Bab 22
"Belum rezeki kamu kali, Za. Coba lagi saja. Nanti juga ada yang nyantol," seloroh Tara sembari memindai kode bar kemasan sosis yang kubeli. Seterusnya deodoran, kripik kentang, dan teh botol. Kalau permen loli yang kupegang sekarang, kubeli di toko kelontong Bang Imron.
"Dari awal aku sudah menduga kalau melamar pekerjaan memang bakalan sesulit ini," tandasku lalu memasukkan permen loli ke dalam mulut. "Kamu juga pernah mengalaminya, kan?"
"Terus? Kamu nggak mau mencari pekerjaan lagi, begitu maksudnya?"
"Aku mau nulis novel lagi."
"Meski nggak ada yang baca?"
"Hei, kamu kan pembaca setiaku."
"Iya, sih. Tapi, menulis novel kan nggak ada duitnya."
"Melamar kerja ke sana sini juga nggak diterima. Sama saja, kan?"
"Mendingan kamu menunggu Kak Zayn pulang. Kalau benar dia buka cafe, kamu bisa minta pekerjaan pada Kak Zayn," saran Tara kemudian. Ia telah selesai menghitung belanjaanku.
"Tepat!" Aku menjentikkan jari di depan wajah sahabatku itu. "Aku sudah memutuskan akan menunggu Kak Zayn pulang. Paling-paling dua atau tiga bulan lagi dia pulang."
"Tapi masalahnya, apa Kak Zayn mau menerima kamu sebagai karyawannya?" Sekarang Tara tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
"Atas dasar apa Kak Zayn nggak mau menerimaku jadi karyawannya, hah?" protesku sengit. Laki-laki pemarah itu harus menerimaku menjadi karyawannya apapun yang terjadi.
"Bisa jadi karena kamu adiknya, justru dia nggak mau menerima kamu. Ada yang seperti itu, kan?" ucap Tara seolah sengaja ingin menakutiku.
"Nggak mungkin. Kak Zayn nggak mungkin seperti itu. Jangan menakutiku, ah!"
"Aku nggak menakuti kamu, Za. Aku cuma berandai-andai," ucap Tara tak mengaku.
Kalau imajinasi Tara terbukti, lalu bagaimana?
"Terus bagaimana kalau benar Kak Zayn nggak mau mempekerjakanku?" Aku butuh masukan Tara seandainya hal itu benar terjadi, meski sesungguhnya aku sama sekali tidak berharap Kak Zayn akan bertindak sekejam itu padaku.
"Bagaimana kalau kamu menikah saja?"
"Menikah?!" jeritku cukup keras. Untungnya minimarket sedang kosong. Teman seperjuangan Tara juga sedang keluar mengisi perut.
Ide Tara benar-benar gila. Masa aku disuruh untuk menikah, sih? Yang benar saja.
"Iya. Dengan menikah kamu nggak perlu mikir soal uang. Kan suami kamu yang akan mencari nafkah. Kamu tinggal duduk manis di rumah."
"Apa menikah segampang itu, hah?" Lama-lama aku kesal juga menanggapi ocehan Tara yang absurd.
"Kan belum dijalani, Za. Mana kita tahu gampang atau susah?" sahut Tara enteng. Memang ya, bicara tidak pakai modal dan biaya. Jadi, bisa ceplos sana ceplos sini.
"Terus aku menikah dengan siapa?" pancingku. Sebenarnya aku tidak yakin jika jawabannya nanti akan masuk akal, tapi aku masih saja bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan Nurdin. Dia benar-benar suka kamu, Za. Nurdin tuh siap lahir batin membina rumah tangga sakinah, mawadah, warohmah bersama kamu. Masa kamu nggak merasa, sih?"
Sial!
Kubilang apa? Firasatku buruk saat Tara menyinggung soal pernikahan. Ujung-ujungnya si Nurdin, kan?
"Nggak!" tegasku. "Berapa semuanya?" tanyaku seraya mengangkat kantung kresek dari atas meja kasir.
"43 ribu."
"Bayarin, ya," ucapku buru-buru pergi dari hadapan Tara.
"Hei, Za! Zahara! Masa aku yang harus bayar, sih?!"
Aku melempar senyum jail. Salah sendiri bercanda kelewatan, batinku. Sesekali boleh kan membalas dendam?
Biar Tara tahu rasa.
Sembari menikmati permen loli aku berjalan pulang. Matahari masih bersinar dengan hangat meski posisinya sudah ada di barat. Setelah sampai di rumah aku akan mandi lalu nonton televisi sambil makan kripik kentang. Apa Prince sudah masak untuk makan malam?
"Kamu sudah pulang?"
Begitu aku membuka pintu, suara Prince terdengar menyapa. Sepertinya ia sedang menungguku.
Aku hanya mengangguk.
"Apa itu di mulutmu?" Tangan Prince menunjuk ke wajahku.
Aku mengeluarkan permen loli dari mulutku dan menunjukkannya ke hadapan Prince.
"Maksudmu ini?"
"Ya."
"Ini permen ... "
Aku belum sampai menutup mulut saat tangan Prince tiba-tiba menyambar permen loli dari genggamanku. Dan aku hanya bisa melongo ketika cowok tampan itu memasukkan permen loli itu ke dalam mulutnya. Itu kan bekasku?
"Apa itu enak sekali?" tanyaku hati-hati. Tampaknya Prince begitu menikmati permen loli rasa susu strawberry yang ia rebut dariku.
"Ya, ini sangat enak. Kapan-kapan kamu harus membelikannya untukku."
Makanan favorit Prince bertambah satu lagi.
Sebenarnya ini misi balas budi atau apa? Rasa-rasanya semenjak Prince ada di rumah ini, pengeluaranku bertambah tiga kali lipat. Kalau dihitung-hitung aku seperti mempekerjakan seorang asisten rumah tangga.
"Zahara."
"Ya?" Suara Prince membawaku kembali ke dunia nyata. Lamunanku dipecahkannya dengan sengaja. "Kenapa?"
"Aku tadi melihat si Oren dielus-elus majikannya."
"Terus?"
"Waktu aku masih jadi kucing, kamu sering mengelus kepalaku. Tapi, saat aku sudah jadi manusia, kamu sama sekali belum pernah mengelus kepalaku," ucap Prince dengan wajah yang dibuat polos macam anak kecil. Bagaimana bisa ada cowok tampan dewasa seimut dan menggemaskan seperti itu? Kalau aku disuruh menikah dengannya, sekalipun ia tidak bekerja dan bersikap seperti parasit, aku tidak akan menolak.
"Manusia nggak pernah melakukan hal seperti itu, Prince." Aku melenggang ke ruang makan dan langsung meletakkan kresek belanjaanku di atas meja. Kuharap ia tidak lupa jika wujudnya sekarang adalah manusia, bukan kucing. Sudah semestinya ia bersikap layaknya manusia, bukan?
"Tapi, aku bukan manusia seutuhnya, Za. Aku jelmaan kucing." Cowok itu menyusulku ke ruang makan dan berencana mengajakku berdebat.
"Tapi di mataku kamu manusia, Prince. Aku melihatmu sebagai manusia, bukan kucing. Aku juga memperlakukanmu sebagai manusia, kan?" Aku memutar tubuh dan kami saling berhadapan.
"Jiwaku masih tetaplah kucing, Za. Ini hanya bentuk luarnya saja."
"Apa ini termasuk misi balas budi yang kamu sebutkan?" tanyaku meladeni perdebatan dengannya.
Prince bergeming. Aku tahu ia sibuk mencerna ucapanku. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengakhiri perdebatan kami.
"Aku mau mandi. Sebaiknya kamu masak untuk makan malam," suruhku sesaat sebelum berlalu dari hadapan Prince.
Bukannya aku tidak mau mengelus kepala Prince. Aku hanya merasa takut jika hatiku semakin jatuh kepadanya. Aku tidak bisa menolong diriku sendiri saat hari itu tiba. Hari di mana aku patah hati atas kepergian Prince.
Kumohon mengertilah perasaanku, Prince.
***
21 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top