Another Face
Hari ini adalah hari senin. Seperti biasa, upacara bendera akan segera dimulai. Dan... seperti biasa pula, Kak Aldi menyuruhku untuk berjaga di belakang. Lagi... aku tak bisa membantah perintahnya. Terlebih, melihat wajah menyeramkannya pun Mila. Kedua orang itu rupanya, tak segan-segan untuk membuatku menderita.
"Huh!" dengusku setengah mengembuskan napas berat.
Jujur aku takut jika nanti akan ada anak badung yang melompat pagar. Jika itu Ricky, pasti aku akan sedikit mengomelinya. Namun, jika itu kumpulan Kak Biru pun Kak Niko, aku bisa apa?
BUKKK!!!
Setengah melompat aku mundur mendengar suara seperti seseorang yang terjatuh. Apa Ricky? Jika iya, dia pasti sudah menyapa. Namun, kenapa orang itu diam saja? Kulirik belakang tubuhku, rupanya Kak Niko sudah berdiri di sana dengan tampang menakutkannya. Wajahnya memang tidak cukup menyeramkan, tapi... aura dingin dan tatapannya yang tajam membuatku takut.
"Lo..." katanya, berjalan mendekat ke arahku. Mau tak mau aku mundur juga, tapi dia berhenti. Memiringkan wajahnya sambil berdecak. Bahkan... rambut gondorngnya terlihat jelas menutupi sebelah mata. "Lo mau laporin gue ke Guru?" tanyanya.
"Kakak kan telat." jawabku, aku tak mungkin diam saja melihat suatu yang tak benar, kan? Bukankah tugasku di sini memang untuk menjaga pagar belakang agar tidak ada anak-anak badung yang bisa lewat? Terlebih... Ricky pun dulu, aku melaporkannya ke Guru piket. Lalu, apa masalahnya?
"Lo berani ngelaporin gue?" tanyanya lagi. Kini tubuhnya tepat berada di depanku. Dada bidangnya begitu tegap seolah menantangku.
"Kakak salah."
"Berani sekali lagi lo bilang kalau gue salah... gue robek mulut lo itu, gue potong rambut kribo lo yang mengerikan itu, dan... gue akan beri pelajaran sama cowok lo yang songong itu, paham?!" ancamnya, berbisik di telingaku. Bahkan, napasku terasa hilang karena ucapan Kak Niko. Jujur... setelah Ricky, aku merasa takut dan itu dengan Kak Niko. Benar saja, dia sering keluar—masuk penjara karena ulah badungnya. Tapi, dia masih bisa bebas bersekolah hanya karena Papa Kak Niko seorang pejabat.
"Lo tahu perbedaan lo sama banci, Kak..." kutoleh rupanya sudah ada Ricky, yang masih mengenakan tas punggungnya berdiri bersandar di pagar yang ada di sini kananku. Mata sendunya menyipit, tapi masih terlihat begitu tenang. Dia tersenyum miring, kemudian menatap ke arah Kak Niko dengan begitu dingin.
"Kalau banci mulutnya ember kayak cewek, kalau elo... beraninya ngancam cewek. Tapi selebihnya, kalian sama... sama-sama nggak punya nyali buat nunjukin jati diri. Ck! Malu-maluin."
"Berengsek lo, Rick!" dengus Kak Niko.
Aku harap, tidak akan terjadi pertengkaran pun perkelahian di sini. Sebab, aku tak ingin Ricky dalam masalah apapun. Ini adalah semester baru, dan aku ingin Ricky bersikap manis. Entah itu kepada para siswa pun Guru.
"Nilam cewek gue, dia adalah milik gue. Nggak akan gue biarin cowok mana pun menyentuh bahkan menyakitinya. Jika nggak, akan gue buat siapapun itu merasakan hidup seperti di neraka. Jika perlu, gue akan kuliti wajahnya sampai mereka nggak bisa mengenali dirinya sendiri." meski Ricky mengatakan itu dengan begitu tenang, tapi entah kenapa. Bulu romaku berdiri semua. Dia langsung menarik tanganku kemudian mengajakku pergi. Sementara Kak Niko, melayangkan sumpah serampahnya untuk Ricky.
"Rick...." kataku, menghentikan langkahku kemudian menarik tanganku agar dia tak menariknya lagi. Dia berhenti, tapi masih memunggungiku. Seolah enggan untuk memandang ke arahku. Aku tahu, dia sangat marah sekarang. Tapi, seharusnya akulah yang marah.
"Lo nggak perlu jaga di sana," katanya pada akhirnya. Dia membalikkan badannya, mata cokelatnya itu menatap tepat di manik mataku. "Lo hanya boleh ada di sana jika gue yang telat, tapi nggak untuk cowok manapun!" marahnya. Aku tak tahu, kenapa dia marah seperti itu.
"Lo nggak perlu belain gue, Rick. Itu salah, gue bisa laporin dia ke Guru. Gue—" kataku terputus, jari telunjuknya menempel manis di bibirku. Kemudian dia mencium jari telunjuk yang telah ditempelkan pada bibirku itu.
"Manis..." bisiknya, dengan seringaian yang tidak bisa aku artikan. "Gue nggak bisa, hal yang manis buat gue dirasakan juga oleh cowok lain. Dan satu lagi, Nilam. Jika lo nggak mau gue bantu, lo harus bisa jaga diri lo sendiri. Kalau nggak, bukan hanya Kak Niko... bahkan gue sendiri bakalan bully lo di semester baru ini."
Apa yang terjadi padanya?
Apakah hubungan kami selama ini hanya mimpi? Ataukah Ricky sudah kehilangan ingatannya tentangku? Bagaimana dia bisa berbicara seperti itu? Dia sedang mengancamku, kan? Apa dia benar-benar Ricky? Rickyku?
Kulihat punggungnya menghilang dari pandanganku, dan saat itu pula mataku terasa panas. Dia tidak ikut upacara bendera, itu sudah menjadi hal yang biasa. Tapi kata-katanya.... Bahkan, baru semalam kami berpelukan. Baru semalam dia memberiku bunga mawar beserta potnya. Lalu, untuk apa dia menyuruhku merawat bunga mawar itu seperti cintanya, jika sifatnya berubah-ubah seperti itu. Mengacuhkanku dan kadang-kadang terlihat begitu mencintaiku.
"Ada apa, Nilam?" tanya Pak Warto—Guru piket hari ini. Kuedarkan pandanganku rupanya Kak Niko masih ada di belakangku. Bagaimana jika Pak Warto tahu?
"Niko! Kamu telat?" tanya Pak Warto. Mengangkat tongkat kayu yang ada di tangannya mendekati Kak Niko. Aku buru-buru berlari di depan Pak Warto kemudian menghentikan langkah Pak Warto. Tidak seperti ini, aku tidak mau ada kekerasan lagi. Jadi... bisakah aku berbohong? Meski itu hanya sekali.
"Kak Niko nggak telat kok, Pak! Dia tadi mules di WC. Pas ada bel dia mau upacara. Tapi, dia tidak jadi ke lapangan karena melihatku jatuh di sini. Ini....!" tunjukku pada goresan yang ada di lengan. Untung saja, tadi pas berangkat sekolah lenganku tergores kawat dari dapur Tante Rosi.
"Benar seperti itu?" selidik Pak Warto.
"Pak, saya—"
"Iya, Pak! Saya tidak bohong!" seruku memotong ucapan Kak Niko. Aku tahu, dia sekarang bingung. Dapat kulihat dengan jelas ekspresi kebingungannya.
"Ya sudah... Bapak percaya padamu, Nilam. Sebab, Bapak tahu kalau kamu siswi yang jujur. Cepat suruh Rian mengobati lukamu, itu bisa infeksi."
"Iya, Pak." jawabku. Pak Warto kemudian pergi dari tempat itu. Menyisakanku dan Kak Niko berdua dalam keheningan.
"Kenapa?" tanyanya pada akhirnya setelah dia diam.
"Apa?"
"Kenapa lo bantuin gue?" tanyanya lagi. Aku tersenyum, aku juga bingung. Kenapa aku harus susah-susah bantu dia. Seharusnya, aku jujur saja tadi. Mengingat Kak Niko adalah orang yang telah menyakitiku berkali-kali. Tapi, hati nuraniku menolak hal itu.
"Nggak apa-apa." matanya mengecil saat mendengar jawabanku. Sepertinya dia terkejut. Dia tersenyum kaku sambil menyibak rambutnya yang menutupi mata. Kemudian menggaruk tengkuknya dengan aneh.
"Dasar cewek aneh!" serunya, mengacak rambutku sekilas kemudian pergi. Bukankah, dia yang aneh?
@@@
Jam pertama hari senin adalah pelajaran Bahasa Inggris. Itu berarti Guru paling killer di Sekolah akan menjadi penguasa selama pelajaran. Siapa lagi kalau bukan Bu Marita, yang bahkan... sebelum pelajaran dimulai pun, beliau sudah memberi kami tugas kelompok.
Tapi untung saja, hari ini Bu Marita tengah menghadiri rapat. Jadi, tugas kelompok menyusun makalah minggu depan sudan diumumkan Rian, tadi.
"Akhirnya, kita satu kelompok!" pekik Lala. Setiap kelompok terdiri dari 5 siswa. Dan entah ini suatu kebetulan atau apa, kelompokku ada Genta dan Lala, pun Ricky yang terakhir Bondan. Meski aku ragu jika Ricky dan Bondan akan membantu, setidaknya Lala dan Genta pasti membantuku.
"Jadi... kita ambil judul apa untuk tugas Bahasa Inggris kali ini?" tanya Genta, yang sudah membawa bukunya setelah menata kursi melingkari mejaku pun Lala. Ricky dan Bondan mengikuti Genta, meski aku bisa melihat jika keduanya seolah enggan.
"Pencemaran limbah industri, gimana?" tanya Lala memberikan ide. Genta tampak berpikir, sementara aku masih diam. Mungkin... itu sudah terlalu umum.
"Gue sih ngikut aja, kalau kalian yes... gue juga yes." Bondan memberikan suara, meraih sebatang rokok kemudian menyalakannya. Sepertinya, pengaruh Ricky sangat kuat. Itu sebabnya banyak anak badung yang tak sungkan melakukan hal itu di kelas.
"Menurut gue itu terlalu umum." kataku pada akhirnya. Genta menjentikkan jari pertanda dia setuju.
"Mumpung temanya bebas, yang penting ada kaitanya tentang sebab—akibat, kita cari yang unik aja!" seru Genta memberi ide.
"Gimana kalau dampak perselingkuhan orang tua bagi anaknya?" celetuk Ricky. Yang berhasil membuat kami sejenak terdiam. Dia tesenyum tipis seolah bisa menebak jika itu adalah ekspresi kami yang sangat wajar atas ucapannya.
"Gue bercanda, kenapa kalian seserius itu?" katanya lagi. Genta tertawa sumbang, kemudian menepuk-nepuk bahu Ricky.
"Bercanda elo, Bro... nggak lucu!" seru Genta.
"Gue nggak sedang ngelucu."
"Tapi—"
"Udah-udah... gimana kalau kita ambil anak-anak gelandangan? Bagaimana cara mengentas mereka dari kemiskinan dan kebodohan?" tanyaku. Mereka mengangguk, dan aku tak tahu apakah itu pertanda setuju apa tidak.
"Oke deh." putus Lala, Genta pun mengangkat dua jempolnya. Sementara Bondan dan Ricky? Keduanya sudah sibuk bergurau seolah mengabaikan ucapanku.
Bukankah dia pacarku?
Padahal aku pikir, setelah class meeting selesai, hubunganku dan Ricky akan semakin membaik. Namun nyatanya aku sadar, saat kita sudah mulai memasuki dunia belajar—mengajar lagi, maka batas kami pun akan terlihat nyata. Itu adalah jurang yang memisahkan kami. Sebab, cara pikir pun semuanya dari kami, berbeda.
"Rick, rokok."
"Entar aja di warung."
"Jam kosong nih, ke warung yuk!"
"Oke, sekalian ajakin anak IPS juga suruh bolos pelajaran."
"Ok!"
Apakah Ricky sudah berubah? Hanya dengan semalam dia menjadi Ricky seperti itu lagi? Ricky yang badung dan tak kukenal. Lalu... apa arti hubungan kami di matanya? Kukepal kedua tanganku kuat-kuat, aku ingin melarangnya pergi tapi aku tak bisa. Aku... hanya bisa melihat dia yang kini sudah digoda oleh cewek-cewek kelas pun kakak kelas. Aku... hanya bisa melihatnya tertawa, dan itu bukan denganku. Tapi... dengan mereka.
"Kalian bertengkar?" tanya Lala, menyikut lenganku. Aku menggeleng.
"Lo pasti abis bikin dia marah tuh." tambah Genta. Mereka kenapa jadi membela Ricky? Bukankah mereka itu sahabatku?
"Mungkin karena lomba cerdas cermat kemarin kali!" seru Lala. Ohya, aku juga lupa... bahkan, aku tak sempat bertanya tentang siapa yang menjadi juaranya. Tapi, bukankah itu sudah lewat?
"Iya... Mila rese sih, padahal kan semua orang tahu kalau Ricky yang bisa jawab soal matematika itu duluan. Eh, malah poinnya dikasih ke pihak lawan. Untung saja, Ricky bisa mengimbangi... dan akhirnya menang."
"Jadi... ada hal itu juga?" tanyaku. Keduanya mengangguk kuat-kuat.
"Pas di rumah lo, kami pengen cerita. Sekalian introgasi Ricky dan Arya. Tapi, nggak jadi karena banyak insiden itu, kan." benar juga. Padahal, awalnya rencanaku mengajak Ricky dan Arya untuk mempersatukan mereka. Akan tetapi, yang ada hanya hubungan mereka semakin buruk.
"Nilam! Gue bisa ngomong berdua ama elo!" kutoleh arah pintu. Di sana sudah ada Arya, apa yang dilakukan di sini? Bukankah urusannya sudah usai? Ataukah... ada suatu hal yang membuat ketua OSIS SMA Harapan Bangsa berada di Sekolah musuh?
Kulirik Genta dan Lala, keduanya seolah memberi isyarat untukku cepat menemui Arya. Ragu... aku datang ke sana, meski aku sempat khawatir. Jika Ricky akan salah paham, dan Ricky akan semakin marah padaku.
"Ada apa, Arya?"
"Gue mau ngomong ama elo, berdua. Dan, bukan di sini." katanya. Mimik wajah yang selalu santai dan ceria itu sudah tidak ada, yang ada hanya... mimik wajah khawatir dan serius yang terlihat nyata dari wajahnya.
Aku mengangguk, mengikuti langkahnya yang lebar-lebar. Dia mengajakku ke arah belakang kelas. Kemudian dia mengambil posisi duduk, membuatku mau tak mau mengikutinya. Duduk di sebelah Arya.
"Ada apa?" tanyaku tak sabaran.
"Ada dua hal yang ingin gue kasih tahu ke elo," aku diam, menunggunya untuk melanjutkan pembicaraan. Mungkin ini adalah hal yang berat, mengingat wajah Arya tak seperti biasanya. "Maaf ya, udah buat rusuh di rumah elo kemarin. Mereka itu tangan kanan Bokap." katanya pada akhirnya.
"Kenapa mereka mukulin elo?" tanyaku. Dia tersenyum kecut kemudian menggaruk tengkuknya. Bahkan... memar di pelipisnya masih terlihat samar-samar.
"Lo tahu bagi keluarga gue, kesempurnaan itu adalah hal terpenting dalam apapun. Terlebih untuk gue. Mereka ingin gue menjadi anak yang seperti mereka harapin. And you see, jika gue ngebantah... hal seperti kemarin adalah harga sebanding dengan pemberontakan gue."
Ya Tuhan... bagaimana ada keluarga yang seperti itu? Main pukul kepada anaknya dan melakukan hal seenaknya. Bukankah, anak adalah anugerah dari Tuhan yang harus dijaga? Bukan dengan harta saja, tapi kasih sayang pun pengertian di dalamnya. Tapi ini? Apakah keluarga Arya merupakan keluarga mafia? Sehingga ketika Arya salah mereka akan mengirim orang-orang jahat kemudian memukuli anaknya? Bukankah ini sudah melanggar hukum?
"Emangnya lo ngelakuin apa, sampai orang tua lo ngirim mereka?" tanyaku penasaran. Dia terkekeh geli kemudian menatapku dengan pandangan aneh.
"Kenapa?" tanyaku bingung. Jujur, aku sungkan jika ditatap seintim itu oleh Arya.
"Sebenarnya, kemarin itu. Gue ada janji makan malam yang direncanakan bonyok gue. Seperti makan malam perjodohan gitu deh."
"Kenapa lo malah nolak?" tanyaku. Sekarang wajahku sudah kutundukkan, karena malu.
"Karena gue nggak suka." jawabnya. Kini dia menghela napas panjangnya seolah semua hal yang dijalani adalah beban. Rupanya benar, Arya tak ubahnya Ricky. Kedua anak ini adalah korban dari kegagalan orangtuanya mengasuh. Hanya saja, Arya tipikal penurut tapi Ricky sebaliknya.
"Oh...." jawabku pada akhirnya. Sebab aku bingung, harus mengatakan apa.
"Lo nggak tanya, kenapa gue nggak suka cewek itu?" tanyanya yang berhasil membuatku mendongak, menatap wajahnya.
"Kenapa?"
"Karena gue udah suka sama elo."
"Oh...." jawabku lagi yang kini sambil menggaruk tengkukku kikuk. Dia tertawa, seolah kekikukanku adalah hal yang menyenangkan hatinya. Dia mengacak rambutku sekilas, kemudian memukul keningnya seolah melupakan sesuatu.
"Ohya... gue mau bilang ama elo hal penting! Sampai kelupaan, kan... karena liatin wajah cantik lo," katanya semangat. Aku masih diam saja, menunggunya berbicara. Cantik? Mungkin maksudnya, aneh.
"Bilangin ke Ricky buat berhenti jadi preman deh! Hari ini gue harus di sini untuk minta maaf sama Kepala Sekolah dan orangtua Mondy, menutupi kelakuan buruk Ricky sebagai balas budi kemarin. Tapi besok-besok, gue nggak janji bisa ngelakuin ini apa enggak buat cowok lo yang badung itu."
"Memangnya, Ricky kenapa?"
"Masih masalah lomba kemarin. Alex dan teman-temannya nggak terima kalau SMA kami kalah. Itu sebabnya, pagi tadi Mondy dicegat dan dipatahin kakinya. Nggak berapa lama, Mondy pergi... mungkin ngadu sama Ricky. Terus Ricky datang, awalnya dia mau bales matahin kaki Alex dan Andrew, tapi buru-buru ada gue. Jadi dia langsung pergi. Lumayan, Alex harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari karena cideranya."
"Ricky sendiri?"
"Ya, dia sendiri. Tanpa bawa apapun. Gue rasa sakit jiwanya udah semakin parah. Gue—"
Aku langsung berlari mencari Ricky, mengabaikan ucapan Arya. Kenapa seperti ini lagi? Padahal... kemarin baru saja dia berjanji untuk tidak menyakiti siapapun, tidak memukuli siapapun tanpa sebab yang jelas. Apakah, itu sebabnya suasana hati Ricky pagi tadi sangat buruk? Ya Tuhan. Kenapa dia melakukan hal ini.
"Gue yakin dia di UKS, Lam!" teriak Arya, seolah memberiku petunjuk di mana Ricky berada.
@@@
"Hati-hati, Yan. Lo mau bikin gue kesakitan?!"
"Sabar, Rick. Namanya juga luka serius. Seharusnya ini dijahit di rumah sakit. Bukan dikasih obat merah di UKS. Kalau lo kehabisan darah dan mati gimana?"
"Lebay lo, ah!" kudengar, samar-samar Ricky dan Rian sedang beradu mulut.
Kubuka perlahan pintu UKS. Ternyata benar, Ricky dan Rian sudah ada di sana. Mata Ricky menyipit melihatku. Sementara Rian masih sibuk dengan luka Ricky. Sebuah sayatan senjata tajam yang cukup dalam dari lengannya.
Kenapa aku sampai tak tahu?
Tentu saja aku tak tahu, sedari tadi Ricky mengenakan jaket hitamnya tanpa dilepas. Bahkan... dalam waktu selama itu dia menahan luka ini, dan masih terlihat santai bergurau dengan Bondan? Aku tak mengerti Ricky.
"Di UKS, nggak seharusnya lo ngerokok." kataku. Setelah mendekat kemudian ikut membantu Rian mengobati luka Ricky.
"Kenapa gue nggak boleh rokok?"
"Itu nggak baik?"
"Bagian mananya? Dia nggak nyakitin hati gue."
"Itu...."
"Setidaknya, rokok adalah kekasih yang paling setia. Karena dia nggak pernah mendua." katanya. Seperti menyindirku. Dan itu berhasil membuat Rian menatap ke arahku.
Jujur, aku tak tahu apa maksudnya berbicara seperti itu. Bahkan, aku tak merasa telah mendua dengan siapapun.
"Kenapa lo berkelahi? Bukanka lo udah janji ama gue buat—"
"Kaki Mondy patah karena mereka, Lam. Pantaslah Ricky membela temennya."
"Tapi nggak harus seperti itu?"
"Lalu bagaimana kalau—" kata Rian terhenti, saat Ricky menepuk bahu Rian.
"Udahlah diem aja. Dia nggak bakal ngerti sama persahabatan antar cowok. Biarkan dia berpikir dengan apa yang ada di otaknya."
"Tapi, Rick—"
"Biarain. Yang penting, persahabatan antar cowok nggak kayak persahabatan cewek. Manis di depan tapi busuk di belakang. Di depan manggilnya Beb, Say, Yank... di belakang maki-maki. Udah kayak permen karet aja tau nggak, manis dikunyah... kalau manisnya hilang, langsung dibuang."
"Ricky! Kenapa lo jadi nyindir ke mana-mana sih?!" marahku. Aku sama sekali tak tahu, kenapa dia bisa berbicara panjang lebar seperti itu. Terlebih, nadanya terlihat jelas menyindirku.
"Mungkin dia cemburu, Lam." celetuk Rian yang membuatku mengerutkan dahi. Cemburu, dengan siapa? Aku sama sekali tak mengerti.
"Lo cemburu? Sama siapa?" tanyaku pada akhirnya. Dia mendengus, kemudian menata rambutnya yang acak-acakan dengan santai.
"Jangan baru tanya setelah lo bercanda dengan yang lain. Cemburu nggak semenyenangkan itu." katanya ambigu. Ya Tuhan, apa aku berbuat salah lagi?
"Kan Kak Niko lo tahu sendiri, dia ngeledekin gue... sama kayak yang lain."
"Tapi gue nggak suka!" katanya, dengan nada sedikit tinggi dan itu berhasil membuatku pun Rian terdiam.
"Gue nggak suka lo deket, ngobrol dengan cowok mana pun! Elo itu milik gue, dan hanya gue yang boleh deket ama elo, ngerti?"
"Tapi Genta?"
"Kecuali Genta."
"Rian?" tanyaku lagi.
"Iya... kecuali Rian juga. Selebihnya, nggak boleh!"
"Lho... kok gitu, kita semua, kan—"
"Nggak boleh protes, titik!"
Kenapa jadi posesif?
Aku sama sekali tak tahu, bagaimana Ricky memiliki sikap yang mudah berubah-ubah dalam satu waktu. Apakah ini memang kebiasaannya dia?
Kulirik dia membuang putung rokoknya, dia sempat mencari-cari sesuatu membuatku mengulurkan sebuah lolipop kepadanya. Aku yakin, dia sebenarnya ingin merokok lagi. Tapi ditahan. Sebab, beberapa hari ini aku bahkan tak melihatnya merokok di Sekolah.
"Thanks." katanya. Aku mengangguk, sementara Rian kembali mengobati luka Ricky.
"Kenapa lo masukin ke saku bungkusnya?" tanyaku, melihat dia memasukkan bungkus lolipop itu di saku. Seharusnya, dia membuangnya, kan?
"Salah satu Undang-Undang pacaran kita, menyimpan barang pemberian pacar." jawabnya. Aku hanya bisa melongo, mendengar jawaban aneh Ricky. Bahkan... sampah dariku pun di matanya adalah hal yang berharga untuknya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top