Aku Mencintaimu
Reader's POV
Kami sudah sampai di Sungai Eufrat, beberapa pelayan langsung mempersiapkan tenda untukku dan Gilgamesh. Aku dan Ibu tidak mengikuti upacara pembakaran arak-arakan ini karena kami ingin merawat Sora-kun.
Setelah tenda selesai dibuat, para pelayan segera membawa Sora-kun ke tenda tersebut lalu membaringkannya. Ibu mengambil air dari Sungai Eufrat dengan menggunakan baskom emas (aku tidak tahu namanya apa disini) lalu memberikan sebuah kain untukku.
Sora-kun membawa katana milikku dan barang-barang lainnya. Diantaranya adalah yukataku. Entah mengapa dia membawa yukataku. Aku mengambil yukata tersebut dan memperhatikannya lekat-lekat.
"Yukataku ... mengapa bisa ada di Sora-kun?"
"Sungguh pakaian yang indah! Motifnya juga sangat indah!" Ibu mendekatiku dan memegang yukataku, "sungguh kain yang lembut! Apa ini?"
"Ini adalah yukata, pakaian di duniaku yang pernah ku ceritakan kepada Ibu. Ini adalah yukataku, pakaianku," jelasku pada Ibu.
"Mengapa bisa ada bersama pemuda ini?"
"Itulah yang tidak ku ketahui Ibu. Aku harap dia akan segera bangun dari tidurnya!"
Aku membasahi salah satu kain tersebut lalu membersihkan wajah Sora-kun. Ibu membawa dua tempat air dan empat kain. Mungkin yang satunya untuk Gilgamesh.
Setelah beberapa menit, akhirnya upacara pembakaran selesai. Ah, Gilgamesh sebentar lagi pasti akan menuju kemari.
"Nak, Ibu akan pergi sekarang. Yang Mulia Raja akan segera kemari dan Ibu tidak mau mengganggu kalian. Nak, apapun masalah yang sedang kalian alami, kadang kita sebagai perempuan harus mengetahui dulu mengapa pihak lelaki harus melakukan hal tersebut.
Kita sebagai perempuan kadang harus mengalah. Kalian masih muda, perjalanan cinta kalian masih panjang. Pikirkanlah baik-baik dan bersikaplah bijak, (Y/n). Terkadang Raja Gilgamesh memang akan bersikap seperti anak kecil tapi dia bersikap seperti itu karena dia kesepian.
Semenjak kematian sahabatnya, dia menjadi penyendiri dan kami jarang mendengarnya tertawa atau tersenyum seperti dulu. Dia selalu menghabiskan waktu dengan bekerja dan selalu mencari pekerjaan tambahan jika dia mempunyai waktu senggang.
Nak, Ibu tahu kalau kamu mencintai sang raja. Semua terlihat jelas di wajahmu. Raja Gilgamesh juga mencintaimu. Dia tidak akan mengangkat seseorang yang baru dikenalnya dengan sembarangan menjadi Putri Uruk jika dia tidak menyayangi orang tersebut. Dia mengangkat Enkidu sebagai Pangeran Uruk ketika Enkidu masih hidup," Ibu menasehatiku.
Aku menundukkan kepalaku. Aku ... tidak mencintai sang raja!
"Aku tidak mencintainya bu! Aku tidak mempunyai perasaan terhadap sang raja!"
"Jangan membohongi dirimu sendiri (Y/n)! Semua orang akan mengetahuinya jika mereka melihatmu ketika kamu bersama dengan Raja Gilgamesh. Pipimu memerah dan kamu tidak bisa berhenti tersenyum. Baiklah, Ibu akan pergi sekarang. Berbicaralah dengannya nak, dia terlihat sangat terluka tadi."
Ibu meninggalkanku sendirian disini. Aku memerhatikan wajah Sora-kun. Entah bagaimana tapi aku melihatnya sedikit kurus. Rambutnya juga tambah panjang. Dan ikat rambut Jepang ini adalah pemberianku, hadiah dariku ketika dia mengatakan dia membutuhkan ikat rambut untuk rambutnya.
Aku membelinya diam-diam ketika pulang sekolah. Waktu itu aku melihat ada seorang nenek yang menjual barang-barang tradisional Jepang. Barang-barangnya terlihat sangat unik dan bagus, jadi ku beli satu untuk Sora-kun dan satu untuk Souji-kun.
Tentu aku membelinya untuk Mama, Kozue dan Hinata juga. Sedangkan aku, kurasa aku tidak memerlukan barang-barang ini. Tapi aku bersyukur karena nenek tua baik ini memberikan sebuah pita berbentuk bunga sakura kepadaku.
"Bagaimana keadaan temanmu?" Gilgamesh memasuki tenda lalu dia langsung membersihkan wajahnya.
"Keadaannya ... masih sama. Terima kasih karena sudah bertanya."
Tidak ada percakapan lagi. Ini terasa sedikit aneh. Biasanya jika kami sedang berduaan, kami akan membicarakan ini dan itu. Tapi sekarang terasa sedikit ... aneh.
Aku mengambil katana ini lalu membuka pedangnya dari sarungnya. Ah, aku sangat merindukan katana ini. Katana ini adalah peninggalan dari kakekku dari pihak Mama.
"Katana? Mengapa kau memiliki benda itu?" tanya Gilgamesh yang sekarang sedang duduk berhadap-hadapan denganku.
"Eh? Benda ini adalah benda peninggalan kakekku. Keluarga Mamaku dulunya adalah keturunan samurai," jelasku.
"Samurai?"
"Sebutan untuk prajurit yang memihak raja, tapi mereka memiliki organisasi mereka sendiri. Salah satu organisasi samurai yang terkenal di negaraku yaitu Shinshengumi. Tapi organisasi itu sudah lama sekali tidak ada."
"Bagaimana anda bisa mengetahui nama dari benda ini adalah katana?"
"Aku memiliki semua harta dan senjata di dunia ini jadi bukan hal yang aneh jika aku mengetahuinya."
Aku mengangguk tanda mengerti. Gilgamesh memang terkenal karena ada mitos yang mengatakan bahwa dia memiliki semua senjata dan harta benda dunia, berarti termasuk katanaku ini.
Tak lama Shamhat memasuki tenda sambil membawa mapan yang berisikan kue. Shamhat memberikan hormat kepada kami lalu menaruh mapan tersebut di meja kecil disebelah Gilgamesh.
Gilgamesh mengambil mapan tersebut lalu mengarahkannya kepadaku. Aku melihatnya bingung sedangkan Gilgamesh sudah menaikkan sebelah alisnya.
"Makanlah (Y/n)! Kue ini adalah kue yang dibuat oleh Ibumu dan teman-temanmu kemarin," jelas Gilgamesh.
"Aku ... tidak lapar. Anda makan saja."
"Berarti kau tidak menghormati tradisi kami?"
Aku membeku. Aku melihat Gilgamesh, wajahnya datar. Shamhat juga sudah melihatku. Aku membuang napas pasrah lalu mengambil salah satu dari kue tersebut.
Ah ngomong-ngomong, dimana Enkidu? Tadi sewaktu aku berbicara dengan Ibu, aku jadi tidak memerhatikannya. Apakah dia berkeliling?
Aku memakan kue yang terlihat seperti kue sagu ini. Rasanya manis dan langsung melumber di mulut. Kue ini sangat mengingatkanku kepada Jepang.
"Mengapa kau menangis, (Y/n)?"
Aku melihat Gilgamesh. Dia menatapku dengan sedih dan ada kekhawatiran diwajahnya. Shamhat juga sudah tidak terlihat. Aku menghapus air mataku lalu menggeleng kepalaku.
Aku mengingat Mama, Kozue, dan Hinata. Bagaimana kabar mereka sekarang? Bagaimana juga dengan Souji-kun? Lalu, sekolahku bagaimana? Pelajaran-pelajaran pasti sudah tertinggal.
Aku merasakan ada yang memelukku dari belakang. Aku melihat ke belakang dan mendapati Gilgamesh sedang memelukku. Aku dapat merasakan kehangatannya.
Semakin lama, Gilgamesh semakin mengeratkan pelukannya. Dia membenamkan wajahnya ke leherku. Anehnya, kali ini aku tidak mendorongnya malah aku menangis di dalam pelukannya.
----
"Apakah hatimu sudah terasa lebih ringan?" tanya Gilgamesh yang masih memelukku.
Aku hanya mengangguk kepalaku untuk menjawabnya. Enkidu juga sudah kembali, dia terkejut ketika melihatku menangis dan berniat ingin menghabisi Gilgamesh jika dia yang membuatku menangis untuk yang kedua kalinya.
"(Y/n)? Ada apa? Mengapa kau menangis?"
"Aku merindukan keluargaku dan teman-temanku. Aku juga merindukan negaraku dan aku ingin melihat bunga sakura yang berterbangan ketika angin meniupi rantingnya," jawabku.
"Pantas kau menangis, (Y/n). Maafkan aku karena aku masih tidak tahu bagaimana cara mengembalikanmu ke duniamu," sahut Gilgamesh.
Ah benar, ada Gilgamesh disini. Aku melupakan hal tersebut. Tapi, entah mengapa aku merasa sedikit bersalah kepadanya karena aku sudah menamparnya kemarin.
"Maafkan aku, Gilgamesh karena aku sudah menamparmu kemarin."
"Tidak masalah. Lagipula kemarin adalah kali pertama ada seorang perempuan yang berani menamparku. Biasanya yang akan menampar atau memukulku adalah Enkidu. Hanya dia yang berani melakukan itu kepadaku. Aku mengagumi keberanianmu itu."
"Anda tidak menghukumku?"
"Kau minta dihukum? Aku akan menghukummu jika kau memang mau dihukum. Tangan diganti dengan tangan, maka pipi juga harus diganti dengan pipi, benar kan?"
Gilgamesh menyium leherku. Gawat, apakah tandanya dia akan memenggal kepalaku? LALU DIA AKAN MENGGANTUNGKAN KEPALAKU DI KAMARNYA ATAU RUANG KERJANYA? ATAU LEBIH PARAH LAGI, DIA AKAN MENGGANTUNGKAN KEPALAKU DI TEMBOK URUK!
"Kau terlihat tegang. Mengapa? Apa kau benar-benar ingin dihukum? Jika kau mau, kau bisa menemaniku tidur malam ini. Kita bisa melewati malam bersama dengan melakukan ini dan itu."
"Tidak, aku tidak mau! Anda bisa memanggil Shamhat untuk memuaskan nafsumu itu. Lagipula itukan yang kemarin kalian lakukan? Bukankah tubuhnya sangat indah dan dia juga bermain dengan panas bersamamu?"
Gilgamesh langsung melepaskan pelukannya. Dia membalikkan tubuhku dan dia terlihat panik, sangat panik. Mengapa? Apakah karena dia tertangkap basah?
"Bagus (Y/n)! Lawan dia!!" ucap Enkidu dengan semangat.
"Kau melihat kami?"
"Sebenarnya sebuah kejadian yang tidak disengaja. Aku berniat ingin mengunjungimu dan menyelimutimu jika kau tidak memakai selimut atau tertidur di ruang kerjamu. Tapi yah, ternyata selimut tidak cukup hangat, huh?"
"Jadi karena itu kau menangis dan menamparku?"
"Hm ..., tidak juga. Aku menamparmu karena aku merasa jijik denganmu. Lalu dengan aku yang menangis, aku menangis karena aku menyesal sudah memberikan perhatianku kepadamu. Menyesal karena sudah memberikan kasih sayang kepadamu. Menyesal karena sudah mencinta-- menganggapmu sebagai saudara laki-lakiku sendiri."
Apa itu tadi? Aku tadi hampir mengatakan mencintai? Tidak kan? Dia tidak mendengarnya! Dia tidak mendengarnya!
"(Y/n), apa tadi kau hampir mengatakan mencintai? Um, sepertinya aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin mengganggu acara kalian berdua. Um, aku pergi~!"
Enkidu dengan cepat terbang meninggalkan tenda ini. Wajahnya juga memerah. AAAAARRRRGGGGHHH!!!!
'ENKIDU! JANGAN PERGI!!!!!!!!!!!'
"Kau ... cemburu?" tanya Gilgamesh yang membuatku semakin panik.
"Aku tidak cemburu. Untuk apa aku cemburu kepadamu dan Shamhat? Toh kalian pasangan serasi!"
"Kau cemburu," sebuah seringai mengambang diwajahnya.
"Aku tidak cemburu!"
"Kau cemburu dan tadi kau juga hampir mengatakan mencintai! Kau mencintaiku, benar kan? Ahahahaha!"
Gilgamesh memelukku dengan erat. Dia mencium keningku, puncak kepalaku, tanganku, dan pipiku. Wajahku seketika memanas.
Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya, sialnya dia malah mengeratkan pelukannya. Entah mengapa aku terharu dan ingin menangis kembali. Entah mengapa aku juga merasa rindu pada pelukannya.
Aku kembali memeluknya dan mengeratkan pelukanku. Untuk yang kesekian kalinya, aku menangis dipelukannya. Tapi tangisan ini bukan air mata sedih, melainkan air mata bahagia.
"Bodoh! Gilgamesh bodoh! Aku membencimu!" ucapku.
"Aku juga mencintaimu, (Y/n). Maafkan aku karena aku membuat hatimu sakit. Maafkan aku karena aku tidur dengan perempuan lain selain dirimu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Walaupun aku seorang raja, aku tidak bisa meneriaki para tetua yang memaksaku itu jika yang mereka paksakan adalah tentang ritual pemujaan, apalagi ritual ini adalah ritual suci.
Enki baik kepadaku dan aku ingin menghormatinya. Tidur dengan salah satu pelacur kuil adalah hal yang diharuskan untuk kami para raja ketika sedang melakukan perayaan ini. Maafkan aku, (Y/n)!"
Gilgamesh semakin mengeratkan pelukannya, begitu juga denganku. Kembali, aku merasa menyesal. Menyesal karena menampar Gilgamesh, menyesal karena bersikap acuh tak acuh padanya dan juga kepada Shamhat. Aku harus meminta maaf kepadanya nanti.
"Maafkan aku, Gil."
"Tidak masalah untukku. Tapi aku juga bersyukur karena dengan kau yang melihatku bercumbu dengan Shamhat, aku bisa mengetahui isi dari perasaanmu terhadapku."
Aku melepaskan pelukanku dan melihat wajah Gilgamesh. Dia tersenyum dengan lembut kepadaku. Senyuman yang kusukai, salah satu hal yang kusukai darinya.
Aku mengangkat tanganku lalu menyentuh pipinya yang masih terlihat bengkak. Lalu aku menyentuh sudut bibirnya yang terluka itu.
"Apa ... sakit?"
"Hm, sejujurnya masih sakit dan nyeri. Tapi kata tabib, ada sebuah obat yang bisa menyembuhkan luka-luka ini tanpa bekas," balas Gilgamesh yang membuatku merasa lega.
"Obat apa itu?"
"Sebuah ciuman darimu," dia tersenyum nakal.
"Eh? EH! EH! EH! APA YANG MAU KAU LAKUKAN RAJA MESUM! TIDAK ADA CIUM-MENYIUM!"
Aku menutup wajahnya dan menjauhkan wajahnya dari wajahku ketika dia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku.
No cium cium, kita bukan suami istri yang bisa bebas berciuman. Dan aku juga masih tidak tahu apakah kita pacaran atau tidak. Tapi tolong, tidak ada ciuman.
"Hm! Woah! Aku tidak bisa bernapas (Y/n)!" Gilgamesh menyingkirkan tanganku dari wajahnya.
"Tidak ada ciuman!"
"Walau kita adalah sepasang kekasih? Ayolah!"
"Tidak!"
Jadi kita pacaran? Entah mengapa hal ini membuatku bahagia. Aku memeluk Gilgamesh, berniat ingin menghindar kontak mata darinya. Gilgamesh membuang napas pasrah lalu memelukku kembali.
"Aku ingin berciuman denganmu, bolehnya?" ucapnya lembut.
"Tidak!"
"Sebentar saja!"
"Nope!"
"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau ucapkan, (Y/n)! Jangan memakai bahasa yang tidak ku mengerti!"
"Teehee~"
Gilgamesh mengusap kepalaku dengan lembut. Pipiku terasa hangat dan senyuman tidak bisa lepas dari wajahku. Semua juga berkat Ibu, aku harus berterima kasih kepadanya nanti.
-----
Hari sudah sore dan sudah waktunya bagi kami untuk pulang. Para pelayan menyiapkan sebuah tenda untuk mengangkat Sora-kun. Dia masih tertidur tapi untunglah dia baik-baik saja.
Aku mengusap kepalanya sebelum kami berangkat. Tapi kemudian tanganku ditarik oleh seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Gilgamesh.
"Jangan perlakukan dia sampai sebegitunya! Kau bahkan belum pernah mengusap kepalaku! Ugh, dia sangat beruntung!"
"Ingin aku mengusap kepalamu, Gil?"
"Tidak, tidak perlu! Ayo kita berangkat! Akan bahaya jika kita berangkan terlalu malam," Gilgamesh menarik tanganku, menggendongku dan mendudukkanku ke kudanya.
"Sepertinya kalian sudah baikan," ucap Enkidu dengan senyum lebar diwajahnya.
Aku mengangguk untuk menjawabnya, lalu ku lihat Ibu dan Nona Siduri yang berjalan kearahku dan Gilgamesh. Gilgamesh juga sudah menaiki kudanya.
Sebelum memacu kudanya, Gilgamesh memberikan sebuah ciuman singkat dipipiku. Ibu terlihat terkejut, tapi kemudian tersenyum lembut kepadaku.
Aku membalas senyumannya, pipiku juga terasa panas. Kami langsung berjalan pulang menuju Uruk.
----
"MENGAPA KALIAN TIDAK BISA BEKERJA DENGAN BECUS?! MENGAPA BISA SAMPAI SEPERTI ITU?!" marah Gilgamesh kepada para petani istana.
"A-ampun Yang Mulia! Tadi kami lupa menutup pintu saluran airnya! Maafkan kami Yang Mulia! Maafkan kami!," jawab salah seorang pekerja pria yang sudah sedikit tua.
"Lupa? KALIAN BERANI BILANG KALAU KALIAN LUPA?! PERTANIANKU MENJADI HANCUR HANYA GARA-GARA KALIAN LUPA MENUTUP PINTU SALURAN ITU! KALIAN TAHU BERAPA KERUGIAN YANG HARUS KUTANGGUNG HANYA KARENA KALIAN LUPA?!"
"Mohon ampun Yang Mulia! Kami bersalah! Kami pantas dihukum! Kami lupa karena kami bergegas menuju ke istana untuk membantu membersihkan istana. Maafkan kami Yang Mulia!"
"Untuk urusan bebersih sudah ada yang mengerjakannya! TUGAS KALIAN ITU SEHARUSNYA BERADA DI LUAR ISTANA, BUKAN DI DALAM ISTANA! APAKAH KALIAN TIDAK MEMAKAI KEPALA KALIAN! DASAR ANJING KAMPUNG SIALAN!"
Yah, aku tidak tahu kalau Gilgamesh yang sedang marah adalah Gilgamesh yang sangat mengerikan. Aku berada disampingnya, mendengar jeritannya dengan sangat jelas.
Bulu kudukku berdiri, kemudian aku melihat Enkidu yang sama takutnya denganku. Bahkan Enkidu saja takut dengan Gil yang sedang marah?
Para tetua juga menunduk, orang-orang yang berada disini tidak ada yang berani berbicara atau bergerak.
Sesampainya diistana, Gilgamesh dikejutkan dengan kabar pertaniannya yang banjir karena para pengurus pertaniannya lupa menutup pintu saluran pengaliran airnya. Seketika wajah Gilgamesh menjadi merah dan dia mulai memarahi para pekerjanya itu.
Aku merasa kasihan dengan para pekerjanya. Tapi aku harap Gilgamesh tidak akan menghukum mati mereka.
Kami sekarang berada di pertaniannya. Disini mereka menanam padi. Banjirnya tidak terlalu parah, hanya tanahnya basah dan menjadikan lumpurnya yang agak basah, tapi bukankah memang harus seperti ini?
Jika besok tidak hujan, tanah-tanah ini juga akan kering. Tidak perlu sampai memarahi mereka dengan parah kan?
Lagipula padi-padi disini lebih terlihat segar. Mereka kekurangan air mungkin? Terlihat Gilgamesh yang mengepal tangannya, wajahnya juga semakin merah.
"Uh oh, gawat," ucap Enkidu.
"Ugh, KALI--"
Aku memegang tangan Gilgamesh, mengentikannya untuk memarahi para pekerjanya. Dia menatapku dengan tatapan tajam, membuatku merinding seketika. Tapi kemudian tatapan tajamnya tergantikan dengan tatapan bingung.
"(Y/n), aku sedang--"
"Aku tahu Gil, aku tahu. Tapi banjir dipertanianmu tidak terlalu parah. Dan lihatlah! Padi-padi yang ada disini juga terlihat baik-baik saja, malah mereka terlihat lebih segar," aku menunjuk padi-padi itu.
Gilgamesh dan orang-orang yang ada disini melihat padi yang ada disini. Gilgamesh menjadi diam, lalu dia melihatku kembali.
"Jangan memarahi mereka lagi, Gil! Tanah padi memang seharusnya seperti itu! Dan jika anda ingin tanahnya tidak terlalu basah, besok jika hujan tidak turun tanahnya akan kering sendiri kok!
Besok pagi jangan basahi tanahnya lagi dan tunggu sampai tanahnya kembali seperti biasa! Air yang berada ditanah ini akan menguap ke langit karena panasnya matahari! Jadi aku mohon jangan marahi mereka lagi! Mereka bukannya sengaja dan berniat ingin menghancurkan pertanianmu!
Jika tidak ada para pekerja ini, siapa yang akan mengurus pertanianmu dan perkebunanmu yang luas ini? Siapa yang akan mengurus peternakanmu? Dirimu sendiri? Anda yakin? Aku yakin anda bahkan tidak sanggup mengurus semua ini sendirian!"
Suasana menjadi sunyi. Gilgamesh menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Enkidu melihatku dengan tatapan kagum, sama seperti Nona Siduri, Ibu, dan orang lain yang berada disini.
"Uhuhu ... FUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!!!!!!"
Gilgamesh tertawa dengan kerasnya. Aneh apanya yang lucu? Seingatku aku tidak mengatakan hal yang lucu disetiap kalimatku.
"Kau benar-benar gadis lancang! Gadis lancang, aneh tapi juga cerdas! Baiklah, aku akan menuruti dan mendengar ceramahmu itu! Kita akan lihat apakah perkataanmu itu benar! Jika tidak, apa yang akan kau berikan kepadaku?"
"Huh? Jika besok tidak hujan dan matahari juga terik, aku yakin tanahnya akan segera kering."
"Sangat percaya diri, huh? Baik, mari kita lihat! Tapi jika tanah itu tidak mengering, maka aku akan mengambil satu-satunya harta berhargamu!"
"Harta berharga? Aku tidak memiliki satupun harta--"
"Keperawananmu," jawabnya enteng.
Wah, baru beberapa jam menjadi kekasih sekarang dia sudah menagih keperawananku? Wah, kekasih macam apa itu?
Aku tersenyum kepadanya lalu berjalan mendekatinya. Aku mengangkat tanganku dan mengusap kepalanya dengan sayang. Aku harus berjinjit karena dia lebih tinggi dariku, tapi untunglah masih sampai.
Semua orang --termasuk Enkidu terkejut bukan main. Bahkan ada dari mereka yang menutup mulut mereka. Ada apa?
Gilgamesh juga terkejut, ekspresi apa itu? Bukankah tadi dia cemburu karena aku mengusap kepala Sora-kun? Aku menghentikan usapanku dan berniat menurunkan tanganku sampai Gilgamesh menarik tanganku dan menaruhnya ke kepalanya.
"Mengapa kau menghentikan usapanmu?"
"Heh? Oh mau ku usap lagi? Baik baik~"
Gilgamesh menundukkan tubuhnya sedikit agar aku tidak perlu berjinjit untuk mengusap kepalanya. Kembali, semua orang yang berada disini terlihat kagum denganku.
"Yang Mulia Putri berhasil menenangkan Raja Gilgamesh!"
"Wah Putri menenangkan singa yang mengamuk!"
"Raja Gilgamesh seperti singa yang tunduk kepada pawangnya!!"
Kalimat-kalimat itu terdengar. Hei, bisakah kalian kecilkan suara kalian? Gilgamesh merangkul pinggangku dan dia membawaku pergi dari tempat ini, meninggalkan mereka yang masih menatap kami dengan kagum.
End of Reader's POV
.
.
.
.
.
Author's Note:
Yo dan kembali lagi dengan ane!
Maaf kalau chapter ini gaje, ada typo, ada kesalahan informasi, dsb desu! Tapi ane harap kalian akan menyukai chapter ini!
Jangan lupa untuk memberikan vote dan komen! Lalu memfollow akun ini jika berkenan! Masih berharap kalau watty akan segera bener, ga heng trus!
Jngn lupa juga bca crita ane yg lain! Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top