.
"Siapa?" tanyaku lagi.
"Ketua geng badung sekolah kita! Dia sudah kembali, Nilam! Cowok elo! Ricky!"
"Hah?" ucapku semakin bodoh. Jantungku tiba-tiba berdesir hebat. Antara ingin mencari keberadaan Ricky atau diam di tempat. Bertemu Ricky di sekolah? Aku belum memikirkan sampai sejauh itu.
"Terus, dia sekarang di mana?" tanyaku lagi. Lala menunjuk luar jendela, kemudian matanya semakin melotot.
"Dia sedang jailin Sesil! Tas Sesil digantungin di atas pohon kersen di belakang kelas 3. Sekarang, Bu Marita menuju ke sana, bersamaan dengan anak-anak lainnya!"
"Apa?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top