Bab 25
Obrolan garing kami berdua masih berlanjut meski isi cangkirku tandas tak bersisa. Kepunyaan Prince juga telah kosong sejak sepuluh menit lalu. Kebanyakan bercerita pasti membuat tenggorokannya kering. Sementara itu hujan di luar tinggal gerimis.
"Kamu belum mengantuk?" tegur Prince yang masih setia duduk di sebelah tubuhku.
"Belum."
"Apa kamu sudah dapat ide mau menuliskan cerita apa?"
Kali ini aku menggeleng. Layar laptopku masih kosong. Belum ada satu kata pun yang terpikirkan olehku. Satu huruf pun belum kuketik. Padahal Prince sudah bicara panjang lebar bak dosen yang sedang memberi materi kuliah pada mahasiswanya, tapi entah kenapa belum muncul ide di dalam kepalaku. Tak biasanya aku sebuntu ini.
"Masa belum?" Ia bertanya lagi dengan nada tak percaya dan sedikit menyinggung hati nuraniku sebagai penulis amatir.
"Hei, membuat cerita itu nggak gampang, Prince. Bicara memang mudah karena apa yang ada dalam pikiranmu bisa kamu omongkan secara langsung, tapi menulis cerita sangat berbeda."
"Benarkah?"
"Ya," anggukku. "Dan aku sendiri juga bukan penulis yang pandai membuat cerita."
Kepala Prince yang ganti mengangguk. Kupikir ia bisa menangkap apa yang kukatakan walau hanya sedikit.
"Apa yang ingin kamu dengar dariku? Mungkin ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan padaku," tawar Prince sejurus kemudian. Aku tahu ia sedang berbaik hati membantuku mencari ide cerita.
Tapi aku tidak langsung menemukan sebuah pertanyaan untuknya. Rasanya Prince sudah menceritakan bagian terkecil dari hidupnya, tapi bisa saja ada yang terlewatkan.
"Apa kamu bahagia?" Aku menoleh ke samping setelah agak lama berpikir. "Maksudku sekarang ini," imbuhku. Kalau di kehidupan-kehidupan Prince sebelumnya ia selalu terlunta-lunta, di kehidupannya yang sekarang mestinya ia merasa lebih baik. Namun, aku ingin mendengarnya secara langsung dari bibir cowok itu.
"Ya," angguk Prince tanpa menunggu lama. "Aku bahagia sekarang ini. Aku bertemu denganmu, aku bisa makan enak, tidur nyenyak, dan ngobrol banyak hal."
"Apa nggak ada sesuatu yang kamu inginkan?"
"Apa? Hidupku sudah lengkap. Rasanya nggak ada lagi yang kuinginkan," ucapnya sembari berpikir.
Mungkin soal cinta tidak masuk dalam list kehidupan Prince. Pada prinsipnya kucing hanya butuh dua hal dalam hidup mereka, yakni makan dan tempat tinggal. Selebihnya tidak penting. Prince pasti juga berpikir sama seperti itu.
"Kamu tahu," Saat aku sedang memikirkannya, Prince melanjutkan perkataan. "suatu hari nanti aku akan pergi, Za."
Napasku tertahan. Seketika aku mengarahkan wajahku ke samping dan tatap mata kami bertumbukan. Ucapannya seperti ujung pisau yang menancap ke dalam dadaku. Sakit.
"Aku tahu," ucapku hampir berbisik. Aku menjatuhkan tatap ke arah lain karena tak sanggup menatap ke arah mata Prince. Perpisahan yang akan kami bahas seolah telah ada di depan mata. Mungkinkah ini malam terakhir untuk kami berdua? Apakah esok Prince akan menghilang?
"Aku takut akan menghilang tiba-tiba tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal padamu."
Menilik dari ucapannya kurasa Prince tidak tahu kapan ia akan pergi. Bukankah tidak ada yang tahu kapan ia akan pergi dari dunia ini sekalipun seekor kucing?
"Kenapa kita membahas ini, sih? Aku nggak suka ... "
"Za." Cowok itu memutus kata-kataku dengan paksa. Kami bertatapan kembali.
Sepasang mata milik Prince memindai bentuk wajahku. Ada keharuan yang terlukis di raut Prince. Apakah ia juga merasakan hal yang kurasakan saat ini, bahwa aku tidak rela kehilangan dirinya?
"Apa kamu akan merindukanku saat aku nggak ada di sini lagi?"
Ya, ampun. Kenapa suasananya sudah berkabung seperti ini padahal Prince masih ada di depanku? Aura mencekam tiba-tiba menyelimuti ruang tengah.
"Ya." Aku tak menutupi perasaanku. Aku akan sangat merindukannya nanti.
"Nanti kalau aku sudah nggak ada, kembalilah ke kehidupanmu semula. Anggap saja aku nggak pernah datang dalam hidupmu."
"Mana bisa seperti itu, Prince?" protesku. Aku sama sekali tidak bisa menerima 'bagian' ini.
"Pokoknya lanjutkan hidup kamu sama seperti sebelumnya. Tulis cerita apapun yang ingin kamu tulis. Lakukan apa saja yang kamu sukai. Tapi jangan genit-genit di depan Bang Imron."
Aish, di saat-saat seperti ini pun ia masih sempat bercanda. Apa ia tidak tahu jika aku sedang menahan tangis sekarang?
"Memangnya kamu akan pergi dalam waktu dekat?" tanyaku ingin kejelasan. Mungkin saja ia punya firasat. Siapa tahu?
Ia menggeleng.
"Aku nggak tahu. Aku cuma siap-siap saja. Takutnya aku nggak sempat mengatakan apa-apa dan tiba-tiba menghilang."
"Beri aku tanda kalau saat itu tiba," pintaku.
"Pasti."
Ah, akhirnya ujung mataku basah juga. Tapi aku buru-buru mengusapnya seraya menderaikan tawa.
"Kamu menangis?" tegurnya saat memergokiku mengusap pipi.
"Nggak, aku cuma kelilipan," kilahku.
"Jangan bohong," celetuknya sambil tertawa. Dasar kucing! Aku menangis kan gara-gara dia.
"Bagaimana kalau kita foto bersama?" usulku tak menggubris ledekannya. Selama kami tinggal bersama, kami belum pernah sekalipun mengambil foto.
"Haruskah?" tanyanya dengan mimik bodoh.
"Ya, harus."
Aku segera menyambar ponsel dari atas meja lalu membuka fitur kamera.
Kami mengambil beberapa buah foto bagus malam itu sebelum akhirnya aku mengakhiri obrolan dan pamit dari hadapan Prince. Tanpa mengetikkan satu kata pun di laptopku.
Aku tidak bisa tidur setelahnya dan hanya berbaring dengan sepasang mata yang basah hingga jauh malam.
Malam itu menjadi malam yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Dan juga malam paling mengharukan.
***
23 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top