Bab 5
Aku sengaja mengangkat kedua kaki lalu duduk bersila di atas sofa tepat di saat Prince memulai ceritanya.
"Apa kamu tahu mitos yang menyebut bahwa kucing memiliki sembilan nyawa?"
"Ya."
"Apa kamu memercayainya?"
"Nggak."
Raut wajah Prince berubah kecewa usai mendengar jawabanku. Kehadirannya saja masih belum kupercayai sepenuhnya, apalagi mitos yang menyebutkan kalau kucing memiliki sembilan nyawa.
"Asal kamu tahu, aku adalah kucing yang sudah terlahir sembilan kali dan mati delapan kali. Jadi, kesimpulannya ini adalah kesempatan hidup yang terakhir untukku."
Oh?
Aku tertegun antara percaya dan tidak. Kisah ini seperti vampir atau gumiho yang hidup selama ratusan tahun.
"Lalu?"
Aku mulai tertarik pada cerita cowok tampan itu. Siapa tahu kisahnya bisa kujadikan novel. Tak apa kan, memanfaatkan pengalaman seseorang demi kepentingan pribadi?
"Selama delapan kali aku hidup, aku nggak pernah sekalipun mengecap kebahagiaan. Hidupku sengsara dan penuh derita. Beberapa waktu setelah aku lahir, aku selalu dipisahkan dari ibuku dan dibuang ke jalanan. Aku terlunta-lunta ke sana kemari. Aku kelaparan, kehausan, dan kedinginan. Tapi, nggak pernah ada seorang pun yang mau menolongku. Mereka semua jijik melihat penampilanku yang kotor dan penyakitan. Mereka mengusir, bahkan menendangku tanpa ampun. Padahal aku cuma minta makanan sisa dari mereka, tapi manusia-manusia itu nggak punya belas kasihan padaku. Aku terpaksa bertahan hidup dengan caraku sendiri."
Ketika Prince memaparkan kisah hidupnya, sepasang mata cowok itu menatap nanar ke depan. Meski tak dibumbui air mata, tetap saja kesedihan jelas terbaca di wajahnya.
Aku pun tak bisa membendung rasa haru dalam hati.
Ia melanjutkan penuturannya,
"Di akhir hidupku yang ke-delapan, aku meminta pada Tuhan. Aku ingin terlahir sebagai kucing yang bahagia di kehidupanku yang ke-sembilan. Paling nggak, di kehidupanku yang terakhir aku ingin punya tempat tinggal yang nyaman dan ada seseorang yang bersedia merawatku dengan tulus."
Apa itu aku? batinku percaya diri.
"Apa permohonanmu tercapai?" pancingku penasaran.
"Kurang lebih begitu," jawabnya tak memberiku kepastian.
"Lalu kenapa kamu berubah jadi manusia? Apa itu juga masuk dalam daftar permohonanmu?"
"Ya." Ia mengangguk dengan mantap. "Aku berdoa supaya diberi kesempatan untuk berubah jadi manusia agar aku bisa membalas budi pada orang yang sudah menolongku. Dan karena kamu sudah menyelamatkanku malam itu, lalu membiarkan aku tinggal di rumahmu yang nyaman, aku muncul di hadapanmu sebagai manusia untuk membalas kebaikanmu."
Ini mirip seperti kisah burung bangau yang membalas budi, bukan?
Tanpa kusadari senyum getir terbit di bibir. Aku atau dia yang sebenarnya tidak waras di sini? Mana mungkin ada kisah semacam itu di dunia ini? Hanya karena aku menolong dan mengadopsi seekor kucing dari jalan, aku mendapatkan perlakuan seistimewa ini. Padahal ada lebih banyak orang yang memungut kucing-kucing liar dari jalanan lalu merawat mereka tanpa pamrih. Tapi, kenapa hal ini justru terjadi padaku?
"Lantas dengan cara apa kamu akan membalas budi padaku? Apa kamu bisa mengabulkan permintaan?"
"Nggak. Aku bukan jin lampu wasiat."
"Lalu?"
"Aku akan tinggal di sini sampai misi balas budi ini selesai."
Seperti itu?
"Apa aku bisa menyuruhmu untuk melakukan sesuatu?" Aku perlu menguji Prince.
"Tentu."
Wah, itu bagus, decakku girang. Tapi, aku tidak akan melakukan itu sekarang. Prince baru saja sembuh dari sakit. Aku akan terlihat sangat kejam jika menyuruh cowok itu untuk melakukan sebuah pekerjaan di masa pemulihannya.
"Kalau begitu kamu istirahat saja, biar aku membuat sarapan."
"Biar aku saja. Aku sudah sembuh, kok."
Aku yang terlanjur menjejakkan kedua kaki di atas lantai, menelengkan kepala ke arahnya. Prince telah berdiri tegak di depan sofa.
Tadinya aku ingin memasak sesuatu untuk sarapan karena stok bahan pangan di dalam kulkas masih cukup melimpah.
"Memangnya kamu bisa memasak?" pancingku.
Aku ragu jika jelmaan seekor kucing bisa memasak.
"Aku bisa." Lagaknya menampilkan kondisi fisik yang sehat dan segar bugar. Padahal sejak kemarin pagi hingga malam suhu tubuhnya tinggi, sampai-sampai aku merasa takut akan terjadi sesuatu dengannya.
"Oh, ya?"
"Aku pernah hidup menggelandang di samping sebuah warung makan." Prince mulai bertutur kembali tentang kisah hidupnya tanpa kuminta. "Saat aku bosan menunggu pemilik warung itu melemparkan tulang ayam atau makanan sisa ke tempat sampah, aku duduk bersembunyi agak jauh dari tungku dapur dan mengintip setiap gerak gerik seorang tukang masak di sana. Aku mengamati semua yang dia lakukan, mulai dari meracik bumbu sampai memilih bahan makanan yang akan dimasak. Aku juga sudah kenyang dengan berbagai macam rasa dan aroma masakan lezat. Jadi, kamu nggak perlu ragu akan kemampuanku memasak," tandasnya dengan tingkat kepercayaan diri di atas level rata-rata.
Yeah, apalah daya orang sepertiku yang memiliki kemampuan memasak di level paling rendah. Memberinya komentar pun tak patut kulakukan. Orang dengan kepercayaan diri tinggi semacam Prince mestinya tidak diragukan lagi kemampuannya, kan?
"Oke, aku percaya. Tapi, apa kamu benar-benar sudah baikan? Semalaman kamu demam dan dari kemarin kamu nggak makan sama sekali."
Tetap saja aku mengkhawatirkan kondisinya padahal Prince tampak baik-baik saja sekarang.
"Kamu tahu keistimewaan bangsa kucing seperti kami?"
Jelas aku tidak tahu. Aku kan bangsa manusia.
"Apa?"
"Tubuh kucing bisa mengobati dirinya sendiri saat sakit. Meski tanpa makan sekalipun, seekor kucing mampu bertahan hidup selama beberapa waktu."
"Syukurlah kalau begitu," desisku seraya menghadapkan wajah ke arah lain. Semoga aku tidak tampak sedang mencemaskan dirinya. "Ikut aku."
"Ke mana?"
Aku menoleh kesal.
"Ke dapur. Bukannya kamu tadi mau memasak sesuatu untukku?"
"Oh, iya, iya."
***
06 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top