Bab 29
"Mau belanja apa, Neng? Tumben kucingnya nggak diajak?" sapa Bang Imron saat aku tiba di depan toko kelontong milik ibunya. Seperti biasa, laki-laki 35 tahun itu mengenakan singlet berwarna putih dengan bawahan sarung kotak-kotak. Selain kedua benda itu, apa di lemari pakaiannya tidak ada yang lain? Gaya busana Bang Imron sangat membosankan.
"Kucingnya lagi nggak mau diajak keluar rumah," jawabku tak bercanda. Tadi aku menawari Prince untuk ikut denganku, tapi ia menolak. Prince lebih memilih untuk tinggal di rumah.
"Oh, begitu?"
"Aku mau beli tempe, telur sekilo, sama ikan asin, Bang." Aku segera menyebutkan apa saja yang ingin kubeli agar bisa cepat pulang. Mumpung sepi.
"Siap, Neng." Bang Imron pun dengan sigap segera menyiapkan barang yang ingin kubeli.
Saat aku menunggu Bang Imron menimbang telur, dua orang ibu-ibu datang. Aku pura-pura melempar senyum ke arah mereka dan jauh dalam hatiku berharap agar Bang Imron segera menyelesaikan timbangannya. Namun, agaknya ia kesulitan untuk melakukannya. Berkali-kali Bang Imron mengganti telur dalam timbangan, tapi belum ada yang pas.
"Bagaimana kabarnya, Za? Kamu baik-baik saja tinggal sendiri?"
Salah seorang dari mereka menegurku. Sungguh, ini bukan pertanda baik bagiku.
"Saya baik, Bu," jawabku berusaha tampil sopan. Meski sebenarnya perasaanku campur aduk. Aku takut nantinya mereka berkata sesuatu yang menyinggung.
"Sekarang kamu bekerja di mana?" Bu Nurlaila kembali bertanya.
"Eh, bukannya Zahara masih nganggur?" tukas Bu Neni pada temannya. "Benar kan, Za?" Bu Neni beralih tanya padaku.
"Lho, benar kamu masih nganggur? Aku pikir kamu sudah bekerja, Za. Soalnya aku jarang melihat kamu di rumah."
Bu Nurlaila melepaskan senyum sedikit mengejek.
Apapun itu, teruskan saja, Ibu-ibu, batinku. Aku sudah lelah menanggapi hal seperti itu. Anggap saja aku seorang selebriti terkenal yang kehidupan pribadinya selalu ingin diketahui publik.
"Ini belanjaannya, Neng."
Bang Imron adalah penyelamatku kali ini. Ia memang bukan Superman yang membasmi kejahatan, tapi Bang Imron sudah menghentikan percakapan ibu-ibu itu.
Setelah membayar belanjaan, aku bergegas pergi meninggalkan toko kelontong Bang Imron. Aku sudah tidak peduli dengan apa yang Bu Nurlaila dan Bu Neni perbincangkan di belakang punggungku. Emak-emak selalu identik dengan ghibah. Biarkan saja.
"Ikan asinnya ada?"
Baru saja aku masuk ke dalam rumah, Prince sudah memberondongku dengan pertanyaan soal ikan asin.
"Ya, ada."
"Mana?"
Aku mengangsurkan kresek belanjaanku ke tangan Prince. Cowok itu segera membawanya ke dapur lalu mengeluarkan bungkusan ikan asin dari kresek.
"Aku mau telur dadar," ucapku seraya mengikuti langkah-langkah Prince ke dapur.
"Tunggu sebentar."
Menu makan siang kami hari ini sangat sederhana. Aku makan nasi dengan lauk telur dadar, sementara Prince menggunakan lauk ikan asin. Pasalnya uang tabunganku kian menipis di penghujung bulan ini. Semenjak Prince hadir di rumah kami pengeluaranku tidak bisa dikontrol. Kak Zayn juga belum mentransfer uang bulanan ke rekeningku. Dan Mama juga jarang datang berkunjung karena banyak acara hajatan yang mesti ia hadiri.
"Maaf, ya. Kita hanya makan seadanya," ucapku di sela-sela acara makan siang sederhana kami. Berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya, kali ini aku mesti menekan pengeluaran jika tak ingin membuat saldo rekeningku kosong. Aku juga tak mungkin memaksa Kak Zayn agar segera mentransfer sejumlah uang karena itu akan membuatnya curiga.
"Nggak pa pa, Za. Ini juga lebih dari cukup. Nasi dan ikan asin enak juga, kok."
Tapi melihatnya makan seperti itu membuatku merasa tak tega.
"Nanti kalau Kak Zayn mengirim uang, aku akan membelikanmu sosis dua toples, oke?"
Prince tertawa renyah mendengar aku mengucapkan janji padanya. Ia tampak dua kali lipat lebih tampan ketimbang saat diam.
"Nggak pa pa, Za. Sungguh, aku baik-baik saja meski cuma makan seperti ini. Asal makan bersama kamu, aku merasa sangat senang," ucapnya seketika membuat hatiku bergetar. Apa ini semacam rayuan gombal?
Aku hanya mengulas senyum tipis tanpa meluncurkan komentar. Aku sedang sibuk menutupi perasaanku yang berbunga-bunga karena ucapan Prince.
"Oh, ya." Tiba-tiba saja aku ingin menanyakan satu hal padanya. "Kalau dulu kamu pernah tinggal di dekat warteg, kenapa kamu bisa kelaparan?"
"Pada suatu hari warteg itu mengalami kebakaran. Pemiliknya memutuskan pindah dan aku nggak tahu ke mana dia pergi. Aku mengembara ke sana kemari dan nggak menemukan tempat untuk ditinggali."
"Memangnya nggak ada warteg-warteg lain yang kamu temui?"
"Ada beberapa. Tapi terlalu banyak saingan. Dan aku masih terlalu muda saat itu. Aku nggak punya keberanian melawan kucing-kucing senior."
Aku bisa membayangkannya.
"Aku sangat berharap bisa mendatangkan keajaiban untuk kamu, Za. Karena kamu sudah bersedia menolongku. Tapi sayangnya aku nggak bisa. Aku hanya bisa membalas budimu dengan cara sederhana," ucap Prince kembali.
"Bagiku kamu adalah keajaiban, Prince. Aku sangat senang kamu hadir dan memberi warna dalam hidupku." Berkat Prince juga aku tidak merasa kesepian lagi. Tapi, aku tak menyebutkan bagian ini secara terang-terangan di depannya.
"Terima kasih atas semuanya, Za."
"Hei!" teriakku menukas kalimat Prince. "Jangan ngomong seperti itu lagi. Kita nggak sedang berpamitan, Prince. Kita sedang makan," tandasku sewot bukan main. Ucapan Prince seolah mengisyaratkan bahwa ia akan menghilang esok hari dan aku sangat membenci hal itu.
"Jangan marah, Za. Aku kan sudah bilang kalau aku akan pergi, aku akan memberi tanda. Kamu nggak lupa, kan?"
Tetap saja ia sudah membuatku merasa tidak nyaman. Kupikir kata-katanya tadi merupakan sebuah tanda. Bukan ya?
***
26 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top