Bab 15
Meski rasa bihun goreng buatan Prince tak seperti di restoran Chinese food pada umumnya, tapi hasil masakannya sangat layak untuk dinikmati. Kalau aku yang masak paling-paling rasanya kemanisan atau keasinan. Jamur goreng buatannya juga renyah dan enak. Aku menyukainya.
Kami berdua makan seraya ngobrol, tapi tema pembahasan kali ini random. Topik tentang Bang Imron telah selesai. Prince tampak tidak tertarik untuk membicarakan bujang lapuk itu.
"Makanan apa yang paling kamu sukai?" tanya Prince mengawali pembicaraan.
"Aku suka semua, sayur, daging, gorengan... Aku doyan semuanya," jawabku sambil mengunyah dengan lahap.
Aku tidak pernah rewel soal makanan. Ibarat kata sandal jepit sekalipun kalau dicelupkan ke dalam tepung lalu digoreng, aku doyan.
"Kalau kakakmu?"
"Sama. Kak Zayn juga nggak pernah pilih-pilih makanan." Makanya tubuh Kak Zayn menjulang tinggi seperti tiang listrik, berisi, dan senantiasa sehat wal afiat. Mungkin setelah pulang dari Korea nanti bobot tubuh Kak Zayn akan naik beberapa kilo. Konon katanya jajanan pinggir jalan alias street food di negeri ginseng itu enak-enak. Aku berani bertaruh kalau Kak Zayn suka jajan di waktu senggangnya. "Kalau kamu?" Giliranku untuk bertanya.
"Sekarang atau saat aku jadi kucing?"
"Dua-duanya."
"Hm..." Prince berpikir sebentar. "Dulu saat aku hidup menggelandang, aku makan apa saja. Aku mengorek tempat sampah dan makan apa saja yang kutemukan di sana. Jadi, saat itu aku nggak bisa pilih-pilih makanan. Tapi, aku paling suka saat menemukan kepala ikan."
Pasti karena aroma amisnya yang kuat, batinku.
"Kalau sekarang?" pancingku.
"Aku suka sosis."
Aku menduga Prince menyukai sosis bukan karena rasanya, tapi lebih cenderung pada kisah di baliknya. Makanan itu adalah penyelamatnya dari kelaparan.
"Apa kamu pernah menyukai seseorang?" Prince bertanya kembali. Tanpa memberi kode sebelumnya, ia mengubah topik perbincangan.
Kenapa aku merasa ini seperti sesi penjajakan sebelum pacaran?
"Apa kamu tahu arti pertanyaan itu?" Aku hanya ingin memastikan jika Prince tahu apa yang sedang ia bicarakan. Dia kan kucing, bukan manusia yang sesungguhnya.
Cowok itu menggelar senyum terindah yang sanggup meluluhkan hati.
"Selama aku hidup, aku selalu mengamati apa saja yang ada di sekelilingku, termasuk perilaku manusia. Aku paham apa yang mereka rasakan dan pikirkan. Secara tidak langsung aku terlibat dalam kehidupan mereka meskipun aku cuma jadi pengamat."
"Benarkah?" Aku menggumam lirih. Dugaanku tentang Prince yang minim pengetahuan tentang kehidupan manusia salah besar. Ia bukan sekadar kucing biasa. Perasaannya sama seperti manusia.
"Lalu apa jawabannya?"
Oh, iya. Ia bertanya padaku tadi.
"Aku pernah menyukai kakak kelasku di SMU, tapi hanya sekadar suka. Nggak sampai jadian."
Sejujurnya itu hanya kasih tak sampai atau lebih tepatnya cinta terpendam yang tidak pernah terungkapkan, sekalipun pada Tara. Aku berjanji akan menyimpan rahasia itu selamanya, tapi akhirnya mesti kuingkari sendiri.
"Lalu sekarang, apa ada orang yang kamu sukai?"
Kamu. Mungkin.
Aku memaksakan diri untuk mengumbar tawa. Biar perasaanku tersamarkan.
"Nggak ada. Aku jarang pergi ke luar rumah, aku juga nggak punya banyak teman. Jadi, nggak ada pilihan seseorang untuk kusukai." Alasan yang kukemukakan terdengar logis, kan?
"Apa kamu masih menyukai kakak kelasmu itu?"
"Nggak lah. Itu kan sudah lama," gelakku sambil mengibas. "Tumben kamu ingin tahu, kenapa?"
"Selama ini aku hanya tinggal di sini dan nggak tahu apa-apa tentang kamu. Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa berbagi apa saja denganku. Aku bisa jadi pendengar yang baik lho," ujarnya. Justru alasannya terdengar mencurigakan.
"Apa kamu akan pergi?" desakku. Seseorang yang berkelakuan aneh dan di luar kebiasaannya terkadang akan 'pergi'. Mungkin pergi ke suatu tempat dan tidak akan kembali, atau pergi untuk selamanya.
"Nggak. Aku cuma tanya."
Tapi, sikapnya aneh, batinku. Membuat selera makanku lenyap seketika.
Seseorang yang datang dalam kehidupan kita suatu saat nanti pasti akan pergi. Entah dengan isyarat yang tak terbaca atau dengan cara yang tiba-tiba. Dan aku sadar Prince juga pasti akan pergi suatu hari nanti. Jujur, aku belum siap untuk kehilangan dirinya. Misi balas budi itu pasti akan tergenapi suatu hari nanti. Entah kapan hari itu akan tiba.
"Apa kamu pernah menyukai seseorang?" gumamku setelah meletakkan garpu di atas piring. Bihun goreng milikku telah dingin dan masih tersisa setengah di atas piring di depanku. Setelah aku membagi sedikit kisah asmara yang tak sampai saat SMU, sekarang giliran Prince yang harus berbagi pengalaman hidupnya.
"Maksud kamu sesama kucing?"
Aku mengangguk tanpa kata.
Prince terdiam sesaat. Bola matanya mengarah lurus ke suatu tempat di belakang punggungku.
"Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, hidupku kurang beruntung. Aku menjadi gelandangan tak bertuan di seluruh kehidupanku. Aku sibuk mengais tempat sampah hanya untuk mencari sisa makanan. Itupun aku harus bersaing dengan sesama kucing gelandangan lain yang senasib denganku. Itu seperti sebuah kompetisi untuk bertahan hidup. Nggak sekali dua kali kami berkelahi untuk memperebutkan makanan, bahkan sudah nggak terhitung berapa kali kami sama-sama saling melukai."
Di benakku tergambar sebuah adegan dengan narasi yang diucapkan Prince. Kesungguhan yang terbaca dari sorot matanya memaksaku memercayai semua yang Prince katakan.
Lanjutnya,
"Kamu tahu, hidupku selalu berakhir sama. Kelaparan telah membunuhku sebanyak delapan kali. Dan di akhir hidupku yang ke sembilan, aku hanya ingin hidup bahagia. Makan kenyang dan tinggal di tempat yang nyaman. Setelah itu aku bisa beristirahat dengan tenang." Ia menatapku. "Aku hanya tahu cara untuk bertahan hidup."
"Apa setelah ini kamu nggak akan terlahir kembali?"
Seperti dalam kisah-kisah fantasi, selalu ada keajaiban yang terjadi di akhir cerita. Happy ending. Aku juga menginginkan hal yang sama untuk Prince. Ia juga berhak untuk mengecap bahagia meski hanya sekali. Malahan Prince sangat berhak untuk mendapatkan kebahagiaan setelah apa yang dialaminya sepanjang hidup.
Cowok itu menggeleng pelan. Raut wajahnya terlihat tanpa beban. Padahal dadaku terasa sesak membayangkan jika Prince tiba-tiba menghilang dari hadapanku.
"Kucing hanya punya sembilan nyawa, Za. Ini adalah kehidupanku yang terakhir. Setelah ini aku akan lenyap dari dunia ini."
Aku tahu. Prince sudah pernah mengatakannya, tapi entah kenapa hatiku tak bisa menerimanya dengan lapang.
"Aku sudah kenyang." Aku mendorong piringku ke tengah meja lalu bangkit dari kursi. "Aku mau istirahat. Jangan menggangguku."
Aku pergi meninggalkan ruang makan lantas menyeret langkah ke kamar.
Aku perlu menyendiri untuk saat ini dan menyadarkan diri sendiri bahwa Prince hanyalah kisah fantasi. Dan semesta telah menyeretku masuk ke dalam hidupnya. Suatu hari nanti, kisah itu akan berakhir. Aku akan kembali ke dunia nyata, sementara Prince akan menghilang untuk selama-lamanya. Seperti buih. Seperti kisah putri duyung yang berakhir tragis.
Tapi, aku tidak ingin akhir kisah yang seperti itu. Aku ingin cerita ini berakhir bahagia. Tidak bisakah semua berjalan sesuai keinginanku?
***
13 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top