A Girl In The Past



"Dia adalah anak salah satu rekan bisnis Papa... perempuan itu," kata Ricky setelah beberapa lama kediamannya.

Sekarang sudah malam, tapi dia mengajakku di jembatan merah yang aku tak tahu, entah di mana ini. Tapi, aku tak berani bertanya. Karena aku tahu... jika Ricky butuh ketenangan sekarang.

"Dulu... Mama selalu menyambutnya dengan kedua tangan. Menerimanya di tengah-tengah keluarga sebagai putrinya sendiri. Sebab... Mama nggak punya anak cewek. Dan... gue nggak pernah tahu bagaimana semua itu bisa terjadi. Saat gue izin pulang dari Sekolah karena sakit, dan tanpa Raka..." dia menundukkan kepalanya sambil tersenyum kecut. Meski sekarang dia tidak menangis lagi. Tapi aku tahu, hatinya pasti hancur saat ini. Sebab... dia mengenang lagi luka itu. Luka yang sekuat tenaga berusaha dia kubur dalam-dalam.

"Siang itu, gue nggak sengaja lihat Mama berlutut di kaki perempuan itu sambil menangis. Memohon agar perempuan itu melepaskan Papa, dan merelakan Papa. Tapi... saat itu Papa malah marah. Papa mukul Mama dan bilang jika perempuan itu sudah hamil anaknya. Gue yang masih kecil, hanya tahu jika gue nggak mau Mama menangis, gue yang masih kecil nggak tahu jika saat itu perempuan sialan itu telah merebut Papa dari Mama, Raka pun dariku. Sampai suatu pagi di hari minggu... Mama dan Raka hilang begitu saja dari rumah. Seharusnya gue nggak bangun kesiangan, seharusnya gue lebih peka jika hari itu Mama udah punya rencana untuk pergi. Seharusnya—" dia menghela napas panjang. Bekali-kali dia menatap langit yang penuh bintang-bintang.

"Kenapa gue dulu malah ngejar mereka pakek sepeda, ya... kenapa gue nggak pakai motor. Andai saja gue bawa motor atau mobil, gue nggak akan kehilangan mereka."

"Rick..." kataku sambil menepuk bahunya. Dia menoleh, menatapku dengan mata cokelat sendu itu.

"Gue tahu... tahu banget kalau ini berat buat elo. Tapi yakinlah, Tuhan melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Percayalah, Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang indah buat elo."

"Sesuatu yang indah, Lam?" kini dia tersenyum kecut. Aku merasa, aku telah salah ucap.

Seharusnya aku tak berkata seperti itu.

"Jika Tuhan memberiku sesuatu yang indah, kenapa Tuhan merebut Mama dan Raka dari gue! Jika Tuhan punya rencana yang lebih indah kenapa Papa harus menikahi perempuan itu? Rencana indah apa lagi memang? Mama akan kembali, kemudian Mama menikah lagi dengan Papa? Bagi gue... nggak ada yang lebih indah di Dunia ini selain kebahagiaan Mama, dan Tuhan telah merebut itu semua dari Mama!"

"Jadi menurut elo... gue bukan bagian dari kebahagiaan elo?"

"Elo bagian dari kebahagiaan gue. Tapi kebahagiaan itu nggak akan pernah lengkap tanpa senyum Mama gue." kugenggam tangannya mencoba untuk menenangkan.

"Percaya deh... suatu saat, Mama lo pasti bakal nemuin laki-laki yang jauh lebih baik dari Papa lo. Jika memang sekarang Mama dan Papa lo nggak bisa bersatu, itu berarti Papa lo bukan yang terbaik buat Mama lo, kan? Buktinya... Papa lo ngeduain Mama lo. Ricky... ada kalanya kita bisa melakukan hal yang buat orang lain bahagia memang. Tapi, ada juga kalanya kita nggak bisa buat apa-apa untuk ngehapus air mata mereka. Itu udah takdir, Rick. Gue tahu, lo pasti mikir jika gue ini sok tahu, sok nasehatin dan sok dewasa, kan? Tapi seenggaknya, keluarga lo masih ada. Lo masih punya Papa, Mama dan Raka. Gue? Gue udah kehilangan orang tua gue dari kecil, Rick. Bahkan, untuk melihat senyum mereka pun, gue nggak bisa. Bahkan... wajah mereka pun gue nggak inget, karena semua foto orang tua gue hilang saat gue pindah ke rumah sekarang. Elo masih beruntung dari gue, jadi gue harap... jangan lagi lo ngerasa sendiri, dan jadi orang yang paling tersakiti, ya? Jika lo merasa hidup lo beban, gue siap kok bantu ngangkat beban lo itu. Dan jika lo ingin cerita, curhat dan semacamnya, gue siap dengerin dan bantuin elo. Jadi... please, jangan sedih lagi ya. Masih ada gue di sini, buat elo," aku tidak tahu, dari mana kekuatanku untuk bicara panjang lebar seperti itu. Sementara Ricky, membuka mulutnya lebar-lebar. Aku yakin... dia pasti kaget, melihatku menjadi cewek cerewet.

"Eh, gue—" kataku terhenti, saat Ricky menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Thanks ya, Lam. Dari dulu lo selalu ada buat gue. Lo inget nggak tentang jembatan merah ini?" tanyanya. Bahkan... aku yakin, jika baru kali pertama ini aku ke sini.

"Tempat pertama kali kita bertemu." lanjutnya.

"Bukannya kita bertemu di Sekolah?" dia menggeleng dan itu berhasil membuatku bingung. Mungkin orang lain yang mirip denganku. Atau juga... orang lain itu yang dia anggap aku sampai sekarang... entahlah.

"Dulu... gue sering ke sini sama Arya."

"Tentang Arya..." kulirik Ricky, aku takut jika dia marah karena aku menyinggung mantan sahabatnya itu, "apa bener, dia rebutan cewek ama Raka, saudara kembar elo?"

"Oh... Cahaya?" tanyanya, kuanggukan kepalaku kuat-kuat saat dia terlihat tidak marah. "Cahaya itu dulunya ceweknya Arya... sampai suatu hari, Raka kenal sama Cahaya. Raka, Adek gue... tipikal saudara yang apapun pengen samaan sama gue, nggak pakaianlah, apalah, dan cewek juga."

"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. Jika dulu, Raka merebut Cahaya dari Arya. Bukankah berarti jika dulu Ricky sudah mempunyai sosok lain yang sama dengan Cahaya? Lalu kenapa, namaku disangkut-pautkan dengan mereka?

"Gue dan Arya punya cewek yang sama, maksud gue... wajahnya sama. Nah... si Raka tahu, terus Raka ngerebut Cahaya ini dari tangan Arya. Arya mikirnya, semua itu ulah gue. Padahal, sama sekali nggak pernah gue nyombaling Raka pun Cahaya. Arya dan Raka, gue nggak bisa berat sebelah, di satu sisi Raka adalah saudara gue, di sisi lain Arya adalah sahabat yang udah gue anggap sebagai saudara. Sampai saat itu terjadi, saat Cahaya meninggal karena kecelakaan. Arya mikir, gue yang nyebabin Cahaya mati. Karena gue sempet bilang ke dia, kalau gue mau hilangin Cahaya jika Arya dan Raka bertengkar terus. Itu sebabnya, sejak saat itu dia nuduh gue jadi seorang pembunuh."

"Terus... cewek elo, di mana?"

"Dia hilang... bersama dengan hilangnya Cahaya. Tapi gue yakin, gue akan membawanya kembali." jadi... apakah itu artinya aku hanya pelarian Ricky? Selama Ricky mencari cewek itu? Lalu... bagaimana nasibku jika cewek itu sudah kembali? Apakah aku akan dibuang begitu saja? Ya Tuhan... kenapa aku harus sedih. Seharusnya aku sudah tahu ini dari awal dan tidak terlena dengan cinta semu dari Ricky.

@@@

Pagi ini aku berangkat pagi-pagi. Karena... semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan perkataan Ricky yang benar-benar menganggu. Bahkan... aku tidak sempat bertanya padanya, team mana yang menjadi juara lomba cerdas—cermat.

Kuhentikan langkahku di gerbang Sekolah. Langit pagi ini begitu biru dengan sedikit awan di sana. Langit pagi yang cerah dengan kicauan burung-burung dari pohon cemara yang berada di bagian depan gerbang.

"Woy, Singa! Minggir lo! Kalau mau bunuh diri, di jalan raya! Bukan di sini!" kulihat, Kak Niko dan Kak Biru terbahak, di atas motor gede mereka. Mereka... adalah Kakak—kelas yang ditakuti di SMA ini. Kakak kelas badung, yang menguasai Sekolah. Tentu... setelah Ricky. Tapi, aku tidak tahu pasti. Karena setahuku dari Genta, geng Kak Niko tidak pernah mau terima kalah dari geng Ricky.

"Neng... Neng Nilam! Buruan minggir! Jangan cari gara-gara sama mereka, Neng!" seru Pak Sucipto. Satpam Sekolah yang bertubuh cungkring itu.

Aku hendak pergi, tapi tanganku sudah dicengkeram kuat oleh Kak Biru. Matilah aku, karena mencari gara-gara dengan mereka. Seharusnya, aku tak usah berhenti tadi. Seharusnya aku segera ke kelas dan duduk manis di sana.

"Udah jelek, bego, budek lagi! Kok ada sih, model cewek yang kayak elo! Ibarat kata, ya... elo itu cewek paling buluk di Dunia, tahu nggak?!"

"I... iya, Kak, gue tahu."

"Heh, Ru! Jangan ganggu dia! Elo nggak tahu dia itu ceweknya siapa?" kali ini Kak Niko kembali terberiak.

"Ceweknya siapa? Orang yang mau ama dia itu hanya orang utan saja! Hahaha."

Kulepas paksa genggaman Kak Biru, kemudian aku buru-buru pergi. Tuhan... aku pikir, aku tidak akan dihina seperti ini lagi. Tapi nyatanya masih sama... mereka menganggapku sampah di sini. Oh ya, aku lupa... bukankah dari dulu pun sekarang aku sama saja?

"Lam... lo kenapa?" tanya Ricky yang berjalan menuju gerbang. Sepertinya, dia baru sampai. Melihat dia masih membawa tas ranselnya keluar dari arah parkiran.

"Enggak." jawabku. Menghapus air mata yang ada di pipi.

Aku hendak pergi, tapi tangannya menggenggam tanganku kuat-kuat kemudian memaksaku untuk kembali menuju luar gerbang.

"Siapa yang buat cewek gue nangis?" tanyanya. Saat melihat ada Kak Niko dan Kak Biru masih terbahak di sana.

"Eh elo, Rick. Apa kabar? Lama ya kita nggak bertemu." sapa Kak Niko. Keduanya ini memang kabarnya diskors selama 2 minggu. Karena kepergok mukulin anak Sekolah lain.

"Siapa yang buat cewek gue nangis?" tanyanya untuk yang kedua kali. Keduanya masih tertawa seolah semuanya baik-baik saja. Dan pertanyaan Ricky seolah angin lalu bagi mereka.

BRAKKK!!!!

Ricky menendang ban depan motor Kak Niko sampai motornya ambruk. Kak Niko menautkan alisnya, marah.

"Sekali lagi kalian nyakitin cewek gue. Gue pastiin tangan kalian nggak akan berfungsi lagi." pelan dan penuh penekanan. Ricky mengucapkan itu di hadapan mereka. Sambil memicingkan mata cokelatnya dengan tatapan dingin, Ricky langsung menarikku pergi. Aku bisa mendengar, umpatan-umpatan dari Kak Niko pun Kak Biru. Yang tak berani diutarakannya secara langsung pada Ricky.

@@@

"Elo nggak lihat sih kemarin. Kak Aldi bisanya jadi perusak aja. Masak iya, tiap Ricky mau pencet belnya, diambil alih sama Kak Aldi mulu. Akhirnya, keduanya malah sibuk rebutan bel dari pada ngejawab soal-soal dari Mila." cerita Lala histeris. Saat ini... aku, Lala dan Genta duduk di belakang gedung kelas dua. Karena, jam tiga sore nanti acara pembagian hadiahnya baru dimulai.

"Iya, bener! Dan masak, soal mudah gitu... Kak Aldi nggak bisa jawab! Padahal, kan... kata anak-anak, dia pinter. Sering ikut olimpiade. Yakin deh, dia sengaja agar Sekolah kita kalah!" kini Genta yang bersuara, sambil menyuapi Lala dengan snack yang ada di tangannya.

"Terus akhirnya, siapa yang menang?"

"Tetep timnya Ricky, dong! Sehebat-hebatnya kubu lawan, Ricky bisa aja ngalahin mereka. Bahkan... ada beberapa soal yang kubu lawan dan anak lain nggak bisa, Ricky bisa mengerjakannya dalam waktu singkat. Hebat, kan! Makan apa sih cowok lo, Lam? Sampai pinter gitu? Coba dia nggak badung, yakin deh dia bisa ikut kelas akselerasi."

Genta mengangguk kuat saat Lala berkata seperti itu. Sementara aku? Ya... aku hanya bisa tersenyum getir mendengar ucapan itu dari Lala. Jujur... ucapan Ricky semalam, berhasil membuat moodku hancur.

"Hey! Kalian lagi ngapain? Boleh dong gue gabung?!" aku langsung salah tingkah, saat Arya sambil melambaikan tangannya berlarian menuju kami.

Bukannya apa-apa. Aku tidak mau saja jika Ricky nanti salah paham seperti kemarin dan berbuat jahat lagi. Aku tidak mau, hubungan mantan sahabat ini buruk karenaku.

"Boleh kok, Bro! Santai aja! Nih para cewek lagi ngobrolin ukuran BH mereka!" celetuk Genta yang benar-benar menyebalkan.

"GENTA!!" pekikku dan Lala bersamaan sambil menjewer telinganya.

Memang, sudah bukan rahasia lagi. Jika Genta menjadi teman belanjaku pun Lala saat memilih perlengkapan cewek. Karena menurut kami, Genta adalah penasehat yang tepat. Lihat saja, tumpukan pakaian dalamku pun Lala. Hampir semuanya Genta yang milihin.

"Seriusan? Lo tahu dong berapa ukuran dada Nilam?" tanya Arya semangat, dia duduk di sampingku. Aku mencoba berangsut menjauh tapi dia menahanku.

"Tentu dong gue tahu, Genta!"

"GENTA!!!" geramku dan Lala lagi.

"Kamu ini, ya. Masak rahasia sahabat sendiri kamu umbar sih, Sayang!" marah Lala. Genta hanya cengar-cengir sambil ngacungin huruf 'V' di kedua tangannya.

"Maafin aku ya, Sayang... beneran deh, nggak aku ulangin lagi kok... suer!" kini, giliranku dan Arya yang memasang tampang ingin muntah.

"Kemarin lo ke mana?" tanya Arya, mengabaikan Lala dan Genta yang kini asik mesra-mesraan.

"Gue? Ditilang Polisi."

"Kok gue lihat, lo pulang dianter Ricky pakek mobil Om Irawan?" aku diam sejenak. Rupanya Arya kenal juga dengan Om Irawan. Tapi... kok dia tahu aku pulang diantar Ricky?

"Kok lo tahu?" tanyaku. Dia tersenyum lebar, kemudian memandangku sambil bertopang dagu.

"Gue kan stalker abadi Nilam." jawabnya. Aku menunduk, malu juga jika ada orang berkata seperti itu. Terlebih, cowok itu termasuk cowok populer di Sekolahnya.

"Nggak usah gangguin cewek orang!" tubuhku terhuyung, saat Ricky menengahiku pun Arya. Dia duduk di antara kami kemudian meraih snack yang ada di tangan Lala.

"Sialan banget sih lo! Ganggu orang PDKT aja!" gerutu Arya. Ricky hanya meliriknya dingin, tanpa membalas ucapan Arya.

"Nilam, cinta kita ibarat bangun segitiga, ya. Gue cinta ama elo, eh elonya cinta ama dia!" aku tersenyum mendengar ucapan itu. Dan tumben, Ricky tidak main tangan. Bahkan... mendengar celotehan Arya yang persis seperti anak kecil, Ricky diam saja.

"Kalian mau makan kue bareng di rumah, nggak?" tawarku. Lala dan Genta kegirangan. Keduanya mengangguk tanpa berpikir panjang.

"Gue mau!!" teriak Lala dan Genta bersamaan.

"Sekalian ngerjain makalah dari Bu Marita, ya!" tambah Genta semangat.

"Gue juga mau!!" kini giliran Arya yang menjawab, mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Ricky menarik tangan Arya agar turun kemudian dia memandang Arya lebih dingin dari tadi.

"Lo nggak diajak. Lo bukan satu Sekolah ama kita." ucapnya jutek.

"Tapi Nilam boleh, kok. Ya, kan... Lam? Gue boleh ikut, kan?" kupandang Ricky yang menghela napas panjang sambil memakan snack-nya. Tak apa, kan... jika kuajak Arya. Setidaknya dengan ini, kedua mantan sahabat ini bisa akur kembali.

"Iya, lo boleh ikut." jawabku. Karena memang, tujuanku mengundang mereka adalah. Agar Ricky dan Arya bisa bersama-sama.

"Lo ikut, nggak?" tanya Genta pada Ricky. Aku menatap ke arah Ricky, penasaran juga apakah dia mau ikut atau menolak.

"Tanpa ditanya gue pasti ikut. Gue kan calon suaminya Nilam." jawabnya. Wajahku merona mendengar ucapan Ricky. Meski dengan nada acuh dan cuek, tapi ucapan itu sudah cukup membuatku tersipu. Bahkan untuk sesaat, aku bisa melupakan masalah cinta masa lalunya Ricky.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top