Bad Boy
"Selamat datang di Rose Backery, silahkan pilih roti yang ingin anda pesan."
Mulutku langsung terkatup sempurna, setelah bunyi lonceng yang sengaja dipasang Tante Rosi di samping pintu sebagai penanda datangnya pembeli itu berbunyi.
Kesialan macam apa lagi ini? Setelah memberiku kesialan di sekolah, kenapa takdir harus memaksaku untuk bertemunya, lagi. Dan kali ini dia dengan gadis lain, yang aku tak tahu, gadis keberapa yang dia pacari saat ini.
"Cewek aneh?!" ucapnya,
Jangan tatap matanya,
Aku menunduk dalam-dalam sambil mengikat kedua tanganku di depan, jujur aku gemetaran, ketika dia mendekat dengan antusias sambil menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya.
Aku takut ,
"M..mau pesan apa?" tanyaku terbata,
Dia terkekeh, kedua lengan kekarnya diulurkan ke depan meja yang membatasi kami.
Dia menundukkan kepalanya, agar bisa melihat wajahku, tapi aku menunduk lebih dalam, seolah mendapatkan permaian baru, dia terbahak. Entah, apa alasan dia tertawa serenyah itu, tapi aku yakin, menghinaku adalah hal mengasikkan baginya.
"Lo ngeliat gue kayak ngelihat setan banget, sih? Eh, emang ya, gue setan. Kalau elo kan sok malaikat." sindirnya,
"Mau pesan apa?" tanyaku untuk yang kedua kali, semoga kali ini tidak diabaikan,
Dia mengelus dagunya, sambil melihat deretan roti yang ada di kotak kaca samping kanan dan kiri ruangan ini.
"Itu, sekotak," jawabnya, lagi, dia kembali memandang ke arahku.
Buru-buru aku mengambil roti yang ditunjuknya dengan dagu kemudian memasukkan ke dalam kotak, semoga ini cepat, karena aku tidak mau berada lama-lama dekat dengan dia.
"Tiga puluh enam ribu." kataku,
Dia mengelurkan uang limapuluh ribuan, kemudian beranjak pergi.
"Kembaliannya?!" seruku, dia berhenti.
"Tips karena udah buat gue berurusan ama polisi."
Ternyata, dia tipikal orang pendendam.
@@@
"Udah deh Lam, gak usah cemberut gitu karena makalah kemaren, ya?"
Bukannya seperti itu, memang benar kata Lala, aku tidak boleh larut dalam masalah makalah kemarin. Tapi, aku takut, jika karena masalah itu, beasiswaku dicabut. Lalu, bagaimana nanti aku akan bersekolah? Aku tidak mau, membebani Tante Rosi lagi. Dia sudah cukup sulit dengan kehidupannya menjadi wanita mandiri, untuk menampungku pun, aku sangat sungkan.
"Elo juga jangan cemberut." kataku, tapi Lala semakin cemberut.
"Ngapain sih, ganti-ganti cowok. Mending milih yang pasti-pasti aja! Tuh, putus lagi, rasanya sakit, kan?"
"Udah deh Gen, elo gak usah guruin gue! Kayak laku aja lo! Jomblo juga rese lo!"
"Yaudah ama gue aja. Biar elo gak patah hati, gue gak jomblo lagi."
"Ogah! Elo itu kacung gue!"
Aku tersenyum melihat mereka berdua, Genta yang selalu cinta dengan Lala, tapi Lala yang memilih melalang buana dengan cowok lainnya. Andai saja, Lala bisa sedikit melihat jika Genta serius padanya, aku yakin, mereka tidak akan meributkan hal sepele seperti ini.
"Lam, elo mau ngumpulin tugas ke Bu Nur, kan?" tanya Echa, teman satu kelas denganku, aku mengangguk, meng-iyakan pertanyaannya.
"Gue nitip ya. Gue gak sempet ke ruang guru."
"Gue juga ya."
"Gue juga."
Selalu seperti ini, setiap ada tugas individu yang seharusnya dikumpulkan perorangan, mereka langsung melimpahkan semuanya padaku, dan berakhir menjadi gunjingan dari kelas sebelah, jika aku ini sok rajin, sok pintar, dan semacamnya. Tapi, terserah, asal itu tidak merugikanku, aku tak masalah.
"Iya."
"Tapi gak boleh gitu dong, ini kan –"
"La, gak apa-apa. Gue ada perlu sebentar di OSIS, jadi sekalian." kataku,
Jam pertama jam kosong, karena ada tugas OSIS lebih baik ku kerjakan sekarang, agar cepat selesai setelah itu aku bisa belajar sebelum bel istirahat berbunyi.
"Ketemu pas istirahat ya? Di tempat biasa." kata Genta, aku mengangguk.
Aku berjalan menyusuri koridor kelas. Ruang guru berada di seberang, setelah aku melewati halaman sekolah, tumben sekali hari ini tidak ribut. Biasanya, ada saja siswi yang menangis karena ulah Olan dan Rendy, anak-anak IPS yang menjadi geng Ricky, menerbangkan rok-rok para siswi dan mengintip apa yang ada di dalamnya, menjijikkan sekali.
"Anak singa kenapa lepas dari kebun binatang? Hahaha." baru aku merasa sekolah sepi, rupanya komplotan mereka sudah ada, duduk di salah satu bangku yang ada di halaman sekolah.
Aku tidak boleh ambil hati, aku harus segera pergi. Aku tidak mau lama-lama ada di sekitar mereka, karena aku nanti akan menjadi bahan bully-an lagi. Terlebih, di sana, ada dia.
"Anak manusia kali Ren, dia." aku bisa melihat celetuk itu keluar dari mulut Olan.
Itu bukanlah jenis pembelaan, tapi jenis mengejek dengan perkataan halus, dan itu lebih menyakitkan.
Ricky duduk di antara mereka, sambil menghisap rokoknya santai. Sesaat kemudian, dia mematikan rokoknya dengan sepatu, berdiri, kemudian melambaikan tangannya pada gengnya, aku tidak mengerti.
"Gue tinggal dulu, ya." katanya, mendekatiku sambil mengulurkan kedua tangannya tepat di depanku.
Tak sengaja, ku tatap wajahnya, bingung. Mata coklat itu menatapku dengan pandangan aneh, dahinya berkerut membuat rambut panjangnya semakin menutupi mata.
"Ada apa?" tanyanya, aku semakin bingung, bukankah, seharusnya aku yang bertanya seperti itu?
"Permisi, gue mau lewat." kataku, aku melangkah ke kanan, tapi diikuti olehnya, ku ambil jalan kiri, diikuti juga, aku sama sekali tidak mengerti, apa yang ada di dalam otaknya.
Apakah dia mau membuang tugas-tugas ini? Sebagai balas dendamnya tempo hari?
Tuhan, aku takut, aku takut dengannya.
"Sini, gue bantu."
"Nggak usah."
"Bawa ke ruang guru, kan?" tanyanya, setelah dia berhasil mengambil tiga perempat buku yang ada di tanganku, dan itu berhasil membuatku was-was, takut buku-buku itu dirusak Ricky.
"I..iya."
"Ayo jalan." ajaknya,
Langkah yang awalnya lebar-lebar perlahan memelan, kini kami berjalan beriringan, seolah dia ingin menyamai langkahku.
"Toko siapa?" tanyanya, aku bingung, kenapa dia jadi seperti ini? Apakah ada maksud tersembunyi?
"Gue tanya, kemaren toko siapa?" tanyanya lagi tak sabaran.
"Tante."
"Bantuin di sana setiap hari?"
Aku mengangguk, dia mendengus, ruang guru hampir sampai, rasanya dadaku mulai lega, ternyata dia benar-benar mau membantu, aku fikir dia ingin melakukan sesuatu.
"Bu Nur, ini tugasnya."
"Taruh sana ya Lam." aku menuruti perintah Bu Nur, yang kini beliau masih sibuk dengan beberapa tugas siswa lainnya. Bahkan sesekali, beliau mengaduh kemudian membenarkan letak kacamatanya.
"Ricky?! Ada angin apa kamu masuk kantor guru? Ruang BP bukan di sini! Berulah apa lagi kamu?!" nyaring, suara Pak Hamdan saat melihat Ricky.
"Main, Pak." jawabnya enteng. Aku lupa, dengan siapa aku sekarang, aku dengan Ricky, siswa paling badung satu sekolahan.
"Rambutmu potong! Besok harus rapi, dan seragammu kancingkan Ricky! Berapa kali Bapak bilang, berpakaianlah yang pantas saat di sekolah! Mengerti?!" setelah menerima pukulan dari Pak Hamdan, Ricky mengangguk, tanpa membals ucapan sang kepala sekolah. Aku yakin, Ricky sudah cukup bebal dengan semua itu.
"Merokok lagi di sekolah?"
"Kebiasaan, Pak. Bapak juga mekorok." jawabnya,
"Kamu ini! Kamu tahu peraturan sekolah, kan?"
"Bapak juga tahu, kan?" tantangnya, aku tidak berani berbuat apa-apa, saat Pak Hamdan hendak memukulnya lagi, Ricky menunduk. "Peraturan dibuat, seharusnya untuk dipatuhi bersama, jika guru saja merorok di sekolah, masak siswanya gak boleh, Pak?"
"Ricky!"
"Maaf, Pak Hamdan. Saya yang mengajak Ricky ke sini. Maafkan saya, saya akan segera mengajaknya pergi. Permisi."
Ku tarik lengan kekar itu untuk keluar, Ricky tidak menolak. Sentuhan pertama yang ku buat dengan Ricky, sentuhan yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku merasa harus melakukannya.
"Maaf."
"Ya."
Dia langsung pergi begitu saja, sambil mengacak rambutnya yang panjang. Seharusnya, bukan maaf yang aku ucapkan padanya saat ini, tapi kata terimakasih.
Apakah aku salah?
@@@
"Elo tadi ama Ricky di ruang guru? Elo gak salah, kan Lam?" tanya Lala seolah kaget, jujur, aku juga kaget, dan masih tak percaya.
Saat ini kami tengah makan di warung Mang Ujang, letaknya di sebelah kantin sekolah, tempat paling belakang gedung sekolahan.
"Elo pasti dikerjain lagi kayak kemaren, kan?" kali ini giliran Genta yang bertanya, pertanyaan dengan suara nyaring yang aku yakin, siempunya nama mendengar dengan jelas pertanyaan Lala dan Genta karena dia, ada di sini, duduk di pojokan bersama teman-temannya, anak IPS.
"Enggak kok, dia bantuin gue tadi."
"Serius? Dia? Ricky? Si biang kerok sok playboy itu?"
Imagenya memang sudah hancur lama, jadi, jika dia berbuat baik, mungkin tidak akan ada yang percaya, selain para siswi-siswi yang mengejarnya. Aku saja tidak mengerti, kenapa sampai mereka jatuh hati dengan Ricky. Tampan bukanlah satu-satunya jawaban atas pertanyaanku itu, kan?
"Ta, kecilin suara elo, nanti dia bisa denger." bisikku,
"Awas aja kalau dia ngapa-ngapain elo, gue akan buat perhitungan ama dia."
"Sok jagoan lo Ta, palingan elo nanti kabur." sindir Lala. Dan semoga, mereka tidak bertengkar lagi seperti biasa.
"Rick, elo ditantangin lagi tuh ama anak Harapan Bangsa, gimana? Terima gak nih?"
Olan, si tubuh besar datang dengan nafas ngos-ngosan. Seolah Ricky adalah ketua geng mereka yang menerima laporan dari anak buahnya. Sementara Ricky? Masih santai dengan gayanya sambil menghisap batang rokok, entah sudah keberapa.
"Banci lo Rick kalau gak terima."
"Bener tuh kata Rendy, Rick. Ini pertaruhan harga diri."
Aku hanya jadi pendengar, berusaha tidak mengurusi orang-orang itu, tapi aku tidak akan tahu, bagaimana jadinya jika salah satu OSIS tahu, yang jelas OSIS itu bukan aku, karena aku paling tidak suka mengadu.
"Gue ke perpus aja deh, nanti ketemu di kelas." putusku, sebelum geng Ricky menangkap sosokku dan menjadikan bahan bullyan, lebih baik aku menyingkir.
"Yaelah apes banget kita, ada si anak aneh lagi. Yakin deh, gagal lagi, dan dia akan lapor polisi buat nangkep kita."
Ternyata, mereka sudah tahu keberadaanku.
"Bener tuh Lan, benci banget gue ama anggota OSIS. Sok banget."
"Biarkan aja, di jaman ini kan emang gitu, banyak orang yang sok suci, suka ngadilin seenaknya, sementara tugas kita, berperan jadi setan. Hukum alam, agar dunia seimbang."
Entah kenapa, ucapan Ricky menyakitiku di titik yang tak pernah aku tahu, dan luka itu, aku tak tahu bagaimana untuk melihat bahkan menyembuhkannya.
Pengadu? Aku bukan seperti itu.
@@@
Aku memang harus meluruskan semua ini, aku yakin Kak Aldi tahu semua, karena dia adalah ketua OSIS, dia yang menyuruh anak-anak OSIS kemarin untuk melerai tawuran antar sekolah. Atau, apakah memang mereka sengaja menjadikanku kambing hitam atas semuanya?
Aku mengurungkan langkahku menuju perpus, tujuanku sekarang ruang OSIS, ruang yang beberapa hari ini sepi, entah kenapa.
"Hay, Lam." sapa Sekar, teman sekelas sekaligus teman OSISku. Sudah sepuluh hari ini dia tidak masuk karena sakit, dokter yang merawatnya mengatakan jika Sekar terlalu banyak fikiran. Dan aku tahu, apa sebabnya dia seperti itu, ya sekolah ini, dan seluruh penghuninya.
"Di mana Kak Aldi? Lo tahu?" Sekar menoleh, menunjuk ruang bersekat di ujung ruang OSIS.
"Rapat, ama Maya." jawabnya.
"Elo?"
"Gue harus ngetik ini."
"Biar gue bantu, ya."
Mana mungkin aku tega, membiarkan Sekar mengetik tumpukan berkas itu sendiri? Sekar baru sembuh, dan Kak Aldi sudah tega memberikan tugas begitu banyak. Aku tahu, perilaku buruk ini bukan hanya Kak Aldi saja yang melakukannya, tapi semua, karena Sekar, tak ubahnya sepertiku, juga Rian. Menjadi korban bully-an dan dimanfaatkan orang-orang.
"Nilam, elo dateng?!" Maya terkejut, melihatku duduk bersama Sekar, seharusnya dia tak menampilkan ekspresi seperti itu. Meski aku tahu, siapa orang yang meninggalkanku sendiri waktu itu.
Ya, aku dijebak mereka.
"Kak Aldi, Maya, bisa bantu kami? Dokumennya banyak yang harus diurus."
"Tapi gue repot, Lam. Gue harus ngurus yang lainnya."
Alasan.
"Gue juga sama kayak Kak Aldi. Gue harus meriksa gedung olahraga."
Aku tak percaya.
"Tapi ini –"
"Yaudah ya Kak, gue pergi dulu."
Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Maya seolah menghindar, bahkan dia tak mau bertatap mata denganku. Aku tahu, dalam lubuk hatinya dia menyesal, atau merasa bersalah, mungkin.
"Kak Aldi."
"Ada apa lagi sih? Lo manggil mulu!" tanyanya marah,
Pantaskah dia marah?
"Soal insiden itu, apakah Kakak yang memanggil polisi?"
Dia diam, tidak menanggapi pertanyaanku, seolah ucapanku hanyalah angin lalu, dan jujur, itu membuatku sedikit kecewa. "Apa Kak Aldi yang jadiin gue kambing hitam waktu itu? Maksud gue, kalian sengaja nyuruh gue kemudian bersembunyi? Apa itu –"
"Bukan! Kenapa sih lo masih ngebahas hal ini?!"
Bohong! Aku tahu dia berbohong,
Bahkan matanya tidak bisa menampik jika dia tengah berbohong, bagaimana bisa, dia mengorbankan satu anggotanya untuk jadi bulan-bulanan preman sekolah karena hal seperti ini?
"Gue gak percaya, gue yakin Kak Aldi –"
"Kalau iya kenapa sih, Lam? Masalah banget buat elo?!"
Ya tentu, karena semenjak saat itu mereka lebih membenciku dari sebelumnya.
"Gak usah ribet deh, lagi pula, gue yakin kok. Mereka gak akan ngapa-ngapain elo, karena elo itu cewek! Jadi, cukup terima nasib aja kalau mereka ngeledekin elo, gak bakal berani mereka mukul elo, karena gue yakin, mereka gak akan mau disebut banci, ngerti?! Ganggu aja!"
Dia pergi, sambil membanting pintu dari luar. Sementara Sekar, dia menguatkanku dengan menggenggam erat pundakku. Mana mungkin dia akan membelaku seperti Lala? Karena aku tahu, Sekar tak ubahnya sepertiku, manusia yang tak akan pernah bisa membela haknya.
"Gue denger kabar itu, dan gue gak percaya mereka ngelakuin ini, Lam. Elo yang sabar ya, gue yakin kok, Ricky dan teman-temannya gak akan lama gangguin elo, percaya deh."
Ya, semoga, meski aku tidak yakin apakah itu benar atau tidak. Meski aku tidak yakin, mereka akan dengan cepat melupakan masalah ini atau tidak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top