Bab 9

"Zahara!"

Seorang gadis sepantaran denganku, berambut panjang sama seperti punyaku, berjaket ungu tua, dan sedikit lebih cantik ketimbang diriku (berat untuk mengakui satu hal ini) baru saja berteriak menyebut nama depanku dengan mode volume paling kencang. Wajahnya yang sudah terpoles aneka kosmetik terlihat menyegarkan mata, apalagi warna bibirnya yang merah muda membuat gadis itu dua kali lipat lebih manis daripada biasanya.

Namanya Tara, temanku sejak SMP. Ia bekerja di minimarket bersama dengan si Nurdin dan Andry. Lalu ada seorang lagi, tapi aku tak begitu akrab dengannya. Tapi, masalahnya kenapa sepagi ini ia sudah bertandang ke rumahku? Astaga! Bagaimana jika Tara tahu aku menyembunyikan seorang cowok tampan di rumahku?

Prince! Bersembunyilah!

"Kok kamu ke sini pagi-pagi? Nggak pakai kabar lagi..." Nada suaraku pasti terdengar jelek dan kaku, tak seperti biasa ceplas ceplos khas seorang Zahara Maharani.

"Lho, bukannya kemarin kamu mencariku? Nurdin bilang kamu datang ke minimarket kemarin..."

Tapi, setidaknya Tara bisa menelepon dulu sebelum datang. Minimal mengabari lewat pesan, kek. Bukan muncul tiba-tiba seolah baru saja jatuh dari langit seperti ini.

"I-iya, tapi..."

Gayaku pasti tampak aneh di mata Tara. Biasanya aku kan paling antusias menyambut kemunculan Tara seperti ini, apalagi jika ia membawa sebuah kantung kresek berisi nasi bungkus atau gorengan. Ibarat pengemis yang tidak makan selama dua hari aku akan melahap habis makanan yang ia bawa untukku.

"Aku kebelet nih, Za. Pinjam toiletnya, ya."

Tanpa bisa kucegah, gadis kasir minimarket itu langsung menerobos masuk ke dalam rumahku.

Lalu bagaimana dengan Prince? batinku panik. Tadi aku melihat cowok itu masih bergelung dengan nyaman di sofa ruang tengah dan belum beringsut seinchi pun. Pemalas itu bisa tidur seharian di sana tanpa memedulikan apapun di sekitarnya. Sementara jalur dari pintu depan menuju ke toilet harus melewati ruang tengah. Otomatis Tara akan melihat Prince, kan?

Bagaimana ini? Apa aku harus membungkam mulut Tara agar tidak menceritakan perihal Prince pada Kak Zayn? Jika Kak Zayn tahu aku tinggal bersama cowok tampan, aku bisa diusir dari rumah ini tanpa ampun. Aku tidak mau menghabiskan masa mudaku dengan menjadi gelandangan.

Apa yang akan terjadi, maka terjadilah, batinku pasrah. Aku hanya harus memikirkan cara untuk membujuk Tara agar tutup mulut bagaimanapun caranya. Kalau perlu aku akan menyogoknya dengan sisa harta benda yang kupunya atau aku akan mengabdikan diri padanya. Apapun itu, asalkan Tara berdiri di pihakku.

"Kenapa masih bengong di sini?"

Tara menepuk punggungku dari belakang selang beberapa menit kemudian.

"Sudah ke toiletnya?" Aku membalik tubuh, tapi sulit untuk bersikap wajar di hadapannya.

"Ya," sahut gadis itu tanpa menunjukkan sikap yang mencurigakan. Mungkinkah Prince mendengar suara hatiku dan bersembunyi sebelum Tara masuk ke dalam rumah? "Kamu punya kucing sekarang?"

"Hah?" Bibirku tergeragap. Kucing?

"Kucing yang tidur di sofa itu kucing kamu, kan?"

Aku bergeming. Tara baru saja bilang kucing yang tidur di sofa, kan? Bukan seorang cowok tampan rupawan nan menggemaskan. Itu berarti yang dilihat Tara adalah sosok Prince dalam wujud kucing dan bukan manusia. Yes! Pasti begitu.

"Ya," sahutku diselingi anggukan tidak jelas. Dadaku spontan plong. "Yuk, masuk."

Tapi, ketika aku dan Tara berjalan melewati ruang tengah, yang kulihat sedang bergelung di sofa ruang tengah bukannya seekor kucing, melainkan sosok Prince. Apa jangan-jangan hanya aku yang bisa melihat wujud Prince sebagai manusia?

"Kita ke ruang makan saja," ucapku. Aku menyambar lengan Tara saking paniknya. Gadis kasir minimarket itu nyaris menjatuhkan tubuh di atas sofa ruang tengah persis di sebelah tubuh Prince.

"Bukannya enak ngobrol di sini?"

"Ya, tapi ntar kucingku bangun gara-gara kita berisik," selorohku sembari menyeret gadis itu menuju dapur. Kali ini aku bisa memaafkannya karena tidak membawa 'upeti' untukku.

"Memangnya sejak kapan kamu jadi pecinta binatang, hah?"

"Sudah, nggak usah pakai protes segala," hardikku. Aku baru melepaskan lengan Tara ketika kami tiba di ruang makan. "Cokelat dingin atau panas?" tawarku seraya terus berjalan ke dapur.

"Dingin."

"Kamu pesan makanan, gih."

"Kamu yang bayar?"

"Nggak, patungan."

Aku cekikikan melihat reaksi Tara yang memasang wajah cemberut.

"Memangnya uang dari Kak Zayn mau dipakai buat mandi, hah?" Gadis itu mengolokku.

"Kamu tahu kan, Kak Zayn itu pelit. Uang darinya cuma cukup buat makan. Masih untung mama sering ke sini buat mengisi kulkas," jelasku seraya mengambil sebungkus cokelat instan dari dalam laci lalu menuang isinya ke dalam sebuah gelas bening.

"Bukannya uang kiriman Kak Zayn yang sedikit kali, Za. Kamu yang boros." Ia mengolokku lagi.

"Kalau kamu mau mengolokku mendingan kamu pulang sana." Sendok dalam genggamanku siap melayang ke kepala Tara.

Bukannya takut, ia malah meledakkan tawa seolah kemarahanku adalah sebuah kebahagiaan untuknya.

"Nurdin pasti suka melihat kamu marah seperti ini, Za. Kamu nggak tahu kan, kalau sebenarnya dia naksir kamu."

"Amit-amit, deh." Membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri tegak.

"Kenapa? Kan banyak tuh, novel-novel yang bertema benci jadi cinta. Siapa tahu kelak kamu menikah dengan Nurdin. Jodoh orang nggak ada yang tahu, kan?"

Plak!

Sendok yang tadi urung kulempar ke kepala Tara, akhirnya terbang juga ke arah gadis itu. Tapi, dengan gerakan gesit ia menghindari benda logam itu.

Kenapa Nurdin yang malah jadi topik pembahasan kami, sih?

Aku selesai meracik segelas cokelat dingin untuk Tara. Pertikaian semacam tadi sudah kerap terjadi antara aku dan Kak Zayn. Dan Tara hanya selingan saja.

"Kamu baca novel baruku nggak?" Aku menyudahi perdebatan kecil itu dan menyuguhkan gelas cokelat dingin ke hadapan Tara.

"Ya." Gadis itu langsung menyambar gelas cokelat dan menyesap isinya seperti orang kehausan.

"Menurut kamu ceritanya bagus nggak?" Aku menarik kursi dan duduk di dekat Tara dengan membawa gelasku sendiri. Pendapat teman baikku itu sangat penting dan berarti untukku. Meski komentarnya kerap melukai harga diriku.

"Masih belum bisa dibilang bagus banget, sih."

Aku bahkan pernah mendengar komentar lebih pedas dari itu. Tara selalu objektif saat menilai ceritaku. Tapi, sejujurnya penilaian Tara sangat melukai perasaanku.

"Ending-nya selalu bisa ditebak, Za," imbuhnya. 

"Masa?"

Tara hanya mengedik lalu menyesap minumannya lagi.

Apa aku memang tidak seberbakat itu?

"Lalu apa aku harus merubah ending-nya?" Masukan dari pembaca yang sifatnya membangun sangat kubutuhkan. Tara juga salah satu pembaca novelku, kan?

"Terserah." Tara bersikap cuek.

"Apa aku memang nggak cocok jadi penulis?"

"Kamu baru sadar sekarang?" sindirnya sambil mengerling nakal.

"Dasar," desisku geram.

"Aku sudah pernah menyuruh kamu untuk mencari pekerjaan yang jelas, Kak Zayn juga bilang begitu, kan?"

"Iya, sih. Tapi, kamu sendiri tahu aku paling suka menulis, Tar."

"Tapi, menulis nggak bisa untuk menghidupi diri kamu, Za. Jangan mimpi, deh. Kalau orang lain mungkin bisa, tapi kamu nggak beruntung di bidang ini. Bukannya aku bilang kamu nggak berbakat, lho. Kamu cuma nggak beruntung saja."

Terima kasih sudah mematahkan semangat sekaligus harapanku, batinku.

"Buatku sama saja," gumamku nyaris tanpa tenaga.

"Kesuksesan seseorang itu terdiri dari tiga komponen utama, Za. Pertama bakat, kedua kerja keras, dan yang ketiga keberuntungan. Mungkin kamu punya bakat meskipun sedikit, dan kerja keras kamu untuk menulis sudah nggak perlu diragukan lagi. Sayangnya kamu nggak dinaungi Dewi Fortuna."

Pembicaraan kami semakin tidak jelas.

"Mendingan kamu pergi, deh. Sebelum darah tinggiku kumat." Aku memaksa gadis itu agar bangun dari kursi dan mendorong tubuhnya menjauh.

"Kamu nggak titip salam pada Nurdin?"

"Masa bodoh!"

Tara ngakak keras-keras mendengar luapan kekesalanku, membuatku bertambah semangat untuk mengusirnya. Bukannya memberi semangat, malah mematahkan harapan yang kubangun susah payah setiap malam. Huh!

***

09 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top