Bab 20

Hingga tiga hari kemudian, tak ada satu panggilan pun datang ke ponselku. Pesan singkat juga tidak. Kalian tahu apa artinya, bukan? Surat lamaranku melayang sia-sia. Dari tiga restoran yang kudatangi saat itu, tidak ada satupun yang menerimaku. Namun, aku tidak bisa langsung menyerah begitu saja. Tara bahkan lebih banyak mengalami hal semacam ini. Ia akan menertawakanku habis-habisan jika aku menyerah di awal usahaku mencari pekerjaan.

Jadi, malam ini aku kembali menjelajah dunia maya untuk mencari lowongan pekerjaan. Yeah, seputar pekerjaan menjadi pramusaji, pramuniaga, dan sejenisnya. Pokoknya yang sesuai dengan kualifikasi pendidikanku yang cuma tamatan SMU.

Ada beberapa lowongan yang berhasil kutemukan dan sesuai dengan kualifikasi pendidikanku. Dan setelah mencatat segenap persyaratan serta alamat masing-masing tempat yang menawarkan lowongan pekerjaan itu, aku memutuskan untuk merebahkan punggung di atas tempat tidur. Berlama-lama di depan laptop membuat kedua mataku kelelahan dan rasa kantuk turut menyertainya. Besok aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Pasalnya aku akan mendatangi tempat-tempat itu untuk melamar pekerjaan.

Entah apa yang akan kukerjakan seandainya tidak ada satupun tempat yang mau mempekerjakanku. Mungkinkah aku harus kembali menjadi penulis tanpa bayaran di platform? Sembari berharap akan menjadi penulis novel terkenal yang karya-karyanya selalu best seller. Mustahil. Impian itu masih terlalu jauh. Mendapatkan pekerjaan entah itu menjadi pelayan restoran atau pelayan toko jauh lebih masuk akal ketimbang membayangkan menjadi seorang penulis novel populer. Semestinya aku tidak bermimpi seindah itu.

Samar-samar telingaku menangkap suara berisik dan membuatku kembali tersadar. Padahal aku nyaris tertidur tadi.

Apa itu? batinku seraya membuka kedua mata lebar-lebar. Waspada. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian beberapa malam yang lalu. Tapi, kali ini agak berbeda. Telingaku menangkap suara aneh dan terkesan berisik, tapi bukan berasal dari dalam rumah, melainkan dari luar. Mungkinkah Prince menangkap seekor tikus dari got? Menjijikkan. Jika itu benar, maka ia harus bersiap untuk menerima sangsi dariku.

Sembari mengembangkan dugaan semacam itu di pikiranku, aku turun dari atas tempat tidur. Aku harus melihat apa yang dilakukan Prince. Meskipun Prince berwujud manusia sekarang, tapi tak serta merta menghilangkan nalurinya sebagai kucing. Jiwanya masih tetaplah jiwa kucing.

"Prince?"

Aku menutup pintu kamar dan mulai berjalan sambil menebarkan pandangan ke segenap penjuru ruangan. Lampu di ruang tengah sudah dimatikan. Hanya sebuah lampu duduk yang menerangi sekitar. Lampu dapur dan ruang tamu juga sudah dimatikan. Dalam pencahayaan yang temaram, aku tak menemukan sosok Prince di sofa ruang tengah tempat ia biasa tidur bergelung.

Sedetik kemudian, aku dikejutkan suara pintu yang ditutup dengan cukup keras lalu muncullah sosok Prince yang sedang berlari menghambur ke arahku.

Aku diam seolah mengukuhkan diri menjadi patung dan tak melakukan upaya apapun untuk menghindar. Jika Prince menabrakku, ya sudah. Aku pasrah. Tapi jika tidak, itu adalah takdir.

Lalu apa yang terjadi?

Prince berhenti tepat di depan tubuhku. Napasnya ngos-ngosan dan keringat tampak mengalir dari kedua pelipisnya.

Aku melongok ke belakang punggungnya. Pintu yang ia tutup barusan dengan sekuat tenaga masih tertutup rapat dan tidak tampak siapa-siapa di sana.

Aku melipat kedua lengan di dada dan mulai menginterogasinya.

"Kamu dari mana?" tanyaku dengan memasang tampang sangar. Seperti detektif dalam drama yang biasa kutonton.

"Aku dari luar," jawab Prince terbata. Dadanya naik turun. Napasnya ngos-ngosan seperti baru saja berlari berpuluh-puluh kilometer.

Aku maklum jika Prince berkeliaran pada malam hari seperti ini karena ia memang seekor kucing. Tapi ia tidak perlu melakukan itu karena tak perlu berburu mangsa. Semua kebutuhan makannya sudah tercukupi olehku. Jadi kesimpulannya aku lebih suka jika Prince selalu tinggal di rumah.

"Lalu kenapa kamu berlarian seperti itu?"

"Aku ... "

Sikapnya yang terlihat enggan untuk bicara memaksaku harus melepaskan napas jengah. Pasti telah terjadi sesuatu, pikirku.

"Apa kamu dikejar kucing oren lagi?" desakku tak ingin berlama-lama menunggu penjelasannya.

Dan cowok tampan itu mengiyakan pertanyaanku.

"Ya, ampun, Prince," desisku gemas. "Apa kamu mencuri ikan asin lagi?"

Ia menggeleng.

"Dia masih mengingat kejadian itu sampai sekarang. Makanya tadi saat melihatku, dia langsung mengejar," paparnya.

"Terus kamu nggak apa-apa, kan? Kamu nggak kena cakarnya, kan?"

"Itu ... "

Sikapnya sontak membuatku curiga.

"Coba kulihat," ucapku sambil menarik pundak Prince.

Benar saja. Aku menemukan bekas cakaran di punggung cowok itu.

"Astaga, Prince! Kamu berdarah!" teriakku panik.

"Ini hanya luka kecil, Za. Sungguh, aku nggak apa-apa."

"Memangnya itu nggak sakit?"

"Sedikit."

"Duduk," suruhku memaksa. "Aku akan mengambil kotak obat," ucapku seraya berlalu dari dekatnya. 

Setelah berhasil mengambil kotak obat dan menyalakan lampu tengah, aku bergegas kembali ke sofa.

"Buka kausmu," suruhku setelah kembali ke sampingnya dan meletakkan kotak obat di atas meja. "Lukamu harus diobati kalau nggak mau infeksi."

"Tapi, Za ... "

"Kamu mau luka cakaran itu infeksi, hah? Kamu nggak mau kan luka itu bengkak lalu keluar nanah?" bentakku. Bukannya aku ingin menakuti, tapi aku tidak mau Prince menderita lebih dari yang sekarang.

Prince menggeleng dalam gerakan lambat.

Ia harus menuruti perintahku kali ini atau lukanya akan mengalami infeksi.

Akhirnya Prince bersedia melepaskan kaus putih kepunyaan Kak Zayn dan memposisikan diri memunggungiku. Luka cakaran si oren tampak cukup dalam dan berjumlah tiga buah goresan. Dua goresan hanya serupa luka parut dan panjangnya tiga sentimeter. Sementara satu goresan lagi menyebabkan luka terbuka dan mengeluarkan darah, tapi tidak terlalu dalam. Meski tak sampai harus dijahit, tetap saja luka semacam itu harus diobati agar tak menimbulkan infeksi.

Pasti rasanya sangat perih, batinku usai memeriksa luka di punggung Prince.

"Tahan sebentar, aku akan mengoleskan obat," ucapku seraya membuka tutup botol obat antiseptik lalu mengoleskannya ke atas luka di punggung Prince.

"Aku sudah sering terluka seperti ini ... "

Gerakan tanganku terhenti saat mendengar suara Prince bertutur tentang kenangan buruk di kehidupannya yang sebelumnya.

Dan tidak ada yang mengobati lukanya, bukan? batinku.

"Tapi luka seperti ini bukan apa-apa untukku. Luka seperti ini akan sembuh dalam beberapa hari. Kamu masih ingat ucapanku kan, tubuh kucing punya kekuatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri." Prince melanjutkan ucapannya.

"Tapi sekarang kamu bukan kucing yatim piatu. Kamu punya aku, Prince. Kamu nggak perlu risau tentang apapun juga. Kamu bisa makan kenyang dan tinggal dengan nyaman di sini. Kalau kamu terluka aku juga akan mengobatimu," tandasku mencoba untuk menghibur. Aku tidak menyukai bagian yang sedih-sedih dari kehidupan seseorang.

Cowok itu memutar tubuhnya sejurus kemudian dan membuat posisi kami saling berhadapan satu sama lain.

Seketika napasku tertahan.

Seraut wajah tampan bak pangeran berada di depanku. Dan aku merasa menjadi Cinderella tanpa gaun dan tanpa sepatu kaca. Ini nyata, tapi terasa bagai mimpi.

"Aku merasa beruntung karena bertemu denganmu di kehidupanku yang terakhir," tandas cowok itu. Suaranya terdengar halus. Sorot matanya memancar teduh dan menghanyutkan. "Tuhan pasti telah mengirimmu sebagai jawaban atas doa-doaku."

Kata-kata yang mengalun dari bibir Prince terdengar seperti seseorang yang baru saja menemukan tambatan hatinya. Untuk beberapa detik aku seperti melayang bebas di udara dan di detik berikutnya aku bagai terhempas ke tanah.

Berapa kali aku harus menyadarkan diri sendiri jika semua ini akan berakhir? Prince akan menghilang dari kehidupanku suatu hari nanti. Aku harus menggarisbawahi bagian penting ini.

"Berbaliklah. Aku belum selesai mengoleskan obat," suruhku tanpa mengindahkan kata-katanya. "Kita harus segera menyelesaikan ini dan tidur."

***

20 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top