Bab 23

Misi balas budi apanya? Selama Prince menjadi manusia, aku masih tetap memberinya makan. Bahkan pengeluaran harianku bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya. Sekalipun ia menjadi pangeran tampan rupawan, Prince tak ubahnya seperti parasit. Apalagi aku tak memiliki penghasilan selain uang saku bulanan dari Kak Zayn dan Mama. Aku akui, untuk urusan masak memasak dan kebersihan rumah menjadi tanggung jawab Prince sepenuhnya.

Apa aku terlalu kejam jika berpikir seperti itu?

Sebenarnya keberadaan Prince di rumah ini tidak seburuk yang kupikirkan. Aku berpendapat seperti itu karena kesal saja. Semestinya ia tidak memintaku untuk mengelus kepalanya. Meskipun sejatinya Prince adalah kucing, wujudnya tetaplah manusia. Aku melihatnya juga dalam bentuk manusia. Bagaimana mungkin aku bisa memperlakukan dirinya sebagai kucing?

Kak Zayn:

Kata Tara kamu belanja di minimarket nggak bayar. Benar, Za?

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselku. Dari Kak Zayn. Pasti Tara sudah mengadu padanya soal tadi. Dasar tukang adu! Antek-antek Kak Zayn! Apa mungkin selama ini Tara adalah mata-mata Kak Zayn?

Aku:

Itu urusanku dengan Tara. Nggak usah ikut campur!

Aku menambahkan satu emoji marah. Bagaimana aku tidak marah, saat aku sedang kesal memikirkan Prince, Kak Zayn mengirim pesan seperti itu. Itu kan salah Tara. Kalau Tara tidak mengerjaiku, aku juga tidak akan kabur dari minimarket begitu saja.

Tak ada balasan dari Kak Zayn setelah tiga menit berlalu. Pasti ia sedang berkirim pesan dengan Tara dan mencari tahu duduk perkaranya. Awas saja kalau Tara berbohong pada Kak Zayn!

Lalu Prince bagaimana?

Sejujurnya aku suka cowok itu tinggal bersamaku. Aku tidak keberatan ia terus ada di rumah ini. Tapi, soal mengelus tadi...

Ah, bagaimana kalau tiba-tiba saja Prince menghilang sebelum aku sempat mengabulkan permintaannya? Aku akan menyesal setengah mati jika itu benar-benar terjadi. Toh, itu hanya mengelus kepala saja, kan? Apa susahnya? Aku bisa melakukannya selama semenit atau dua menit.

Setelah mengubah pikiran, aku bergegas keluar dari kamar. Aku akan mengabulkan permintaan Prince agar tidak menyesal suatu hari nanti saat ia telah pergi.

Prince?

Aku menemukan cowok jelmaan kucing itu sedang duduk di ruang makan dengan kepala dan tangan bertumpu pada meja. Di depannya terdapat beberapa macam hidangan.

Apa Prince menungguku untuk makan malam bersama hingga ketiduran?

Dengan hati-hati aku berjalan mendekat. Prince tetap memesona sekalipun dalam posisi tertidur pulas. Perlahan tanganku terulur ke arah dahinya yang tertutup juntaian anak rambut.

Haruskah aku melakukannya? batinku mulai didera rasa bimbang. Bukankah tadi aku sudah katakan kalau aku menganggapnya manusia. Lantas apa sekarang aku akan memperlakukannya layaknya kucing? Ayolah, Za. Ini hanya pekerjaan sederhana.

Akhirnya setelah terjadi pertentangan dalam batinku, aku menggerakkan tanganku untuk mengelus kepala Prince. Ini sangat mudah. Anggap saja ia masih berwujud kucing.

Rambut Prince terasa halus. Sehalus saat ia masih berwujud kucing. Dalam sekejap aku melupakan segenap kesal yang sempat kurasakan pada Prince. Aku memang tak bisa marah padanya lebih dari 5 menit.

"Zahara?"

Aku buru-buru menarik tanganku menjauh dari kepala Prince begitu cowok itu membuka mata dan menyebut namaku. Padahal tadi ia tampak sangat pulas. Apa karena tanganku mengusap kepalanya justru membuat Prince terbangun?

"Oh ... Kamu sudah bangun?" Aku tergagap sebentar, tapi langsung mengubah ekspresi kaget di wajahku ke mode normal. Aku langsung beralih ke kursi yang berada di seberang tempat duduk Prince.

"Ya, tadi aku menunggumu keluar, tapi aku malah ketiduran," ucapnya sembari menggeliat.

"Ayo, makan. Aku sudah lapar," ucapku menggiring ke arah percakapan yang lebih santai. Semoga Prince tidak sadar kalau aku sudah mengelus kepalanya tadi.

Prince mengambilkan sendok untukku seperti biasa. Padahal aku bisa melakukannya sendiri. Jangan sampai aku bergantung padanya untuk urusan sekecil itu.

"Terima kasih."

Aku mencuri tatap ke arah cowok tampan di hadapanku. Rasa-rasanya aku mendengar ungkapan terima kasih tadi. Dalam rangka apa? Semestinya aku yang mengucapkan terima kasih karena ia sudah mengambilkan sendok untukku. 

"Hm?" Aku balas menggumam karena sedang sibuk mengunyah.

"Terima kasih," ulangnya. "Kamu sudah mengelus kepalaku."

"Oh ... " Aku bengong beberapa detik. Aku ketahuan. "Bukannya kamu tadi yang minta?"

"Ya, tapi kupikir kamu benar-benar nggak mau melakukannya."

"Tadinya aku memang nggak mau, tapi setelah kupikir-pikir itu bukan pekerjaan yang sulit." Aku berusaha bicara tanpa beban.

"Kamu adalah orang pertama yang mau mengelus kepalaku, Za," beritahunya. Kali ini aku menghentikan gerakan sendok dalam genggaman. Mulai lagi deh cerita sedihnya.

"Bagaimana dengan ibumu? Apa kamu lahir dari ibu yang sama?" Aku bertanya soal lain, tapi masih berkaitan dengan kehidupan Prince.

"Nggak. Aku lahir dari ibu yang berbeda-beda. Aku juga punya beberapa saudara, tapi kami semua terpisah."

"Berceritanya nanti saja. Sekarang kita makan saja dulu," potongku menyudahi percakapan. Bercerita tentang hal-hal yang menyedihkan bisa membuat selera makan menurun.

***

22 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top