Another Girl
Kuberanikan langkahku untuk mendekat. Ricky tiba-tiba berdiri dari janjangnya. Berjalan ke arah lemari kemudian memungut kaus abu-abu dan mengenakannya. Dia benar-benar mengabaikanku. Dan, tidak melihat aku ada. Sampai di mana kini aku berdiri tepat di sampingnya.
"Ricky gue butuh dijelasin." kataku pada akhirnya. Kuremas kedua tanganku yang bergetar. Takut jika dia akan melemparku dengan vas bunga, buku-buku, atau benda-benda lainnya.
"Pergi, Nilam. Sebelum gue hilang kendali." ucapnya lirih. Dia duduk lagi di atas ranjangnya.
Beberapa anak rambunya yang mulai memanjang, terurai di keningnya. Menutupi alis tebal Ricky yang terbingkai wajah kusut miliknya.
"Gue nggak mau pergi. Gue mau di sini, nemenin elo."
"Gue nggak butuh ditemenin pengecut." aku diam, saat dia berucap seperti itu lagi padaku. Ya, benar... aku memang pengecut. Tapi, bisakah pengecut ini dimaafkan?
Aku masih berdiri, memandangi Ricky yang ada di depanku. Dia masih dengan kondisi itu. Duduk miring dan enggan menatapku. Seolah-olah, gorden yang tertutup rapat adalah lukisan yang maha indah. Sampai dia terpana dan tidak bisa memalingkah wajahnya dari sana.
"Sebenernya, elo yang pengecut, Rick!" seru seseorang dari arah pintu.
Aku terkejut, saat Arya ada di sana. Kupandangi lagi wajah Ricky. Dia menatap ke arah Arya dengan tak suka. Kemudian memandang ke arahku. Wajahnya mengisyaratkan jika dia sangat terganggu.
Mata Ricky terus aktif, melihat luar pintu yang ada di sampingnya. Entah siapa yang dia cari. Tapi, dia seperti mencari bantuan untuk mengusir kami.
"Om Irawan ada tugas. Dia nyuruh gue jagain elo. Di sini." ucap Arya lagi. Rupanya, cowok itu lebih mengerti Ricky. Dari padaku.
Arya berjalan maju. Ricky langsung membuang muka tidak sukanya. Memalingkan muka dan diam tanpa kata.
"Rick, gue butuh dijelasin." kataku lagi membuka suara. Ricky masih enggan bersuara.
"Mau sampai kapan lo kayak gini, Rick? Bukan hanya Nilam. Gue juga butuh penjelasan dari lo."
"Gue nggak ingin. Pergi." kata Ricky setelah beberapa saat kediamannya.
Ruangan kembali hening. Menyeruakkan hawa dingin yang mencengkam dari AC kamar Ricky. Bahkan, detakan jarum jam terdengar seperti detuman genderang perang.
"Apa lo ingin, hubungan lo ama Nilam berhenti sampai di sini hanya karena sebuah kesalah—pahaman yang gak pernah mau lo jelaskan? Sama seperti hubungan kita, dulu?"
Rasanya, aku ingin menyentuh pipi Ricky dengan kedua tanganku. Dan memeluknya dengan erat. Mata yang selalu sendu itu terlihat semakin sendu. Bahkan, lentiknya bulu mata Ricky kini mengangguku. Aku ingin, Ricky mendongak. Aku ingin Ricky memandang ke arahku pun Arya. Dan, aku ingin Ricky mulai terbuka kepada kami. Kami hanya butuh kejujuran Ricky. Agar kami punya alasan untuk memeluknya. Punya alasan untuk mengatakan jika semua baik-baik saja.
"Waktu itu hari sabtu..." kini, Ricky membuka suara. Pandangannya masih tidak teralih dari gorden yang ada di depannya. "Gue ama Raka sibuk main PS di rumah. Sesaat setelah itu, Raka sibuk menelfon. Sementara gue mendengar kebisingan di lantai bawah," Ricky kembali diam. Seolah ingin mengumpulkan kepingan memori yang telah hancur berantakan. Kumpulan memori yang menyakitkan.
"Gue lihat, Mama peluk kaki Papa. Dia memohon agar Papa meninggalkan selingkuhannya. Dia mencoba mempertahankan pernikahannya demi kami, anak-anaknya," Ricky tersenyum kecut. Kini, dia menunduk semakin dalam. "Tapi, Papa tetaplah Papa. Dia malah mengajak perempuan itu masuk rumah. Membawa perempuan itu masuk kamar Mama, dan menjadikan kamar Mama sebagai kamarnya. Membuang barang Mama seolah barang-barang itu nggak berguna. Papa cinta buta dengan perempuan itu. Tapi, Papa seolah lupa, jika dulu ia pernah cinta buta juga dengan Mama. Meninggalkan perasaan itu, dan mencampakan Mama," Ricky mengusap ujung matanya dengan kasar, kontras dengan bibirnya yang tersunggingkan senyum. Rasanya, aku ingin mengatakan Ricky jika dia tidak sanggup menceritakan masalah ini. Dia tidak harus bercerita. Cukup, bagian-bagian yang ingin kutahu saja.
"Gue lari, memeluk Mama yang menangis sambil memasukkan barangnya ke koper. Sejak saat itu, gue berpikir ingin ngelindungi Mama selamanya. Hanya Mama dan Raka yang gue punya selama ini. Dan, hanya mereka yang gue anggap sebagai keluarga. Yang menjadi alasan gue bisa bertahan di rumah itu, dulu." kugenggam dadaku yang tiba-tiba terasa ngilu, mendengar cerita Ricky yang menyayat hati. Tidak seharusnya, anak-anak menyaksikan hal menyakitkan seperti itu.
"Lalu, Mama bales pelukan gue. Kemudian dia berucap, jika besoknya akan pergi dari rumah. Mama nyuruh gue ikut. Tentu gue mengangguk. Karena memang dibanding dengan Papa. Gue masih milih Mama, meski nanti gue akan hidup susah. Terlebih Mama, meski gue dan Raka kembar, tetap saja sayang Mama lebih besar ke gue. Mungkin, karena dulu, gue penurut. Meski gue bukan anak pendiam seperti Raka. Lalu, di waktu bersamaan, ada seorang tamu, cewek. Dan itu semakin membuat gue bingung. Cahaya datang ke rumah, dan entah ingin bertemu dengan siapa. Karena jelas, yang dia temui bukan gue. Dan dari arah ruang TV keluarga, Raka keluar, mengabaikan gue dan Mama. Turun dari tangga kemudian menyambut kedatangan Cahaya. Dari situ, gue baru tahu, kalau Cahaya, cewek sahabat gue, ada main ama Raka, saudara gue sendiri. Gue kaget, terlebih saat Cahaya bilang mau menginap. Bagaimana bisa, seorang anak cewek nginap di rumah cowok? Apa dia nggak bilang ama Mamanya? Gue mau ngasih tahu elo. Tapi, gue bingung. Jika gue ngasih tahu elo, sama aja gue buka borok saudara gue sendiri. Tapi, kalau gue diem, hati gue berontak. Karena gue udah bohongin sahabat gue. Setelah itu, gue putusin buat cari tahu dulu. Dan, akan ngasih tahu kabar ini ke elo hari senin. Sebut aja gue pengecut waktu itu, gue lelet, gue akuin."
"Lo baru tahu kalau Cahaya selingkuhin gue, pas waktu itu?" kini, Arya memekik. Dia seolah tidak percaya. Kulihat jika dia tampak syok. Berperang dengan keyakinan yang mungkin Arya pikir jika Ricky mengetahui itu sejak lama. Namun nyatanya, tidak seperti yang dia kira.
"Iya," jawab Ricky. "Saat itu gue langsung telfon..." katanya menggantung, dia memandang ke arahku dengan tatapan bingung. "Gue langsung telfon Nilam buat tanya. Pura-pura nanyain Cahaya dan sedang pergi ke mana. Nilam bilang, kalau Cahaya sedang izin menginap di rumah teman. Ada pesta piama di sana."
Kuabaikan rasa aneh yang menjalar di tubuhku, saat nama itu disebut Ricky. Ya, sudah jelas semua terkaanku. Nilam, cewek Ricky dulu. Nilam yang dikenal Mama Ricky. Dan, Nilam... bukan aku.
Seharusnya aku tidak boleh cemburu dengan masa lalu. Tapi, melihat cara Ricky menyebutkan nama itu, hatiku ngilu. Masih ada cinta yang teramat dalam di mata Ricky, untuk Nilam. Dan, bukan Nilam aku.
Arya mengumpat marah, dia mengepal tangannya kemudian meninju tembok kuat-kuat. Aku tahu, dia kecewa, terlebih mengetahui jika dulu, cewek yang begitu dia cinta telah mendua.
"Nilam, dan Cahaya saudara?" tanyaku yang baru sadar. Ricky mengangguk, meng—iya—kan ucapanku.
"Mereka kembar, sama seperti gue dan Raka." kututup mulutku spontan. Kembar? Kuulang kembali otakku ke beberapa waktu yang lalu. Saat Ricky bercerita dengan kenapa dia dan Arya sampai bertengkar. Rupanya, karena Cahaya kembaran Nilam, itu sebabnya Raka seolah terobsesi dengan wajah kembar Cahaya yang sama seperti wajah cewek saudara kembarnya? Kenapa, Raka berpikiran sepicik itu.
"Paginya di hari minggu. Gue terlambat bangun. Tapi, kuping gue cukup peka mendengar klakson mobil dan pertikaian kecil di depan rumah. Mata gue melebar, saat lihat kalau Mama sudah rapi dengan pakaiannya. Sementara gue, ditinggal sendiri. Terlebih di sana, ada Raka. Hati gue hancur lihat itu. Bagaimana bisa Mama ninggalin gue. Apa karena gue telat bangun? Itulah yang gue pikirkan. Buru-buru gue ambil beberapa pakaian, tanpa mandi gue langsung turun mencoba menemui Mama. Tapi sayang, mobilnya sudah melesat pergi meninggalkan rumah. Gue ditinggal Mama," Ricky tersenyum kecut kemudian menunduk lagi. Menggenggam kedua tangannya.
"Kenapa bukan gue? Kenapa Raka? Jika harus ada yang bersama dengan Papa, itu Raka, bukan gue. Gue yang paling ngerti Mama. Bahkan, gue yang paling ngerti jika Mama alergi dingin, alergi udang, terlebih... gue yang paling tahu bunga kesukaan Mama. Tapi, kenapa Mama milih Raka? Gue masih nggak terima, gue ambil motor dan mencoba mengejar Mama. Gue yakin saat itu, Mama pasti salah. Mama pasti mengira jika Raka adalah gue. Atau paling nggak, Mama mungkin buru-buru sampai dia ninggalin gue. Dan, di dalam mobil... rupanya bukan hanya ada Mama dan Raka. Tapi, Cahaya juga. Dia merebahkan kepalanya pada Raka yang duduk di sebelahnya di jok belakang. Lalu, kejadian itu terjadi..." lama, Ricky kembali diam. Dia menghela napas dengan panjang. Mencoba mengumpulan kekuatan, untuk kejadian selanjutnya yang ingin dia ceritakan.
"Mama ngendarain mobil dengan kecepatan tinggi. Sampai dia hilang kendali. Karena berusaha ngehindarin mobil dia malah membanting stir dan mobilnya dengan mulus dihantam truk barang. Sementara gue... gue menyaksikan kejadian itu di depan mata kepala gue. Gue hanya bisa mematung di tempat gue. Gue hanya bisa... gue..." kini Ricky terisak. Dia menutup wajahnya dengan punggung bergetar. Kuberanikan diri untuk duduk di sampingnya, mengelus punggungnya yang bergetar. Tuhan, maafkan aku. Karena keingin tahuanku yang lancang. Seharusnya, aku tidak menyanyakan kejadian itu. Ini pasti berat untuknya. Kejadian ini pasti ingin Ricky kubur selamanya. Melihat orang-orang yang disayangi kecelakan, terlebih... tepat di depan mata kepalanya. Itu sangat menyakitkan.
"Hentikan, Rick... gue nggak mau denger lagi. Cukup." kataku. Ricky masih terisak, sementara Arya yang mengetahui penjelasan Ricky limbung seketika di lantai.
"Gue hanya bisa liat tubuh Mama yang udah nggak utuh. Gue hanya bisa liat Raka dan Cahaya terkapar di dalam mobil dengan banyak darah. Dan di saat itu juga, di tempat lain gue kehilangan sosok terpenting dalam hidup gue. Gue nggak ngerti, kenapa Tuhan begitu kejam merenggut mereka dari hidup gue. Mereka yang memberikan alasan bagi gue untuk hidup. Mereka yang gue miliki. Gue nggak terima kalau Mama dan Raka sudah mati. Bagi gue, dia masih hidup. Penolakan gue atas itu semua membuat Papa masukin gue ke psikater. Dan nuding gue dengan gangguan mental. Siapapun, gue rasa... berapapun usianya. Nggak akan sanggup, kehilangan Mama, kehilangan Raka, dan kehilangan gadis yang dia cinta dalam satu waktu yang sama. Lalu, kenapa... kenapa orang yang kehilangan itu harus gue!" aku tersentak, saat Ricky mengatakan itu. Kupandangi wajah Arya yang sedang menatapku, dia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Di saat itu juga, Nilam mengalami kecelakaan mobil, Lam. Dan Ricky nggak bisa datang buat Nilam." aku tercenung, mendengar hal itu. Jadi... bukan hanya Arya saja yang kehilangan Cahaya di hari itu? Tapi, Ricky juga?
Kupeluk tubuh Ricky yang bergetar, mulutnya kini sudah kembali bungkam. Hanya sesekali isakan yang terdengar dari sana.
Ricky... maaf, maafkan aku. Karena aku telah egois membuka luka lamamu. Karena rasa penasaranku membuatmu mengingat trauma itu. Maafkan aku.
Setelah itu yang kami bertiga lakukan hanya diam. Mencoba mencerina atas apa-apa yang baru saja terjadi. Harus bersikap bagaimana, dan harus berbuat apa. Rasanya, detakan jarum jam yang hanya bisa mengerti kami. Entah itu karena lama, ataukah karena imaji saja. Perlahan, emosi yang meletup-letup mulai sirna.
"Gue butuh sendiri. Gue mau istirahat. Lelah." putus Ricky pada akhirnya.
Aku ingin membantah. Tapi, pundakku digenggam Arya untuk tidak membantah. Iya, Arya benar. Saat ini yang dibutuhkan oleh Ricky hanyalah, waktu untuk sendiri. Waktu untuk mengobati lukanya di hati.
"Kami balik dulu. Besok... gue balik lagi, Rick!" seru Arya. Ricky langsung mengacuhkan kami. Kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang sampai kami menghilang.
==000==
"Kenapa selama ini lo bilang kalau Ricky ngebunuh Cahaya, Ar? Kenapa lo berpikrian sejauh itu?" kini, aku dan Arya berada di satu mobil. Dan, aku duduk di samping Arya yang tengah menyetir.
Arya memandang lurus-lurus ke jalan raya. Kemudian sesekali ke arah spion mobilnya. Sebelum dia menjawab pertanyaanku.
"Malamnya sebelum kejadian naas itu. Ricky sempet nelfon gue. Awalnya, kami bicara kayak biasanya. Lalu, tiba-tiba, sebelum dia nutup telfon. Dia bilang, bagaimana kalau ada orang yang berusaha ngerusak persahabatan ini, hubungan erat ini? Apa dia harus melenyapkannya, meski harus membuat orang itu mati. Itu sebabnya, pas gue denger kabar Cahaya mengalami kecelakaan bersamaan dengan Raka. Pikiran gue hanya tertuju pada Ricky. Terlebih, waktu itu. Ricky seperti patung yang hanya diam tanpa meneteskan air mata sedikit pun. Saat gue menemuinya, dia marah... melempar kesalahan pada gue, sambil bilang, karena gue dia sampai membuat saudara dan Mamanya meninggal. Ucapan Ricky ambigu saat itu, Lam. Itu sebabnya gue berpikir macam-macam. Dan setiap kali gue minta penjelasan, Ricky selalu ngehindar. Ricky langsung hilang ditelan bumi," Arya diam sejenak. Dia menghentikan mobilnya saat berada di lampu merah. Memberikan beberapa uang kepada pengamen, kemudian menutup kaca jendela mobilnya lagi.
"Lalu, hari ini, gue baru sadar satu hal. Mama Ricky nggak salah. Mama Ricky berusaha ngajakin dia. Bukan Raka. Hanya saja, rupanya Raka tamak akan hal itu. Mungkin, ingin merebut perhatian Mamanya dari Ricky. Gue baru sadar sekarang, dulu, gue kira yang meninggal itu Ricky, bukan Raka. Melihat kemeja kasukaan Ricky dipakai Raka, terlebih, topi yang dikenakan Raka itu milik Ricky. Ada sulaman benang nama Ricky di sana. Lo nggak tahu, Lam... Ricky dan Raka itu kembar identik. Lo nggak bakal bisa bedain kalau hanya liat wajah dan postur tubuhnya aja."
Aku menunduk, mencerna ucapan Arya yang baru saja kudengar. Banyak hal yang baru kutahu. Tentang Ricky, dan masa lalunya. Lalu, Nilam?
"Lalu, dari mana lo tahu kalau saat itu Nilam kecelakaan, Ar?" tanyaku penasaran. Dia tampak panik, kemudian tersenyum kaku.
"Kenapa lo bahas dia?"
"Gue hanya... penasaran." jawabku jujur.
"Waktu itu, gue sedang ama dia. Nanyain dia kenapa sifat Cahaya berubah ke gue. Nilam bilang nggak tahu, seharusnya, gue percaya dengan hal itu. Tapi, gue terus memaksanya. Saat itu, sepertinya Nilam sedang mendapat panggilan mendesak. Dia minta gue untuk anterin ke rumah sakit. Papa dan Mamanya ada musibah, katanya. Entah, benang merah apa yang membuat Ricky dan Nilam mengalami musibah yang sama. Gue udah bilang ama dia suruh nunggu, gue mau ambil motor. Tapi, dia nggak sabaran. Berlari menyeberang jalan tanpa lihat kanan—kiri. Sampai akhirnya, tubuh kecilnya ditabrak sebuah mobil, Lam. Gue yakin, kejadian saat itu yang gue liat, sama persis seperti kejadian yang Ricky liat. Dengan orang yang berbeda, dan tempat yang berbeda dalam waktu yang sama."
"Nilam... apakah dia meninggal juga, Ar? Jadi... jadi dalam satu waktu itu, keluarga Nilam meninggal semua?" tanyaku mulai prihatin. Arya hanya menunduk. Dia tidak membalas pertanyaanku. Diamnya, kuartikan dengan kata 'ya'.
Kuambil lagi kepingan-kepingan memoriku. Mencoba menggali lebih jauh apa saja yang belum kutahu. Aku ingin tahu Ricky, apapun itu. Baik—buruknya, masa lalunya, bahkan semua kenangan yang ada di dalam otaknya. Aku ingin tahu semua! Agar aku tidak bodoh lagi mengambil sikap. Agar aku tidak menyakitinya lagi semakin dalam. Terlebih, agar aku bisa berhadapan dengannya untuk bisa meminta maaf. Aku butuh alasan untuk itu. Aku butuh topangan untuk menguatkanku. Akan Ricky, yang membuatku takut untuk mendekatinya.
Ini bukan jenis ketakutanku seperti biasa sama dia. Ketakutanku adalah rasa takut karena rasa bersalah. Karena telah menyakiti dia, lagi... dan lagi.
"Lalu... lalu yang dikatakan Alex waktu itu?" tanyaku lagi. Mengingat saat teman Sekolah Arya juga pernah mengatakan jika Ricky pembunuh.
"Alex?" tanya Arya bingung.
"Alex, anak Sekolah elo." jawabku. Dia tampak berpikir, kemudian memekik. Menghentikan mobilnya dengan tiba-tiba, membuat kendaraan yang ada di belakangnya menyembunyikan klakson kuat-kuat.
"Dari mana lo tahu tentang Alex?" selidiknya.
"Dia pernah ngomong ama Ricky waktu ada gue di sana." wajah Arya menegang, dia mengusap wajahnya dengan gusar. Aku yakin, ada hal tersembunyi juga yang dia berusaha sembunyikan.
"kenapa, Arya? Jelasin ke gue. Lo butuh kejujuran, tapi lo nggak mau jujur." kataku setengah memaksa. Setelah Arya menjalankan mobilnya, dia mencari tempat untuk menepi. Kemudian menghela napas beberapa kali.
"Itu... Ani," kata Arya pada akhirnya.
"Ani beneran dibunuh Ricky?"
"Bukan!" jawab Arya cepat. Aku semakin tidak mengerti, kenapa wajah Arya setegang itu.
"Lalu?" desakku lagi. Arya menundukkan kepalanya, kemudian mengusap wajahnya lagi. Menghadap ke arahku kemudian memegang kedua bahuku.
"Oke... oke... gue akan cerita. Tapi, gue mau bilang sesuatu hal ama elo. Agar lo nggak salah paham."
"Apa?"
"Ricky cowok setia, Nilam. Di hatinya hanya ada satu cinta. Lo tahu, kan? Dia tipikal cowok yang nggak mungkin ngekhianatin cewek. Dia itu setia, asal lo tahu." iya, satu cinta dan itu Nilam. Bahkan, dia sampai menjadikanku pelampiasan obsesinya hanya karena namaku sama dengan nama masa lalunya.
"Jelasin, ih!" kataku tidak sabaran. Arya menghela napas lagi. Aku tidak tahu, hal apa yang terjadi antara Ani—dan—Ricky sampai-sampai membuat Arya frustasi.
"Itu salah gue... Ricky nggak salah apa-apa. Gue yang maksa dia dengan dalih taruhan waktu itu," kata Arya mengingat-ingat.
"Ani kakak kelas kami. Dia terkenal cantik waktu itu. Dan terlebih..." Arya melirik ke arahku. "Ah gue nyerah! Gue nggak bisa ceritain ini, Nilam! Lebih baik elo nggak tahu, ya? Ini, kan, hanya masa lalu. Yang jelas sekarang, Ricky hanya sayang ama elo. Titik!"
"Jadi, dulu... Ricky sayang Ani? Ricky menduakan Nilam, begitu, Ar?"
"Bukan! Eh... gimana gue ngomongnya ya, kok bingung," Arya menggaruk tengkuknya. Celingukan kesana—kemari.
"Ani jatuh cinta ama Ricky, itu yang temen-temen kami tahu dulu. Hanya Nilam rasanya yang enggak tahu masalah itu. Bahkan, Ani sering ntarktir kami saat di kantin dengan dalih bisa dekat dengan Ricky."
"Lalu?"
"Lalu... suatu saat, Ani deketin gue. Minta saran ama gue gimana supaya Ricky mau ama dia. Ricky emang gitu kalau ama cewek. Meski cewek itu cantik tapi tetep aja dia sok kegantengan. Ogah-ogahan dan bersikap cuek. Gue yang gemes akhirnya kasih ide buat Ani. Sementara, gue bantuin Ani dengan cara yang lain."
"Lo bantuin Ani? Lo tahu, kan, saat itu Ricky udah ada Nilam? Lo kok jahat sih, Ar!" meski Nilam masa lalu Ricky, meski Nilam jika hidup pasti akan dengan mudah merebut posisiku. Tapi, tetap saja, aku tidak rela. Bagaimana bisa seorang cewek dipermainkan seperti ini?
"Awalnya gue hanya main-main aja, sumpah! Gue bilang ama Ricky, kalau mau taruhan ama gue. Yang menang dapetin PS yang saat itu sedang diinginkan Ricky. Gue tahu Ricky bisa beli dengan mudah. Tapi, gue juga lebih tahu kalau Ricky pecinta tantangan. Nah, tantangan dari gue..." Arya kembali menimbang, apakah dia mau melanjutkan ucapannya atau tidak.
"Denger ya, Nilam. Gue nggak nyuruh Ricky selingkuh, kok, sungguh! Gue hanya nyuruh Ricky buat... buat..."
"Arya!"
"Buat deketin Ani dan ngasih apa yang Ani mau!" pekik Arya kemudian menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan. "Sumpah, gue nggak bohong, gue nggak maksud jahat, Nilam. Sumpah!"
"Lalu, apa yang dilakukan Ricky?" tanyaku yang kini tanpa emosi.
Seharusnya... aku tak bertanya....
"Dia mulai ngeladenin Ani, sering jalan bareng, bahkan... sering main ke rumah Ani."
"Terus?" tanyaku saat Arya takut-takut menatap ke arahku.
"Terus, terus ya nabrak, lah!" katanya frustasi. "Please... gue nggak bisa lanjutin ini."
"Ricky benar-benar jatuh cinta ama Ani?" Arya diam, seolah apa yang kutanyakan itu benar.
"Nggak sampai gitu, kok. Ricky dulu mungkin ngerasa berada di zona nyaman ama Ani. Terlebih, kan, Ani selalu gue kasih tahu untuk gimana-gimana menjadi tipikal cewek yang disukai Ricky. Kayak Nilam. Sampai di mana hari itu terjadi, Nilam hampir mergoki Ricky yang sedang... sedang..."
"Sedang apa, Arya, ih!"
"Sedang ciuman ama Ani di kelas. Maafin gue Nilam, maafin gue. Gue jahat!" ampunnya.
"Maaf itu bukan ke gue, tapi... ke... Nilam." kataku menggantung. Hatiku jadi sakit juga mendengar hal itu. Jadi, selain Nilam yang begitu diagungkan Ricky, rupanya Ricky punya masa lalu seperti itu dengan cewek lain?
"Sejak saat itu gue yang ngerasa bersalah berusaha ingetin Ricky agar nggak keblablasan ama Ani. Ini hanya permainan, bukan seriusan. Ricky bilang iya, tapi nyatanya nggak sama."
"Jadi, mereka sering seperti itu? Ciuman?" tanyaku makin penasaran. Arya mengangguk, kemudian merebahkan wajahnya di setir mobil.
"Setahu gue, gitu. Sempet gue ribut ama Ricky, dia marah besar ke gue. Lalu, pada akhirnya, meski sampai kecelakaan itu Nilam nggak tahu apapun. Tapi gimana, namanya hati cewek pasti ada yang ngerasa, kan, kalau cowoknya berubah. Di situ, gue sebagai saksi pas Nilam nanyain itu ke Ricky. Dia tanya, kenapa Ricky mulai berubah, kenapa Ricky mulai ngejauh. Dan, jika memang sudah lelah, kenapa nggak berhenti aja. Milih jalan masing-masing."
"Ricky mau?"
"Gue, kan, udah bilang. Ricky cinta mati ama Nilam. Mana mau, lah! Ricky maksa Nilam untuk balik dan minta maaf. Abis itulah dia langsung bilang ke Ani kalau selama ini hanya dijadikan bahan taruhan ama gue. Ani yang gak terima, beberapa hari nggak masuk Sekolah. Kemudian, kabar mengejutka itu terdengar. Ani meninggal, bunuh diri."
"Kalian bener-bener gila, Ar!" marahku saat tahu apa yang terjadi pada Ani. Ternyata, ini bukan hanya tentang hati Nilam, tapi hati Ani juga. Hati semua cewek yang dipermainan cowok-cowok jahat seperti mereka.
"Lo tahu, perasaan cewek itu tulus, Ar. Saat mereka cinta ama cowok, mereka pasti akan cinta sepenuhnya. Hati cewek bukan tempat permainan, yang bisa para cowok mainin gitu aja. Kenapa kalian tega ngelakuin ini? Bohongin Nilam, kemudian nyampain Ani. Apa lo pikir, kalian udah jadi hebat setelah melakukan itu, Ar? Apa kalian bisa membanggakan diri? Mungkin itu karma untuk Ricky, kenapa dia bisa kehilangan Nilam. Karena dia sudah membuat seorang cewek kehilangan harapan karena sakit hati."
"Nilam lo nggak pantes bilang gitu."
"Lalu, gue harus bilang apa, Ar?"
"Seharusnya Ani tahu masalah ini. Saat kami nyusun rencana dulu. Toh, waktu itu, gue menceritakan tentang siasat gue buat jadiin dia tarohan. Mungkin, karena dia merasa udah dapetin Ricky. Itu sebabnya saat Ricky menjauh dia jadi hilang kendali. Obsesinya membuat dirinya lupa diri, Nilam."
"Entahlah." aku langsung melipat kedua tanganku di dada kemudian diam.
"Lo marah?" tanya Arya hati-hati.
"Hmm...." jawabku.
Entah aku harus bagaimana. Pikiranku buntu dengan semua ini. Mengetahui kenyataan menyedihkan Ricky. Namun, sekarang mengetahui hal seperti ini.
Aku memang tidak pantas menghakimi Ricky dengan masa lalunya. Terlebih, masa lalu itu ia belum bertemu denganku. Hanya saja, sifat Rickylah yang membuatku tidak bisa percaya sepenuhnya dengan dia. Jika dulu, dia mampu melakukan kecurangan itu pada Nilam, cewek yang begitu dia cinta. Lalu, denganku pasti dia bisa melakukannya kapan saja.
"Kami ini cowok, Nilam. Waktu itu kami masih remaja, rasa penasaran akan gelora yang membakar dada itu kuat. Terlebih... rasa pensaran dengan cinta dan cewek. Rasa ingin tahu, dan—"
"Gue tahu. Gue mau pulang, ya, Ar. Gue capek."
Semuabayanganku tentang Ricky kenapa seolah berputar berbalik. Dulu... memang, akumengira jika Ricky tipikal cowok yang suka memanfaatkan cewek. Tapi, kali ini,semuanya lebih tidak masuk akal lagi. Aku tidak percaya, jika hubungan yangkatakanlah hanyalah ciuman saja bisa membuat seorang cewek bunuh diri. Apa itulebih dari ciuman? Lalu... perasaan apa yang sebenarnya ada di hati Ricky untukAni? Bagaimana perasaannya saat Ani meninggal waktu itu? Apakah di ujunghatinya meski secuil saja tidak patah? Aku tidak percaya, jika dia tidakmemiliki rasa apapun pada cewek yang sering dia cumbu. Karena aku tahu, Rickyselalu membentengi dirinya pada cewek. Ricky tidak bisa dengan mudah jatuh ketangan cewek. Dan kenapa, semua itu semakin membuat hatiku... remukYv*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top