Bab 8

Aku:

Apa di sana masih musim dingin?

Sebuah pesan singkat berisi basa basi tidak penting kukirim ke ponsel Kak Zayn malam ini. Awalnya sih, aku berniat untuk menulis lanjutan novel, tapi buntu ide. Alhasil untuk mengisi kekosongan dan menunggu kantuk datang menyapa, aku iseng mengirim pesan pada Kak Zayn. Kalau aku beruntung, ide untuk melanjutkan novelku akan muncul tiba-tiba. Semoga begitu.

Kupikir Kak Zayn sudah tidur di jam segini. Selisih waktu antara Indonesia dan Korea Selatan adalah dua jam. Sementara di sini jam menunjuk angka sepuluh malam. Jadi, besar kemungkinannya Kak Zayn sudah terlelap. Namun, dua menit berselang balasan dari Kak Zayn masuk ke dalam ponselku.

Kak Zayn:

Hampir berakhir. Kamu nggak berharap aku membeku di musim dingin ini, kan?

Aku terkikik pelan membaca balasan dari Kak Zayn. Sesaat kemudian sebuah foto ia kirimkan padaku. Gambar Kak Zayn yang sedang berdiri di ruang terbuka dengan tumpukan salju di belakang tubuhnya. Melihatnya mengenakan mantel tebal membuatku iri setengah mati. Bagaimana aku tidak iri saat melihatnya tampak mirip dengan oppa-oppa dalam drama Korea? Mengesalkan.

Aku:

Aku hanya berharap Kak Zayn segera mengirim sejumlah dana segar ke rekeningku.

Kak Zayn:

Dasar matre!

Kalau tidak matre, mana aku bisa hidup? Ada-ada saja. Padahal sudah tahu aku ini pengangguran.

Aku melempar ponsel ke atas bantal dan berharap emoji marah yang Kak Zayn cantumkan di akhir kalimatnya menggelinding jatuh. Lebih baik tak membalas pesannya dan pergi tidur, pikirku.

Rasanya aku baru tertidur sepuluh menit yang lalu saat telingaku menangkap suara-suara aneh dan cenderung berisik. Alhasil tidurku yang lelap jadu terusik.

Awalnya aku tak ingin memedulikan suara itu dan bermaksud melanjutkan tidurku yang teramat sangat berharga. Tapi, suara ganjil itu kembali mengusik indra pendengaran.

Apa ada maling masuk rumah?

Dugaan buruk itu membuat gerak refleksku bekerja dengan sigap. Aku kan tinggal sendiri, bagaimana jika ada penjahat yang menerobos masuk dengan paksa ke dalam rumah dan mengincar sesuatu yang berharga di sini? Setidaknya aku masih menyimpan sebuah kotak berisi perhiasan yang diberikan Mama sebagai 'cadangan' di masa depan. Meski aku tak berharap akan jatuh miskin suatu hari nanti dan harus menjual perhiasan itu. Tapi, tetap saja isi kotak itu sangat berarti untukku. Ah, bagaimana jika penjahat itu selain mengincar harta benda di rumah ini, juga mengincar diriku? Aku kan lumayan cantik. Masih perawan lagi. Oh, God!

Eh, tapi tunggu sebentar. Bukankah aku tidak tinggal sendiri di rumah ini? Ada Prince yang tidur di sofa ruang tengah. Cowok jelmaan kucing belang yang kini sedang menjalankannya misi balas budi itu pasti akan melindungiku. Dalam kondisi darurat yang tidak terduga dan sangat terpaksa ia bisa kukorbankan. Aku boleh melakukan itu, kan?

Kepalaku menggeleng kuat-kuat demi mengusir pikiran konyol bin aneh itu dari otakku. Apa aku akan bertindak sekejam itu pada Prince? Aku kan manusia yang punya hati dan perasaan. Juga ginjal dan lain-lain.

Berhasil mengatasi pikiran-pikiran tak masuk akal itu, aku bergegas turun dari tempat tidur lalu berjalan mengendap keluar kamar.

Ruang tengah tampak temaram karena hanya ada satu lampu duduk yang dibiarkan menyala saat malam hari. Sedang ruang tamu dan dapur sama sekali gelap gulita. Suasana di ruang tengah terkesan tenang dan mencekam. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika penjahat itu sedang bersembunyi di suatu tempat dan menungguku keluar?

Saat terjadi perang batin yang sengit dalam diriku, antara melanjutkan langkah ke arah saklar lampu dan menekan tombolnya agar segenap penjuru ruang tengah terang benderang atau kembali masuk ke dalam kamar lalu bersembunyi di sana sampai pagi tiba, sebuah pukulan kecil dan tak sopan justru mendarat di puncak kepalaku. Sudah kubilang sebelumnya aku bukan tipe orang yang gampang menjerit histeris ketika terkejut, tapi kini situasinya berbeda. Dalam kepanikan dan ketegangan luar biasa, jeritan kecil lolos dari mulutku begitu saja.

"Aww!"

Sesosok bayangan hitam meringsek maju ke hadapanku. Wajahnya kurang begitu jelas karena pencahayaan yang buruk di ruang tengah. Entah siapa dirinya aku tak ingin menebak-nebak. Aku juga enggan mencari tahu.

"Hei!"

Sebuah tepukan lain mendarat. Kali ini di atas pundak kiriku. Membuatku takut setengah mati.

"Kamu kenapa?"

Demi mendengar suara yang sudah kuhafal dengan baik dan akrab di telingaku beberapa waktu terakhir, aku langsung menghela napas lega luar biasa. Dadaku rasanya plong.

"Prince!" Dengan sekuat tenaga aku balas menepuk dada cowok itu, tanpa memikirkan dampaknya. "Kamu hampir membuatku kena serangan jantung, tahu nggak?!" teriakku lantang. Tak peduli malam telah merangkak ke dini hari. Kupikir aku tadi tertidur selama sepuluh menit, tapi faktanya sudah lebih dari dua jam.

"Aku nggak bermaksud mengejutkan kamu," jelasnya, tapi tak kugubris. Aku berjalan ke arah saklar lampu lalu menekannya agar tempat itu terang benderang. Supaya aura mencekam dan rasa takut yang tadi sempat menyelinap paksa ke dalam dadaku hilang sepenuhnya.

"Memangnya apa yang kamu lakukan tadi, hah? Gara-gara kamu aku nggak bisa tidur," omelku uring-uringan. Kalau bukan Prince siapa lagi yang membuat keributan di malam setenang ini? Maling atau penjahat cuma ada dalam ekspektasiku belaka. Sepanjang aku hidup, rumah ini aman dari jarahan penjahat manapun.

"Ini," ucap Prince yang sejurus kemudian mengulurkan 'sesuatu' ke hadapanku.

Sontak saja aku terkejut bukan kepalang ketika menyaksikan seekor tikus tergantung di depan wajahku. Prince memegang ujung ekornya dan tikus itu meronta-ronta ingin dilepaskan. Geli!

"Singkirkan itu jauh-jauh dariku, cepat!" teriakku nyalang.

"Kenapa? Dia lucu, kan?"

"Cepat buang tikus itu!"

Prince bergegas menuruti perintahku. Cowok itu berjalan keluar dan baru kembali ke ruang tengah beberapa menit kemudian. Entah diapakan tikus itu.

"Kamu nggak makan tikus itu, kan?"

Saat ia kembali ke hadapanku, aku mencermati wajah cowok itu. Takutnya ada sesuatu yang mengindikasikan kalau Prince memangsa binatang pengerat itu. Normalnya di dalam hukum rantai makanan, tikus merupakan mangsa  kucing, tapi Prince berwujud manusia sekarang. Aku tidak rela jika ia melahap tikus itu hidup-hidup. Bahkan membayangkannya pun aku enggan. Itu akan merusak image Prince di mataku.

Akan tetapi, aku tak menemukan sesuatu yang menjurus ke arah pembunuhan di wajah Prince. Area sekitar bibirnya bersih tanpa noda. Semoga ia hanya membuang tikus itu dan tidak melahapnya.

"Nggak."

Oh, jawaban yang melegakan.

"Syukurlah," desisku. Napasku kian teratur sekarang.

"Aku menyimpannya di toples untuk dimakan nanti."

"Apa?!!"

Cowok itu menghamburkan ledakan tawa yang cukup keras, bahkan ia harus memegangi perutnya. Tak peduli ekspresi wajahku yang hancur berantakan gara-gara dirinya.

"Aku bercanda, Zahara." Setelah puas terpingkal-pingkal, barulah ia menjelaskan hal yang sesungguhnya. "Aku membuangnya ke got depan rumah."

"Dasar!" makiku sambil berlalu dari depan Prince.

"Kamu marah?"

Cowok itu mengekor langkahku hingga ke depan pintu kamar dan ia nyaris menubrukku saat aku tiba-tiba memutar badan untuk menghentikan aksinya.

"Jangan mengikutiku!"

"Maafkan aku ... "

Aku mengembuskan napas kesal. Melihat mimik wajah melas Prince membuatku tidak tega untuk menumpahkan amarah lebih dari yang kulakukan tadi. Harus kuakui ketampanan cowok itu sanggup meluluhkan bongkahan es di dalam hatiku.

"Lain kali aku nggak mau melihat kamu menangkap tikus seperti tadi, mengerti?"

"Ya," angguknya tanpa mengajukan syarat. Memang sih, nalurinya sebagai kucing masih melekat kuat dalam dirinya, tapi selama aku bisa memberinya makanan yang layak, hal seperti tadi semestinya bisa dihindari.

"Aku mau tidur lagi."

Prince masih mematung di tempatnya ketika aku memutar tubuh lalu berjalan masuk ke dalam kamar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top