Bab 24

Usai makan malam dan Prince mencuci bekas peralatan makan, kami berdua duduk di ruang tengah untuk ngobrol sekadar mengisi waktu sebelum tidur. Tiba-tiba saja hujan turun malam ini. Padahal sebelumnya cuaca cukup cerah. Beberapa hari terakhir langit tak menurunkan hujan dan hanya sebatas berawan saja.

Aku dan Prince tidak duduk di atas sofa, melainkan di atas karpet. Kami sama-sama menghadap layar laptop yang terbuka. Sementara punggung kami bersandar pada sofa. Situasi ini cukup nyaman untuk berbagi cerita. Prince masih punya banyak kisah yang ingin dibagi denganku.

"Sebenarnya aku bukan satu-satunya kucing yang paling menderita di dunia ini," tutur Prince membuka obrolan. Oh ya, sebelumnya Prince sudah membuatkan dua cangkir cokelat panas untuk kami berdua.

Aku akan menyimak penuturannya baik-baik. Siapa tahu akan muncul ide cerita dari kisah hidup Prince.

"Bagi kami kucing kampung, nasib kaum kami lebih banyak menderita ketimbang bahagia. Kamu tahu kenapa? Karena kaum kami jauh lebih banyak daripada kucing ras Persia atau kucing-kucing hias lainnya. Kaum kami bisa ditemukan di mana saja. Orang-orang cenderung malas untuk memelihara kami karena bulu kami yang nggak semenarik kucing Anggora."

Aku tahu itu. Populasi kucing kampung cukup banyak di negeri ini. Dan memang benar, orang-orang kurang tertarik untuk memelihara kucing kampung.

"Dan mirisnya lagi, kalau seseorang punya kucing betina dan melahirkan banyak anak, mereka cenderung memilih untuk membuang anak-anak kucing tersebut. Kenapa? Karena mereka takut anak-anak kucing itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Maksudku soal makanan."

Aku manggut-manggut saja mendengar Prince bicara. Ia tampak seperti sedang memberi materi kuliah. Tapi sejujurnya perkataan Prince banyak benarnya.

"Padahal kami kaum kucing nggak minta banyak, Za."

"Lho, kok aku?" protesku. Pasalnya tiba-tiba saja namaku disebut. Seolah-olah aku yang nggak mau berbagi makanan dengan kaum kucing kampung seperti yang disebut Prince.

Tapi protesku tak digubrisnya.

"Kalau mereka nggak mampu membeli makanan kucing, atau minimal ikan asin, setidaknya mereka bisa memberi kami makanan sisa. Tempe goreng atau krupuk. Kami doyan, kok." Prince melanjutkan 'curahan hati' para kucing kampung yang sejak tadi disebut-sebutnya. "Aku pernah ditendang manusia saat mengendap masuk ke dalam rumahnya. Niatku sebenarnya hanya ingin meminta makanan, bukan mencuri. Tapi seseorang itu malah menendangku."

"Kasihan," gumamku refleks. "Kalau orang itu tahu kamu setampan ini kalau berubah jadi manusia, dia pasti akan menyesal seumur hidup. Apa kamu masih ingat di mana rumahnya?"

"Kalau iya, kenapa? Kamu mau pergi ke sana untuk balas dendam?"

"Aku cuma ingin tahu seperti apa orang itu. Kenapa bisa ada orang sekejam itu, sih? Kalau ingin mengusir kan nggak harus pakai kekerasan fisik," omelku. Semarah apapun aku pada orang itu, mana berani aku untuk balas dendam? Kalau pada Tara sih, aku berani.

"Kamu tahu, kucing-kucing liar di luar sana? Mereka kelaparan, kedinginan, dan rawan penyakit. Banyak dari mereka yang nggak mampu bertahan dari cuaca di saat musim hujan seperti sekarang. Terlebih lagi untuk anak-anak kucing yang masih belum berpengalaman mengembara. Terkadang mereka tewas terseret arus banjir karena nggak tahu harus berbuat apa saat hujan deras tiba."

"Sampai segitunya, ya? Aku nggak pernah tahu kehidupan kucing-kucing liar sebegitu beratnya," ucapku. Trenyuh juga rasanya hatiku mendengar penuturan Prince.

"Berbeda dengan kucing-kucing hias yang punya bulu cantik. Nasib mereka juga sebagus bulunya. Mereka terawat dan hidup nyaman di rumah-rumah yang bagus. Terkadang aku sangat iri pada mereka dan sempat berpikir ingin bertukar nasib."

"Jika kucing-kucing itu berubah jadi manusia, apa mereka akan jauh lebih tampan dari kucing Oren?" selaku. Rasa penasaran mendadak melintas di benakku.

"Apa aku masih kurang tampan sampai-sampai kamu se-penasaran itu?" sindir Prince. Ia menebak isi hatiku dengan tepat.

"Bukan begitu. Aku kan cuma bertanya."

"Kalau kamu berubah jadi kucing, kurasa kamu akan jadi kucing Anggora putih yang cantik, Za," cetusnya seketika membuat wajahku menghangat. Aku tersanjung meski itu bukan pujian yang sebenarnya. Siapa juga yang mau diserupakan dengan kucing? Kodratku kan menjadi manusia.

"Aku nggak mau jadi kucing," sewotku.

Cowok itu malah mengembangkan senyum termanisnya.

"Kenapa?"

"Pokoknya aku nggak mau, titik," tegasku. Dan reaksiku justru mengundang tawa dari bibir Prince.

"Kamu manis juga, ya," selorohnya seraya mengulurkan tangan ke puncak kepalaku. Prince mengacak rambutku sejurus kemudian. "Kalau kita sama-sama menjadi kucing, kita bisa berteman baik dan bertualang bareng, Za."

Ya, ampun. Dasar kucing. Tidak heran kalau pikirannya juga dipenuhi dengan hal-hal tentang kucing.

***

23 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top