Bab 28
Aku:
Memangnya berapa Kak Zayn membayar Tara untuk memata-mataiku?
Aku mengirim pesan ke ponsel Kak Zayn untuk mengkonfirmasi perihal kebenaran Tara sebagai mata-matanya. Kecurigaanku bukan tanpa bukti. Tinggal Kak Zayn mengakuinya atau tidak.
Kak Zayn:
Mata-mata apa? Kamu ngomong apa sih, Za?
Aku:
Mengaku saja. Aku sudah tahu semuanya.
Kak Zayn:
Lalu?
Aku:
Memangnya aku anak kecil yang mesti diawasi, hah? Aku sudah dewasa, tahu nggak?
Aku menambahkan emoji marah sebagai pelengkap. Biar Kak Zayn tahu kalau aku serius marah padanya. Memangnya dia saja yang bisa marah? Aku juga bisa kesal, kok.
Tapi, agaknya Kak Zayn enggan untuk mengaku. Aku membaca firasat itu dari pesan yang ditulisnya.
Kak Zayn:
Aku bukan mengawasi, cuma ingin tahu keadaanmu, Za.
Aku:
Tapi Kak Zayn kan bisa tanya langsung padaku jika ingin tahu keadaanku.
Kak Zayn:
Ya. Aku minta maaf.
Maaf?
Aku sampai membaca barisan kata itu sebanyak dua kali karena takut salah lihat. Bahkan selama beberapa detik aku terus menatap layar ponselku.
Kak Zayn minta maaf? Gampang sekali dia minta maaf padaku, padahal sebelumnya ia tak pernah melakukannya. Akan lebih tampak masuk akal kalau Kak Zayn bilang ia takut aku menghambur-hamburkan uang kirimannya atau khawatir karena aku tinggal sendiri. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Satu lagi. Kak Zayn juga tidak marah karena aku tidak membayar belanjaanku di minimarket tempat Tara bekerja. Ia malah mengganti uang Tara sebanyak sepuluh kali lipat. Apa Kak Zayn sedang ingin pamer kalau ia banyak uang? Bukankah seharusnya ia mengganti uang Tara sesuai dengan nilai belanjaanku lalu Kak Zayn bisa mengirimkan sisanya untukku? Kenapa ia malah memberi uang pada Tara sebanyak itu? Sangat mencurigakan.
Aku kembali mengetik sebuah pesan untuk Kak Zayn.
Aku:
Apa Kak Zayn suka pada Tara? Nggak, kan?
Dugaan ini semacam firasat yang mengalir begitu saja ke dalam pikiranku. Kak Zayn yang pelit pada adik kandungnya sendiri tiba-tiba memberi sejumlah uang untuk orang lain. Apakah ini masuk akal?
Kak Zayn:
Kenapa kamu berpikir seperti itu?
Aku:
Jawab saja!
Aku sangat butuh pengakuan dari Kak Zayn saat ini juga, makanya aku menambahkan tanda seru di akhir kalimat.
Sebelumnya aku sudah memperingatkan agar Tara tidak menyukai Kak Zayn, tapi semakin lama aku semakin tidak bisa membendung kecurigaanku pada mereka berdua. Jika aku menengok ke belakang, melihat sikap Tara dan mengingat kembali sikap Kak Zayn, patutlah jika ada sesuatu di antara mereka. Tapi, aku tidak bisa membiarkan mereka jatuh cinta apalagi menikah. Harga diriku akan di kemanakan seandainya Kak Zayn dan Tara menikah? Aku sungguh tidak mau menjadi adik ipar Tara. No way!
Kak Zayn:
Aku dan Tara cuma berteman.
Aku tahu Kak Zayn berbohong. Ia pasti takut aku tidak merestui perasaannya pada Tara. Jadi, aku berupaya keras untuk mendesaknya agar mengaku.
Aku:
Dasar pembohong!
Aku menambahkan tiga emoji marah sekaligus.
Tak ada balasan dari Kak Zayn hingga lima menit kemudian. Bahkan hingga ke menit-menit berikutnya juga. Tampaknya Kak Zayn menyudahi percakapan kami sampai di sini. Jelas laki-laki itu ingin menghindar. Dan kesimpulanku benar. Kak Zayn dan Tara memiliki hubungan khusus.
Aku merasa dikhianati lagi.
Aku melempar ponsel ke atas tempat tidur demi melampiaskan rasa kesal yang bertumpuk dengan kecewa di dalam dadaku. Kalau saja aku bisa melempar benda itu ke dinding atau lantai keramik, pasti akan aku lakukan. Tapi sayangnya aku tidak bisa. Aku tidak akan punya ponsel lagi jika benda itu rusak.
Rasanya aku perlu menenangkan diri. Mungkin aku bisa meminta Prince agar membuatkanku makanan, pikirku seraya berjalan keluar kamar. Sebenarnya aku sudah makan malam tiga jam lalu, tapi energiku seperti habis terkuras karena emosi.
Namun, di segenap ruangan tak kudapati sosok Prince. Mungkinkah ia sedang keluar untuk berjalan-jalan? Berburu tikus mungkin? Atau mencari masalah dengan si kucing Oren? Ah, jangan sampai itu terjadi.
Tapi, aku menemukan pintu kamar Kak Zayn terbuka sedikit. Biasanya pintu kamar itu tertutup rapat karena aku jarang masuk ke sana.
Tak ingin didera penasaran lebih lama, aku melangkah menuju ke kamar Kak Zayn. Semoga saja tidak ada pencuri yang masuk.
Aku langsung mengembuskan napas lega begitu melongok ke dalam kamar Kak Zayn dan mendapati sosok Prince tengah tertidur di atas kasur dengan posisi meringkuk. Ia terlihat sangat pulas.
Selama ini ia selalu tidur di sofa ruang tengah dan tak pernah berpindah dari sana. Prince pasti bosan sehingga ia memilih pindah tempat tidur. Itu jauh lebih baik baginya. Di ruang tengah juga kurang nyaman, pasalnya tempat itu tidak steril dari nyamuk.
Seperti dalam banyak film atau drama, aku membentangkan selembar selimut untuk menutupi tubuh Prince. Meski malam ini tidak turun hujan, tapi udara lumayan dingin. Aku hanya ingin membuat tidurnya lebih nyaman lagi.
Menatap seraut wajah Prince yang terlelap dalam damai membuatku dihinggapi perasaan sedih. Seolah aku diingatkan kembali bahwa suatu hari nanti Prince akan menghilang dari dunia ini. Bibir pangeran tampan itu memang terkatup rapat, tapi ucapannya tentang perpisahan terus terngiang di pikiranku.
Aku mungkin bisa mengatasi perasaanku seiring berjalannya waktu, tapi aku tidak akan pernah bisa melupakan jika Prince pernah datang dan mewarnai hidupku.
Selamat malam, Prince tersayang. Tidurlah yang nyenyak.
***
25 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top