Bab 21

Bagaimanapun aku berusaha untuk mengingkari perasaanku sendiri, kenyataannya aku tetap tidak bisa. Aku jatuh cinta. Itulah yang terjadi sebenarnya. Diakui atau tidak, perasaan yang kurasakan ini memang disebut jatuh cinta. Ya, aku mungkin tidak waras sekarang. Prince itu jelmaan seekor kucing. Iya, kucing. Dia bukan manusia sepertiku, tapi perasaan terkadang mengalahkan logika. Prince juga akan menghilang suatu hari nanti. Lalu bagaimana aku akan mengatasi perasaanku ini? Juga rasa kehilangan saat ia pergi nanti.

Aku hanya bisa duduk bengong di depan layar laptop yang menampilkan halaman kosong. Aku hendak menuliskan sebuah cerita baru, tapi belum menemukan padanan kata yang pas untuk memulai paragraf pertama. Novel lamaku masih menggantung dan belum sempat kuselesaikan. Pikiranku sedang tidak sehat hari ini.

"Kamu nggak keluar hari ini, Za?"

Prince datang dan mengacaukan lamunanku. Cowok tampan itu melenggang ke dekatku lalu meletakkan sebuah piring kecil berisi irisan buah apel di atas meja.

"Nggak," balasku pendek. Aku hanya meliriknya sekilas.

"Kenapa? Kamu ingin membuat cerita lagi?" Tanpa kusuruh ia mengambil tempat duduk di sebelahku dan mencuri tatap ke arah layar laptop yang masih juga kosong melompong hingga detik ini.

"Kamu tahu sendiri kalau nggak ada satupun yang mau menerimaku bekerja. Menulis cerita juga nggak bisa diandalkan. Aku nggak tahu harus melakukan apa sekarang."

Kok aku malah jadi curhat, ya?

"Lakukan saja apa yang kamu suka. Toh, selama ini kamu juga masih bisa hidup, kan?" ucap cowok itu santai. Kebutuhan kucing memang hanya ada dua, makan dan tidur. Jadi, Prince bisa berkata seperti itu. Coba ia jadi manusia sepertiku.

"Iya, sih. Oh ya, bagaimana lukamu? Apa sudah nggak sakit lagi?"

"Ya, lukaku sudah nggak sakit."

Ah, mendadak ide baru berkelebat di kepalaku.

"Apa aku boleh menulis sesuatu tentang kamu? Maksudku cerita tentang seekor kucing yang berubah jadi manusia," ucapku.

"Kamu ingin menjadikan kisahku sebagai sebuah cerita?"

"Ya," anggukku. Meskipun genre fantasi jarang diminati, tapi untuk saat ini hanya itu yang terpikirkan olehku. Masalah ada yang membaca atau tidak, itu urusan belakangan.

"Uhmm ... " Prince tampak berpikir. Ia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Boleh. Tapi, jangan sama persis."

"Nggak masalah. Aku bisa mengubah beberapa bagian nanti."

"Memangnya kamu ingin membuat cerita seperti apa?"

Kalau cerita seorang pangeran yang dikutuk menjadi binatang sudah pernah ada. Kalau binatang yang berubah jadi manusia karena ingin membalas budi, juga sudah pernah ada. Pangeran kodok, bangau yang membalas budi, orang-orang sudah terlalu familiar dengan cerita seperti itu.

"Bagaimana kalau kucing yang berubah jadi manusia karena ingin mencari majikannya yang pindah? Dalam perjalanannya si kucing yang berubah jadi manusia itu menemui banyak rintangan. Apa itu ide buruk?" Prince memberi usul saat aku sibuk mencari ide.

"Itu terlalu sederhana," sahutku.

"Tapi, bisa menjadi menarik kalau kamu pandai mengolah kata."

"Aku nggak sepandai itu," tukasku sewot.

"Padahal itu bisa menjadi cerita menarik kalau kamu bisa mengolah kata." Prince membuang wajah dan menggumam lirih, menyesali ketidakpintaranku mengolah kata.

"Hei, aku bisa mendengarmu," selorohku kesal. "Memangnya menulis cerita itu gampang? Kalau kamu bisa, kenapa nggak kamu saja yang menulis?"

"Nggak, nggak." Cowok itu menyorongkan kembali laptop yang kusodorkan ke hadapannya sambil menggelengkan kepala berulang kali.

Aku mencebik melihat tingkahnya. Sesekali ia menyebalkan juga.

"Apa semua kucing jantan setampan kamu seandainya berubah jadi manusia?" tanyaku usai meredam kesal dalam hati.

"Apa aku setampan itu?" tanya Prince sembari memegang kedua pipinya dan memasang ekspresi menggemaskan. Kedua matanya mengerjap-ngerjap setengah menggoda.

Aku berdeham pelan. Diam-diam dalam hati aku mengakui ketampanan Prince.

"Nggak usah lebay," cetusku.

Prince terkekeh.

"Ya, mungkin seperti itu. Semua kucing jantan kalau berubah jadi manusia, mereka memang akan setampan diriku. Apalagi si kucing oren tetangga sebelah. Kalau dia berubah jadi manusia, dia akan jauh lebih tampan dariku. Kamu juga, Za. Kalau kamu jadi kucing, kamu juga pasti akan jadi kucing berbulu putih yang cantik," ocehnya. Namun, penghujung kalimat Prince memaksaku harus mencibir ke arahnya.

"Enak saja kalau ngomong," gerutuku.

"Jadi, kamu mau menulis cerita yang seperti apa?"

Aku berpikir sejenak.

"Bagaimana kalau seekor kucing jantan yang berubah jadi manusia setelah ditolong seorang gadis? Kucing itu ingin membalas budi dengan berubah menjadi seorang laki-laki tampan. Mereka bertemu dan jatuh cinta."

"Bukannya cerita seperti itu mirip dongeng? Cerita seperti itu terlalu pasaran," komennya.

"Benarkah?" Padahal aku tidak merasa seperti itu.

"Ujung-ujungnya mereka menikah di akhir cerita, ya kan?"

Sudah jelas tertebak akhir ceritanya. Berarti benar cerita semacam itu terlalu pasaran.

"Ambil saja kisahku, tapi kamu ubah akhirnya," usul Prince memberi masukan.

"Aku akan memikirkannya."

Ia mendesah panjang. Ganti Prince yang terlihat jengah dengan sikapku.

"Apa kamu nggak lapar?" Melihatnya diam, aku sengaja menegur.

"Nggak. Aku masih kenyang."

Dasar tidak peka!

"Kamu masak, gih. Aku lapar. Telur ceplok juga nggak pa pa. Kan nasinya masih ada," ucapku memberi perintah.

"Yakin nggak mau yang lain?" Ia bangun dari atas sofa dan bersiap meluncur ke dapur.

"Nggak. Itu saja."

***

21 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top