Bab 7

"Kalau kamu punya misi balas budi, berarti ada kucing lain yang sedang menjalankan misi balas dendam, dong," ucapku di suatu pagi yang mendung. Sepertinya hujan akan turun tak lama lagi. Yeah, minimal gerimis tipis lah.

Saat ini aku sedang duduk santai dengan ditemani secangkir cokelat hangat. Lumayan untuk menepis hawa dingin yang ditawarkan cuaca di luar sana. Pasalnya Prince membiarkan jendela yang terpasang di dinding dapur terkuak separuh, menyebabkan angin yang beraroma embun berembus masuk ke dalam ruangan.

Sementara Prince yang sedari pagi sudah membalut tubuhnya menggunakan selembar celemek berwarna merah muda yang biasa dipakai mama saat memasak, sedang sibuk di depan kompor yang menyala lengkap dengan penggorengan di atasnya. Tadi pagi aku sengaja menyuruh cowok itu agar memasak nasi goreng untukku. Sikapku mungkin tampak keterlaluan, mirip nyonya rumah yang kejam pada pembantunya. Tapi, mau bagaimana lagi. Semenjak Prince tinggal di rumah ini beberapa hari yang lalu dan memasak makanan untukku, aku jatuh cinta pada rasa masakannya dan jadi ketagihan. Apapun yang dia masak semuanya terasa lezat. Aku jamin seminggu lagi bantalan lemak di pipi dan bagian tubuhku yang lain akan menumpuk. Hanya saja masalahnya persediaan bahan makanan di kulkas lebih cepat habis ketimbang sebelum Prince datang dalam kehidupanku.

"Aku nggak tahu." Cowok itu menjawab tanpa menoleh. Ia benar-benar sibuk dengan masakannya. Sejurus kemudian aroma wangi bumbu yang sedang ia tumis merebak ke mana-mana memenuhi seluruh penjuru dapur dan ruang makan tempatku berada. Membuatku harus menelan air liur berulang kali.

"Memangnya kalian nggak pernah saling komunikasi? Maksudku sesama kucing."

Pertanyaanku mengundang Prince untuk membalik tubuh.

"Apa kamu pernah melihat kucing ngobrol dengan sesamanya?"

"Nggak sih," jawabku cepat dan ngawur. Bahasa kucing cuma meong, kan? Memangnya ada yang lain?

"Kami bangsa kucing nggak pernah berbagi rahasia dengan sesama kucing. Kalaupun ada, mungkin cuma satu atau dua. Kebanyakan dari kami lebih suka menyimpan rahasia," ungkapnya.

Cukup menarik, batinku.

"Lanjutkan. Nanti nasi gorengnya gosong," celutukku berusaha untuk memperingatkan Prince. Kalau kami terlibat percakapan lebih lama, bisa-bisa nasi goreng yang sedang ia masak berubah jadi kerak dan menempel di dasar penggorengan.

Akhirnya gerimis turun dan membawa hawa dingin masuk lebih jauh ke dalam ruangan. Aku menyesap cokelat hangatku.

Entah bagaimana kabar Kak Zayn di negeri nun jauh di sana. Apa musim dingin masih berlangsung hingga sekarang? Tahun lalu saat musim semi tiba Kak Zayn mengirim beberapa buah foto dirinya yang sedang berada di bawah pohon sakura yang bunganya sedang mekar. Aku tahu laki-laki pemarah itu ingin pamer padaku. Kak Zayn paling tahu kalau aku sangat ingin pergi ke negeri ginseng itu.

Sejujurnya diam-diam aku merindukan Kak Zayn. Tapi, saat kami tinggal bersama tidak pernah ada satupun hari berlalu tanpa sebuah perdebatan, sekecil apapun itu. Apa laki-laki pemarah itu juga merindukanku?

"Melamun?"

Sepiring nasi goreng yang berhiaskan irisan sosis tipis di atasnya, Prince letakkan di depanku sambil membuyarkan lamunanku dengan sengaja. Ia pasti sudah merencanakan ini sebelumnya.

"Sedikit," jawabku tak ingin menampik.

Prince mengambil sebuah piring lagi dari dapur lalu menempati sebuah kursi kayu yang tak jauh dari tempat dudukku.

"Kenapa sosismu lebih banyak dari punyaku?" protesku saat mendapati piring nasi goreng yang berada di hadapan Prince berhiaskan potongan sosis yang jumlahnya dua kali lipat dari kepunyaanku. Irisannya pun jauh lebih tebal. Ini tidak adil.

"Karena ini adalah makanan pertama yang kamu berikan padaku waktu itu dan aku sangat menyukainya. Kamu belum lupa kejadian itu, kan?"

Cowok itu mengungkit kejadian malam itu hanya untuk meredakan aksi protesku perihal sosis. Ya sudahlah, biarkan dia bertindak sesuka hatinya. Asal masih wajar, bagiku it's okay.

"Aku akan pergi keluar nanti," beritahuku di sela-sela sarapan. Rencanaku untuk bertemu dengan Tara tertunda selama beberapa hari karena kemunculan Prince yang tiba-tiba. Kalau hanya untuk membahas masalah sepele semisal gosip, aku bisa membahasnya dengan Tara via pesan instan atau pesan suara jika aku benar-benar kelelahan untuk sekadar menggerakkan jari jemariku di atas papan keyboard smartphone. Tapi, ini soal karir dan keberlangsungan hidupku. Aku harus membahasnya secara langsung dengan Tara.

"Ke mana?"

"Menemui temanku sekalian beli sosis, tapi kamu nggak usah ikut," ucapku mengantisipasi. Sekalipun Prince tampan dan menggemaskan, aku tidak sudi mengajaknya keluar bersamaku. Akan timbul fitnah kejam padaku jika orang-orang melihat Prince.

"Jangan cemas. Aku juga nggak bakalan ikut sekalipun kamu mengajakku."

Aku mendelik ke arahnya.

Ya, itu bagus, batinku.

"Tapi masih hujan di luar," ucap cowok itu usai menoleh sekilas ke arah jendela dapur yang masih menampilkan pemandangan gerimis di luar sana.

"Nanti kalau hujannya sudah reda."

Aku melangkah keluar rumah dua jam kemudian setelah hujan benar-benar berhenti. Ketika matahari muncul dari balik persembunyiannya dan langit menampilkan rona kebiru-biruan.

Namun, rencana yang sudah kususun rapi sedemikian rupa malah meleset. Tara tidak ada di minimarket seperti perkiraanku. Pasti jadwalnya berubah.

"Hai, Za. Tumben kemari." Andry, karyawan minimarket yang sedang berdiri di belakang meja kasir langsung menyambut kedatanganku. Sebagai teman baik Tara, otomatis aku mengenal semua karyawan di sana.

"Tara mana?" Aku celingukan mencari gadis itu dan tak menemukan dirinya di segenap penjuru minimarket, tapi masih bertanya.

"Dia masuk sore. Memangnya kamu nggak tahu?"

"Kalau tahu dia nggak ada, aku nggak bakal ke sini," timpalku sewot.

"Jangan suka ngambek, Za. Ntar cantiknya nambah lho!"

Celutukan garing mendadak terdengar dari balik punggungku. Dengan tepukan pelan di kepalaku pula.

"Nurdin sialan!" makiku keceplosan.

Cowok setengah tampan yang kupanggil dengan nama Nurdin itu meledakkan tawa renyah meski sudah kumaki. Ia berjalan masuk ke 'area terbatas' karyawan, lebih tepatnya ke samping Andry di belakang meja kasir. Di tangannya ada sebuah gulungan kertas yang tadi ia gunakan untuk memukul kepalaku. Untungnya hanya gulungan kertas, kalau tongkat bisbol bagaimana coba?

Sebenarnya nama cowok berambut cepak itu bukan Nurdin, melainkan Dendy. Nurdin hanyalah nama yang sengaja kupilihkan khususnya karena tingkat kejailan cowok itu di ambang batas kewajaran. Aku dan Nurdin ibarat kucing dan anjing, susah akurnya.

Sedang Andry hanya mesem. Mungkin ia sedang tidak bersemangat untuk memamerkan deretan gigi putihnya.

"Kembali saja nanti sore, Za," usul Andry terdengar masuk akal.

"Malas, ah."

"Kalau malas bolak balik ke sini, mendingan kamu tunggu di sini sampai Tara datang, deh." Nurdin ikut-ikutan memberi masukan, tapi tidak masuk akal.

Usul yang tidak perlu dipertimbangkan lagi, batinku kesal. Sudah pasti akan kutolak mentah-mentah. Dasar Nurdin!

"Nggak banget," desisku. Aku memasang wajah sangar khusus untuk Nurdin. "Aku balik dulu," pamitku segera. Lebih lama berhadapan dengan Nurdin bisa meningkatkan aliran darah ke otak. Siapa yang suka terkena penyakit darah tinggi di usia 20-an?

"Nggak belanja apa dulu gitu sebelum pergi?" seru Nurdin membuatku langsung menghentikan gerakan kedua kakiku.

Oh ya, tadi kan aku bilang pada Prince akan membeli sosis. Karena ingin menghindari sakit darah tinggi, penyakit pikun malah gencar mengintaiku. 

"Ya..." Aku membalik tubuh. "aku beli sosis saja, deh."

Akhirnya aku membeli dua bungkus sosis sebelum meninggalkan minimarket. Namun, begitu sampai di rumah kulihat Prince sedang tidur bergelung di atas sofa ruang tengah. Pantas saja tadi ia menolak keras untuk ikut pergi denganku. Makhluk jelmaan kucing itu rupanya punya rencana sendiri, apalagi kalau bukan tidur.

***

07 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top