Bab 32
Tiga bulan telah berselang dan aku berhasil menyelesaikan novel bergenre fantasi yang bercerita tentang Prince. Setiap detail pengalaman yang kualami bersama Prince kuceritakan tanpa ada satu pun yang terlewat. Tapi apa hasilnya? Tidak ada perkembangan signifikan. Ia masih sama seperti novel-novelku terdahulu. Sepi pembaca. Tak ada yang istimewa. Mungkin benar aku tidak diciptakan untuk menjadi seorang penulis populer. Dunia literasi tidak cocok untukku. Secara perlahan aku harus mundur atau tetap bertahan meski tahu tidak ada yang antusias untuk membaca karya-karyaku. Aku selalu merasa bimbang dalam masalah satu ini.
"Za!"
Itu suara Kak Zayn. Ia telah kembali seminggu yang lalu dari negeri ginseng. Entah kenapa teriakannya sekencang itu seolah-olah ingin merobohkan rumah kami.
"Apa?" Usai menutup laptop aku keluar dari kamar dan menemui Kak Zayn yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
"Belikan aku kopi instan di tokonya Bang Imron, gih," suruhnya tanpa memperhatikan kehadiranku. Tangannya sibuk menekan tombol remot televisi.
"Uangnya mana?" Aku mengulurkan tangan ke arahnya.
"Pakai uang kamu dulu. Kemarin kan aku sudah memberi kamu uang belanja."
Aku langsung mencibir sewot.
"Kenapa? Nggak mau?"
"Iya, iya," sahutku kesal. Aku bergegas membalik tubuh dan berlalu dari hadapannya.
"Kalau nggak mau bilang saja!"
Memangnya kalau aku tidak mau, apa ia akan berangkat sendiri ke tokonya Bang Imron?
"Aku ganti baju dulu," beritahuku tanpa menoleh.
Usai mengganti pakaian yang lebih sopan, aku kembali ke hadapan Kak Zayn untuk menawarinya apakah ada barang lain yang ingin dibelinya.
"Ada yang lain? Mumpung ke tokonya Bang Imron," ucapku.
"Kamu belanja sekalian untuk makan malam. Eh, jangan lupa beli biskuit atau cemilan apa, kek. Soalnya temanku mau datang kemari. Aku sama dia mau join buka cafe," tutur Kak Zayn.
"Kenapa mesti join, hah? Bukannya duit Kak Zayn sudah bejibun banyaknya?" heranku. Pergi ke toko kelontongnya Bang Imron sebentar lagi, setelah aku selesai mengobati rasa penasaranku.
"Ya, tapi aku kan belum punya pengalaman."
"Bagaimana kalau Kak Zayn ditipu? Sekarang kan banyak modus penipuan berkedok investasi." Beberapa hari yang lalu aku melihatnya di televisi. Aku kan tidak mau Kak Zayn ditipu. Lebih baik uangnya kugunakan untuk berfoya-foya semisal membeli tas bermerk atau sepatu seperti para artis.
"Nggak mungkin." Ia menjawab dengan enteng, seakan-akan itu tidak akan pernah terjadi padanya.
"Memangnya Kak Zayn kenal baik sama orang itu?"
"Nggak."
"Kok nggak?"
"Sudah pergi sana. Orangnya sudah ada di jalan, nih," bentaknya.
Dengan berat hati aku melaksanakan perintah Kak Zayn. Sepanjang perjalanan ke toko kelontong Bang Imron, otakku terus berpikir tentang segala kemungkinan buruk yang bisa menimpa Kak Zayn. Ia kan baru pulang dari Korea dan punya uang banyak, tentu saja orang yang mengetahui hal itu jadi tertarik dengannya. Dan bisa saja orang itu mau menipu Kak Zayn. Hal itu tidak bisa dibiarkan!
Toko kelontong Bang Imron terlihat sepi. Meja yang biasanya menyediakan aneka sayuran saat pagi, isinya telah menyusut drastis. Hanya ada beberapa papan tempe, seikat kangkung yang sudah layu dan kelapa yang tersedia di atas meja itu. Mau masak apa kalau barang dagangan Bang Imron habis? Apa Kak Zayn mau makan nasi dengan lauk tempe goreng?
"Bang Imron! Beli!"
Panggilanku membuahkan hasil. Setelah menunggu lima detik lamanya, Bang Imron datang ke hadapanku dengan tergopoh-gopoh.
"Oh, Neng Zahara. Mau beli apa, Neng?" sambutnya ramah seperti biasanya. Tak lupa senyum semanis madu ia persembahkan untukku.
"Kopi instan satu renteng, Bang. Sayurannya tinggal ini saja?"
"Ya, Neng. Sudah jam segini sudah habis. Kalau ayam sama ikan ada di kulkas. Neng Zahara mau?"
"Nggak usah. Tempe saja sama telur sekilo."
"Siap, Neng. Tunggu sebentar."
Laki-laki itu kembali ke dalam toko untuk mengambilkan barang-barang permintaanku.
"Ini, Neng." Setelah menunggu lima menit semua belanjaanku siap. Transaksi berjalan lancar.
Aku bergegas pulang setelah menyelesaikan misi yang diberikan Kak Zayn. Mungkin saja teman Kak Zayn sudah sampai di rumah, batinku seraya mempercepat langkah. Aku harus melakukan sesuatu seandainya orang itu bersikap mencurigakan.
Namun, langkah kakiku kian melambat begitu aku hampir sampai di depan rumah.
Sebuah mobil BMW tampak terparkir di tepi jalan dekat rumah kami. Apa mobil itu milik teman yang diceritakan Kak Zayn dan konon akan join dengannya membuka cafe? Ya, tidak salah lagi.
Sebelah kakiku hendak mengayun langkah untuk menyeberang jalan, tapi terhenti mendadak saat ekor mataku menangkap bayangan seseorang yang baru saja keluar dari rumah kami.
Seorang laki-laki yang memakai setelan jas berwarna biru tua tampak sedang berjalan ke arah mobil BMW yang terparkir di tepi jalan. Ia terlihat sebagai orang kaya, tapi bukan penampilannya yang menarik perhatianku. Sesuatu yang familiar melekat di diri laki-laki itu. Sekalipun sebuah kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya, aku masih bisa mengenali dirinya. Laki-laki itu mirip Prince!
Tidak mungkin. Prince kan sudah pergi tiga bulan lalu. Pasti aku salah lihat. Tapi, kenapa wajah laki-laki itu sama persis dengan wajah Prince? Apa itu masuk akal? Tidak, kan? Prince juga pernah bilang kalau ia hanya punya sembilan nyawa dan siklus kehidupannya akan berakhir. Apa aku harus memastikannya? Bagaimana caranya?
Agh.
Laki-laki itu keburu masuk ke dalam mobil dan melesat pergi sebelum aku sempat menyeberang jalan dan berteriak memanggilnya. Ia sudah pergi sebelum aku memastikan bahwa itu bukan Prince.
"Kak Zayn!"
Aku menerobos masuk ke dalam rumah dengan berlari. Rasa penasaran yang menyerang benakku harus segera dipenuhi sekarang juga.
"Apa? Kenapa lari-lari? Memangnya kamu anak kecil?" omel Kak Zayn yang tampak heran melihatku. Wajahnya tampak kesal bukan kepalang, tapi aku sama sekali tidak peduli.
"Apa yang baru saja keluar tadi teman Kak Zayn?" cecarku cepat.
"Ya."
"Siapa namanya?"
"Kenapa ingin tahu? Bukannya tadi kamu takut aku tertipu?"
"Kak Zayn membatalkan kerjasamanya?"
"Ya," angguk laki-laki itu sambil menatap layar televisi. "Daripada tertipu, mendingan batal, kan?"
"Memangnya Kak Zayn kenal dengan orang itu di mana?"
"Di pesawat."
Di pesawat?
"Dia mirip dengan seseorang yang kukenal," gumamku. Aku meletakkan belanjaan di atas meja lalu menjatuhkan diri di atas sofa di samping Kak Zayn.
"Jangan ngawur. Mana mungkin kamu punya kenalan orang kaya seperti itu? Kalau berkhayal cukup dalam novel, jangan sampai dibawa ke dunia nyata."
"Nggak, ini benar-benar terjadi, Kak."
Seluruh tubuhku lemas. Rasanya aku tidak punya tenaga meskipun hanya untuk membuatkan secangkir kopi instan.
"Sebenarnya kami tadi sepakat untuk membatalkan kerjasama." Kak Zayn mengungkapkan hal yang sesungguhnya sesaat kemudian. "Seperti kamu bilang, aku juga takut tertipu. Dia juga harus kembali ke Korea nanti sore."
"Apa dia orang Korea?"
"Bukan. Dia punya bisnis dengan orang Korea."
"Apa Kak Zayn tahu rumahnya?"
"Mana mungkin aku tahu rumahnya? Lagipula kenapa kamu terus bertanya, sih? Sana pergi ke dapur. Buatkan aku kopi," bentak Kak Zayn galak.
Laki-laki itu pasti bukan Prince. Ia hanya seseorang yang sangat mirip dengannya. Aku saja yang terlalu jauh berimajinasi.
Dan laki-laki itu juga akan kembali ke Korea. Mungkinkah ada jalan untukku bisa melihatnya secara langsung? Aku hanya ingin mengenang Prince dengan melihat wajahnya dari dekat. Tak lebih dari itu.
*** THE END ***
30 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top