Bab 2

Aku menjatuhkan tubuh di atas sofa ruang tengah usai memasukkan sekeranjang pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Tadi aku juga sempat mengisi perut dengan sisa nasi kemarin yang masih menghuni magic jar dan telur ceplok yang kubuat sendiri. Meskipun sarapan ala kadarnya yang terpenting adalah aku tak pernah membiarkan perutku kosong. Konon jika terlalu sering telat makan bisa berdampak buruk pada lambung.

Tapi, tiba-tiba saja pikiranku terusik oleh cowok yang mengaku jelmaan si Belang dan sudah kuusir tadi pagi.

Apa benar cowok itu jelmaan kucing malang yang kuadopsi dari pinggir jalan malam itu? Mungkinkah di dunia ini ada hal-hal semacam itu? Vampir, manusia serigala, goblin, putri duyung, dan gumiho memang populer sebagai makhluk mitos dan sebutan itu sudah akrab di telinga. Bahkan sosok mereka sering diangkat ke dalam film atau novel. Meskipun sebenarnya keberadaan mereka masih dipertanyakan, sih. Ibarat sebuah misteri yang tak terpecahkan.

Tapi, baru kali ini aku mendengar bahkan melihat dengan mata kepala sendiri ada kucing yang menjelma jadi manusia. Jika bukan sihir, lalu apa namanya?

Tapi, di mana cowok itu sekarang? Kucing belang peliharaanku juga belum tampak batang hidungnya sejak pagi. Apa mungkin ....

Aku beranjak dari tempat dudukku lalu berjalan menghampiri jendela kaca yang terpasang di tembok ruang tamu dan tertutup tirai putih. Aku mengintip keluar.

Depan rumah tampak sepi. Cowok itu tidak terlihat di manapun ketika aku menyapukan pandangan ke setiap penjuru pekarangan rumah. Seekor kucing atau ayam juga tak kelihatan. Mungkin ia sudah pergi, pikirku sambil menutup kembali tirai jendela.

Aku berangsur ke tempat dudukku semula lalu meraih laptop dari atas meja.

Tak banyak yang membaca bab terakhir yang kuunggah semalam. Padahal aku sudah bekerja keras untuk mengerjakan tiga bab sekaligus dan merelakan jam tidurku, tapi jumlah pembaca tak menunjukkan peningkatan berarti. Memang hal semacam ini bukan sesuatu yang baru untukku dan aku tidak kaget. Tidak ada satupun novelku yang populer dan jumlah pembacanya di atas angka sejuta. Paling-paling hanya di kisaran angka ribuan.

Bagiku pembaca adalah penyemangat untuk berkarya lebih baik lagi. Kata-kata yang paling kurindukan hanyalah 'lanjut, Thor' atau sekadar kata 'next'. Tapi, faktanya hanya satu atau dua orang saja yang mengetikkan kata itu di kolom komentar. Berbeda dengan penulis lain yang jumlah pembacanya jutaan. Mereka akan mendapatkan banjir kata sejenis beserta pujian di kolom komentar. Apalah dayaku sebagai penulis amatir dan tak populer.

Harus kuakui pembaca adalah motivasi terbesarku untuk menulis. Akan tetapi di saat para pembaca novelku hanya segelintir orang dan mungkin mereka adalah orang iseng, apakah aku harus berhenti untuk berkarya? Percuma menulis jika tulisan kita tidak ada yang membaca, kan?

Kurasa aku sedang putus harapan sekarang.

Aku menutup layar laptop kemudian merebahkan punggung ke sandaran kursi. Aku menanggung lelah hati dan pikiran.

Menjadi seorang penulis novel ternama merupakan impianku sejak duduk di bangku SMP. Kala itu aku sudah mulai suka menulis cerpen. Mutunya jangan ditanya. Kelas receh pokoknya. Tapi, jumlah cerpen yang kutulis lumayan banyak jika dihitung dari awal aku menulis hingga sekarang. Mungkin lebih dari 30 cerpen. Dan sekarang aku mulai mencoba menulis di platform kepenulisan untuk menyalurkan hobi.

Terus terang impian itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Aku hanyalah salah satu dari sekian banyak penulis novel di sebuah platform kepenulisan paling populer di negeri ini. Jumlah pengikutku masih sedikit. Pembaca novel-novelku pun belum mencapai angka jutaan. Hanya berkisar di angka belasan ribu dan pertambahannya sangat lambat. Sungguh, itu jauh dari ekspektasiku. Mungkin juga menulis bukanlah profesi yang cocok untuk orang sepertiku. Butuh lebih banyak lagi keberuntungan untuk meraih sebuah impian besar.

Sementara Kak Zayn, kakak laki-lakiku satu-satunya hampir dua tahun ini menjadi pekerja migran di Korea Selatan. Ia memiliki sebuah impian untuk menjadi seorang pebisnis, lebih tepatnya Kak Zayn ingin membuka sebuah kafe. Akhir-akhir ini usaha kafe lumayan tren di kalangan milenial muda. Demi mewujudkan keinginannya tersebut Kak Zayn berusaha untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya dalam waktu relatif cepat. Satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya hanyalah menjadi pekerja migran. Jika dihitung-hitung gaji selama sebulan di sana bisa mencapai angka belasan juta. Bayangkan saja jika Kak Zayn bekerja selama dua atau tiga tahun. Ia akan menjadi orang kaya mendadak meski tak bisa disebut sebagai 'sultan'.

"Zahara!"

Aku tergagap saat nama indahku diteriakkan seseorang dengan cukup lantang dan membuat kaget. Padahal aku nyaris tertidur semenit yang lalu.

"Mama?"

Aku langsung menegakkan punggung ketika melihat seorang wanita paruh baya menerobos masuk ke dalam rumah. Untungnya bukan cowok asing itu yang muncul, batinku.

"Kamu tidur?" tegur Mama begitu jarak di antara kami tersisa beberapa jengkal lagi.

"Nggak," elakku cepat. Aku hanya hampir tertidur, ralatku dalam hati. Aku memindahkan laptop dari pangkuan ke atas sofa lalu bangkit. "Kenapa Mama ke sini?"

"Apa Mama nggak boleh ke sini? Atau kamu nggak suka kalau Mama kemari? Mama rasa, Mama masih punya hak atas rumah ini dan segala isinya," tandas wanita itu seraya mendelik ke arahku.

"Bukan begitu."

Mama tak menggubris kata-kataku dan meneruskan niatnya untuk pergi ke dapur. Sementara aku buru-buru mengejar langkahnya.

Mama dan papa bercerai sekitar tujuh tahun lalu, tepatnya ketika aku masih berusia 15 tahun. Kemudian wanita itu menikah kembali dengan seorang duda empat tahun lalu. Setelah menikah Mama tinggal di rumah suaminya bersama kedua anak tirinya, Kevin dan Ezra.

Sedangkan aku dan Kak Zayn memilih untuk tetap bertahan di rumah lama kami ketimbang ikut tinggal bersama keluarga baru mama. Kak Zayn pikir ia sudah cukup dewasa untuk hidup mandiri dan aku hanya menjadi pengikutnya karena tak mau merepotkan keluarga baru Mama. Namun, Kak Zayn memutuskan untuk menjadi pekerja migran di Korea Selatan sejak dua tahun terakhir demi mewujudkan cita-citanya. Alhasil aku mesti tinggal sendiri di rumah lama kami, menunggu kepulangan Kak Zayn. Tawaran dari keluarga baru mama untuk tinggal sementara bersama mereka kutolak dengan halus.

Mama meletakkan sebuah kantung belanja yang ia bawa di atas meja makan kemudian mengeluarkan isinya yang berupa buah-buahan dan sayuran. Mereka adalah calon penghuni kulkasku yang beberapa hari terakhir kosong melompong.

Biasanya seminggu sekali Mama datang dan membawakan bahan-bahan makanan untukku. Ia sangat tahu jika aku malas untuk berbelanja ke pasar dan lebih mengandalkan minimarket tak jauh dari rumah. Sesekali jika terpaksa aku memesan makanan via aplikasi. Tentu saja bukan jenis makanan yang mahal karena uang yang dikirimkan Kak Zayn tak cukup untuk berfoya-foya. Ia sudah mengantisipasi hal itu sebelumnya.

"Meskipun Mama sudah menikah lagi, kamu dan Zayn tetaplah anak-anak Mama. Jadi Mama akan tetap merawat kalian," tandas wanita itu seraya memasukkan beberapa bungkus tofu ke dalam kulkas. Sementara aku hanya berdiri di samping Mama tanpa melakukan kegiatan apapun.

"Tapi Mama nggak perlu repot-repot melakukan ini." Aku berkata pelan. Aku tahu benar Mama harus menempuh perjalanan selama sejam menaiki angkutan umum hanya untuk bertandang ke rumah lama kami. Kalau ia terus melakukan hal itu, aku takut akan timbul masalah di masa depan, terutama dengan suami baru Mama.

"Kalau kamu sudah menikah dan punya suami, Mama nggak akan melakukan ini, Za," cetus Mama seraya menyentil ujung hidungku gemas.

Sedari kecil aku selalu menyandang gelar Putri kesayangan Mama. Ia kerap memanjakanku tak peduli Kak Zayn akan merasa cemburu karenanya. Namun, ketika mama menikah lagi dan memiliki dua orang putra tiri, ia tak bisa melakukan hal yang sama lagi padaku. Bukan berarti aku dan Kak Zayn menentang pernikahan Mama, karena ia juga butuh untuk dicintai dan mendapatkan perlindungan, hanya saja kami telah sepakat untuk tetap bertahan di rumah itu.

Aku hanya mampu mencebik mendengar Mama menyinggung soal menikah dan suami. Kedua-duanya sama sekali tak pernah melintas dalam benakku. Impianku masih menjadi prioritas utama. Nanti setelah aku menyerah dan putus asa, aku akan mempertimbangkan untuk mencari seorang suami yang mapan dan bisa dijadikan sandaran hidup.

"Apa keluarga Mama baik-baik saja?" Aku berusaha mengalihkan tema.

"Ya, mereka baik dan sehat. Kapan-kapan kamu harus mengunjungi mereka, Za. Kevin dan Ezra pasti senang melihatmu datang."

Senyum kecil terbit di ujung bibir Mama manakala ia menyebut nama kedua anak tirinya. Si sulung Kevin sudah berusia 15 tahun, sementara Ezra beranjak 12 tahun. Sulit untuk meraih simpati dari anak-anak seumuran mereka, tapi nyatanya Mama bisa melakukan hal itu. Ia hebat untuk urusan mengambil hati orang.

Sejujurnya ketika melihat senyum itu sedikit rasa cemburu timbul di benakku. Kupikir sudah saatnya untuk melepaskan selempang 'anak kesayangan mama' dari diriku. Toh, aku bukan anak-anak lagi. Bagiku usia 22 tahun sudah pantas untuk disebut dewasa.

"Bagaimana kabar kakakmu? Apa dia baik-baik saja?"

"Ya, dia baik. Di sana sedang musim dingin dan sepertinya Kak Zayn sudah bisa beradaptasi dengan baik," jelasku. Ini adalah musim dingin kedua yang mesti Kak Zayn jalani di negeri ginseng itu. Semoga tubuhnya tidak membeku tahun ini.

"Kapan dia pulang?"

"Kalau sudah punya uang banyak pasti dia pulang," cetusku asal. Kak Zayn sudah bertekad untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang melimpah, jadi ia pasti akan pulang jika saat itu tiba.

"Kamu ini ... " sahut Mama sambil mencubit lenganku. "Kamu mau Mama masak apa untuk kamu, Za?"

"Terserah Mama saja."

"Kalau begitu kamu bantu Mama masak, ya."

"Siap, Ma." Aku memberi gerakan hormat pada Mama lalu terkekeh.

***

04 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top